13. Why you always bother me?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

13. Why you always bother me?

"Sometimes, life is a zero-sum game between the people you love."

-K.D. Elizabeth, Monster-

*

*

*

"Aduh, capek banget."

Rasa lelah bawaan acara annual meeting kemarin masih belum sepenuhnya hilang. Sepanjang pagi, Cessa harus berjuang melawan pegal yang masih bersarang di beberapa bagian tubuhnya.

"Nanti dianter aja sama Nathan. Hari ini Nathan kuliahnya agak siangan." Nathan menawarkan menjadi ojek.

"Iya, Dek. Makasih." Cessa meneguk kopi sambil berharap kopi selain mengusir kantuk, juga meredakan pegal yang masih terasa, terutama di tubuh sekitar bahu, punggung dan telapak kaki.

Cessa memilih nasi putih, nugget ayam dan telur balado untuk sarapan pagi. Mama menyiapkan nasi goreng, yang ia lewatkan karena bisa membuatnya semakin mengantuk, meskipun nasi goreng buatan mama sangat enak. Mama meracik nasi goreng memakai ramuan bumbu rahasia lengkap aneka topping seperti suwiran ayam, sosis, bakso yang diiris tipis, sedikit irisan kol dan selada sebagai sumber serat. Mama bahkan menyediakan dadar telur khas Jepang dan lalapan timun, tomat, selada. Tidak ketinggalan susu cair non fat dan jus buah mix sayur yang berganti setiap hari atau sesuai keinginan. Mama sangat memerhatikan keseimbangan gizi dalam makanan, hingga meja makan mereka selalu diisi menu makanan yang sesuai pedoman gizi seimbang. Kata mama, ia hanya mewarisi kebiasaan nenek yang dulunya memiliki latar belakang pendidikan gizi.

"Sa, Mama bungkusin bekel ya?" tawar mama.

"Jangan repot-repot, Ma. Mama kan capek bangun Subuh buat nyiapin sarapan?"

"Mama udah biasa kaya gini. Lagian, Mama bikin nasi gorengnya sengaja dibanyakin." Mama mengambilkan wadah Tupperware untuk diisi nasi goreng. Rupanya karena melihat ia tidak menyentuh nasi goreng, mama pun berinisiatif membungkuskan makanan itu sebagai bekal. Cessa memang seringkali cepat lapar saat bekerja karena aktivitas berpikir yang menguras otak. Jam sepuluh saja, ia dan staf divisinya sudah sibuk membongkar persediaan camilan masing-masing.

Cessa bertukar pandang dengan Nathan, mmenunjukkan ketidaksetujuan melihat rambut Nathan yang mulai dipanjangkan.

"Gitu deh, kalo anak kesayangan," ledek Nathan.

"Rambut kamu tuh, kaya apa banget deh. Dirapiin dikit, Dek." Cessa membalas ledekan Nathan.

"Style mahasiswa Teknik di mana-mana ya gini, Kak."

"Nggak semua ah. Dulu teman Kakak ada yang nggak gondrong." Cessa menggeleng-geleng kepala, melihat kaus abu-abu lusuh yang dipakai adiknya. "Trus kamu tuh ya. Kaus udah sobek gitu masih dipake."

"Ah, Kak Cessa bawel deh, persis kaya Mama."

"Nggak bawel, Nathaan. Kamu tuh ya nggak bisa bedain bawel sama perhatian?"

Mama menyela. "Mama udah nyerah nasihatin dia. Nanti ya kalo kamu tidur, Mama pangkas rambut kamu pake gunting tanaman."

"Galak amat." Nathan nyengir. "Ntar kalo rambutnya dipangkas, kekuatan Nathan bisa hilang dong."

Emang Samson?

"Ada aja jawabannya."

Cessa tersenyum melihat interaksi mama saat bersama Nathan. Perlakuan mama kepada Nathan sangat manis. Meski Nathan sering mengklaim bila ia cemburu melihat mama memanjakan dirinya, sedangkan menurut mama, dari semua anak, justru Nathan-lah yang paling ia sayangi karena alasan klise. Anak bungsu dan satu-satunya laki-laki. Dulunya, mama dan papa ingin memiliki dua anak saja. Makanya setelah anak kedua lahir yaitu Nara ternyata perempuan lagi, mereka bertekad untuk memiliki anak laki-laki. Saat mengetahui jenis kelamin bayi yang mama kandung, papa sangat bahagia.

Sebenarnya Cessa enggan mengingat sosok papa yang kini sudah tiada. Namun, setiapkali melihat Nathan, ia pasti mengingat papa. Wajah Nathan sangat mirip dengan papa.

"Kak, handphone-nya bunyi tuh."

Mereka sama-sama mendengar bunyi ponsel yang berasal dari kamarnya. Nathan meninggalkan meja makan untuk mengambil ponsel dan kunci motor, sekalian mengambilkan ponsel Cessa.

Berhubung Nathan bukan anak yang suka ingin tahu tentang dirinya, Nathan tidak melihat layar ponsel yang kini memunculkan nomor kontak Arion. Kalaupun Nathan melihat, tidak akan ada kecurigaan karena Cessa menulis nama kontak Arion dengan nama formal seperti template umum. Direktur Keu.

"Kak, Nathan tunggu di luar ya. Mau manasin motor dulu."

"Oke."

Cessa tidak perlu pamit kepada mama untuk menjauh saat menerima telepon, karena mama sedang berada di dapur. Tetap saja ia tidak mau ada yang mendengar ia bicara kepada Arion, jadi ia pun masuk ke dalam kamar. Sekalian merapikan tas yang akan ia bawa ke kantor.

"Kamu udah mau berangkat kantor? Saya udah di depan gapura perumahan kamu."

Arion menjemputnya?

"Maaf, Pak. Tapi saya mau bareng adik saya naik motor."

"Nggak bisa gitu, Ay. Saya udah belain jemput kamu."

"Bapak nggak bilang-bilang kan mau jemput?"

"Saya bilang kok, Ay. Malah tadi Subuh saya udah kirim WA sama nelepon kamu."

"Saya nggak sempat ngecek, Pak."

"Ya udah." Arion berhenti sejenak. "Kamu bilang aja sama adik kamu, kalau saya yang jemput. Saya udah mau sampai di rumah kamu."

Cessa menurunkan ponsel dari telinganya.

Jangan sampai Nathan dan mama mengetahui Arion menjemputnya.

"Gini aja, Pak. Jangan sampai ke depan rumah..."

"Saya udah di depan rumah kamu. Buruan, Ayana. Saya nggak mau kita sama-sama terlambat."

Cessa buru-buru masuk ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan berkumur-kumur. Ia merapikan sekali lagi riasan di wajahnya, menambahkan bedak dan memulas lipstik Wardah Mauve Mellow di bibirnya. Hari ini ia memilih menguncir rambut karena waktu menatanya relatif lebih cepat. Ia menyambar black stiletto Nine West menyesuaikan warna celana panjang hitam favoritnya. Blazer abu-abu ia sampirkan di lengan setelah menenteng tas tangan Kate Spade margaux medium satchel di tangan kanan.

"Ma, berangkat dulu. Assalamualaikum." Cessa mencium pipi kanan dan kiri mama lalu mencium tangan. Mama tidak mengantarnya sampai ke depan karena masih sibuk membereskan perlengkapan masak di dapur.

"Waalaikumsalam. Jangan terlalu capek."

"Iya, Ma. Pasti."

Nathan yang sedang duduk menunggu di kursi teras, langsung menegakkan badan saat Cessa keluar dari pintu. Cessa menolak dan mengatakan ia akan berangkat kantor bersama temannya.

Nathan mengiyakan dengan cepat setelah membalas ucapan salamnya. Anak itu pasti senang tidak perlu repot mengantarnya karena ia benar-benar tidak bertanya lebih lanjut siapa teman yang dimaksud Cessa. Segera setelah Cessa menjejakkan kaki di paving block halaman rumah, Nathan secepat kilat masuk ke dalam rumah.

Tidak lama terdengar suara Nathan lagi, kali ini sambil membawa kotak bekal.

"Kak Cess, bekelnya ketinggalan."

Cessa berbalik untuk menerima Tupperware jingga dari tangan Nathan. Wajah Nathan penuh rasa ingin tahu ketika melihat mobil terparkir di depan rumah.

"Siapa sih, Kak?"

"Udah kamu masuk aja sana." Cessa berbisik. "Jangan bilang sama mama, Oke?"

"Iya deh."

Bagus. Anak laki-laki memang lebih gampang diajak kerjasama. Tidak sekepo anak perempuan. Setidaknya, hal itu yang bisa Cessa simpulkan. Dari dirinya dan Nara, apalagi teman-teman terdekat di kantor. Jika kepo adalah sebuah gelar kehormatan setara Honoris Causa, maka akan begitu banyak perempuan di dunia ini menyandang gelar tersebut.

Ia tidak sempat berdebat dengan Arion sebelum memutuskan masuk ke mobilnya, karena waktu pagi itu terlalu mendesak. Membuang-buang waktu dengan berdebat, hanya akan membuat mereka sama-sama terlambat.

Wangi parfum Arion langsung menyerbu indera pembau Cessa. Sepertinya parfum baru, berbeda dengan yang ia pakai saat makan malam dan di beberapa kesempatan. Entah dari merek apa, ia tidak bisa menebak. Yang ia sadari semakin lama wanginya semakin menyeruak. Kesan yang ia rasakan, aromanya benar-benar menonjolkan sisi maskulin. Namun, bukan tipe parfum memabukkan seperti yang dipakai bapak-bapak di busway, yang dulunya sempat membuatnya mual dalam perjalanan ke kantor dan menimbulkan efek traumatis hingga kini. Meskipun mendingan aroma parfum seperti itu sih ketimbang bau badan kurang sedap yang sudah akrab di hidungnya pada jam-jam pulang kerja.

Eh, nggak ada yang mendingan deh. Dua-duanya sama saja.

Pagi itu, Arion mengenakan kemeja putih mahal yang jelas-jelas tidak dibeli di department store atau katakanlah Tanah Abang. Dasi merah yang ia pakai, bisa ditebak Cessa harganya juga tidak murah. Belum lagi jam tangan yang dari modelnya saja, Cessa bisa memperkirakan harganya.

Sejujurnya, ia tidak pernah bisa mengasosiasikan Arion dengan kata murah.

Ya kecuali sikapnya yang agak-agak gimana gitu.

Sepulang dari apartemennya, dalam keadaan mengantuk, Cessa menanyakan kepada mbah Google tentang kisaran harga pulpen yang di pakai semalam. Motif pulpen itu sangat unik. Ia mengetikkan merk Montblanc di kolom pencarian dan segera menemukan pulpen yang ia maksud. Montblanc Le Petit Prince and Fox bla bla bla.

1.135 dolar untuk sebuah pulpen. Fantastis! Selain harga yang membuat minder, ternyata pulpen itu pun ia personalize. Ada ukiran inisial AG di atasnya.

Siapa yang mau membuang-buang uang untuk sebuah pulpen?

Ya, jelas ada saja yang mau membeli pulpen sultan tersebut. Buktinya di situs resmi, produknya sudah out of stock dan ada pemberitahuan akan direstok lagi.

Pul-pen. Alat tulis, ATK yang di mana-mana bisa didapatkan dengan mudah, dengan harga murah. Pulpen seribuan mungkin jarang ya, atau mungkin tidak ada (ia bukan distributor ATK, jadi ia tidak tahu harga pasaran termurah untuk alat tulis berisi tinta itu). Setiapkali membuat invoice dan laporan Atk , harga selusin pulpen merek "XX" paling-paling berharga sekitar 30 ribuan. Ya, pulpen berharga jutaan sih, ia sudah pernah lihat dan pegang di mall. Merek yang sama yaitu Montblanc mengeluarkan beberapa jenis dengan harga yang sedikiit lebih bersahabat.

Tapi nyaris 20 juta untuk sebuah pulpen is impossible.

Ia penasaran apakah Arion pernah merasakan bunyi token listrik yang harus diisi, mencampur nasi dengan mie biar kenyang tahan lama, atau mengisi botol shampoo dengan air biar nggak mubazir?

Seperti idiom kid was born with silver spoon in his mouth. Anak yang terlahir dari keluarga kaya.

It means that one was born into a wealthy family and was therefore able to enjoy privileges and advantages that only wealthy can enjoy.

How is it possible?

The answer is destiny.

Takdir yang ibarat dua sisi mata uang bagi si kaya dan miskin.

Oh, well.

"Kamu kok diam aja?"

Suara Arion memecah keheningan yang tadi hanya terisi lagu-lagu dari playlist. Suara Adam Levine menyanyikan salah satu bagian.

Tell me, tell me, if you love me or not

Love me or not, love me or not

I'll bet the house on you, am i lucky or not,

Lucky or not, lucky or not

"Nggak mau ganggu. Biar Bapak konsentrasi nyetir."

"I have sex drive so don't worry about it." Arion menoleh kepadanya. "High sex drive," tambahnya.

Hih. Mulai lagi deh.

Ooh, ooh, ooh, oohbeen wishin for you,

Ooh, ooh tryna do what lovers do ooh

"Saya lagi nyobain parfum baru." Arion membuka topik pembicaraan baru. "

Oh. Pantas.

"Kamu udah tukerin voucher yang saya kasih waktu saya ulangtahun?" tanya Arion lagi.

"Belum." Pandangan Cessa tertumbuk pada genggaman jari-jari Arion di kemudi. Ia baru memerhatikan warna kulit Arion. Meskipun ada darah Italia mengalir di tubuhnya, kulit Arion sama saja dengan tipe kulit Indonesia pada umumnya.

Tapi, bukannya kulit bule juga biasanya memang kecokelatan ya?

"Adik saya sedang merintis bisnis parfum dan skincare. Rencananya baru akan launching bulan depan. Tapi untuk kantor, saya minta pre-launch exclusive package. Katanya hadiah buat saya. Khusus yang saya kasih ke kamu waktu itu yang versi Titanium. Ada extra Swarowski bracelet with aromatherapy dan satu lagi, saya lupa namanya. "

Khusus? Ia bahkan sudah lupa voucher kertas berwarna biru itu ia selipkan di mana.

"Mm, saya lupa voucher-nya saya simpan di mana," ungkap Cessa. Jujur, ia tidak mau di depan Arion ia menampakkan seolah-olah sangat mengharapkan hadiah darinya. Dengan begitu, Arion tidak akan berpikir ia mudah terpukau dengan pemberiannya.

Lagipula waktu itu ia kan masih kesal pada Arion?

"Kamu sering seperti ini ya? Nggak menghargai pemberian orang," ucap Arion, berubah ketus. "Adik saya bakal kecewa kalau tau limited edition voucher yang saya kasih ke kamu waktu itu kamu hilangin atau berakhir di tempat sampah."

"Nggak saya buang kok. Cuma nggak tau keselip di mana." Cessa lantas menyesali kejujurannya. Dari cara Arion berbicara, terlihat jelas ia seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya. "Maaf kalo gitu. Waktu itu kan saya masih kesal sama Bapak. Tapi, saya bisa pastikan voucher-nya masih ada."

Arion menolehnya lalu mengangguk pelan.

Entah mengapa, Cessa merasa menyesal melihat gestur Arion. Mungkin saja ia merasa kecewa. Mungkin Arion bisa menerima sikapnya yang cuek, tapi kalau berkaitan dengan adiknya, ia jadi lebih sensitif. "Pasti bakal saya tukar kok voucher-nya."

"Promise me."

"I promise."

Kali ini Arion terlihat senang. Senyumnya lebar, wajahnya cerah kembali. Cessa jadi penasaran bagaimana ekspresi wajah Arion jika ia mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Wajahnya akan sebahagia apa.

"Sebenarnya dia juga disiapin untuk jadi direksi, tapi untuk sementara dia mau punya bisnis sendiri," lanjut Arion setelah suasana kembali kondusif.

Punya privilege terlahir di keluarga makmur memang luar biasa efeknya. Rasanya mau bisnis apa saja mudah. Ya karena faktor privilege itu memudahkan dari segala aspek. Modal, promosi, dan lain-lainnya menggunakan jaringan Gunandhya Group yang menggurita, merambah hingga ke beberapa cabang bisnis.

"Eh, stop, stop." Cessa memerhatikan posisi mereka yang semakin dekat ke gedung Padma Tunggal.

"Saya nggak bisa parkir sembarangan," Arion tetap melanjutkan perjalanan, sementara Cessa mulai panik.

"Pak. Gimana kalau ketahuan?"

"Tenang aja. Saya kan hanya ngantar kamu?"

"Iya, tapi kenapa sampai ke kantor gini sih? Kalau dilihat orang gimana?"

Arion nyengir. "Ya baguslah dilihat orang, daripada dilihat Zombie kan kita bisa ketularan jadi Zombie juga."

Ngeselin emang.

Tanpa peduli, Arion terus menancap laju mobilnya yang kini telah melewati portal yang otomatis terbuka saat ia akan melewatinya.

"Nah, udah sampai."

Mobil Arion berhenti di parkir khusus direksi.

Ini maksudnya gimana?

"Ayo turun," ajak Arion seraya membuka seatbelt. "Bisa tolong ambilin jas saya di belakang? Sama tas kerja."

Cessa terbengong-bengong melihat sikap santai Arion.

Apakah Arion sadar kalau mereka itu berada di mobil yang sama?

Dan apakah Arion juga sadar kalau orang-orang akan bergunjing ketika melihat dirinya bersama seseorang. Dan terlebih lagi seorang perempuan yang turun dari mobil Arion adalah dirinya? Karyawan Padma?

Bayangan horor mulai memenuhi pikirannya.

Seorang karyawan terlihat turun dari mobil salah satu dewan direksi Padma Tunggal Resources. Apakah mereka terlibat hubungan terlarang? Atau hanya sebatas hubungan profesional saja?

Rasanya cukup seru untuk jadi headline news yang berarti sasaran empuk para pencari berita dan grup-grup ghibah berikut downline sampai strata terbawah perusahaan itu.

Ia masih cukup punya malu untuk menjadi bahan pergunjingan.

Oke, mungkin ia mulai kedengaran berlebihan.

Nggak semua orang akan sepeduli itu pada mereka. Ia seharusnya tidak perlu merasa sespesial itu. Hal terbaik yang bisa ia lakukan sekarang adalah turun dari mobil dengan sikap santai tanpa melirik kikuk ke kanan dan ke kiri, seolah-olah takut tertangkap basah.

"Saya nggak mau begini lagi." Cessa menutup pintu di sampingnya lalu merapikan blazer yang ia kenakan.

Arion malah melemparkan senyum kepadanya.

"Takut banget ketahuan, Bu Ayana?" ledeknya.

Ya iyalah.

Arion dengan santai menghampiri Cessa setelah mengunci mobilnya.

"Mau jalan bareng, Bu? Kebetulan saya lihat Ibu lagi sendirian. Pasti butuh teman." Arion melihat jam tangan. "Waktu absen tersisa 15 menit lagi. Kalo nggak jalan sekarang...,"

Cessa enggan mendengarkan ucapan Arion sampai selesai.

Emang ngeselin makhluk satu itu.

Kenapa nggak bilang-bilang sih mau diturunin di tempat parkir khusus direksi?

"Pagi, Pak Arion."

Ya Tuhaan. Kenapa juga Pak Alby nongol di situ?

Direktur marketing dengan iris mata berwarna biru, hidung super mancung, bibir tipis merah dan kulit putih pucat itu menatap mereka bergantian. Pak Alby nampak gagah dengan setelan jas hitam dan sepatu warna senada. Tangan kanan mengenggam ponsel dan tangan kiri menenteng tas kerja berwarna cokelat tua.

"Pagi, bu...,"

"Ayana." Arion yang menjawabkan untuknya. "Asisten manajer divisi saya, Pak Alby."

"Datang bersama-sama ya? Soalnya parkiran ini khusus direksi," kata Pak Alby saling bertukar senyum dengan Arion dengan logat khas ekspariat yang semakin fasih berbahasa Indonesia.

"Barengan dari rumah," jawab Arion santai.

"Oops." Pak Alby tertawa. "So you two...,"

"Tadi ketemu di jalan, Pak." Cessa rasanya ingin menangis saat berbicara kepada pak Alby. Ia tidak pernah mencekik batang leher seseorang. Namun, jika Tuhan merestuinya melakukan hari itu untuk mengisi buku amalan kebaikan, maka ia akan melakukannya kepada Arion.

Bukan di parkiran itu karena pastinya akan terlalu mencolok perhatian orang-orang.

"Saya memang suka memanjakan staf saya, Pak Alby. Apalagi yang perempuan. Kalau saya manjain yang laki-laki, nanti tuduhannya lain lagi."

"Oke kalau begitu. Let's go. We're late now."

"Almost."

Pak Alby dan Arion saling menyatukan kepalan tinju, seperti salam sesama teman yang biasanya diakhiri sapaan Bro.

Wassap bro. Hey ya bro.

Cessa berjalan mengekor di belakang dua direktur lajang yang sama-sama memiliki tubuh tinggi atletis. Namun, tubuh pak Alby sedikit lebih gempal berisi. Ayana teringat dengan postur tubuh Sam Claflin di film Love, Rosie, kendati wajah pak Alby lebih mirip James Franco jika rambutnya lebih dirapikan.

"Psst."

Cessa tersenyum kikuk kepada Jenn yang langsung menggandeng tangannya.

"Serius deh lo. Dari jauh lo kaya ibu-ibu pemegang saham yang didampingi dua bodyguard tampan dan seksi, tau nggak?"

Pagi itu riasan wajah Jenn didominasi tone warna hangat untuk kulit eksotisnya. Bibirnya dipulas implora cokelat, kelopak matanya mencuatkan warna cokelat dengan sentuhan terakota. Pipinya yang memiliki tulang pipi tinggi memunculkan semburat peach.

"Lo datang dari arah mana sih?"

"Ya dari parkiran basement dong say." Jenn menyapa staf yang juga sibuk mengejar waktu menuju lift.

Sehari-hari ia mengendarai mobil Honda Brio merah-nya. Kadang juga naik transportasi online. Tapi, mungkin karena hari itu rambutnya baru, dan Jenn nggak mau rambutnya rusak diterpa polusi jahat, ia memilih naik mobil.

Sementara itu, dua laki-laki di depan mereka mengobrol dengan bahasa bercampur antara bahasa Indonesia dan Inggris. Aksen pak Alby Scottish banget, sementara Arion lebih ke aksen Aussie yang kadang berpindah ke aksen internasional. Seperti yang diterangkan Sacha Stevenson ketika membedah bahasa Inggris artis atau figur publik. Aksen Arion itu kadang kedengaran seperti Agung Hapsah, kadang seperti Boy William.

"Kirain ngomongin bisnis, taunya ngomongin Formula One." Jenn mengibas rambut cokelat dengan gradasi raisin brown.

"Rambut lo cantik banget asli, Jenn."

Sejenak, perhatian Cessa terpusat pada model dan warna rambut Jenn. Asli bagus banget. Jenn belum menjelaskan bagaimana ia mengubah tampilan rambutnya, apakah di salon atau dicat sendiri di rumah. Sewaktu annual meeting rambut Jenn masih berwarna hitam tanpa ombre.

"Gue warnai sendiri. Abis nyobain produk L'oreal yang kayanya bagus banget."

Cessa dan Jenn buru-buru melangkah masuk ke dalam lift bersama staf. Tiga orang staf urung masuk ke dalam ketika dua direktur yang masih larut dalam obrolan nyaris ikut masuk ke dalam lift untuk staff.

Biasanya direksi menggunakan lift khusus. Namun, ada plang pemberitahuan jika lift-nya sedang diperbaiki alias rusak. Jadilah, lift untuk staf dipakai untuk atasan mereka juga.

"First race is in Melbourne, right?" Pak Alby tertawa. "You're a traitor. You're an Italian, but you weren't supporting Ferrari. Saya Tifosi, saya dukung Ferrari. Raikkonen was awesome in Monza."

"Saya tetap dukung Hamilton," kata Arion.

Percakapan mereka benar-benar seru kedengarannya.

Jenn berbisik. "Nggak ngerti deh, bagusnya olahraga kaya gitu gimana? Bertrand juga suka." Jenn menyebutkan nama tunangannya. "Memang sih kalo cowok gitu. Kalo nggak ngomongin bola, ngomongin MotoGP-lah, F1-lah. Bosen kan?"

"Mendingan gitu kan daripada ngomongin cewek?" goda Cessa. "Nah lo pilih yang mana?"

"Mending cium sih kalo gue." Jenn memeletkan lidah, tersipu malu.

"Sama aja sih kalo misalnya yang lo omongin soal make-up, shopping, hal-hal semacam itu. Ya cowok juga gitu, bakal bosen."

Jenn memilin ujung rambut ombre-nya. "Iya juga sih."

Ting!

Dentingan lift menunjukkan angka 5. Lantai 5 adalah lantai di mana divisi marketing berada. Pak Alby turun diikuti beberapa karyawan. Menyisakan mereka bertiga plus dua orang lagi staf bagian tax, Mimi dan Lusi yang tadi disapa Jenn.

Sekali lagi, lift berbunyi saat tombol angka 8 berwarna merah. Arion keluar lebih dahulu karena sejak tadi posisi berdirinya paling depan, mengingat ia sebagai direksi, jadi mereka mengambil posisi di belakangnya. Mimi dan Lusi berjalan beriringan menuju meja tempat fingerspot, untuk mengisi kehadiran pagi, sementara ia dan Jenn berhenti sejenak, menunggu giliran menggunakan mesin absensi online tersebut.

"Saran gue kalo lo mau warnain rambut, mending sekalian dipotong rambutnya. Dikit aja." Jenn memegangi rambut barunya dengan hati-hati sebelum mengisi absensi. Rambut yang dibiarkan tergerai rupanya sedikit merepotkan.

"Gue pernah sih nyoba yang ash brown," ucap Cessa. Kini gilirannya melakukan absensi menggunakan sidik jari.

"Ya udah itu aja."

Cessa menoleh ke belakang, dan melihat Arion sedang melakukan absensi. Sejak masuk gedung, ia dan Arion tidak pernah lagi berinteraksi satu sama lain. Ia berdiri sejenak, menunggu sampai Arion selesai dengan mesin fingerspot.

Mengapa? Refleks saja.

"Eh, lo kenapa bengong di situ?" Jenn menggandeng Cessa lagi, lalu membalas senyum Arion yang melewati mereka menuju ruang kerjanya. Arion menggumamkan kata yang kedengaran seperti kata 'duluan'

"Nggak apa-apa kok. Yuk." Cessa mengikuti langkah Jenn.

Memasuki ruangan staf, Gya dan Ala mengobrol di meja Firman. Mereka menyapa dirinya dan Jenn, kebiasaan setiap pagi atau kapan saja bertemu. Mereka mengobrol tentang kegiatan outing di Bogor kemarin. Kegiatan selama 4 hari itu ditutup dengan jalan-jalan yang terasa begitu meriah.

"Awal tahun. Target baru, semangat baru."

Jenn menuju ke kubikel, begitupun dengan Cessa.

Direktur Keu : Brunette looks good on you. Jgn potong rambut ya


Cessa mengklik foto yang dikirimkan Arion sebagai referensi katanya.

Jadi sejak tadi, ia menguping?

Cessa : Bapak sukanya nguping ya?

Direktur Keu : Soalnya cewek biasanya suka gosip

Cessa harus mengiyakan mesti dengan berat hati.

Handbag Kate Spade yang ia letakkan di atas meja, ia periksa. Cessa teringat kotak bekal jingga yang diberikan oleh Nathan.

Kok sekarang tidak ada?

Direktur Keu : Kamu nggak ngerasa kelupaan sesuatu? J

Selang beberapa detik, Arion mengirimkan gambar kotak bekal yang sedang ia cari-cari.

Cessa : Kok bisa?

Arion mengirimkan foto isi kotak bekal tersebut.


Direktur Keu : Kamu yang masak?

Cessa : Bukan. Mama yg masak

Direktur Keu : Enak juga ya?

Cessa : dimakan?

Direktur Keu : Cuma nyicip, kalau mau ke sini saja

Cessa : Kenapa dimakan? Bekal itu kan punya saya?

Direktur Keu : Kamu gak mungkin nyamperin ke sini, saya juga begitu. Jd saya makan saja

Cessa tidak lagi bersemangat membalas chat Arion. Padahal nasi gorengnya enak banget, pake telur dadar kesukaannya...

"Eh, Cess."

Sontak Cessa terkejut. Untung ponselnya tidak lepas dari tangan.

Gya menatapnya dari balik kubikel. "Dari tadi lo sibuk ngetik apaan sih?"

"Nggak. Nara, adik gue."

"Ooo gitu." Gya mengangguk. Suara ketikan di laptop terdengar berpadu senandung. "Dududu Astro bentar lagi comeback!!"

So easy to love you

So easy to love you

Nu ni bu syo gorgeus babe

Direktur Keu : Ay?

"Gue nggak suka dipanggil gitu!"

Gya menoleh lagi ke kubikel Cessa.

"To la la love ya, ooh ooh aah baby." Gya menyambung senandungnya.

Cessa langsung mematikan ponsel dan segera menyibukkan diri. Pekerjaan pagi itu masih banyak. Ia tidak suka buang-buang waktu apalagi untuk hal yang tidak penting.

***

Chat is undelivered.

Tidak ada tanda centang dua.

"Sayang, kamu ngambek ya?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro