19. Heartbreak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Cessa tidak mengerti mengapa akhirnya ia setuju untuk bertemu mama Arion.

Mungkin karena ia sendiri penasaran bagaimana sosok beliau yang merupakan isteri CEO Padma Tunggal. Cessa hanya pernah melihat kehadirannya dalam acara-acara yang berkaitan dengan perusahaan, misalnya ulangtahun perusahaan, peresmian pabrik baru hingga acara bakti sosial.

Dalam bayangannya, sosok Trisa Gunandhya tidak akan jauh berbeda dari penampilan ibu-ibu sosialita lainnya yang kerap muncul di majalah Harper's Bazaar atau liputan lifestyle di TV dalam tayangan infotainment maupun kanal Youtube. Ia sampai rela menonton beberapa video di Youtube yang menunjukkan profil Trisa Gundandhya hingga kesehariannya. Dan memang tidak banyak yang bisa ditampilkan. Beliau tergolong sosialita yang tidak begitu suka terekspos media. Hal yang akan sama sekali berbeda jika anak atau menantunya merupakan selebritis tanah air yang nyaris setiap hari wara-wiri di TV. Mereka bahkan punya program khusus. Bagaimana ia bisa tahu? Mama salah satu penggemar pasangan selebritis berinisial RA dan NS tersebut. Mulai acara TV hingga vlog di Youtube, hampir semua telah ia ikuti. Jika ada kuis mengenai sejauh mana kamu mengenal selebritis favoritmu, mama mungkin bisa jadi salah satu kandidat pemenang. Ia tidak pernah mengurusi kebiasaan mama tersebut, meskipun menurutnya, ia cukup bosan jika celotehan mama seringkali hanya seputar pasangan selebritis tersebut.

"Mama udah nunggu."

Hah? Menunggunya?

Setelah memberinya sedikit shock therapy, Arion lalu menyapa dua orang sekuriti yang tengah berjaga di pos penjagaan.

Luas, hijau dan bersih adalah kesan pertama di mata Cessa saat mobil Arion melewati gerbang tinggi dan memasuki halaman rumah. Halaman rumah yang ditanami aneka tumbuhan hijau memberi kesan natural.

Cessa bertanya-tanya apakah Arion kecil pernah bermain di sekitar situ kemudian tercebur di dalamnya.

Sebuah kolam air mancur raksasa terletak di tengah-tengah taman semakin menambah kesegaran. Sebuah gazebo kayu berdiri di salah satu sudut taman. Tanaman merambat yang ditumbuhkan di sekitar gazebo membuatnya pun berpikir-pikir, apakah taman tersebut terbebas dari ular atau reptil lainnya.

Atau, apakah keluarga mereka masih punya waktu duduk bersama di gazebo itu?

Mengapa pertanyaan seperti itu melintas di benaknya?

Entahlah.

Ia hanya berasumsi setelah mendengar cerita singkat Arion jika keluarga mereka jarang berkumpul karena kesibukan masing-masing.

"Ma? Mama?" panggil Arion ketika mereka berada di ruang keluarga.

Cessa menahan mulutnya tidak menganga lebar-lebar menyaksikan desain di dalam rumah tersebut. Bukan kemewahan yang dipenuhi warna keemasan dan hal megah ya. Rumah itu bergaya minimalis. Namun, penataan perabotan dan permainan warna di dalamnya sangat cantik. Ia penyuka warna monokrom. Meski, ia tidak bisa memungkiri, penambahan warna-warna terakota dan cokelat, hasilnya jauh lebih indah.

Ia paling suka dengan sofa yang disusun memanjang. Rasanya pasti empuk duduk di sana berjam-jam, entah sambil mengobrol, membaca buku atau menonton TV.

"Mama lagi di halaman belakang, sepertinya."

Dan benar saja. Saat mereka ke halaman belakang, sosok seorang perempuan yang Arion panggil dengan sebutan mama, sedang duduk di sebuah kursi panjang sambil membaca sesuatu. Sepertinya buku tebal.

Breaking Dawn?

Ng, apakah mama Arion penggemar Twilight series? Di atas coffee table tergeletak buku Twilight series. Twilight, New Moon, dan Eclipse edisi bahasa Inggris. Cessa mengenali dari gambar sampulnya yang didominasi warna hitam dan benda-benda berbeda di tiap seri. Apel, pita, bunga, dan pion catur.

"Kamu kelamaan datengnya, jadi Mama nunggu sambil baca buku."

"Bujuknya lama, Ma."

Arion berkata sambil menolehnya. Dan tersenyum.

Astaga, mengapa Arion harus sejujur itu sih? Kan ia jadi malu?

"Kenalin, Ma. Ayana."

Tanpa basa-basi, Arion mengenalkannya kepada sang mama.

Wajah cantik khas wanita Indonesia. Kulit kuning langsat, serta bentuk wajah oval dengan dagu runcing. Tidak seperti wajah mama yang lebih bulat dan flek yang memenuhi daerah pipi, wajah perempuan anggun ini lebih mulus dan kencang. Jenis kecantikan yang hanya bisa diwujudkan melalui perawatan bulanan yang mahal.

"Namanya cantik." Tante Trisa memandanginya beberapa detik saat mereka berjabat tangan. "Kenapa Ayana baru datang sekarang? Ayana sudah lama kenal Arion?"

"Gimana sih, Ma. Kenapa namanya aja yang dipuji?" Suara Arion terdengar seperti sebuah protes.

"Mama nggak begitu suka muji wajah orang yang cantik. Takut dia besar kepala."

Cessa tidak tahu harus tertawa atau tidak. Tante Trisa sedang bercanda, bukan?

Tidak lama, senyum terbit di wajah Tante Trisa.

"Appearance nggak begitu penting. Yang penting kan hatinya?"

Sejauh ini, respon Tante Trisa cukup baik.

"Kalian sudah lama pacaran?" Ia bertanya lagi.

Cessa tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia sendiri tidak tahu sebenarnya bagaimana harus menjelaskannya. Jika ia bilang mereka saling menyukai satu sama lain, tapi tidak membuat komitmen, apakah hal itu masih bisa dihitung sebagai sebuah hubungan?

"I'm in love with her dan Ayana juga begitu." Arion menambahkan dengan yakin. "Pacaran nggak begitu penting."

Sembarangan. Mana pernah ia bilang cinta? Arion juga sih nggak pernah ngomong I Love You atau aku mencintaimu. Hubungan mereka hanya perasaan sayang yang saling berbalas. Namun, seharusnya hal itu bukan masalah.

"Jadi, sudah ada rencana menikah?"

"Pelan-pelan dong, Ma, nanyanya."

Tante Trisa menghela napas. "Usia kamu sudah nggak mungkin hanya ngomong soal pacaran, Ri. Kalau kamu ke sini bareng Ayana, asumsi Mama, dia calon isteri kamu. Kamu nggak mungkin dong bawa cewek ke sini hanya untuk dikenalin sebagai gebetan kamu."

Wow. Gebetan. Tante Trisa gaul juga ya?

Ah tentu saja gaul. Bacaannya saja Twilight Series, bukannya biografi tokoh dunia. Atau buku resep bu Sisca Soewitomo.

"Lagipula terakhir kali Mama bilang, kalau perempuan yang kamu bawa ke rumah, adalah perempuan yang serius pengen kamu nikahi."

"Aku sayang sama dia, Ma."

"Then marry Ayana."

Tante Trisa mengucapkannya dengan santai.

"Of, course. Aku harus minta restu mama dulu dong."

"Mama sih ikut saja kemauan kamu." Tante Trisa melangkah menuju ruang keluarga dan duduk di salah satu sofa tunggal. "Nggak tau Papa kamu gimana."

Cessa merasakan jemari Arion mencari telapak tangannya dan meletakkan di atas paha Arion yang terbungkus jins hitam.

Obrolan semakin panjang setelah Cessa membicarakan tentang latar belakang keluarganya. Sepanjang ia bercerita, Arion tidak pernah melepaskan genggaman tangannya. Mereka sesekali berpandangan lalu kembali memusatkan perhatian kepada Tante Trisa yang balik bercerita tentang keluarga mereka.

Bukan tentang bisnis maupun harta kekayaan yang mereka miliki. Tante Trisa hanya bercerita tentang masa kecil dan masa sekolah anak-anaknya, serta kesibukan mereka masing-masing saat ini. Semakin menunjukkan kepribadiannya yang low profile.

Meskipun tetap saja kisah masa kecil hingga dewasa mereka terasa extra ordinary apalagi mereka semua kuliah di luar negeri. Di universitas-universitas bergengsi pula.

"Ayana sudah pernah ketemu sama papanya Arion?" Pertanyaan Tante Trisa tersebut terdengar sopan. Sama seperti tadi. Ketimbang menggunakan panggilan kamu, ia memilih menyebutkan namanya.

"Belum, Tan."

"Nanti deh, Mama tanyain kapan Papa kamu ada waktu untuk ketemu kalian. Papa lagi di New York sekarang."

"Jadi, Mama setuju sama hubunganku dengan Ayana?"

"Kalau kamu suka, Mama pasti merestui. Hanya saja, soal restu dari papa kamu, Mama nggak bisa mengira-ngira."

Apakah itu artinya, kemungkinan besar mereka bisa berjodoh. Atau bisa juga tidak.

"Mama akan coba ngomong sama papa kalau papa sudah pulang. Mama akan bilang, kalau Mama sudah dapat calon menantu yang cantik dan pintar. Seperti yang Mama inginkan." Tante Trisa mempersilahkan mereka minum teh. "Abis ini, Mama mau ajak Ayana ke tempat favorit Mama. Biar ngobrolnya lebih santai."

***

Cessa harus mengatakan jika ruangan yang mereka masuki kali ini adalah salah satu tempat terbaik yang ia datangi seumur hidupnya. Mereka seolah berada di perpustakaan di dalam negeri dongeng. Karena dinding perpustakaan luas tersebut dihiasi mural dari beberapa karakter film.

Harry Potter, Twilight, karakter Disney seperti Rapunzel dan Cinderella juga ada di sana. Sedangkan langit-langit tinggi yang menaungi mereka dilukis menyerupai langit biru. Kata Tante Trisa, langit biru tersebut merupakan hiasan tangan seorang pelukis yang mereka datangkan langsung dari Roma. Sedangkan mural di dinding yang colourful tadi dilukis oleh dua orang ilustrator asli Indonesia yang memang ahli dalam membuat karya semacam itu.

"Kami sekeluarga suka baca buku. Tapi, yang paling kutu buku di antara semuanya ya Mama," jelas Arion.

Langkah Cessa terhenti pada deretan buku-buku tebal yang kelihatannya berusia cukup tua.

"Maybe you need a book trolley?"

Tante Trisa menunjukkan sebuah troli yang didesain seperti meja di bagian atasnya. Bukan seperti keranjang di swalayan. Benda itu mungkin sedikit mirip dengan kereta yang dipakai waiter restoran untuk membawa makanan dan minuman yang akan disajikan kepada pelanggan.

Seorang gadis berpakaian rapi yang entah datang dari arah mana, mendorong book trolley ke arahnya. Ia mengenalkan dirinya dengan sopan. Cessa menebak usia gadis muda itu sekitar 24 atau 25 tahun.

"Eh, ini...maksudnya apa ya?"

"She's a librarian."

"Saya nggak tau kalau perpustakaan ini punya pustakawan?"

"Temporary aja. Dia asisten Mama, tapi kalo Mama masuk ke sini, dia kadang ikut ke sini juga. Apalagi kalau ada tamu." Arion mengambil sarung tangan karet dan lap putih dari atas trolley. "Kamu mau saya ambilkan buku yang mana?"

"Kenapa harus pakai sarung tangan?"

"Karena rak yang ini isinya buku-buku langka semua. Kondisinya bisa jadi sudah banyak debu dan rapuh. Sebenarnya kalau mau aman, harus pakai masker juga." Arion menyodorkan sebuah masker kain.

"Nggak deh. Saya hanya lihat-lihat saja nggak pengen baca," jawab Cessa. Ia lalu berjalan ke rak yang terletak beberapa meter dari rak buku tua tadi. Ia berhenti di rak dengan tulisan English fiction dan segera menemukan buku-buku dari penulis populer. Stephen King, Sydney Sheldon, dan penulis-penulis fiksi senior. Bergeser ke sebelahnya adalah koleksi novel Young Adult and teen literature. Di rak yang berhadapan dengan English fiction, ia menemukan Fiksi Indonesia. Ia memindai buku-buku itu satu-persatu. Metropop dari sebuah penerbit besar di Indonesia, yang jumlahnya puluhan berderet rapi.

Ia mengambil satu buku yang paling baru.

Bahkan cetakan terbaru bulan lalu, juga ada di sini.

Gunandhya Group memiliki ekspansi bisnis hingga ke penerbitan buku. Mungkin hal itu bisa menjawab, mengapa begitu banyak buku yang ada di sana.

"I guess this is your most favorite room." Arion mengucapkannya dengan sorot mata berbinar. "Saya nggak pernah lihat kamu se-excited ini terhadap sesuatu. Waktu saya ajak kamu makan malam, respon kamu biasa saja. Tahu begini, dari dulu saja, saya ajakin kamu ke sini."

"Apa segitu mudahnya Bapak bawa perempuan ke rumah ini?" tukas Cessa. "Lagian, saya juga nggak mungkin sembarangan datang ke rumah Bapak hanya untuk baca buku."

Arion menggeleng. "Bukan. Maksud saya, seandainya sejak dulu saya berani deketin kamu. Mungkin sekarang kita udah nikah dan punya anak."

Cessa mendengus. "Kenapa malah jadi bahas soal itu?"

"Karena saya ingin bahas soal itu." Arion bersikukuh.

"Bapak serius soal menikah dan punya anak?"

"Menurut kamu?"

"Kebiasaan nanya balik," keluh Cessa. Dan seperti biasa, ia akan memilih terdiam sampai Arion menjawab pertanyaannya.

"Saya ajak kamu ketemu mama saya, karena saya butuh dukungan. Dan, ya. Saya mau serius nikah sama kamu." Arion tersenyum menggoda. "Dan punya anak dari kamu. Kamu tau kan, bagian pembuahan selalu jadi bagian favorit saya? Jutaan sel sperma di dalam testis saya sudah siap membuahi ovum di tubuh seorang perempuan bernama Ayana Princessa. "

Rasanya Cessa ingin menggetok kepala Arion dengan buku jika ia mulai berbicara menyerempet ke arah vulgar. Sepertinya sewaktu sekolah dulu, ia lupa mengambil kursus kepribadian bagaimana berbicara sopan dan beretika.

"Bapak pasti yang suaranya paling kencang di kelas waktu belajar reproduksi manusia." Cessa mencibir.

Ia teringat sewaktu duduk di bangku sekolah. Setiapkali guru IPA atau guru Biologi SMA mengajarkan materi sistem reproduksi manusia, suasana dalam kelas seringkali riuh oleh suara siswa laki-laki saat guru membahas tentang organ-organ reproduksi dan cara kerja sistem tersebut.

Arion nyengir. "Nggaklah. Saya orangnya nggak banyak ngomong, tapi langsung action. Practice makes perfect."

Cessa bergidik. Laki-laki ini bangga banget jadi petualang (ber)cinta.

Saat suasana kembali stabil, Arion kembali berbicara.

"Kamu pasti bakal betah lama-lama di sini."

Tebakan tepat.

"Saya malah bisa makan dan tidur di sini sambil puasin baca buku." Cessa mengambil satu buku lagi.

"Kamu suka baca novel?" tanya Arion. Ia mengambil salah satu buku Stephen King. "Saya udah lama banget nggak baca fiksi."

"Hmm. Iya."

"Finance and accounting, business, motivation and hobbies ada di rak lain." Arion menggandeng tangannya tanpa meminta persetujuan.

Cessa mengikuti langkah Arion yang terhenti di rak Non Fiction. Ternyata buku yang ada di sini juga lumayan banyak jumlahnya.

"Ini tempat favorit papa." Arion menunjuk satu kursi dan meja sempit. "Dulu waktu struggle di masa-masa sebelum jadi CEO, Papa bisa seharian di sini."

Cessa mengangguk-angguk.

"Ay."

"Hmm ya?"

"Kamu bantu doa ya biar Papa merestui hubungan kita?"

Cessa memandangi buku di tangannya. Deretan kata yang tersusun indah itu ia baca tanpa suara.

"Bukankah lebih baik, hubungan saya sama Bapak diperjelas lagi?"

"Maksudnya?"

"Kalau Bapak memang serius sama saya, seharusnya kan Bapak menemui mama saya dulu."

"Saya hanya mau mastiin dulu bisa dapet restu dari orangtua saya."

"Bapak seyakin itu ya kalo mama saya akan menerima Bapak sebagai menantu?" Cessa mendesah. "Saya nggak mau Bapak melihat saya sama mama saya hanya orang biasa, jadi dengan mudah menerima lamaran Bapak."

Cessa melanjutkan.

"Saya sama Bapak harus saling mengenal keluarga masing-masing dengan baik sebelum memutuskan menikah. Orang-orang menyebutnya penjajakan."

Arion memerhatikannya bicara tanpa menginterupsinya.

"Baik. Secepatnya saya akan menemui mama kamu." Arion mengusap pipi Cessa dengan lembut. "Tapi setelah ngomong ke Papa. Papa harus tahu kalau kamu adalah pilihan saya."

Cessa mendadak diserang gugup. Perutnya mulas saat Arion mengendus lehernya. Ada gelenyar aneh saat Arion mulai menciumi rahangnya kanannya.

"Pak?" Cessa menjauhkan diri sebelum Arion beralih ke rahang kirinya.

"Hmm." Arion menggeram saat Cessa mendorong lembut kepala Arion menjauh dari lehernya. "Saya cuma mau ngendus aroma parfum kamu."

"Kenyataannya nggak begitu. Kalau dibiarin, lama-lama makin menjadi," gerutu Cessa. "Bapak kenapa sih nafsuan gitu setiap melihat saya?"

"Nggak tau. Setiap melihat kamu, alarm di otak saya selalu berbunyi." Arion tertawa melihat wajahnya. "Kaya gini. Mesumin dia. Mesumin dia. Mayday."

"Selalu mikirin seks, bikin otak tumpul."

"Teori darimana? Justru sering memikirkan seks itu sehat, Ay. Apalagi kalo dilakukan. Seks selama 30 saja menit bisa membakar sekitar 200 kalori. Menjaga sistem imun dan kesehatan jantung. Terutama meningkatkan kebahagiaan. Semua orang pengen hidup bahagia kan?"

Cessa menatap Arion. "Ngomong sama pakar seks emang beda ya?"

"Beda. Pakar seks itu kaya Dr. Boyke. Kalau saya lebih ke eksekusinya."

"Kalau saja isi kepala Bapak bisa dibedah, sudah pasti isi memorinya 90% dominan seks."

Arion terkekeh. "Imbanglah, Ay. Urusan kerjaan sama urusan pribadi. Kalau buat saya, 90 % bukan sex, tapi tentang kamu. Mau tidur sama bangun tidur, saya hanya mikirin kamu."

"Gombal banget. Pasti nggak gitu."

Arion mendekap pinggangnya. "Kalo kamu jadi saya, kamu bakal ngerasain sendiri gimana sakitnya jadi saya selama ini yang selalu kamu cuekin."

Cessa melepaskan dekapan Arion. "Saya kan perempuan. Wajar kalau saya nyuekin Bapak karena saya nggak mau dianggap ngejar-ngejar Bapak."

"Trus kenapa akhirnya kamu mau sama saya?" Arion meraih lagi pinggangnya. "Jangan dilepas dong, Ay. Saya suka melukin kamu sambil ngomong."

Iya, tapi saya nggak mau sampai bapak tahu betapa kencangnya debaran jantung saya.

"Ya karena saya nggak bisa menghindari Bapak lagi."

"Kamu mau bilang kamu terpaksa? Jahat banget kamu, Ay." Kali ini Arion menjalari punggungnya dengan sentuhan. "Kamu tipis banget deh. Banyak makan biar saya meluknya lebih enak."

"Jangan dipeluk, makanya."

Cessa melangkah menjauh meninggalkan Arion.

"Ya udah."

Cessa teringat untuk menanyakan sebuah pertanyaan yang menurutnya sangat penting. Ia memerlukan jawaban yang memuaskan. Karena hubungan mereka serius, ia butuh memastikan Arion tidak memiliki hubungan dengan perempuan lain.

"Satu pertanyaan dari saya ke Bapak. Apakah Bapak nggak punya hubungan dengan perempuan lain selain saya?"

Arion menggaruk tengkuknya.

Pertanda kegelisahan?

"Jujur aja, Ay. Saya sebenarnya nggak mau kamu meragukan perasaan saya ke kamu. Mungkin saya nggak begitu menganggap komitmen itu hal yang penting. Tapi...,"

"Tapi apa, Pak?"

"Ay, bisa kan nanti aja kita bicarain soal ini?" Arion mengusap pipinya dengan lembut. Arion selalu membujuknya dengan cara itu.

Cessa menurunkan tangan Arion yang membelai-belai pipinya.

"Saya nggak mau salah memberikan hati saya ke Bapak. Saya hanya butuh keseriusan Bapak."

"Kenapa kamu meragukan perasaan saya? Saya serius sama kamu."

Mudah saja bagi seseorang untuk berucap. Lidah bisa berbohong, menyatakan segala sesuatu yang bisa berarti jujur atau dusta.

Suara deheman Tante Trisna membuat mereka sama-sama terdiam.

Sudah berapa lama ia mendengar percakapannya dengan Arion?

"Arion. Mama nggak mau kamu bermain-main dengan perasaan perempuan. Ayana butuh keseriusan kamu."

"Ma, saya serius sama perasaan saya."

"Kalau serius, kamu jangan main-main lagi dengan perempuan lain. Dan segera temui orangtua Ayana." Tante Trisna mengusap punggung Cessa. "Tante nggak akan mencampuri hubungan kalian. Cuma, kalian bisa sama-sama berproses dalam hubungan ini. Jodoh nggak ada yang tahu. Tapi kalau memang niatnya baik, pasti akan dimudahkan."

Setelah Tante Trisna berlalu, meninggalkan mereka berdua, Cessa merasa saat itu adalah saat terbaik untuk memperjelas semuanya.

"Saya hanya mau bilang kalau niat Bapak dari awal memang nggak murni ingin membangun rumahtangga, tapi karena Bapak hanya ingin memenuhi kebutuhan biologis Bapak, iya kan?"

"Kamu kok nuduhnya sadis banget, Ay? Saya memang udah nggak sabar untuk bawa kamu ke tempat tidur bersama saya. Tapi saya ingin nikah sama kamu karena saya cinta sama kamu. Saya sayang sama kamu." Arion menatapnya tajam. "Daripada saya lampiasinnya ke perempuan lain, kan lebih baik ke kamu?"

Hal yang berulangkali Cessa dengar dari alasan seorang laki-laki untuk menikah.

"Bapak yakin bisa jadi suami yang bertanggungjawab? Gimana kalau suatu saat Bapak ketemu sama perempuan lain yang lebih menggoda, cinta Bapak ke saya jadi hilang, dan Bapak kemudian mencampakkan saya?"

"Ay, aku nggak suka kamu ngomong begini."

"Aku?"

"Aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Aku mau kamu jadi isteri aku, Ayana." Arion tersenyum. "No saya-saya lagi, Aya."

"Soal perempuan lain, gimana?"

"Aku butuh waktu soal itu."

"Jadi, siapa?"

Arion enggan menatap Cessa.

"Aku nggak mau kita berantem soal itu, Aya." Arion menambahkan. "Aku butuh seks, oke? Dan aku juga waktu itu pengen banget ngelupain kamu. Jadi, aku hubungin Carol. Dan dia juga lagi nggak sama siapa-siapa."

Cessa membuang napas panjang. Ia bergegas meninggalkan pijakannya.

"Ay, aku nggak serius sama dia. Kami cuma have fun aja."

"Sama saya juga gitu kan, Pak? Cuma dianggap mainan doang."

"Ay, please. Harusnya kamu ngerti aku gimana. Aku udah gini sebelum ketemu sama kamu."

"Ya. Dan saya juga salah satu yang udah having sex sama Bapak."

"We were making love, Ay." Arion mencekal sikunya, memaksanya berhenti. "Jujur saja, Ay. Aku waktu itu sepenuhnya sadar. Aku ngelakuin semuanya sama tubuh kamu dalam keadaan sadar." Arion menjelaskan. "Karena waktu itu aku nggak mau kamu makin marah dan menjauhi aku. Jadi aku bohong di bagian aku mabuk itu."

"Jadi Bapak sengaja? Bapak sengaja manfaatin saya yang lagi mabuk?" Cessa melepaskan cekalan Arion dengan sekali sentakan.

"Saya nggak punya pilihan lain, Ay. Saya udah lama suka sama kamu. Malam itu, saya lagi frustrasi, papa marah karena skandal foto-foto liburan saya sama Annette beredar. Papa maki-maki saya, Ay. Dia bilang saya sampah, nggak berguna. Gak bisa jaga nama baik keluarga. Jadi saya maksa kamu ke apartemen saya malam itu dengan dalih bawain laporan. Dan selebihnya seperti yang sudah saya ceritakan ke kamu."

Cessa mengerjapkan kedua matanya.

Ternyata Arion sebrengsek ini. Ia menyayangi laki-laki yang ternyata telah menjadikannya sebagai bagian dari kesenangannya bermain dengan perempuan.

Bajingan. Brengsek. Asshole.

Rasanya ia ingin meneriakkan semua umpatan yang berkeliaran dalam otaknya. Menumpahkan segala sumpah serapah. Untuk laki-laki yang pernah berjanji tidak akan mempermainkan dan menghancurkan perasaannya. Namun, seakan menjilat ludah sendiri. Arion kembali menyakitinya, kali ini dengan rasa sakit yang lebih perih.

Seharusnya ia menampar Arion.

Tapi rasanya tidak perlu.

Bahkan telapak tangannya pun tidak ingin ia biarkan bersentuhan dengan pipi laki-laki itu.

Karena ucapan akan lebih tajam dari pedang sekalipun.

"Saya benci sama Bapak."

"Aya, Saya mohon. Saya sudah jujur tentang semuanya sama kamu. Apa kamu nggak bisa maafin saya?"

"Saya benci sama Bapak dan saya nggak mau lagi punya hubungan apa-apa sama Bapak!!!"

"Ay, please." Arion menjangkau tubuhnya dan memeluknya dari belakang. "Jangan benci sama saya. Kamu boleh marah, tapi jangan pernah benci sama saya."

Cessa melepaskan rengkuhan Arion di pinggangnya.

Kejujuran Arion benar-benar menyakitkan.

Ia berpikir tindakan Arion waktu itu dipengaruhi oleh alkohol.

Ternyata Arion sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang untuk menjebak serta merampas sesuatu yang ia jaga hanya untuk suaminya kelak.

Seharusnya ia adalah bunga yang mekar dengan indahnya.

Bukan mahkota bunga yang telah tercabik dan gugur ke tanah.

Bukan hanya hal sakral itu yang tidak lagi ia punya.

Harga diri, perasaan. Kepercayaan diri. Cinta.

Hancur semuanya. Ibarat kaca pecah terburai.

Menyisakan kepingan-kepingan kecil.

Ia sudah memercayai Arion.

Tapi apa yang tersisa sekarang?

"Selamat tinggal." Suara lirih itu berhasil lolos dari bibirnya yang terus bergetar menahan tangis.

"Aya! Ayana!"

Arion memanggil-manggilnya. Namun, Cessa terus berlari secepat mungkin melintasi perpustakaan sampai menemukan pintu untuk keluar.

Bahkan dalam mimpi pun, ia tidak mau lagi bertemu Arion.

***

"Dia udah pergi ninggalin aku, Ma," ucap Arion dengan terbata-bata.

Beberapa saat sebelumnya, ia berusaha mengejar Ayana. Namun, gadis itu berlari semakin menjauh meninggalkan perpustakaan. Ia khawatir Ayana akan tersandung atau malah semakin terluka saat ia mencoba mendekatinya lagi.

"Mama sudah suruh sopir Mama anterin Ayana pulang. She will be safe." Mama meremas bahunya.

"But she will not be fine." Arion menghela napas yang terasa berat. "Aku memang bodoh banget, Ma. Yang bisa aku lakuin hanya dapetin dia dan nyakitin dia berkali-kali."

"Mama nggak mau menghakimi kamu sekarang, Ri. Tapi kamu lihat kan gimana akibat dari sikap kamu selama ini yang suka mempermainkan perempuan dan enggan berkomitmen?"

"Aku memang bodoh, Ma. Tolol banget." Arion melanjutkan. "Terserah Mama mau menghakimi aku. Mau mukul aku juga, aku udah nggak peduli lagi."

Mama menggeleng.

"Kamu tenangin diri kamu dulu. Saat emosional seperti ini, akan sulit bagi kamu untuk berpikir jernih."

"Aku nggak mau Ayana sampai kenapa-napa, Ma. Aku harus ketemu dia sekarang."

"Mama udah suruh Rani ikut ke rumahnya. Nanti Rani akan hubungi Mama kalau terjadi sesuatu. Tapi Mama harap tidak. Semoga." Mama terdengar membuang napas. "Jujur, Ri. Baru kali ini kamu bikin Mama ikutan pusing mikirin masalah kamu. Setelah skandal itu juga."

"Mungkin Ayana bakal resign."

"Kalau itu yang terbaik, kenapa nggak?"

"Aku sudah pernah berjanji sama diri aku sendiri kalau aku nggak akan biarin Ayana sampai keluar dari perusahaan. Karirnya sudah sejauh itu dan karena masalah ini..."

"Apa ada pilihan lain?" Mama mengusap rambut Arion. "Kamu tahu kan gimana kalau Papa kamu sampai tahu masalah ini? Kamu pacaran sama karyawan kamu lagi. Menurut Mama, Papa kamu kemungkinan akan tetap menyuruh Ayana mundur. Tanpa ketemu Ayana pun, Mama yakin Papa kamu nggak akan menyetujui hubungan kalian."

"Aku udah nggak mikirin soal itu lagi, Ma. Aku juga udah tau respon Papa."

"Lalu kenapa kamu bawa Ayana ke sini?"

"Karena aku butuh dukungan dari Mama. Aku butuh Mama untuk meyakinkan Papa kalau aku cinta dan ingin menikahi Ayana."

"Mama nggak pernah bisa menang melawan Papa." Mama mendesah. "Dulu Papa kamu pernah suka sama perempuan dari kalangan biasa. Tapi, karena kakek kamu nggak setuju, makanya mereka batal menikah. Jadinya, Mama yang dinikahi Papa kamu. Meskipun Papa kamu nggak cinta sama Mama."

"Kenapa Mama mau menikah sama Papa kalau Mama tahu Papa nggak cinta sama Mama?"

Mama tersenyum. "Karena Mama suka sama Papa kamu. Jadi Mama pikir, Mama hanya harus bertahan sampai perasaan Mama terbalas. Butuh waktu lima tahun sampai akhirnya Papa kamu bilang cinta sama Mama."

"Cinta itu penuh perjuangan, Ri. Butuh banyak pengorbanan. Seperti perjuangan Mama mendapatkan cinta Papa, dan seperti pengorbanan Papa melepaskan cintanya kepada perempuan sebelum Mama. Kamu tinggal milih, kamu mau terus berjuang, atau berhenti dan mengorbankan perasaan kamu."  

***

Menurut kalian, apa pilihan yang harus Arion ambil?

Kalo ga salah, ini part terpanjang deh yang kutulis dan posting. 

Jangan nanya ending dulu ya :D 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro