17. I Miss You But I Can't Reach You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

17. I Miss You, But I Can't Reach You (1)



Satu bulan kemudian

"Cessaaaa sayaang,"

Gya mengetuk-ngetuk pintu kamar kostnya dengan penuh semangat. Saat Cessa membuka pintu, Gya mengacungkan dua buah bungkusan.

"Tebak gue bawa apa."

"Dari aromanya sih, makanan."

"Lebih spesifik dong."

"Ayam, bebek, lele," jawab Cessa seadanya. Ia menutup pintu di belakang Gya.

"Clue-nya ayam."

"Ayam geprek."

"Tepatnya ayam kremes."

Gya membuka bungkusan pertama. Aroma ayam goreng semakin menguar. Mengundang rasa lapar. Cessa membantu memindahkan ayam goreng, sambal, nasi dan lalapan ke atas piring yang tadi ia ambil di dapur bersih kost-annya.

"Akhirnya, lo balik nge-kost lagi," ucap Gya antusias. "Gue senang karena gue jadi punya banyak waktu buat ngobrol sama lo."

"Kenapa lo mau ngajak gue ngobrol?"

"Ya karena lo sebulanan kini kaya nggak ada cahayanya sama sekali tau nggak? Gue pengen bisa punya banyak waktu menghibur lo."

"Oh, ya?"

"Lo sering ngelamun. Setiap makan siang, lo kaya nggak pernah semangat gitu."

"Kerjaan lagi banyak-banyaknya. Kan lo tau sendiri?"

Gya menggeleng. "Lo kenapa sih, Cess? Nyokap lo udah nyuruh lo cepet-cepet nikah?"

"Ya nggaklah." Cessa mencari alasan yang mungkin bisa diterima Gya. "Gue lagi sedih aja. Akhir-akhir ini sering ingat sama papa."

"Bacain Al-Fatihah aja. Papa lo pasti udah bahagia di alam sana." Gya mengelus punggung Cessa. "Hari Minggu deh, gue temenin lo nyekar."

Cessa hanya bisa mengangguk pelan.

Sambil makan siang bersama di dalam kamar kostnya, mereka mulai mengobrolkan banyak hal. Dimulai dari kisah Gya yang akhirnya harus merelakan gebetannya pacaran sama perempuan lain. Selama ini, Gya dan sang gebetan yang bernama Wira hanya saling melemparkan sinyal satu sama lain. Kode-kode saja melulu. Gya tidak yakin dengan perasaan Wira, sedangkan Wira berpikir, Gya tidak sungguh-sungguh ingin menjalin hubungan dengannya. Sampai suatu saat Wira bilang, kalau ia sudah punya gandengan.

Buat Gya sih, bukan masalah yang terlalu besar. Setelah ia pikir-pikir, sepertinya ia memang tidak cocok dengan Wira. Istilahnya, tidak satu frekuensi. Ibaratnya, Gya suka keju, Wira sukanya singkong. Gya ingin hubungan kasual, Wira ingin langsung menikah dan menginginkan perempuan domestik yang tinggal di rumah saja. Jelas Gya tidak mau dong. Karirnya sudah bagus begitu, malah diminta berhenti. Belum jadi suami juga udah ngatur-ngatur. Mending mencari laki-laki lain yang bisa mengerti dirinya dan pekerjaannya. Yah, meskipun hal itu berarti ia harus mencari gebetan baru lagi.

"Nggak apa-apa sih. Lumayan bisa cuci-cuci mata lagi kan? Bisa prospek cowok baru lagi. Siapa tau dapet yang bermobil Mercy."

Lagipula usia Gya juga masih lebih muda darinya. Gya berusia 26 tahun. Masih cukup banyak kesempatan mencari cinta sambil menikmati kesendirian.

"Eh, Cess. Lo sama si Regan gimana? Udah jadian?"

Cessa mencubiti ayam kremes yang masih hangat.

"Temenan doang." Cessa menjawab sambil mengunyah kol goreng.

"Buruan lo gebet. Ntar dia kayak si Wira. Lo sih. Agresif dikit dong jadi cewek."

Cessa menggeleng.

"Kalo jodoh, gue sama dia pasti bakal sama-sama. Lagian, dia juga masih sama pacarnya, kok."

"Trus, kenapa malam Minggu lalu dia ajak lo jalan?"

Cessa menyuapkan nasi bercampur ayam dan kremesannya. Ia harus makan yang benar, biar maag-nya tidak kambuh lagi.

"Nggak tau. Lo tanya aja sendiri sama orangnya." Cessa menjawab malas. Ia menghela napas. "Waktu itu katanya ada film bagus. Dia beli dua tiket. Dia ngajak gue. Ya udah. Gue ikut aja. Kan lo yang bilang kalo gue tuh butuh hiburan. Jangan kerjaannya di kostan aja seharian pas weekend."

"Iya, tapi nggak sama cowok yang status hubungannya nggak jelas dong."

Cessa mengangguk. "Ya udah. Ntar kalo dia datang lagi, biar gue tanya baik-baik."

Gya sudah selesai makan. Bergegas ia berdiri untuk mencuci tangan di wastafel di dapur yang terletak tepat di sebelah kamar Cessa. Duduk bersila kembali di hadapan Cessa yang masih sedang makan, Gya mengeluarkan sebuah kotak dari dalam kresek putih yang tadi ia tenteng bersama paket ayam kremes.

"Cess, gue udah dapet dekor yang lucu buat kamar lo. Lampu tumblr sama jepitan buat naroh foto-foto. Gue juga ada poster Park Seo Joon buat dipajang di dinding. Atau lo mau Kim Soo Hyun. Hehe."

Cessa rasanya ingin tertawa melihat Gya mengeluarkan satu demi satu benda-benda ajaib dari dalam kresek.

Ia sudah bisa membayangkan dekorasi seperti apa yang Gya inginkan untuk menata kamarnya. Kamar kostan-nya sih masih mendingan karena peraturan ibu kost yang tidak membolehkan mereka mengubah dekorasi kamar secara ekstrim. Tapi, saat berkunjung ke rumah Gya di Tangerang, Cessa serasa berada di dunia berbeda. Nyaris seperti kamar remaja yang penuh tempelan poster bintang K-Pop dan drama Korea. Belum lagi koleksi album, lightstick dan pernak-pernik seperti keylight, keyring, badge, hingga original merchandise SM yang harganya selangit itu. Cessa pernah menemukan sebuah benda yang ia kira stoples bertuliskan EXO. Ternyata kata Gya benda itu adalah celengan.

Meskipun bersahabat, ada beberapa hal di antara mereka yang berbeda dan mungkin sulit untuk disatukan. Pertama, Gya suka banget sama K-Pop, sedangkan ia lebih menyukai musik pop atau indie-folk. Kedua, Gya senang berganti-ganti gadget. Syukur banget kalau ponselnya bisa tahan lebih dari setahun sedangkan ia sendiri paling malas kalau harus sering-sering ganti ponsel. Ia hanya mengganti ponselnya kalau sudah rusak, bukan karena mengikuti trend. Ketiga, Gya menyukai segala sesuatu yang girly-ish, cute, kawai, dan semacamnya untuk urusan estetika dan dekorasi kamar. Sedangkan Cessa lebih cenderung pada penataan kamar monokrom dan super simpel.

"Serius deh, Cess. Andai kamar lo nggak dikasih foto lo di nakas, orang bakal ngira kamar lo itu kamar cowok. Minus bau rokok ya." Gya mengendus-endus, aroma peppermint yang berefek menenangkan.

"Gue nyuci dulu ya. Terserah deh lo mau apain kamar gue. Gue pasrah aja," ucap Cessa sebelum keluar dari kamar.

Bagi pekerja kantoran yang sering pulang terlambat dan malas mencuci di waktu malam atau Subuh, tumpukan cucian yang meninggi sudah menjadi hal lumrah. Pakaian kantornya terkadang dikumpulkan sampai akhir Minggu atau tiga hari, tergantung situasi dan kondisi. Atau kalau malas mencuci, pakaian kotor bisa dibawa saja ke laundry. Sesekali ia pun membawa ke laundry. Namun, pagi menjelang siang itu, ia memilih mencuci sendiri pakaian kotornya. Ia malas harus ke tempat laundry.

Beberapa kali ponselnya berbunyi tanda notifikasi dari Whatsapp masuk. Sekalipun hari ini hari Sabtu, bukan berarti tidak ada pekerjaan kantor yang dikerjakan hari itu. Untuk perusahaan sebesar Padma, setiap hari adalah hari kerja. Gaji tinggi seimbang dengan beban kerja. Kurang lebih sama dengan karyawan bank apalagi jabatannya sudah tinggi. Ia terkadang kesal dengan stigma gaji tinggi tapi kerjaan santai, bajunya bagus-bagus, kerja hanya di depan laptop. Belum tahu saja jika pekerjaan yang mengandalkan otak semacam ini, tekanan stresnya sangat tinggi. Karena selalu saja ada target yang mengejar setiap bulan. Apalagi bagian keuangan adalah bagian paling vital dari sebuah perusahaan. Semua aliran uang masuk dan keluar, perencanaan, pembiayaan, semuanya menjadi tanggungjawab divisi mereka.

Setelah pakaian terproses di dalam mesin cuci, Cessa kembali ke kamar untuk mengambil ponsel. Saat masuk, ia mendengar dentuman lagu yang berasal dari ponsel Gya. Gya sedang berjinjit di atas kursi untuk memasang poster. Nasib punya tubuh mungil.

Pak Dayat : Nak Cessa. Hari ini bapak masuk RS.

08118xxxxx : Kak, ini dengan Gadis, anaknya Pak Dayat. Papa kena hepatitis.

Ada Whatsapp dari nomor pak Dayat. Sejak hari Rabu, Pak Dayat sudah terlihat kurang sehat. Katanya, kurang enak badan. Sampai hari Jumat, Pak Dayat masih masuk kantor, tetapi kondisinya sudah memburuk. Pak Dayat bahkan hanya masuk setengah hari dan minta ijin pulang.

Kabar itu biasanya disampaikan Pak Dayat hanya kepadanya sebagai sinyal jika mungkin ia tidak akan masuk kantor hari Senin.

Cessa : Kapan bisa dijenguk, Dek?

08118xxxxx : Mungkin sore atau malam. Maaf jadi merepotkan

Cessa membalas chat tersebut kemudian memberitahukan kepada Gya.

"Ya udah. Malam aja jenguknya. Soalnya sore ini kan kita mau jalan? Sekalian nyari buah sama kue untuk dibawa jenguk."

Cessa mengiyakan dengan anggukan. "Gue chat temen-temen aja kalo gitu. Biar gantian jenguknya."

Cessa membuka grup staf kemudian mengetikkan kabar Pak Dayat yang sedang sakit. Sekitar semenit Ala membalas, disusul teman-teman lainnya. Mereka membuat janji besuk untuk besok.

Gerakan tangan Cessa terhenti pada chat antara dirinya dan Arion.

Ia menelan ludah.

Tanggal chat terakhir tanggal 20 Januari 2019.

Lebih dari sebulan.

Ia hanya ingin memberitahu kabar tersebut tanpa ada alasan lain.

Cessa : Assalamualaikum. Pak hanya ingin mengabarkan. Pak Dayat sakit. mungkin hari Senin tidak bisa masuk kantor.

Cessa menunggu sampai muncul tanda centang dua.

Hanya hitungan detik, tanda yang ia tunggu muncul.

Diletakkannya ponsel di meja dalam posisi telungkup.

Ia tidak berharap Arion membalasnya.

Paling tidak, ia mengetahui kabar tersebut.

Cessa melihat jam. Ia memerkirakan mesin sudah berhenti berputar. Ia harus bergegas membilasnya sebelum terlalu lama berendam dalam air deterjen. Sepanjang membilas, jantungnya tidak juga berhenti berdebar. Ia menyelesaikan pekerjaan mencuci dan merendam pakaiannya dalam cairan pengharum dan pelembut khusus laundry.

Arion : Waalaikumsalam. Iya. Terimakasih.

Cessa tersenyum pada dirinya sendiri. Getir.

Bukankah memang ini yang ia inginkan?

Semudah itu Arion memintanya menjalani kontrak, semudah itu pula Arion membatalkannya.

Rasanya...seperti apa ya?

Rasanya seperti sesuatu yang ia pikir melegakan. Seperti menghirup udara yang ia pikir begitu melegakan. Namun, semakin ia mencoba menarik napas, semakin terasa tercekat di tenggorokannya.

Rasanya seperti bukan oksigen.

Mungkin bukan salah udaranya, tapi salah kinerja paru-parunya.

Atau jantungnya.

Otaknya.

Atau mungkin hatinya.

Sekali lagi ia bertanya.

Apakah ini yang sungguh-sungguh ia inginkan?

Jika ia sungguh ingin lepas dari Arion, mengapa saat Arion melepaskannya, rasanya sangat mengagetkan.

Ia terkejut. Ia tidak siap.

Ia belum siap.

Atau mungkin tidak akan pernah benar-benar siap.

Paling tidak, ia diberi kesempatan untuk bicara dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Tapi mungkin ia memang tidak pernah memiliki arti apa-apa di mata Arion selain seorang perempuan yang hanya ingin Arion dapatkan, lalu kemudian ia hancurkan dan ia campakkan seperti sampah.

Dan bodohnya, ia begitu lemah.

Hatinya tidak sekuat yang ia kira.

Ia menyesali semua yang telah terjadi.

Sungguh sangat menyesal.

***

-Arion-

She.

Arion mengganti namanya menjadi kata sandang orang ketiga. Ia memiliki nama, tapi nama itu bukanlah sebuah nama yang ingin ia baca, ia pandangi, lalu membuatnya tersenyum-senyum sendiri saat berbalasan chat dengannya.

"I made you a toast bread. With Mozarella cheese."

Carol menunduk untuk menggapai bibir Arion.

Only a casual kiss.

Sampai bibir Carol setengah memaksa ia membuka mulut, tempat lidah Carol menyelusup masuk dan mulai menggodanya.

Carol jelas pencium yang ulung. Ia mengetahui presisi dan pace ciuman seperti yang ia inginkan. Carol bahkan memahami keinginannya saat mereka saling berbagi peluh dalam pergumulan semalam.

"When will you marry me?"

Arion melepaskan belitan lidah Carol, membuat perempuan itu nyaris tersedak.

"Asked me third time and then we break up."

"So rough. Did you ever love me, Arion?"

Arion menggeleng. Ia menatap Carol lekat, memegangi pinggulnya dan kembali memosisikan di atas tubuhnya yang terbaring di atas sofa.

"Fuck me, then."

Carol hanya mengenakan white bathrobe tanpa apa-apa di dalamnya. Hal itu memudahkan Arion mengakses bagian-bagian favoritnya di tubuh seorang perempuan.

Hanya sekali sentakan, white bathrobe yang terasa kesat, tergeletak di lantai. Menyisakan pemandangan indah tubuh polos Carol. Salah satu jempol Arion mengelus pucuk berwarna kecokelatan yang kini mulai mengeras, sedangkan lidahnya mulai membasahi pucuk yang satunya.

"I can't, Arion. Please."

Tangan kiri Arion menahan gerakan pinggul Carol saat menerimanya. Bergerak seirama, dan dengan mudah menemukan satu sama lain.

"Ayana," gumamnya. "I miss you."

***

Part 2 nya hari Sabtu ya.

Ya aku tahu part ini pendek banget, soalnya aku nulisnya dadakan, trus pengen cepat dipost karena ga mau greget sendiri :DDDDDD 

Karena nanti juga bakal diperbaiki dan banyak penambahan kalo mau dijadiin buku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro