9. I can't win with you, because you run away from me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

I can't win with you, because you run away from me



"People run away from the love game because they know they won't win the race."

-Michael Bassey Johnson-

*

*

"Tapi saya nggak suka. Tolong berhenti bersikap seperti ini kepada saya, Pak."

Mendengar ucapan Ayana, batin Arion seolah tersentak. Terusik, atau apapun namanya.

Demi langit dan bumi, tidak pernah ada perempuan yang pernah meminta Arion untuk berhenti digoda. Setiap perempuan yang pernah dekat dengannya akan merasa senang menerima rayuannya. Mereka akan silih berganti menunjukkan ketertarikan, kekaguman hingga kepuasan setelah menghabiskan waktu dengannya.

Tapi Ayana berbeda. Ayana menolaknya. Mungkin saja tidak sepenuhnya menolak, karena ada beberapa ucapan Ayana yang menyiratkan jika gadis itu punya perasaan yang sama dengannya. Gadis itu juga menyukainya.

Mereka bisa saja menjalin sebuah hubungan percintaan dengan cara yang sangat mudah. Gadis itu hanya perlu menerima Arion, mengungkapkan bahwa ia punya perasaan yang sama dengan Arion. Tanpa peduli ke mana hubungan mereka akhirnya akan bermuara.

Bukankah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat mengetahui dengan pasti akan masa depan masing-masing? Termasuk mengetahui nasib hubungan percintaan mereka?

Jadi, sekali lagi jika ia bisa menebak, Ayana pun menyukainya.

Hanya saja, Ayana tengah melakukan penyangkalan.

Ayana menolaknya bukan karena tidak menyukai dirinya. Ayana menolaknya hanya karena tidak ingin terlibat dalam kehidupan Arion.

Hal itu membuat Arion merasa gagal.

Ia tidak pernah sedikit pun meragukan reputasinya sebagai penakluk hati wanita.

Setidaknya hingga detik ini.

"Saya nggak percaya kamu baru saja melewatkan kesempatan ini. Saya menyukai kamu, tapi kamu menolak saya. Seharusnya saya tidak memohon atau yang terparah, memaksa. Tapi, saya hanya ingin kamu tau, kalau saya menyukai kamu."

Ayana mendekatkan garpu ke mulutnya. Ia mengunyah pelan, lalu menggeleng.

"Saya hanya ingin...sendiri." Suara Ayana begitu pelan. Ayana bahkan tidak berani menatap matanya untuk menegaskan jika ia memang tidak ingin diganggu.

"Kamu tidak mau punya komitmen sama seseorang?" tanya Arion.

"Suatu saat nanti, saya ingin punya hubungan serius dengan seseorang. Tapi untuk saat ini, saya lebih senang bekerja."

"Saya juga belum siap jika harus memiliki komitmen dengan seseorang entah itu sebagai pacar atau sebagai isteri."

"Jadi, kalau saya bisa menyimpulkan, Bapak hanya ingin bersenang-senang dengan perempuan manapun yang Bapak sukai? Bukan karena ingin menjalin hubungan serius?"

"Saya hanya butuh diyakinkan. Kelihatannya mungkin saya hanya ingin bersenang-senang sebagai pemenuhan kebutuhan biologis, tapi kadang terlintas di pikiran saya untuk menjalin hubungan serius."

Ayana mengembangkan senyum.

"Saya akan mendoakan Bapak segera mendapatkan perempuan yang bisa membuat Bapak yakin untuk berkomitmen, jadi hidup saya juga bisa lebih tenang."

"Apa karena status sosial ekonomi saya, makanya kamu menolak saya?" Arion lalu segera mengumpat. "Jangan jawab iya, karena hal itu bisa melukai perasaan saya."

"Bapak ingin saya jujur atau berbohong?" Ayana kini memandangnya, lalu kembali mengiris steak di piringnya. "Saya hanya tidak ingin mencoba sesuatu yang saya yakini tidak akan berhasil."

Arion rasanya sudah tahu jawabannya. Ayana punya banyak alasan untuk menolak. Gadis itu mungkin tidak pernah benar-benar membencinya tapi menyadari bahwa ia juga tidak bisa membalas perasaan Arion kepadanya.

Perasaan ini tidak asing. Arion pernah mengalaminya.

"Kalau Bapak menawarkan sebuah hubungan yang didasari dengan tanggungjawab, Bapak tidak akan memanfaatkan tubuh saya untuk memenuhi nafsu Bapak. You can't pay me to have a relationship with you."

"I like you."

"Saya yang nggak bisa suka sama Bapak."

"Kenapa? Apa saya kurang atraktif di mata kamu?"

"Bukan begitu."

"Lalu apa?"

"Saya hanya nggak mau punya hubungan sama Bapak selain hubungan profesional."

"Kamu sudah sering menggunakan alasan itu setiap saya merayu kamu untuk menjadi pasangan saya."

Cessa mengangguk pelan, lalu menambahkan. "Saya merasa saya bukan perempuan yang bisa beradaptasi dalam lingkungan keluarga Bapak. Dan, saya pikir, saya juga juga bukan perempuan yang Bapak butuhkan di masa depan."

"Why so serious about that? Saya nggak sedang meminta kamu untuk menikah dengan saya besok. Saya menginginkan kamu karena ya...saya suka sama kamu."

Cessa tersenyum. "Kalau begitu, Bapak bisa mencari perempuan lain yang bisa membalas perasaan Bapak dengan sukacita. Perempuan yang nggak berpikir terlalu jauh akan nasib hubungannya nanti sama Bapak."

"Saya cuma mau kamu. Apa keinginan saya itu belum jelas?"
Cessa mengangguk. "Saya sangat mengerti maksud Bapak. Saya nggak mau terlalu percaya diri untuk mengklaim perasaan Bapak ke saya, tapi saya bisa merasakannya lewat perhatian Bapak selama ini kepada saya."

Arion rasanya ingin menjambak rambutnya sendiri mendengar setiap perkataan Ayana. Perasaannya sudah sangat jelas, lalu apa lagi yang ditunggu oleh gadis itu?

Apakah ia harus bertekuk lutut di hadapannya dengan sebuah cincin berlian dan mengatakan bahwa ia ingin menghabiskan sisa hidup dengannya?

Apakah gadis ini tidak memahami bahwa tidak semua hubungan percintaan harus dibawa serius?

Ia akan memberikan kemewahan jika gadis itu menginginkannya. Diamonds, cash, car, holiday trip, all expensive stuffs. Surga dunia.

Dan transfer bulanan yang jika ditotal mencapai setengah miliar?

Apakah gadis ini tidak merasa cukup dengan apa yang telah ia berikan?

"Saya bisa ngasih semua yang kamu inginkan. Apa yang sedang kamu pakai sekarang ini, silakan kamu ambil. Kamu mau mobil? Pilih saja yang kamu suka, kirimkan modelnya, dan saya akan bayar. Atau kamu mau exclusive membership Hermes? Black card? Apartment? Atau apa? Katakan saja apa yang kamu mau."

Ayana meletakkan pisau dan garpu yang ia gunakan memotong steak.

"Saya akan kembalikan semua yang Bapak pernah berikan kepada saya." Suaranya seolah tertekan. Ayana meraih air putih dan kemudian meminumnya.

"Kamu nggak akan bisa balikin semua waktu saya yang saya habiskan untuk memikirkan kamu," ucap Arion, meraih Silky Red dan menyesapnya dalam-dalam. "Ayana, please. I want you so bad."

Ayana terdiam. Mungkin tengah memikirkan tawarannya?

"Permisi. Saya mau ke toilet dulu." Wajah Ayana terlihat panik.

Arion memandang kepergian Ayana dengan frustrasi.

Bagaimana mungkin pembicaraan serius mereka terinterupsi secepat ini?

***

Cessa memegangi perutnya yang terasa sakit. Ia terpaksa menghentikan makan dan pamit sebentar ke toilet. Ternyata, periode menstruasi datang lebih cepat dari jadwal biasa. Hal ini sering terjadi setiap siklus bulanannya datang. Tanggal menstruasi selalu maju setiap bulan. Terkadang cepat dua atau tiga hari sampai satu minggu.

Beruntung ia membawa underwear cadangan, pantyliner dan pembalut.

Ia harus segera pulang ke rumah.

Saat kembali duduk, di meja telah tersaji dessert. Cessa tidak yakin akan menghabiskan waktu untuk memakan makanan berwarna cantik dan tentunya memiliki rasa yang lezat itu.

"Pak. Bisa saya pulang sekarang?"

"Apa?"

"Saya ingin pulang sekarang," ulang Cessa. Tanpa menunggu lagi, Cessa segera beranjak meninggalkan meja menuju ke pintu.

"Ayana, kita belum selesai makan. Masih ada yang mau saya omongin sama kamu."

Cessa menggeleng kuat. "Maaf, Pak. Saya nggak punya waktu buat ngobrol."

"Ayana. Tunggu dulu." Arion memaksanya berbalik. "Kamu marah sama saya?"

Cessa menggeleng lagi. "Saya sakit, Pak."

"Saya nggak pernah berniat menyakiti kamu."

Cessa mengusap pelipisnya yang mulai mengucurkan keringat dingin. "Bukan begitu maksud saya. Saya lagi...cramping."

"Kamu bawa obat?" Arion langsung mengerti, karena ia tidak lagi bertanya.

Cessa menggeleng. "Lupa."

"Kamu bisa jalan?"

"Bisa."

Arion tanpa permisi, tiba-tiba saja menggendongnya.

"Astaga, Pak. Ngapain Bapak harus gendong saya? Saya masih bisa jalan."

"Saya nggak mau kamu pingsan di sini."

Cessa enggan memprotes tindakan Arion lagi. Tentu saja ia tidak akan pingsan di depan restoran. Tapi sebenarnya ia juga tidak cukup yakin sanggup berjalan sampai ke parkiran dengan keadaan seperti saat ini. Rasanya sangat nyeri.

"Sakiit."

"Kamu nggak apa-apa? Sakit banget ya?"

Arion meminta bantuan petugas parkir untuk membukakan pintu. Perasaan malu dan sakit bercampur jadi satu.

Saat duduk di dalam mobil, perasaannya sedikit lebih baik.

"Kamu bisa tahan sampai di klinik?"

"Jangan. Nggak usah ke klinik." Cessa menggigit bibir. "Bapak bisa singgah sebentar di apotik?"

"Bisa." Arion menyalakan mesin. "Kamu minum obat apa? Kiranti?"

"Kok Bapak tau?"

"Kakak perempuan saya suka minum itu, soalnya. Pernah juga ada mantan saya yang suka minum Kiranti kalau sedang cramping."

Cessa masih merutuki keteledorannya tidak membawa pereda nyeri. Meskipun telah mempersiapkan hal lainnya, ia tetap saja luput membawanya. Lagipula, botol Kiranti juga mungkin tidak muat dalam tas yang dibawanya. Kalaupun muat, ia benar-benar tidak kepikiran akan terjadi hal semacam ini.

Butuh sekitar sepuluh menit untuk menemukan apotik terdekat. Arion menanyakan apakah Cessa membutuhkan sesuatu selain Kiranti. Cessa meminta air putih dan tablet pereda nyeri.

Saat kembali ke mobil, Arion membukakan botol Kiranti dan membantu meminumkannya. Cessa meminumnya setengah botol dan meminta kepada Arion untuk memegang botol Kiranti yang isinya masih tersisa setengah.

Kali ini, Arion membukakan tutup botol air mineral, dan meminumkannya sedikit demi sedikit.

"Feel better?"

Cessa mengangguk.

"Yakin nggak mau ke dokter?" tanya Arion memastikan. Ia mengambil tisu dan mengelap area dahi dan pelipis Cessa yang dibanjiri keringat dingin.

"Bentar juga sakitnya hilang. Sekarang udah mendingan, udah bisa napas."

Cessa melihat senyum tipis di wajah Arion.

"Kamu selalu seperti ini setiap bulan?" tanya Arion.

"Nggak selalu. Biasanya kalau sedang stres atau terlambat, ya sakit kaya gini."

"Kamu nggak coba periksa ke dokter?"

Cessa ragu menjawabnya. Ya Tuhan. Laki-laki ini sampai bertanya sedetail ini.

"Udah. Kata dokter, nggak ada masalah."

"Nggak mungkin nggak ada masalah." Arion membuang napas panjang. "Keluarga saya punya beberapa dokter pribadi. Salah satunya ahli kandungan. Kapan saja kamu ada waktu, kamu bisa ketemu dia. Nggak pake antri, yang pasti."

Iya. Dan yang pasti bukan pake BPJS.

"Nggak usah."

Cessa merasa harus menolak setiap pertolongan dari Arion. Ia tidak ingin punya hutang budi yang pada akhirnya akan dimanfaatkan Arion untuk kepentingannya sendiri. Ia tidak yakin Arion tulus dengan semua kebaikannya.

"Saya nggak mau kamu kenapa-napa, Ayana." Arion memandanginya dengan fokus, membuat Cessa harus menghindar. Namun, Arion menahannya dengan menangkup dagunya. "Kamu suka atau nggak, kamu adalah pacar saya sekarang."

"Maksud Bapak?" Cessa tergagap. Ia menurunkan tangan Arion yang kini sedang menjalari pipinya.

"Just call me, Arion. Saya cowok kamu sekarang."

"Nggak bisa gitu." Cessa tidak bisa bergerak leluasa karena perutnya masih terasa nyeri. "Bapak sengaja baikin saya supaya saya mau jadi pacar Bapak?"

"Ayana. Kalau sekali lagi kamu panggil saya dengan sebutan Bapak, saya nggak akan biarin kamu bernapas dengan benar."

"Bapak nggak bisa..." Cessa segera menutup bibirnya dengan telapak tangan.

Demi Tuhan, laki-laki ini nyaris menciumnya.

"Saya nggak akan pulangin kamu sebelum kamu setuju jadi pacar saya."

"Saya nggak mau!" tegas Cessa.

Arion memakai kembali seatbelt yang sejak tadi belum ia pakai sejak balik dari apotik.

"Baik. Saya kasih keringanan buat kamu mikir. Dan saya akan tunggu jawaban kamu setelah annual meeting."

"Perjanjian awalnya tidak seperti itu. Bapak...ehm kamu bilang, setelah date malam ini, Bapak...ehm kamu nggak akan mengganggu saya lagi." Cessa benar-benar tidak bisa membiasakan dirinya untuk tidak memanggil Arion dengan sebutan bapak. Terlepas dari sikap Arion kepadanya, Arion tetap atasannya di kantor.

Tidak ada orang yang berani memanggilnya dengan sebutan lain. Dan penggunaan panggilan "kamu" itu menyiratkan jika mereka memiliki hubungan dekat. Ia tidak mau memiliki hubungan dekat dengan Arion. Meskipun ia memaksa.

Kalaupun ia harus dipecat karena membangkang, ia akan menerimanya.

"Kamu pergi sebelum dinner kita selesai, jadi saya anggap date kita malam ini nggak kehitung. Lagipula, saya juga nggak sungguh-sungguh saat saya bilang bersedia menjauhi kamu."

***

"Kamu licik, tau nggak?"

Ayana terdengar marah. Ia pasti sudah sembuh, sehingga punya kekuatan untuk mengucapkan makian kepadanya. Tidak, gadis itu tidak pernah memaki. Ia hanya mengekspresikan kemarahannya dengan mengeraskan atau meninggikan nada suaranya, yang sayang sekali tidak berpengaruh pada Arion.

"Kenapa kamu nggak mengalah saja? Bukannya dengan menuruti keinginan saya, hidup kamu akan jauh lebih damai?"

Wajah Ayana menyiratkan kemarahan. Namun, Arion senang menatap wajah marah itu, tanpa perasaan bosan. Ia senang mengusik Ayana hingga marah. Dengan begitu, gadis itu tidak akan mengabaikannya dengan mudah.

"Baik."

Arion senang mendengarnya.

Akhirnya, gadis ini menyerah juga.

"Baik. Saya mau menjadi pacar...Bapak."

Arion benar-benar merasakan senyum di wajahnya semakin melebar. Ia tidak peduli sapaan yang tidak ia sukai itu kembali lagi.

"Tapi saya mau Bapak menyetujui beberapa persyaratan."

Persyaratan?

"Dan saya mau persyaratan itu ditandatangani di atas kertas bermaterai."

"Ww, wait. Maksud kamu, kontrak? Bagaimana mungkin pacaran mesti pakai kontrak segala? Apa hidup kamu harus seribet itu?" Arion mengucapkannya dengan nada jengkel.

"Saya cuma nggak mau Bapak memanfaatkan hubungan ini untuk kepentingan Bapak. Saya hanya ingin hubungan ini seperti simbiosis mutualisme. Hubungan yang saling menguntungkan."

Arion mencibir. "Saya pernah punya pacar seorang akuntan, dan dia nggak pernah menawarkan kontrak apapun."

"Ya sudah. Kenapa Bapak nggak balikan aja sama dia?" Ayana balas mencibir.

"Itu bukan urusan kamu," ucap Arion ketus. Gadis ini sepertinya sedang mencoba membuatnya kesal. "Pastikan poin 'tidak mengungkit masa lalu pasangan' ada di dalam kontrak."

"Akan saya catat."

Arion menambahkan. "Apa itu berarti, kamu nggak mau tidur sama saya?"

"Itu juga masuk poin dalam kontrak."

Arion mendengus. "Jadi untuk apa kamu jadi pacar saya kalau saya nggak bisa tidur sama kamu? Saya lebih memilih kontrak nikah, kalau begitu."

"Baiklah. Karena Bapak sudah tau pacaran dengan saya mungkin akan banyak merugikan Bapak, jadi rasanya saya nggak perlu membuat surat kontraknya."

"Buatkan saja. Saya bisa melanggarnya kapanpun saya mau." Arion merutuk, mengapa kini emosinya yang sedang terpancing. Gadis ini sepertinya tidak sepolos yang ia bayangkan.

"Baiklah. Karena saya ingin tempat yang netral, saya ingin penandatanganan kontrak tidak dilakukan di tempat kerja, di tempat tinggal saya, atau tempat tinggal Bapak."

"Kenapa jadinya kamu yang ngatur-ngatur saya? Saya harus baca kontraknya baik-baik sebelum menandatanganinya."

"Kasih saya alamat e-mail pribadi Bapak. Kontraknya akan saya kirimkan segera setelah saya membuatnya."

Arion menatap Ayana tajam.

"Lupakan saja." Arion menyalakan mesin mobil. "Kalau kamu berpikir kamu sepenting itu untuk membuat saya seperti orang bodoh mengejar kamu, sampai saya mau menyetujui gagasan kamu, maka detik ini juga saya akan berhenti mengejar kamu."

***

Arion mengantarkannya sampai di depan rumah. Seharusnya Cessa tidak perlu khawatir mama memergoki keberadaan mobil mewah itu karena setelah malam ini, Arion tidak akan mengganggunya lagi. Jadi, ia tidak perlu memberikan penjelasan apa-apa lagi kepada mama.

Arion bergeming saat ia mengucapkan terimakasih sebelum turun.

Ternyata bukan hal sulit untuk melepaskan diri dari laki-laki itu.

Cessa merasakan ia bisa bernapas lebih lega sekarang.

Ia akan segera melakukan beberapa hal penting besok. Seperti memindahbukukan semua transferan dari rekening Arion ke dalam sebuah rekening yang baru. Menghapus semua chat Whatsapp dan SMS dari Arion. Juga beberapa detail kecil yang ia coba ingat dengan baik.

Voucher yang diberikan saat birthday dinner minggu lalu.

"Sudah pulang, Sa?" tanya mama saat Cessa baru saja menutup pintu depan. Ia mengunci dan memastikan sekali lagi keamanan pintu itu.

"Iya, Ma," jawab Cessa sambil melepaskan satu persatu sepatu yang dipakainya.

"Dianter ya?"

"Iya, Ma," jawab Cessa repetitif.

Mama lalu bergerak menuju ruang tamu untuk mematikan lampu yang tadi dinyalakan Cessa saat baru tiba. Ia mengikuti langkah Cessa menuju lemari es.

"Sa, tadi Nathan nelepon Mama. Katanya mau bayar uang praktik. Uang Mama nggak cukup."

"Oh, nanti aku bayarin." Cessa memutar tutup botol berisi air dingin.

Mama mengucapkan terimakasih, lalu menyebutkan nama seseorang.

"Sa, masih ingat Regan?"

Cessa mengangguk pelan.

"Mm, tadi waktu kamu udah pergi, tiba-tiba aja dia nelepon Mama. Katanya dapat nomor Mama dari mamanya. Tante Mina." Mama terdiam sejenak. "Dia nanyain kamu."

"Oh, ya?"

"Dia minta nomor WA kamu, jadi Mama kasih. Nggak apa-apa?"

Cessa menggeleng. "Nggak pa-pa kok, Ma."

"Regan bilang kalau ada waktu dia mau ketemu sama kamu. Dia baru pulang dari Singapura, katanya. Kalian memang pernah ada hubungan khusus?"

Cessa mencoba menelan air dingin yang menyejukkan kerongkongan. Nama Regan pernah mengisi hari-harinya. Dulu, ia termasuk salah satu secret admirer Regan ketika mereka bersekolah di SMA yang sama.

"Aku sama kak Regan cuma teman aja, Ma. Dulu dia pacaran sama senior aku di kampus. Gitu doang."

"Ooo, gitu." Mama menggumam. "Tapi kenapa dia nanyain kamu kaya gimana ya?"

"Perasaan mama aja deh."

Mama tersenyum. "Ya udah, Mama tunggu perkembangannya."

"Apaan sih, Ma?" Mama tergelak sambil mengusap lembut kepala Cessa.

"Ya udah. Mama mau tidur. Kamu mau langsung tidur kan? Jangan begadang."

"Iya, Ma."

Setelah mama masuk ke kamarnya, Cessa terduduk lesu di kursi.

Regan Gunawan. Cinta yang tidak kesampaian. Cinta yang bertepuk sebelah tangan.


***

Cuplikan Chapter 10

"Kenalin, konsultan baru di kantor gue. Sekalian aja gue ajak ke pembukaan kelab ini."

Tytan setengah berteriak saat memperkenalkan seseorang kepadanya.

"Arion."

"Regan."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro