21. I'm So Mad in Love With You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

21. I'm So Mad In love With You

Dalam waktu singkat, Cessa menukar pakaian rumah yang dikenakannya ke pakaian lain. Tidak perlu penampilan berlebihan, asalkan tidak serampangan. Ia mengenakan jins dan kaus lengan panjang hitam yang dilipat ujung lengannya. Mencepol rambut, mengambil flat shoes di rak sepatu. Tidak ketinggalan tas selempang Nine West yang memuat dompet, ponsel, obat maag, dan minyak angin.

Ia mengunci pintu kamar, dan bergegas kembali ke mobil.

Bunyi berdebam pelan ketika pintu di samping kemudi ia tutup.

"Nggak pa-pa kan saya nyetir mobil Bapak?"tanya Cessa sembari memasang seatbelt.

"Kamu nyetir saya juga boleh."

Ish. Masih sempat ya?

"Ini pertamakalinya saya ngebiarin orang lain menyetir mobil saya," kata Arion ketika mobil tengah melaju di jalan raya.

Iya. Kalau tidak mendesak, saya juga ogah, Pak.

Cessa lumayan mahir untuk urusan mengemudikan kendaraan. Ia mengambil kursus mengemudi dan mendapatkan SIM di usia 20 tahun setelah mengikuti tes.

"Saya nggak pernah lihat kamu bawa mobil ke kantor."

"Di rumah ada mobil papa. Sedan keluaran lama, tapi masih bisa jalan. Sesekali mobilnya saya pake muter-muter kompleks biar nggak rusak karena nggak pernah dipake. Mau saya bawa ke kantor, pasti malu-maluin."

"Transferan saya kan cukup buat beli mobil?"

Sombong.

450 juta sudah bisa dipakai membeli sebuah Mercy. Atau dua buah mobil Avanza. Atau 3 mobil Ayla. Atau dua buah Honda Brio Satya, yang sisanya bisa ia pakai jajan bakso bertahun-tahun lamanya.

Cessa tersenyum kecut. "Uangnya masih utuh. Udah saya pindah bukuin. Cuma nggak sempat aja saya kasih ke Bapak buku tabungannya."

"Simpan aja."

Kalau saja ia tergiur lebih jauh, ia tidak perlu menunggu lama untuk memakai uang tersebut. Meski ia sempat mengambil untuk membelikan tas LV untuk Nara, belakangan Cessa menyesalinya. Ia mengembalikan sejumlah uang yang sudah ia ambil itu sebelum pemindahbukuan.

"Bukan punya saya, kenapa harus saya ambil?"

Terdengar ringisan Arion. "Kamu tuh, tau saya lagi sakit, malah nyinggung sesuatu yang bikin saya makin pusing."

"Abis, Bapak yang nyinggung duluan soal transferan."

"Saya kan udah ngasih uang itu ke kamu. Harga diri saya jadi terusik sama tindakan kamu yang mau balikin uang itu ke saya."

Cessa menggerutu dalam hati.

Yang kemarin ngotot pengen transfer uangnya siapa, coba?

"Kok jadi ketus gitu ngomongnya?" keluh Cessa.

Cessa jadi menyesali keputusannya mengantarkan Arion berobat ke klinik kalau mereka kini jadi saling beradu argumen.

Tidakkah Arion melihat ia sendiri juga masih belum pulih benar dari sakit maag yang ia rasakan?

Kalau saja ia mau bermasa bodoh dan tidak ambil pusing, laki-laki itu tidak akan ia hiraukan lagi.

Dasar aneh.

Udah tau alergi cokelat malah masih dimakan!

Mencari perhatian tidak harus seekstrim ini juga kan?

"Jadi Bapak gunain cara ini untuk dapetin perhatian saya?" simpul Cessa.

Iya, buat apalagi? Laki-laki ini kan suka bertindak aneh.

Kenapa juga ia bisa sayang sama dia?

"Beda. Saya lakuin ini karena kamu balikin kuenya ke saya."

Oh, karena kesal rupanya?

"Oh, jadi sekarang, Bapak mau nyalahin saya?"

"Ya. Semua salah kamu. Karena kamu selalu bikin saya kesal."

Selalu?

Ia hanya melakukan segala sesuatu untuk menjaga jarak terhadap Arion.

Kalau sekarang tindakannya dianggap selalu membuat Arion kesal, mengapa laki-laki itu juga selalu berusaha mendekatinya dan bertindak seakan-akan ia ini adalah hak milik Arion yang bisa klaim dan ia perlakukan sesuka hatinya?

Bikin makin kesal, tau nggak?

Cessa memilih bungkam, dan tetap berkonsentrasi menyetir. Mobil yang ia kemudikan ini bisa jadi kenapa-napa kalau ia sampai lost control.

Lupakan soal mobil ini.

Merekalah yang bisa kenapa-napa.

"Sorry."

Arion selalu membuat hatinya meleleh setiap ia mengucapkan maaf dengan suaranya yang lirih.

Arion memang selalu bertindak sesukanya, tetapi Arion juga selalu jadi orang pertama di antara mereka yang meminta maaf.

Jika bukan karena sayang, ia tidak tahu alasan lain dari sikap Arion yang satu itu.

"Di sini aja. Tadi juga saya singgah di sini. Antriannya nggak panjang." terang Cessa setelah memarkirkan mobil di area yang tersedia di lahan parkir sempit di depan klinik.

"Di sini nggak ada akses prioritas?" Arion memaksakan diri untuk menegakkan badan. Napasnya terdengar tersengal-sengal.

Astaga kasihan banget, sumpah.

"Apa Bapak mau langsung ke UGD?"

"Nggak usah. Cuma sesak napas doang."

Cuma? Susah bernapas itu adalah hal paling krusial dalam hidup seseorang.

Cessa tidak ingin mengambil resiko.

Mana jarak rumah sakit terdekat juga masih sekilo lebih?

"I'm fine. Cuma butuh obat aja."

"Ya udah." Cessa membuka pintu di sampingnya, kemudian memutari mobil untuk membuka pintu di samping Arion. Ia membantu Arion keluar dari mobil dan memapahnya berjalan memasuki klinik.

Beruntung klinik tersebut menyediakan akses untuk pasien gawat seperti tabung dan regulator oksigen hingga oxygen concentrator.

Setelah menerima asupan oksigen, dokter kemudian memeriksa kondisi Arion lebih lanjut sambil mendengarkan keluhan yang disampaikan Arion.

Selain sesak napas, Arion pun mengakui kepalanya terasa sakit dan perasaan mual, hendak muntah. Selain itu, di tubuhnya juga mulai muncul ruam merah, yang terasa gatal dan panas.

Dokter Ratna yang menangani Arion tersenyum kepada mereka.

"Sejauh ini kondisinya cukup terkendali. Tinggal menunggu napasnya kembali stabil. Saya sudah resepkan obat, nanti bisa ditebus."

"Jadi nggak perlu rawat inap?" tanya Cessa.

"Kita tunggu perkembangannya ya, Bu? Atau jika Ibu ragu, Pak Arion bisa langsung dibawa saja ke UGD setelah napasnya sudah kembali stabil."

"Nggak usah, Dok. Kasih aja obatnya. Saya udah mendingan kok," sahut Arion.

Dokter Ratna tersenyum ramah. "Jadi, bagaimana ceritanya sampai Pak Arion makan cokelat? Bukannya udah tau ya kalau cokelat itu makanan pantangannya?"

Arion meliriknya.

"Tanya aja sama dia, Dok."

Dokter Ratna tentu saja tidak akan sekepo itu menanyakan lebih lanjut. Mungkin tadi, ia hanya berbasa-basi saja.

"Kalau begitu, Bapak istirahat saja dulu. Nanti ada suster yang mengontrol kondisinya."

Cessa memandang keluar, pada langit yang menghitam.

"Sudah malam lagi."

***

Arion tidak menyangka bisa melihat Ayana di dekatnya.

Berada di apartemennya lagi.

"Masih pengen muntah?" tanya Ayana. Baru saja, Ayana mengantarnya sampai ke kamar mandi karena ia ingin muntah. Namun, sesampainya di dalam, ternyata tidak ada juga yang bisa dikeluarkan.

"Nggak dulu," jawab Arion. Ia mengamati wajah Ayana saat gadis itu sedang memasangkan selimut. Ia memilih berbaring di sofa karena merasa lebih nyaman berada di sana.

Wajah Ayana nyaris tanpa make-up. Atau mungkin riasannya natural. Bibir gadis itu hanya dipulas pelembab, bukan lipstik.

"Jadi, Bapak mau makan apa? Karena obatnya harus diminum setelah makan."

"Kamu."

Ayana mengerutkan kening.

"Aku mau makan kamu," terangnya.

Ayana memunculkan cibiran khasnya.

"Ngomong yang normal aja deh,"

"Masakin. Aku nggak pernah punya kesempatan makan masakan kamu. Padahal kemarin-kemarin udah saya buat planning."

"Iya, tapi Bapak mau makan apa?"

"Apa aja asal kamu yang masak."

"Ya udah. Bubur aja kalo gitu."

"Nooo."

"Suka nggak konsisten deh. Tadi bilangnya apa aja."

"Selain bubur dan mie instant."

Cessa mendesah.

"Saya lihat deh di dapur, apa yang bisa saya masak."

***

Cessa mengeluarkan beberapa bahan yang berhasil ia temukan di dalam kulkas. Isi kulkas di apartemen itu terbilang lumayan. Meskipun tidak ada sayuran selain beberapa buah tomat yang sudah keriput. Asumsinya, Arion tidak suka makan sayur. Beruntung, stok buah-buahan lumayan banyak. Anggur, apel, pir dan kiwi. Mungkin ia bisa membuatkan salad buah atau buah potong, tergantung mood-nya nanti. Untuk saat ini, ia fokus memikirkan memasak bahan makanan yang ada.

Ada telur ayam, sosis, kornet, serta daun bawang.

Memasak bukan keahliannya.

Kalau sekadar membuat nasi goreng dan omelet, ia bisa.

Setelah masakannya selesai, Cessa mencicipi sekali lagi. Rasanya cukup enak, kendati rasanya tidak bisa dibandingkan dengan nasi goreng buatan mama. Omeletnya juga sedikit terlalu asin.

"Saya pikir kamu mau bikin olahan ayam." Arion mengambil sendok dan mulai menyendok nasi goreng.

"Nasi gorengnya nggak saya kasih kecap. Dan, saya nggak bisa masak yang canggih-canggih. Saya nggak tau ngolah ayam."

"Kamu memang minta dinikahin cepat-cepat ya? Omeletnya asin. Nasi gorengnya malah nggak begitu berasa gurih." Arion tersenyum.

"Ya makanya, omeletnya saya bikin lebih asin," Cessa beralasan. "Bukan karena pengen cepat-cepat nikah."

"Saya akan lamar kamu secepatnya," bisik Arion.

"Saya nggak mau mikirin soal itu lagi."

"Kenapa?"

"Ya, saya nggak mau berekspektasi aja." Cessa menarik napas. "Lagipula, saya udah say goodbye sama Bapak."

"Saya minta maaf soal Carol." Arion menggeleng. "No, Ay. Saya sayang banget sama kamu. Tolong jangan pernah berpikir untuk ninggalin saya."

"We don't deserve each other."

"Asal kita saling sayang dan mau berkomitmen, nggak akan ada masalah."

"Sejak awal perasaan Bapak ke saya juga sudah jadi masalah."

"Ay, saya nggak suka tiap kamu ngomong seperti ini. Kamu nggak mau berjuang bersama saya?"

"Bukannya begitu, Pak. Saya hanya harus berpikir realistis."

"Saya juga berpikir realistis, Ay. Makanya saya mau menikahi kamu. Saya nggak mau hanya bermimpi bisa memiliki kamu, tapi nggak take steps to action to make it real."

"Perasaan cinta saya nggak sebesar perasaan Bapak ke saya."

"Perasaan cinta nggak selalu equal, Ay. Karena perasaan adalah sesuatu yang nggak bisa terukur dengan angka-angka, seperti dalam laporan keuangan. Saya hanya butuh mencintai kamu sebesar yang saya punya, dan kamu membalasnya, meskipun dengan kadar yang tidak sama. Dan meskipun mungkin hati kamu nggak akan bisa seutuhnya bisa menerima saya dengan segala kekurangan saya."

Cessa tercenung. Selama ini, ia selalu menganggap hubungannya dengan Arion tidak lebih dari sebuah mimpi. Sebatas khayalan semu. Kalaupun kini dalam hatinya terselip satu nama saja, yaitu Arion, ia tidak bisa mengakuinya terang-terangan. Mencintai Arion tanpa jaminan akan masa depan yang jelas tentang mereka berdua ibarat menikam belati ke jantungnya sendiri. Ia akan jadi pihak yang paling tersakiti jika akhirnya mereka tidak berjodoh. Sementara Arion mungkin akan begitu mudahnya mencari pengganti dirinya setelah hubungan mereka berakhir.

"Biar saya tebak, Ay." Arion mengucapkannya setelah meneguk air putih dan menyingkirkan piring nasi goreng yang hanya disendoknya tidak lebih dari lima suapan. "Biar saya tebak ketakutan kamu. Pertama, kamu takut kalau saya nggak serius sama kamu. Yang kedua, kamu takut, papa saya nggak merestui hubungan kita."

Cessa harus mengakui, Arion bisa membaca pikirannya saat ini.

Ya, dua hal itu adalah alasan ia tidak bisa memantapkan diri untuk memberikan hatinya sepenuhnya kepada Arion. Jika akhirnya mereka tidak berjodoh, paling tidak, ia bisa menjaga hatinya dari tingkat kerusakan yang lebih parah.

Membayangkan laki-laki yang dengan tidak tahu malu mengejar-ngejarnya ternyata menjadi milik perempuan lain di masa depan, membuatnya sedih. Membayangkan senyum nakal dan usil Arion yang anehnya sering membuatnya rindu itu tidak akan pernah lagi tertuju padanya, membuat kesedihan semakin berlipat dan bertambah.

Jika memang mereka tidak berjodoh, mengapa Tuhan harus mempertemukan mereka?

"Kalau Bapak sudah tahu alasannya, seharusnya Bapak bisa memahami kan kenapa saya selalu bersikap seolah saya sangat membenci Bapak? Itu cara saya bertahan. Cara saya melindungi hati saya dari kerusakan yang lebih besar. Saya selalu mengabaikan segala perhatian Bapak kepada saya, karena saya sadar, bahwa kebersamaan saya dengan Bapak seperti...seperti sebuah mimpi. Mimpi, seindah apapun, pasti akan berakhir saat seseorang terbangun."

"Kamu nggak sedang bermimpi, Ay. Saya nyata buat kamu, kamu nyata buat saya. Kita hanya perlu memperjuangkan hubungan ini. Bersama-sama."

Cessa menatap Arion dengan pandangannya yang mengabur.

"Maaf, Pak. Saya nggak bisa."

"Nggak bisa apa, Ay?" suara Arion yang begitu lembut, membuat dadanya terasa sesak.

"Saya akan baik-baik saja tanpa Bapak."

Arion memandangnya lekat. "Tapi saya yang nggak akan baik-baik saja tanpa kamu, Ay. Kamu lihat gimana saya nggak peduli kue cokelat itu bisa membunuh saya setelah kamu menolaknya? Saya bisa ngelakuin yang lebih daripada itu, bahkan yang lebih buruk dari yang bisa kamu bayangkan. Kehidupan saya bisa hancur tanpa keberadaan kamu."

"Pak, tolong. Jangan membuat saya semakin bersalah." Kali ini Cessa tidak lagi kuasa membendung airmatanya. "Saya nggak pantas mendapat cinta sebesar ini dari Bapak."

"Jangan pernah sekalipun kamu berpikir untuk ninggalin saya, Ay." Arion mengenggam erat tangannya. "Saya cinta sama kamu. Saya sayang sama kamu. Saya nggak akan pernah bosan mengatakan tentang perasaan saya sama kamu."

Arion mengusapkan airmatanya dan mengecup keningnya, membuat airmata Cessa semakin deras mengalir. Arion menyerah mengusapkan airmatanya yang semakin meleleh dan memilih membenamkan Cessa dalam pelukannya.

"Badan saya pasti baunya udah nggak enak." Arion lalu melepaskan pelukannya dan mengendus kemejanya.

Benar-benar pintar merusak momen ya?

"Kulit Bapak kan masih ada ruamnya? Nggak pa-pa kena air?"

Arion tersenyum. "Nggak apa-apa. Saya mandi pake air hangat saja."

Cessa teringat, Arion belum minum obat setelah makan tadi. "Minum obatnya dulu kalo gitu."

"Mm, ya." Arion menurut patuh saat Cessa menyodorkan obat untuk diminum. Arion malah memintanya menyuapkan butiran obat ke dalam mulutnya.

"Thanks, Sayang." Setelah itu, Arion mengecup lagi keningnya. "Saya mandi dulu ya?"

***

"Jadi besok, Bapak bakal masuk kantor kan?"

"Mmh. Kenapa? Kamu takut bakal kangen sama saya?"

"GR. Bukannya Bapak yang bakal kangen nggak ngeliat saya seharian?"

"Angkuh banget kamu, Ay." Arion tidak tahan untuk mengendus leher Ayana. Ia sudah mandi, jadi bebas berada di dekat gadis itu dan memanfaatkan momen bahagia itu di mana ia bisa memeluk Ayana yang berbaring di atasnya.

Mereka kini tengah berbagi wilayah sofa yang cukup sempit. Tidak ada hal lain yang terjadi. Mereka hanya menghabiskan waktu menonton TV bersama sambil mengobrol. Tadinya mereka hanya duduk berdampingan. Namun, beberapa saat kemudian ia meminta berbaring di pangkuan Ayana. Setengah jam kemudian, Ayana berbaring di atasnya. Dengan syarat, tidak boleh sampai melampaui batas.

"Kamu nginap aja ya?" tanya Arion sambil mengusap bibir Ayana. Sampai detik ini, ia masih membayangkan bagaimana rasa bibir mungil itu. Terakhir kali menggigitnya di halaman rumah Ayana, ia lupa tidak menyelipkan lidah ke dalamnya. Jika saja hal itu ia lakukan saat itu, ia yakin Ayana juga tidak akan bisa menolak. Sialnya, keberaniannya saat itu hanya sebatas membuat gadis itu marah.

"Nggak ah."

"Kenapa? Takut saya mesumin?"

"Iya, Bapak direktur keuangan yang mesumnya nggak ada obat."

"Tapi kan kamu cinta?" Arion lalu memosisikan tubuh Ayana hingga pinggul mereka saling bertemu. Ia membuka mulutnya. "Ay, telunjuk kanan kamu mana?"

"Mau ngapain?"

"Nunggu lidah kamu mesti nunggu selesai ijab kabul. Jadi sebagai gantinya...,"

"Apaan sih. Jorok tau nggak?" Ayana menolak.

"Astaga, Ay. Ayo dong." Arion masih berupaya merayu Ayana.

Gila banget. Padahal posisi tubuh mereka seperti ini saja sudah memudahkan aksesnya untuk bercinta dengan gadis itu. Ia tinggal membuka jinsnya dan jins yang dikenakan Ayana. Dan seterusnya, mereka bisa saling menjamah tubuh satu sama lain.

"Open your mouth," perintah Ayana. "Tapi tutup mata."

"Apa sih, Yang? Ribet amat?" Arion melakukan apa yang Ayana perintahkan.

Belum berapa detik, Arion kembali membuka mata setelah merasakan sesuatu di dalam mulutnya yang adalah telunjuknya sendiri.

Ayana tertawa.

"I swear, i will give you all, after we married."

"Janji ya? Aku tagih lho nanti di malam pertama."

Ayana mengangguk. Ia mendesah. "Ya meskipun, belum tentu juga kan?"

Arion menggumam. "Kalo nggak sama kamu, aku nggak mau nikah seumur hidup. Aku milih melajang seumur hidup."

"Ucapan itu doa lho, Pak."

Arion menggeram. "Ay, please. Aku cuma terima ucapan Pak atau Bapak kalau kita lagi di kantor."

"Nggak terbiasa."

"Panggil Mas atau namaku saja," pinta Arion.

"Nggak bisa." Ayana tertawa melihat wajahnya. "Muka Bapak lucu deh kalo lagi ngambek."

"Tau nggak, Ay. Cuma sama kamu aku ngambek. Kamu perempuan pertama yang bisa bikin aku jadi seperti ini." Kemudian Arion berdecak. "Cinta sama kamu bisa bikin aku jadi konyol ya? Kamu beneran nggak pasang susuk atau pelet, Ay?"

Ayana mencubit hidungnya. "Sembarangan."

Untuk pertamakali, Saudara-saudara. Ayana menyentuh wajahnya.

Darahnya berdesir, tubuhnya gemetar.

Nggak macho banget, asli.

Bagaimana jika setelah menikah, Ayana mengontrol hubungan seks mereka. Ia jadi akan lebih mirip seperti gadis yang kehilangan keperawanannya di malam pertama. Alias malu-malu kucing.

"Saya bakal kabulin semua request Bapak setelah kita resmi menikah, termasuk soal sapaan dan lain-lainnya." Ayana tersenyum manis sekali. "Udahan ah. Saya mau pulang dulu. Udah jam 9."

"Aku antar, Ay."

Ayana menggeleng. "Bisa pulang sendiri."

Ayana lalu beranjak dari posisinya. Membuat perasaan Arion menjadi hampa.

Padahal mereka hanya berpisah untuk sementara bukan untuk selamanya.

"Ay, serius. Aku nggak mau kamu pulang sendiri." Arion masih berusaha membujuk Ayana yang kini sedang mengemasi tas.

"Bapak kan masih sakit?"

"Udah sembuh, kok. Gantian kan kamu udah nganterin aku ke klinik, trus sampai ke sini?"

"Istirahat aja, Pak." Ayana tetap menolak.

Akh, beneran bikin gemas kan?

Arion mengikuti langkah Ayana menuju pintu tanpa pernah melepaskan genggaman tangannya kepada gadis itu.

"Saya kabari deh kalau sudah sampe di kostan." Ayana melepaskan genggaman tangannya dengan sikap lembut. "See you tomorrow."

"Saya pasti nggak bakal bisa tidur nyenyak mikirin kamu," ucap Arion sambil mengelus pipi kiri Ayana dengan jemarinya.

"Jangan terlalu bucin sampai kebawa susah tidur, Pak. Saya nggak mau besok keluhan Bapak beda lagi."

"Kamu susah tidur juga dong, Ay. Biar saya nggak begadang sendirian."

"Ya udah, saya kasih obat tidur deh, biar Bapak tidurnya lelap."

Lalu Ayana melangkah maju, menelengkan kepala dan mencium pipi kirinya. Arion bahkan memejamkan mata, meresapi betapa indahnya sentuhan itu. Bibir Ayana terasa hangat dan lembut di pipinya.

Saat Ayana menarik wajahnya, Arion balas menelengkan wajah hingga bibir Ayana bersentuhan dengan bibirnya.

Hanya sekadar ciuman kasual dalam waktu satu detik. Namun, efeknya begitu dahsyat. Napasnya mulai terasa sesak. Perasaan menyiksa yang kemudian tergantikan buncahan kebahagiaan yang terasa begitu hangat di dada. Seperti letupan kembang api. Atau hujan confetti.

Damn, it's just a one second kiss.

Gimana jadinya nanti momen unboxing di malam pertama?

Ia mati bahagia, mungkin.

***

Kaget ya kenapa ada update padahal belum hari Rabu? Jawabannya karena saya nggak mau geregetan sendiri :D aduh nasib jadi penulis. Enakan baca aja lho, biar deg-degannya ga kaya gini :D

Bakal berakhir di part berapa? Tungguin aja ya :D

Oh, ya. Buat pembaca baru, semoga kalian nggak bingung sama alur cerita ini. Sinopsis yang aku share mungkin akan memberi pengertian yang salah.Fyi, draft ini masih akan aku perbaiki lagi. Aku posting di Wattpad, karena memudahkan buatku menyelesaikan naskahnya. Maaf kalau ada bagian-bagian yang kurang ngena di kalian, soal alur kecepetan dll, kalian bisa kasih tanggapan untuk perbaikan ke depannya.

Aku nyerah nyari cast buat Arion :D jadi untuk sementara, aku pajang aja lagi wajah si cantik Ay Ay :DDD

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro