10. Annual Meeting

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Let us always meet each other with smile, for the smile is the beginning of love." -Mother Theresa-

Bogor, 11 Januari 2019

*

*

"Eh, lo mau Cess?" Gya yang duduk di sampingnya di dalam bus menawarkan sebungkus kuaci.

"Ngapain makan kuaci, coba? Udah repot makannya, dapetnya cuma dikit," ledek Jenn. Ia sendiri memilih camilan lain seperti keripik kentang dan keripik singkong kemasan.

"Eh, gue kasih tau ya. Kuaci itu banyak khasiatnya. Baik buat jantung, sebagai antioksidan, menyehatkan kulit, juga menurunkan kolesterol," balas Gya, masih berusaha memecah biji kuaci dengan giginya.

"Dasar lo! Ada kuaci kupas, malah lo nyari yang bikin susah begini," gerutu Ala yang ikut makan kuaci bersama Gya.

"Bedalah sensasinya. Gue juga tau ada yang namanya kuaci kupas yang makannya tinggal 'lep'. Tapi kalo gitu, nilai perjuangan buat makannya malah nggak ada." Gya berkilah.

Iming-iming khasiat kuaci tidak lantas membuat Cessa tertarik untuk memakannya. Ia lebih memilih makanan yang jauh lebih mengenyangkan. Tadinya, ia mengeluarkan bekal berupa lasagna dan pastel. Dalam wadah Tupperware kuning masih tersisa dua buah pastel. Mereka semua sudah kebagian. Dua buah pastel isi daging dan sayur itu memang jatah yang belum sempat ia makan sejak tadi.

Cessa memang tidak begitu suka memakan sesuatu saat sedang dalam perjalanan jauh. Selain ia mudah pusing, perutnya juga seringkali menolak jika ada makanan yang masuk. Namun, memasuki kota Bogor, perutnya mulai keroncongan, jadi mau tidak mau ia mencoba memakan salah satu pastelnya.

"Cess, gue masih ada roti lapis nih," tawar Ala. Ia meletakkan sebuah wadah persegi berisi sepotong roti lapis. "Lo suka yang daging kan?"

Cessa mengangguk dan mulai memakan roti lapis daging pemberian Ala. Wadah berisi pastel tadi ia masukkan kembali ke tas kertas khusus makanan yang diletakkan di samping kursinya.

"Sebelas Januari bertemu, menjalani kisah bersamamu. Naluri berkata engkaulah milikku."

Lantunan lagu dari tape yang dibunyikan oleh pengemudi bus, diikuti oleh beberapa penumpang.

Selain dari divisi keuangan, bus pariwisata yang mereka tumpangi juga terisi tambahan staf dari divisi lain. Cessa mengenal beberapa di antaranya, seperti mbak Lisa dari divisi HRD dan mas Johny dari divisi marketing. Staf lainnya sempat menyapa mereka saat naik ke dalam bus. Ia berusaha mengingat beberapa di antaranya.

"Coba ya lo bayangin gimana bisa di bus direksi itu ternyata orang ganjen kayak si Hera itu bisa lolos masuk. Gila, dia kan cuma sekretaris direktur marketing. Kok bisa-bisanya ikutan gabung di situ." Jenn memulai lagi gosipnya yang tadi sempat terhenti, entah karena kehabisan bahan atau baterai-nya habis.

"Orang dalam. Maklumi aja." Ala mengibaskan tangan. "Keponakan direksi kan mesti dapat hak istimewa. Udah biarin aja."

"Tapi ngeselin kan? Mana anaknya kaya angkuh gitu lagi." Jenn masih menunjukkan kedongkolan. Ia meraup keripik dan mengunyahnya cepat-cepat.

"Gue juga kesel sama tuh anak."

Tiba-tiba seseorang nyeletuk. Saat Ala berbalik, ternyata si mbak dari divisi HRD.

"Bener. Dia ngincer direktur deh."

"Siapa? Bukannya rata-rata udah nikah ya?" Ala lantas mengingat-ingat. Lantas menyebutkan nama para direktur dan wakil serta divisi-nya masing-masing. Ternyata tidak salah julukan memory card berjalan melekat padanya.

Sampai pada kesimpulan, ada tiga direktur laki-laki dan wakil direktur yang masih single, termasuk you know, direktur divisi mereka.

"Pak Jose direktur divisi umum, Pak Arion direktur divisi keuangan, sama pak Wisnu wakil direktur divisi umum."

Mbak tadi yang bernama Hani, ikut berdecak kagum karena Ala bisa menyebutkan nama-nama itu dengan lengkap.

"Berarti salah satu dari ketiganya." Gya ikut bergabung menggosipkan petinggi mereka di perusahaan. "Mana high qualified gitu lagi semuanya. Kadang gue ngerasa nggak adil, kok ada ya orang diciptain udah ganteng, kaya lagi."

Ala menambahkan. "Jangan lupa, mbak Dewi direktur marketing yang udah cantik, tajir, dapet suami konglomerat. Rumahtangganya bahagia...,"

"Eh, Pak Arion direktur divisi kalian ya kan?" tanya Hani dengan mimik wajah serius.

"Mmh, iya." Ala menjawab, diikuti pertanyaan. "Emangnya kenapa, Mbak?"

"Nggak. Cuma mau bilang, kalo soal selera, gue sih sukanya yang kaya pak Arion. Kulitnya kan eksotis gitu. Kalo pak Alby terlalu bule banget. Ya namanya juga ekspatriat asli Ireland ya? Kalo pak Wisnu, mungkin karena berewokan. Ga gitu doyan. Gue sukanya yang mukanya licin-licin gitu."

"Mulus kali, Mbak? Masa licin? Emangnya belut?" Gya protes, tapi kemudian tertawa bersama mereka.

"Aih, belut. Kok lo bisa kepikiran soal belut sih?" tanya Ala. Mereka bertiga berpandangan lalu tertawa cekikikan.

Astaga nih perawan-perawan ya? Pasti mau membahas hal yang vulgar.

Ia teringat chat teman-temannya itu di grup khusus yang dibuat untuk mereka berempat.

Ala : Nih, girls. Gue kasih lo semua link ajaib. Lo bakal terimakasih sama gue.

Jenn : Klik.

Gya : Klik. Tipe-tipe cowok...hah gila lo. Tipe-tipe bentuk penis

Jenn : Ckck. Enam macam bentuk p*n*s. Eh lo mau tipe apa? Gue wortel aja deh

Ala : Pisang dong, biar melengkung fleksibel

Gya : Kalo mau yg fleksibel. Belut lah

Cessa mengambil air mineral botol untuk mendorong masuk roti yang susah payah ditelannya. Astaga, bener-bener ya mereka ini...

"Cessa sih gitu, tiap kita ngomongin soal cowok. Diem aja," Gya menyikut Cessa. Hampir saja air yang diminum Cessa keluar dari mulutnya.

"Mbak Cessa ya?" tanya Hani.

"Iya, Mbak," jawab Cessa kaku sambil mengelap sudut bibirnya dengan punggung tangan.

"Ada temen saya titip salam. Katanya biasa lihat Mbak pagi-pagi sebelum masuk lift. Katanya temen Mbak waktu sekolah."

"Oh, ya? Namanya siapa?"

"Namanya Adi. Teman SMP katanya. Mau nyapa tapi nggak berani."

Cessa tersenyum serba salah. Ia sudah lupa jika ia dulunya punya teman sekolah bernama Adi. Lagipula, ada berapa orang di dunia ini yang bernama Adi. Waktu SMA saja, ada lima orang temannya yang bernama Adi.

"Oh, kenapa nggak sapa aja waktu ketemu? Lagian saya bukan artis." Kali ini Cessa tertawa dengan perasaan sungkan.

"Abis, Mbak cantik banget, katanya." Hani menatap takjub. "Aslinya memang cantik, ayu."

"Ah, biasa aja, Mbak."

"Kembang divisi keuangan Padma gitu loh." Ala nyengir kepada Cessa. "11 12 lah sama gue."

"Nggak pernah ikutan pageant gitu, Mbak Cessa?" tanya Hani sambil membetulkan letak kacamatanya. "Eh tapi mana sempat ya? Kerja bagian accounting gitu."

"Hehe, iya, Mbak."

Cessa berbasa-basi sebentar kepada Hani dan staf perempuan di sebelahnya yang berasal dari divisi yang sama sebelum kembali menatap keluar jendela. Pemandu bus mengatakan kurang dari satu kilometer lagi, mereka akan sampai di lokasi penyelenggaraan meeting tahunan itu.

Kegiatan annual meeting kali ini merupakan kegiatan besar-besaran perusahaan yang artinya seluruh direksi dan divisi dipastikan ikut dalam kegiatan ini. Lokasi yang dipilih merupakan sebuah resort di Bogor yang terkenal dengan konsep outdoor seperti wisata alam hingga fasilitas olahraga berkuda, biliar dan mini golf. Bahkan tersedia pula kolam renang outdoor berukuran besar.

***

"Haah lumayaan, bisa bebas dari polusi."

Bersama Gya, Cessa berkeliling area resort yang sangat sejuk, dengan pemandangan yang menyejukkan mata. Segera setelah mendapatkan kamar yang akan ditempati selama outing, Gya mengajaknya berkeliling resort. Cessa sebenarnya malas berkeliling karena ia merasa lebih butuh istirahat daripada berjalan-jalan. Namun, Gya, Ala dan Jenn tidak mau meninggalkannya sendirian di kamar. Alhasil, dengan terpaksa ia mengikuti mereka keluar berjalan-jalan menikmati pemandangan juga menghirup udara segar.

Ternyata tidak begitu melelahkan. Cessa malah menikmati suasana di sekitarnya.

"Jangan kelamaan keliling juga, Gy. Entar malam bakal ada gathering buat nentuin games dan kelompok. Keburu capek, ntar." Cessa mengingatkan.

"Iya, iya. Bentaran lagi kok. Gue cuma mau foto-foto tenda itu. Ih kok lucu ya?" Gya lalu membidikkan Canon EOS Rebel SL2 kesayangannya ke salah satu tenda putih yang merupakan tempat menginap bagi peserta outing.

"Lo aneh deh. Masa tenda bisa dibilang lucu? Lucu dari mana?" tanya Cessa.

"Ah, emang lo-nya aja yang nggak ngerti soal fotografi." Cessa menunjukkan beberapa foto bidikannya. "Lo liat deh. Keren kan?"

"Iya sih." Cessa melirik Casio di pergelangan tangan seusai memerhatikan foto-foto hasil jepretan kamera Gya. "Udah mau jam makan siang nih. Ntar kita dicariin lho."

Belum beberapa detik, giliran ponselnya yang berdering. Ternyata Ala yang menelepon. Mereka sudah berada di ruang makan resort. Mereka diminta berkumpul di ruangan tersebut untuk membicarakan agenda acara malam nanti. Tentunya sambil makan siang.

"Tuh kan? Gue bilang juga apa? Ntar kita yang belakangan dateng, diliatin orang-orang kan?" Cessa langsung menggandeng tangan Gya.

"Sori deh. Gue lupa kan lo orangnya pemalu?" Gya menjawil hidung Cessa. "Plus orang paling on time yang pernah gue kenal."

Ketika mendekati ruang makan, Cessa dan Gya mempercepat langkah mereka. Divisi keuangan ternyata sudah berkumpul di salah satu sudut ruangan luas tersebut. Aroma makanan yang menguar semakin menambah rasa lapar. Cessa mencium aroma sate dan bakar-bakaran. Perutnya mulai bergolak.

"Ya ampuun. Darimana aja nih Neng-neng geulis?" Ala melemparkan tatapan jengkel kepada Cessa dan Gya. Begitu mereka datang, nyaris seluruh staf divisi keuangan menoleh ke arah mereka.

"Duduk gih, cepetan. Pak Arion marah-marah tuh tadi."

Gya menatap Cessa. "Ih gimana dong?"

"Lo juga sih." Cessa mengeluh.

"Lah? Trus pak bos ke mana?" tanya Gya.

"Ntar ya, saya susulin dulu," ucap Melissa dengan gerakan cepat.

Ala langsung mengomentari pakaian yang dikenakan Melissa.

"Ih, bisa-bisanya ya dia pake rok pendek sama kerah Sabrina. Mana kacamata hitamnya masih dipake di dalam ruangan."

"Request Dewa Hermes kali," kata Jenn asal. "Ih, lo liat nggak mukanya pas tau lo berdua nggak ada di sini? Kusut kaya kertas dilipat tujuh. Gue juga nunggu dia ngomel-ngomel, eh ternyata malah langsung pergi gitu aja."

"Tadi kan dia abis nerima telepon? Lo jangan nethink gitu dulu dong." Ala mengingatkan. Ala lalu beralih kepada dirinya dan Gya. "Nah sekarang mending lo berdua siapin mental aja, gue ambilin minum dulu."

"Emang lo baik banget," puji Gya.

"Jangan senang dulu. Ini cuma bentuk simpati gue sebelum lo berdua kena marah."

"Emang lo ya?" Gya menunjukkan kepalan tangan kepada Ala yang sudah berdiri dari duduknya.

Dari arah pintu yang berlawanan dengan arah pintu masuk, sosok Arion terlihat berjalan tergesa-gesa diikuti Melissa yang berjalan di belakangnya, mencoba menyesuaikan kecepatan berjalan dengan hak wedges-nya.

Arion mengenakan kaus hitam sebatas lengan dan drawstring pants Army dan sneakers yang membuat tampilannya semakin kasual.

Cessa tanpa sadar menahan napas saat melihat Arion mengambil duduk di samping pak Dayat. Ia tidak siap mendengarkan ucapan apapun dari laki-laki itu yang menyeret namanya. Ia memang terlambat untuk berkumpul sebelum memulai makan siang, tapi itu kan cuma makan siang? Bukan meeting yang sebenarnya.

"Bagaimana? Semua staf sudah hadir?" tanya Arion, lalu beralih melihat jam tangannya.

"Sudah, Pak." Beberapa orang menyahut seolah sedang mengikuti paduan suara.

"Saya rasa yang ingin saya sampaikan kali ini nggak gitu banyak. Hanya ingin mengingatkan kalian, malam nanti tepat pukul 19.00 setelah makan malam, kita semua berkumpul di ballroom. Sekali lagi, jangan sampai ada yang terlambat."

"Baik, Paaak."

"Sekarang, silahkan kalian makan siang. Jangan sungkan. Anggap saja bukan rumah sendiri."

Lelucon garing itu membuat semua orang tertawa. Entah apa hal itu beneran lucu atau mereka hanya menghargai usaha direktur mereka untuk membuat mereka semua tertawa.

"Haah, untung nggak disinggung," Gya membuang napas lega. Gya menggandengnya menuju meja makan. "Makan yuuk?"

"Yuk."

Hidangan yang tersaji di meja panjang begitu memanjakan mata. Begitu banyak pilihan, semuanya terlihat menggugah selera. Cessa memisahkan diri sejenak untuk mengambil sate ayam. Karena gerakannya dinilai lamban, Gya meninggalkannya untuk mengambilkan pencuci mulut. Ia bukannya bermaksud melambatkan gerakannya. Sejak melihat Arion tadi, Cessa sulit berkonsentrasi. Ia sudah memikirkan segala macam ucapan sinis yang akan diterimanya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, Arion tidak mungkin melakukannya di depan umum, meskipun jika Arion kesal padanya.

"Bapak mau saya ambilkan apa? Bapak suka sate ayam? Saya juga suka."

Cessa mengangkat wajah, lalu menoleh ke sampingnya. Dalam jarak sekitar dua meter, Melissa, sang sekretaris idaman sedang melayani bosnya.

"Saya bisa ambil sendiri, Melissa." Suara Arion terdengar cukup bersahabat.

"Bapak harus banyak makan ya? Biar semangat meeting-nya."

"Iya. Terimakasih."

"Bapak suka brokoli kan? Sini saya ambilkan."

"Satu sendok saja." Arion terdengar menolak saat Melissa mengatakan brokoli di piringnya masih kurang banyak. "Mending kamu ambil deh apa yang mau kamu makan. Saya bisa ambil sendiri."

"Saya belakangan aja, Pak. Yang penting kan prioritasnya untuk Bapak. Saya cuma memastikan makanan yang Bapak makan, aman, steril dan sesuai selera Bapak."

Tidak berapa lama, Melissa memekik senang.

"Bapak ngambilin piring buat saya? Bapak kok baik banget sih?"

Cessa mulai merasa terlalu lama menguping, sampai tidak menyadari beberapa tusuk sate ayam mendarat di atas piringnya. Seseorang menolongnya mengambilkan sate ayam.

"Bisa bergeser sedikit?"

Oh. Jadi ia orangnya?

Ia dan Arion bertukar pandang dalam beberapa detik. Cessa mengangguk dan kemudian bergeser dari posisinya semula. Tubuhnya sedikit terhuyung saat seseorang mencoba menyela posisi antara ia dan Arion.

"Permisiii,"

Ternyata Melissa.

"Udah selesai kan, Mbak?" tanya Melissa sambil menaikkan alis.

"Iya, udah selesai." Cessa pun meminggir sambil mengingat menu apa saja yang tadi ingin ia isikan ke dalam piringnya. Selain nasi merah dan sate ayam, ia pun mengambil tumisan sayur, potongan timun dan telur balado.

Sepertinya sudah cukup.

***

Suasana ruang makan masih riuh oleh suara obrolan dan denting peralatan makan. Salah satu lagu Ariana Grande mengalun sebagai satu-satunya irama ritmis di ruangan itu. Cessa dan ketiga temannya yang nyaris tidak pernah berpisah sejak berangkat ke tempat itu, kini duduk saling berdekatan menikmati makan siang.

Pancaran sinar matahari terik kontras dengan suhu udara yang terasa dingin. Beberapa AC dinyalakan, padahal mungkin jika pintu-pintu dibiarkan terbuka lebar, udara dingin dari luar bisa masuk ke dalam tanpa perlu menyalakan pendingin udara.

Cessa merasakan seperti sedang berada di sebuah gelaran pesta perjamuan di siang hari. Suasananya terasa menyenangkan, di mana setiap orang yang biasanya sibuk dengan pekerjaan di divisi masing-masing dapat berbaur satu sama lain. Meskipun kepribadiannya sedikit tertutup, ternyata berada dalam area publik semacam ini terasa begitu menyenangkan. Siapapun yang memilih tempat ini sebagai lokasi pertemuan awal tahun Padma Resources Tbk, layak mendapat apresiasi. Ia semakin tidak sabar menikmati fasilitas yang ditawarkan di resort bintang lima itu.

"Lengket amat kaya amplop sama perangko."

"Siapa sih?"

"Tuh. Dewa Hermes dan salah satu dayang-dayangnya." Ala menuding dengan dagu ke arah jajaran kursi yang terisi beberapa petinggi Padma. Selain sekretaris direktur marketing yang mereka gosipkan di bus, kini mereka bergunjing tentang sekretaris direktur keuangan.

"Emang banyakan nggak bener deh sekretaris Padma," keluh Jenn. "Maksud gue, apa mereka nggak nyadar posisi? Masa makan bareng direksi? Emang sih acara makan siangnya di-setting bebas buat berbaur, tapi nggak gitu juga. Pak Dayat aja lebih milih gabung sama staf keuangan yang laki-laki, padahal manajer lain juga deketan duduknya."

"Ngeselin emang. Lebih ngeselin lagi, kenapa gue malah merhatiin?"

Seperti yang sudah ia duga, Ala mulai melontarkan nyinyiran menyaksikan interaksi antara Arion dan Melissa.

"Astaga. Jaga wibawa dikit bisa nggak sih?" Jenn berucap dengan nada gemas.

"Emang sekretarisnya aja yang ganjen," ucap Ala sebelum menelan lagi makanannya.

"Asli. Padahal tanpa dia bersikap begitu, dia tuh tetap bisa bersikap profesional," sambung Gya, saat mengunyah kerupuk udang. "Keliatan banget bucinnya."

"Harusnya kan Pak Arion bisa negur. Tapi kok malah dibiarin aja sih?" Ala terdengar makin sebal. Sekalipun ia yang mulutnya terkenal paling nyinyir, kalau urusan profesionalisme, ia sangat bisa diandalkan.

"Yaah namanya juga laki-laki. Di mana-mana sama aja. Ga kebal sama rayuan." Cessa mulai bersuara. Sejak tadi, ia memilih diam saja. Daripada terlihat pasif saat berinteraksi dengan teman-temannya, ia memutuskan untuk ikut berbicara.

"Bener banget tuh."

"Apa gue bakal ngeliat pemandangan yang sama selama 4 hari ini? Aduuh nggak bakal sanggup gue." Jenn mengaduh sambil mengambil pose menopangkan tangan di dahi.

"Jangan diliatin, makanya. Susah amat." Gya mencomot sepotong daging sate ayam. "Serius. Gue mesti nambah. Enak banget nih sate."

"Ya susah juga sih, kalo orang doyan ghibah disodori konten yang pantes buat di-ghibahin." Ala ikut berdiri bersama Gya. "Udah ah. Gue mau nambah jus. Cess, lo mau sekalian nggak?"

Cessa menggeleng. Jus jeruknya saja belum habis.

"Eh, gue deh, La. Buah potong dong."

"Jangan request ya? Gue bakal ambil yang masih ada aja."

"Iyyaa. Ini juga biar gue banyak makan serat. Lunturin lemak."

Ala memutar bola mata. "Iya. Ngomong deh sama daging-dagingan yang lo santap tadi. Sok mau lunturin lemak. Yang ada lemak-lemak di tubuh lo makin subur."

Jenn pura-pura meringis. "Iya, ntar pulang dari sini, gue latihan kardio. Bawel lo ah."

Saat Ala dan Gya berlalu, Jenn kemudian duduk menghadapnya sambil berusaha menghabiskan capcai.

"Makan banyak biar lo gemukan dikit," saran Jenn, tanpa maksud menyinggungnya. "Eh, Cess. Serius lo, ga ada tips biar pinggang gue sekecil pinggang lo? Gue banyakan lemak sama timbunan dosa nih, kayaknya."

Mereka lalu sama-sama tergelak.

Cessa menunduk melihat pinggangnya.

"Nggak ada tips. Pinggang gue emang kaya gini dari dulu. Malah waktu sekolah, gue sering dipanggil kutilang darat."

Mereka kembali tertawa. Kutilang darat itu, singkatan dari kurus tinggi langsing dada rata. Sampai sekarang sih, darat-nya masih terbawa, hanya badannya juga sudah nggak kurus banget kaya orang kurang gizi.

Ia malah ingin pinggangnya sedikit lebih bertambah lingkarnya. Ia terlihat seperti anoreksia setiap ia mematut diri di depan cermin. Menurut literatur yang ia baca, postur tubuh seseorang tidak selalu dipengaruhi kebiasaan makan. Ada orang yang sudah berusaha diet, tapi tetap saja gemuk. Istilahnya, napas saja sudah bikin naik sekilo dua kilo. Berbanding terbalik dengan dirinya. Dan Gya, meskipun Gya tidak begitu kentara karena tubuhnya mungil. Sedangkan ia yang bertinggi badan 165 cm, dengan berat badan 53 kg, masih saja terlihat kurus. Makan sebanyak apapun, porsi kadang di atas rata-rata, tubuhnya tetap segitu-gitu saja. Ia hanya bisa pasrah, yang penting sehat.

***

Jangan lihat dia. Jangan lihat dia.

Arion merapalkan kalimat itu dalam hati, berulang-ulang.

Malam itu akan ada meeting internal dewan direksi meliputi direktur utama dan beberapa direktur dari setiap divisi. Meeting tersebut akan digelar setelah agenda umum yaitu susunan acara yang akan dimulai malam itu hingga jadwal berakhir.

Arion menyesap kopi setelah acara makan malam, menghindari rasa kantuk sebelum menghadapi meeting yang kemungkinan akan berakhir tengah malam. Ia memilih duduk menyudut sambil mengobrol dengan pak Dayat. Beberapa staf sudah terlihat berbaur dengan peserta dari divisi lain setelah pembagian kelompok beserta games yang akan diikuti.

"Bapak nggak ikut main games?" tanya Arion.

"Kalau yang berat-berat saya nggak ikut. Tapi tadi saya lihat ada lomba catur, saya sudah didaftarkan di situ," jawab pak Dayat.

"Wah, saya malah ngira Bapak mau ikutan team building."

"Takutnya saya nggak kuat," ujar pak Dayat, lalu terbatuk-batuk. Arion memberikan air mineral botolnya, tapi pak Dayat mengatakan ia punya air minum sendiri.

Arion mengedarkan pandangan, di mana-mana masih terdengar percakapan dengan suara riuh rendah. Lalu, terdengar suara MC melalui pengeras suara, meminta peserta dalam satu kelompok untuk duduk bersama untuk diberikan pengarahan, sebelum kembali ke divisi masing-masing dan membubarkan diri.

Setelah menghabiskan kopi, Arion menunggu sejenak sampai semua stafnya berkumpul. Ia hanya perlu mengecek mereka sebentar sebelum bersiap-siap mengikuti meeting khusus direksi.

"Pak. Apa ada keperluan yang bisa saya siapkan?" tanya Melissa yang kali ini menghampirinya.

"Saya sudah siapkan semuanya. Nanti saya kabari kalau ada yang kurang." Arion masih belum beranjak karena membaca WA dari Adel. Bukan hal yang istimewa. Adiknya itu hanya menanyakan kabar.

"Baik, Pak. Bapak hubungi saya saja kalau ada hal penting." Melissa masih menunggunya beranjak dari kursi.

"Kamu istirahat saja," kata Arion dengan harapan Melissa segera pergi. Ia tidak leluasa bergerak setiap sekretarisnya itu berada di dekatnya.

Salah seorang staf yang biasanya bersama Ayana saat makan siang, atau ke mana-mana, melintas sambil menenteng sebotol air mineral sponsor. Tidak berapa lama, Ayana dan kedua temannya melintas.

"Duluan, Pak," ucap mereka dengan sopan.

Matanya terfokus kepada Ayana yang menyapa pak Dayat untuk sekadar berpamitan menuju kamar. Ia melihat layar ponselnya lalu mulai berbicara dengan seseorang melalui ponsel itu.

Apakah gadis itu akan melupakannya?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro