18. I Think I'm in Love With You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

18. I Think I'm in Love With You

RS Medistra, Setiabudi. Jakarta Selatan.

Sabtu malam.

Pukul 18.40 Grabcar yang ditumpangi oleh Cessa dan Gya tiba di depan halaman rumah sakit. Saat itu, hanya mereka berdua yang datang ke sana. Sedangkan rata-rata teman-teman kantor mereka akan membesuk pada hari Minggu.

Tiap rumah sakit memiliki ketentuan hari dan jam besuk, termasuk daftar peraturan di dalamnya. Di rumah sakit swasta tersebut, jadwal besuk malam hari dimulai dari pukul 18.00 sampai pukul 20.00. Sesuai aturan, jumlah pembesuk maksimal dua orang untuk sekali besuk. Dua orang berikutnya bisa masuk besuk setelah dua orang sebelumnya keluar.

Kamar perawatan Pak Dayat yang berupa kelas VIP berada di lantai empat. Mereka sempat bertanya di mana letak kamar tersebut kepada seorang perawat yang berbaik hati mengantar mereka sampai ke depan kamar.

Saat tiba di sana, ternyata sudah ada pembesuk yang datang.

Mereka urung melangkah masuk. Jadi, mereka menunggu di luar, duduk di bangku besi yang telah tersedia.

Setelah 20 menit menunggu, Gya berinisiatif mengecek ke dalam. Cessa memilih tetap duduk menantikan kabar dari Gya.

Tidak berapa lama...

"Kamu bareng siapa ke sini."

"Sama Cessa, Pak."

"Oh."

"Saya nggak tau ternyata Bapak ikut jenguk juga malam ini."

"Karena ada waktu, jadi saya datangnya malam ini."

Dari kejauhan, terdengar suara Gya tengah berbincang dengan Arion. Cessa masih duduk di kursi besi, enggan ikut bergabung dalam obrolan itu. Di sampingnya, ia meletakkan keranjang parsel buah-buahan beserta paperbag berisi dua kotak bolu pandan. Tadinya, Gya bermaksud ingin masuk. Namun, ternyata di dalam ruang perawatan Pak Dayat, ada Arion dan Pak Alby yang lebih dulu datang membesuk. Gya pun tidak berani masuk. Terhalang pada batasan jumlah pembesuk. Baru beberapa langkah meninggalkan ruang perawatan, Gya berbalik lagi ke depan ruang tersebut karena Arion memanggilnya. Sekadar menyapa. Berhubung Gya orangnya cukup ramah, mereka jadi mulai mengobrol. Sekadar basa-basi.

"Saya juga udah selesai kok. Kalian masuk saja."

"Oh, iya. Baik, Pak."

Tidak berapa lama, Pak Alby juga keluar dari ruang perawatan.

Berarti, kini giliran mereka.

Gya menghampiri bangku besi untuk mengambil keranjang buah. Sementara Cessa mengikuti langkah Gya sambil menenteng paperbag berisi kue bolu.

"Teman kalian yang lain mana?" tanya Arion.

"Ada dua orang yang katanya mau besuk. Sisanya, baru besok jenguknya." Gya menjawabkan untuk mereka.

"Kalau begitu, saya akan pulang sekarang. Pak Arion?"

"Bapak duluan saja. "

"Okay." Pak Alby pun berlalu menyusuri lorong menuju lift.

Cessa menundukkan kepala ketika melewati Arion. Tidak ada interaksi lain. Mereka hanya saling bertukar senyum sebelum Cessa mengikuti langkah Gya masuk ke ruang perawatan.

"Aya," panggil Arion.

Arion menyebutkan penggalan nama yang tidak pernah ia sebut sebelumnya.

Bapak panggil saya Aya saja kalau begitu, kalau nama Ayana kepanjangan.

Ia sendiri yang mengusulkan nama itu, meskipun kata Arion, ia lebih suka memanggilnya dengan panggilan 'Ay'.

"Iya, Pak." Cessa membalikkan badan.

Mereka tidak pernah lagi bertemu di tempat lain, selain kantor. Mereka kembali seperti dulu. Formal, kaku, sekaligus penuh rasa hormat. Seperti Arion Gunandhya, direktur keuangan. Bukan Arion, si perayu bermulut manis dengan kata-kata vulgar.

Sejak berpisah di bandara Soekarno-Hatta sepulang dari Singapore trip sebulan lalu, mereka seolah menjadi asing satu sama lain. Cessa mengingat dengan jelas bagaimana Arion memutuskan untuk mengakhiri kontrak mereka dan berkata tidak akan mengganggunya lagi. Di hari yang sama, saat mereka balik ke Jakarta dengan penerbangan malam dalam kabin first class.

First class. Dengan segala kenyamanan serta kemewahan fasilitas, seperti yang pernah Arion katakan dalam perjalanan mereka ke Singapura.

Namun, segala kenyamanan itu terasa berbeda karena hubungan mereka kini telah berbeda.

Ketika kontrak berakhir, interaksi mereka pun berubah drastis.

Cara Arion memandangnya tidak lagi sama. Tatapannya tidak lagi hangat. Raganya begitu dekat, tetapi bagi Cessa terasa begitu jauh.

Mungkin ini hanya perasaannya saja. Atau mungkin juga memang seperti inilah yang juga dirasakan Arion kepadanya. Sama-sama saling menjauh. Sama-sama saling menciptakan jarak yang tidak kasat mata.

Seperti sebuah kesepahaman dengan dalih bahwa inilah yang terbaik untuk mereka.

Jika dulu Arion melihatnya seolah ia satu-satunya bintang paling terang di antara berjuta bintang di atas sana, mungkin saat itu di mata Arion, ia hanya langit di waktu malam. Kelam.

Segalanya terasa melelahkan. Terasa dingin. Hampa. Dan asing.

Ketika Arion pulang setelah mengantarnya dari bandara sampai ke rumah, Arion hanya mengucapkan sebuah kalimat singkat.

"Take care."

Lalu berbalik dan berlalu pergi.

Cessa mendapati matanya tidak dapat terpejam semalaman itu. Meskipun tubuhnya luar biasa lelah setelah penerbangan yang cukup melelahkan. Memang benar sebuah perkataan, bahwa jika tubuh lelah, tetapi otak tetap bekerja, akan sulit bagimu untuk bisa tidur. Memaksa pun tidak ada gunanya.

Hingga pada pukul 01.00 dinihari, Cessa tidak bisa lagi membendung airmatanya. Pertahanannya jebol. Ia mendapati dirinya menangis sampai sesenggukan hingga pukul 02.00. Semuanya terputar ulang dalam ingatannya. Seperti kaset rusak.

Is this what people called heartbreak?

Or something else?

No, this isn't a heartbreak.

No, it is not. She didn't even love him. She always hates him.

But why this hurts so much?

***

"I'm sorry."

Andai ucapan itu bisa datang lebih cepat, mungkin lukanya bisa cepat sembuh.

Arion menggeleng pelan. "Saya nggak tau berapa besar kesalahan saya sama kamu."

"Minta maaf?"

Minta maaf untuk apa?

Untuk datang menampakkan diri saat Cessa tidak ingin melihatnya di sini?

Atau minta maaf karena telah membuatnya terluka?

Segalanya telah terjadi. Lagipula sebulan telah berlalu. Ia merasa jauh lebih kuat sekarang.

Seharusnya.

"Nevermind," balas Cessa datar. "Saya baik-baik saja. Nggak ada juga yang perlu dimaafin."

"Ok." Arion tersenyum tipis. "Bukannya kamu mau jenguk Pak Dayat?"

Cessa mengangguk. Ia pamit sekali lagi sebelum melangkah menuju ruang perawatan. Tapi, kemudian ia teringat sesuatu.

"Mengenai laporan harga pokok penjualan bulan ini, saya mau ngomongin soal biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, sama biaya overhead pabrik. Karena pak Dayat kemungkinan masih dirawat beberapa hari ini, mungkin Bapak bisa memberi masukan sebelum laporannya dikerjakan."

"Hari Senin kita bicarakan."

"Baik, Pak."

"Atau besok." Arion menghela napas.

"Baik."

"Atau malam ini."

Cessa tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Bagaimana harus menjawab lagi.

"Terserah Bapak saja."

Arion menambahkan. "Saya sudah ngomong tadi sama Pak Dayat. Sekitar dua minggu ke depan, kamu yang akan mengambil alih tugas beliau. Pak Dayat akan tetap mengontrol dari rumah sakit atau dari rumah."

Cessa terdiam.

"Saya tunggu kamu selesai besuk," ucap Arion.

"Baik."

Saat sedang mengobrol, Gya keluar dari kamar perawatan dan menghampirinya.

"Lo gimana sih? Katanya mau jenguk Pak Dayat kok malah ngobrol di sini?" Gya tersenyum serba salah kepada Arion. "Maaf, Pak. Saya ganggu ya?"

"Silakan kalian jenguk saja. Saya tunggu di sini."

Gya berdehem. "Mau rapat dadakan ya, Pak?"

"Nggak." Arion memandangnya. "Saya ada perlu sama Ayana, karena Pak Dayat sakit, jadi tanggungjawab pekerjaannya untuk sementara di-handle oleh Ayana." Arion memandangnya. "Aya."

"Oh, gitu ya Pak? Kalo gitu, kami ke dalam dulu. Bapak nggak pa-pa sendirian di sini?" Gya bertanya sambil menggandengnya.

"Santai saja. Saya udah biasa nunggu orang." Arion tersenyum kepada mereka berdua.

"Menunggu itu kadang nggak enak sih, Pak." Gya terkekeh dengan groginya.

"Nggak pa-pa kalau untuk sesuatu yang worth the wait." Arion lalu mulai duduk dan mengeluarkan ponsel dari saku.

Sebenarnya apa yang ia inginkan? Batin Cessa saat Gya setengah menyeretnya pergi.

***

Setelah membesuk sekitar setengah jam, Cessa dan Gya keluar dari ruang perawatan. Kini bergantian dengan Firman dan Denni.

"Yah, katanya nungguin. Kenapa sekarang malah nggak ada?" Gya membolak-balik wajahnya ke kiri dan ke kanan, mencari keberadaan Arion.

Ia sendiri tidak perlu berusaha sekeras itu menemukan keberadaannya. Arion sudah biasa melakukan sesuatu semaunya.

Mungkin saja ia sudah pulang karena ada urusan mendadak.

Apapun itu, Cessa enggan memikirkan lebih jauh.

"Gue nggak bisa lho lama-lama ngomong sama Pak Arion," celetuk Gya tanpa ada angin dan tanpa ada hujan.

"Kenapa? Dia ngebosenin?"

"Nggak, bukan gitu maksud gue. Aura-nya gitu lho. Kalem, berwibawa, mana suaranya lembut dan shooting banget. Belum lagi tatapannya. Bikin baper tau nggak? Gue kalo jadi ceweknya juga nggak bakal bisa nahan buat senyum-senyum ngeliatin dia kaya orang gila. " Gya meletakkan telapak tangan di atas dadanya. "Jantung gue berdebar-debar tau nggak?"

"B aja deh, Gy. Jangan lebai deh." Cessa berusaha bersikap normal.

"Duh, Cessa. Emangnya lo nggak baper ngeliat Pak Arion dari jarak sedekat itu? Ih mungkin nggak. Kan hati lo kadang sih kaya batu kalo sama cowok ganteng."

Nggak hanya baper. Dia juga udah bikin gue nangis, Gy.

"Kemarin-kemarin lo biasa aja kan ngeliat Pak Arion?" tanya Cessa. Ia mulai benci pembicaraan ini.

"Iya sih. Cuma kan tadi tuh, Pak Arion jadi lebih lembut ngomongnya. Ah nggak tau deh. Cara dia natap tuh beda aja. Kaya orang lagi jatuh cinta."

Jatuh cinta? Memangnya seperti apa tatapan orang yang sedang jatuh cinta? Mata berbinar seterang lampu LED Phillips 23 Watt? Atau di kedua matanya ada pendar bintang Sirius? Atau matanya mengilap seperti mata dalam karakter gadis dalam anime shoujo ketika sedang membayangkan karakter pemuda yang ia sukai?

"Ya bagus deh. Lo coba deh gebet dia. Kan lo lagi kosong. "

Gya mendesah panjang. "Ini tuh Bapak Arion Gunandhya. Cowok yang paling nggak mungkin lo gebet, meskipun lo udah kepengen banget. He's unreachable, Neng. Tinggiiii banget kaya bintang. Yang sebening berlian macam Annette Siswoyo aja dia putusin, apalagi kaya gue."

I know, Gy. I know.

Cessa harus mengiyakan.

"Gue bantu rapiin."

Cessa berjengit saat Gya membantu menyelipkan anak rambut yang keluar dari french braids-nya. Karena Gya tidak sengaja menyentuh lehernya. Ia paling sensitif jika ada yang menyentuh tubuhnya di bagian itu.

"Jadi, abis dari sini, langsung pulang kan kita?" tanya Gya.

"Emang lo mau ke mana lagi?"

"Cari kafe buat nongkrong, yuk. Kan malam Minggu? Ngenes banget gue, kalo cuma rebahan di kostan nonton MV K-Pop."

"Ayo deh. Jadi di mana?"

"Ke Starbucks aja, gimana?"

"Oke deh."

Gya mencari aplikasi Grab di ponselnya. "Gue pesen Grab ya sekarang?"

Sambil menunggu kedatangan Grab pesanan, mereka berjalan santai menuju halaman.

Di luar dugaan, Arion menunggu mereka di parkiran. Mungkin karena tadi mereka kelamaan membesuk Pak Dayat, Arion turun duluan ke bawah.

"Saya kira Bapak udah pulang," kata Gya begitu mereka berada dalam jarak dekat satu sama lain.

"Lebih enak nunggu di bawah," jawab Arion. "Ayo ikut saya saja."

Gya berdecak melihat mobil sport M4 yang terparkir. "Gimana rasanya ya duduk di mobil semahal itu?"

"Ya kaya dalam mobil, Gy. Memangnya kalo mobil mahal bakal terasa kaya naik pesawat jet?"Cessa menambahkan. Mereka bisa menolak jika tidak mau.

Lagipula, mereka sudah memesan Grab, jadi mereka tidak membutuhkan tawaran tumpangan dari Arion.

"Udah terlanjur pesan Grab, Pak." Gya menjawabkan untuk mereka.

"Tapi, nggak pa-pa kan kalau saya yang antar Ayana pulang?"

Gya meliriknya. Kebingungan, mungkin. Atau malah terkejut?

"Maksudnya, Bapak pulang sama Cessa, jadi saya duluan saja. Gitu ya Pak?" Gya menyimpulkan.

"Iya. Ada yang mau saya omongin sama Ayana. Soal laporan bulanan," jawab Arion. "Tapi kalau kamu mau ikut, boleh. Nanti biar saya bayarin tarif Grabnya."

"Oh, nggak usah, Pak."

Cessa langsung mencubit perut Gya lalu berbisik. "Lo ikut."

"Ih ngapain? Gue paling males disuruh ngobrolin laporan. Ngitung laba rugi bulan ini aja gue udah pusing banget. Mendingan nonton MV deh." Gya tertawa. "Nggak pa-palah. Kapan lagi jalan berdua sama Pak Arion?"

Dasar Gya ya? Padahal tadi ia bete kalau harus menghabiskan malam Minggu di kostan saja.

"Gitu lo ya sama sahabat lo sendiri?" gerutu Cessa tanpa bisa ia tahan.

"Udah buruan." Gya mendorong pelan tubuhnya. "Inget. Pesan gue satu aja. Jangan naksir. Eh dua ding. Jangan nak-sir dan ja-ngan ba-per. Anggap aja godaan dunia fana. Yang paling fatal, jangan sampe pingsan ya, Say." Gya mendesis iri. "Ih gila lo. Malah dibukain pintu. Fix nih, ada udang di balik rempeyek."

"Apaan sih? Inget, lo sendiri yang bilang. He's unreachable. Gue juga sadar diri."

"Ih, emang Pak Arion naksir lo? Jangan GR."

Cara Gya mengucapkannya sungguh sangat tepat sasaran.

"Kalau saya naksir sama sahabat kamu, nggak pa-pa kan, Gya?"

Cessa melihat mulut Gya menganga.

"Just kidding. Saya sudah punya pacar."

Gya mendengus. "Hih. Dikira lucu apa? Noh sana. Happy dating."

Cessa tidak lagi mendengar suara apa-apa. Ia menulikan pendengarannya.

Arion sudah punya pacar?

***

Arion selalu seperti itu. Tidak pernah mengatakan ke mana akan membawanya pergi. Ia juga enggan bertanya karena pikirannya memerintahkan mulutnya untuk diam saja.

Tapi karena suasananya begitu hening. Cessa membuka obrolan. Ia hanya ingin tahu ke mana mobil itu akan berhenti.

"Bapak mau bawa saya ke mana?"

"Orang malam Mingguan biasanya ke mana, hmm?"

Selalu bertanya balik pula.

"Nggak tau. Tanya sama yang biasa malam Mingguan. Jangan tanya ke saya." Cessa meredam suaranya yang terdengar cukup defensif.

Lagipula menghabiskan malam Minggu bersama Arion tidak ada dalam agendanya malam ini.

Dan malam-malam berikutnya.

"Oke kalo gitu. Nanti saja kamu lihat saya bawa kamu ke mana." Arion menoleh kepadanya. "Kamu marah?"

"Kenapa saya harus marah?" Cessa tidak bisa mengontrol nada suaranya. "Oh ya. Harusnya saya marah karena Bapak sudah bohong ke Gya soal alasan Bapak mau ngajak saya ngobrol soal kerjaan."

"Kamu juga nggak bersikeras menolak kan? Jadi saya pikir, kamu juga nggak keberatan saya ajak pergi berdua."

Ketika ia terdiam, Arion kembali berbicara.

"Saya sama kamu bakal tetap jadi partner kerja yang bersikap profesional tanpa melibatkan perasaan. For us, romance and office work are two different things now."

"Gampang untuk diucapkan."

Cessa menyadari ucapannya terdengar begitu dingin.

"Dari dulu kan kamu maunya seperti itu?"

Baiklah.

"Saya juga maunya seperti itu. Tapi yang terjadi belakangan ternyata tidak sesuai keinginan saya."

Arion mendesah kuat.

"You hate me." Arion melanjutkan. "Ya, saya memang pantas dibenci. Justru aneh kalo kamu nggak benci sama saya."

Jika diam itu adalah emas, Cessa merasa ini saatnya menyingkirkan pepatah itu dari percakapan ini. Ia tidak ingin diam lagi dan memberi kepuasan kepada Arion.

"Mungkin keadaannya akan lebih baik kalau sejak dulu One month notice itu saya kasih ke Pak Dayat."

"You wouldn't do that."

"I would. Why not? Why i stayed there?"

"Ay...," Arion hanya menyebut namanya.

Cessa merasakan napasnya sesak. "Untuk apa saya bertahan dan memberi peluang bagi Bapak untuk mempermainkan dan menghancurkan perasaan saya?"

"No, please." Suara Arion terdengar pasrah. "I didn't mean to hurt you."

"You just do what you want. Like always. And it hurts me."

"Saya nggak bermaksud." Arion mengepalkan tangan. Mengurungkan niatnya untuk bicara.

Namun, sudah kepalang basah.

"Saya sayang sama kamu."

"Bapak nggak perlu mengatakan hal itu."

Arion mengulangnya lagi. "Saya sayang sama kamu, Ayana. I swear. Tapi saya sadar saya nggak bisa bersama kamu. Apa yang saya katakan ke kamu di Singapura waktu itu adalah sumber ketakutan saya."

"Saya seharusnya tidak pernah berusaha mendekati kamu, menyayangi kamu karena saya tahu akan seperti apa akhirnya. Mungkin kamu nggak akan pernah membalas perasaan saya. Mungkin papa saya nggak bisa menerima kamu sebagai perempuan yang saya sayangi. Atau mungkin saya salah mengartikan perasaan saya."

"Bagi saya, kamu adalah perempuan spesial, Aya. Perempuan yang ingin saya lindungi dan saya manjakan dengan segala yang saya miliki. Sebulan ini menjauhi kamu, sungguh sangat menyakitkan buat saya."

"Saya nggak mau menyimpan perasaan saya lebih lama lagi, karena saya tahu kalau saya harus mengatakannya sama kamu. Saya nggak akan menuntut kamu untuk membalasnya. Jika pernyataan saya membebani pikiran kamu, saya minta maaf. Tapi saya sungguh nggak bisa menyimpannya. Saya harus jujur. Paling nggak kamu tahu kalau saya nggak pernah bermaksud mempermainkan perasaan kamu apalagi sampai menghancurkannya."

Jadi bagaimana sekarang?

Cessa menghela napas panjang. Semakin menarik napas, semakin tercekat di lehernya.

Ia harus bagaimana?

"Saya resign saja, Pak. Mungkin dengan begitu, hidup Bapak, juga hidup saya akan jauh lebih tenang. Bapak juga nggak perlu mikirin saya bakal kerja di mana. Saya bisa cari pekerjaan di tempat lain. Tapi untuk sementara, saya akan bertahan. Sampai Pak Dayat sehat dan bisa kembali bekerja lagi."

"Saya nggak mau kamu korbanin pekerjaan kamu demi saya."

"Saya nggak punya pilihan lain, Pak. Bapak juga nggak mungkin mundur dari jabatan Bapak di perusahaan."

Arion mengangguk. "Jalan terbaik adalah mengabaikan perasaan saya."

Cessa mengiyakan. "Juga perasaan saya."

"Perasaan kamu?"

"Lupain aja, Pak." Cessa menarik napas panjang. "Mungkin memang nasib saya sudah harus seperti ini."

"Kamu juga menyukai saya, Ay?"

"Apa harus saya jawab?"

Arion tersenyum getir. "Nggak perlu."

Cessa mengulum bibirnya yang terasa kaku.

"Saya akan segera antar kamu pulang."

***

Arion menghentikan mobil di depan sebuah rumah tempat Ayana indekos sekarang. Ayana mengatakan sudah seminggu ini, ia kost di tempat yang sama dengan Gya.

"Saya turun dulu, Pak."

"Ay."

Ayana melepaskan seatbelt, dan berpamitan sekali lagi padanya.

"Ay, boleh saya minta sesuatu sama kamu?" Arion menambahkan. "Kamu mungkin sudah tahu apa yang saya mau."

"Kiss?"

"Hmm, ya."

Lalu Arion melepaskan seatbelt hingga ia dapat memajukan tubuhnya.

"Bapak baru saja ngungkapin perasaan Bapak dan sekarang Bapak udah mau nyium saya?"

"I'm just asking. Kamu bisa mengiyakan atau menolak."

"Saya menolak. Saya nggak mau."

"Apa kamu nggak siap? Kamu juga menyukai saya, jadi alasan itu sudah cukup untuk kamu mau saya cium. Kamu cium saya. Atau ciuman sama saya."

"Perasaan saya nggak ada hubungannya dengan saya mau atau nggak dicium sama Bapak. Saya hanya berusaha menjaga diri saya." Ayana tersenyum. "Saya hanya mau mencium suami saya sendiri."

"Saya calon suami kamu kalo gitu."

"Itu belum masuk hitungan."

"Kamu selalu bikin saya frustrasi, Ay. Besok saya bawain penghulu supaya saya bisa nikahin kamu secepatnya. Biar saya puas nyium kamu dan make love sama kamu kapanpun dan di manapun saya suka."

Jika ia mengatakan ingin menikahi Ayana, apakah hal itu berarti ia mulai memikirkan soal komitmen?

Sebuah pernikahan?

But what about Carol?

***

Arion melamun. Entah apa yang tengah ia pikirkan.

Sebuah pernikahan?

Cessa tidak berani membayangkan sebuah pernikahan. Apalagi jika pernikahan itu melibatkan Arion di dalamnya. Demi Tuhan. Arion sudah mengetahui nasib hubungan mereka nanti.

Namun, mengapa kata penghulu dan nikah bisa terucap dari mulutnya?

Mereka sama-sama menyadari bahwa hubungan di antara mereka hanya sebuah persinggahan.

Ia harus berpikir realistis jika tidak ingin merasakan kekecewaan yang lebih dalam.

"Pak, saya turun dulu."

"Mau saya antar sampai depan kamar?"

"Nggak usah, Pak."

"Ayo."

Mengapa laki-laki ini selalu memaksa?

Arion membuka pintu di samping kemudi, kemudian membukakan pintu untuknya.

Mengapa Arion harus bersikap seperti ini? Ia tidak bisa menatap wajah Arion berlama-lama, jadi ia bergegas berjalan setelah turun dari mobil tanpa menunggu Arion.

"Ayana."

Cessa pelan-pelan balik badan.

"Saya jemput kamu ya besok?"

Untuk apa?

Seolah menjawab pertanyaan itu, Arion memberi penjelasan yang seketika itu membuatnya diserang perasaan gugup.

"Saya mau kamu ketemu sama mama saya."

***

Semalam aku ketiduran, Guys. Dan tadi Subuh aku cek lagi, aku rombak lagi naskahnya. Tadinya aku udah nulis scene mereka ciuman sebelum Ayana turun dari mobil. Tapi aku ingat, karakter Ayana kan ga mudah buat skinship gitu :D jadi aku cut dan aku tulis ulang di bagian akhir.

Gimana ya? Kira-kira mama-nya Arion bakal suka atau nggak sama Ayana?

Oh, ya. Bagian Carol akan tetap aku pertahankan, hanya akan diperhalus aja. I know, mungkin kalian mikir, Arion apa banget deh. Kalo emang cinta sama Ayana kok malah pacaran sama Carol sih? Itulah karakter dia yang labil. Dia masih belajar menemukan arti cinta yang sebenarnya. Tsah. Dan di sinilah peran Ayana buat ngasih dia pandangan soal cinta. Biar ngasih kalian alasan yang logis bahwa Ayana itu memang cewek spesial. Ga yang seketika itu bikin Arion jatuh cinta banget sama dia. Tapi berproses natural. Gitu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro