22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


22



Ayana Sayang : Saya udh sampai

Arion : Gak sabar ketemu kamu besok

Ayana Sayang : jgn begadang

Arion : Iya, Sayang. Ay, aku sayang sama kamu

Arion : Dibales dong

Ayana Sayang : Aku sayang kamu

***

Senyuman terbit di wajah Cessa tanpa bisa ia tahan. Aneh, mengapa ia bisa tersenyum hanya karena membaca chat dari Arion. Padahal, ia telah terbiasa mengabaikan, karena menganggapnya tidak penting. Tapi mengapa sekarang, rasanya berbeda?

Arion : Sayang kamu, Ay. Aku masih belum tidur mikirin kamu

Dasar gombal.

Sudah nyaris tengah malam, matanya belum juga bisa terpejam.

Gara-gara Arion nih.

Akh. Benci banget.

Mengapa ia bisa jadi begini sih?

***

"Tidurnya nyenyak?" tanya Arion ketika Cessa duduk di meja kerjanya.

"Nyenyak dong," jawab Cessa.

"Lumayan bisa tidur tiga jam." Arion menguap, yang kemudian ia tutupi dengan telapak tangan.

Kok sama? Semalam pun ia tidur sekitar tiga atau empat jam. Dan rasa kantuk masih terasa sampai ia tiba di kantor.

Tapi, Cessa tidak mungkin mengatakannya. Bisa-bisa Arion akan semakin GR.

"Gimana keadaan Bapak? Mual sama gatalnya gimana?" Cessa beralih menanyakan hal kondisi Arion setelah kemarin terserang alergi cokelat.

"Udah mendingan. Mualnya udah nggak. Gatal-gatalnya tinggal dikit. Udah nggak gitu ganggu lagi." Arion menambahkan dengan senyum cemerlang. "Berkat kamu, suster cantik."

Rasanya lega mendengarnya. Cessa berhasil mengabaikan senyum menggoda yang ditunjukkan Arion kepadanya.

Suster cantik, huh? Mujinya bisa banget ya.

Kalau Arion terus menggodanya, bagaimana bisa ia berkonsentrasi dalam bekerja? Ia datang ke sana untuk bekerja, bukan menghabiskan waktu mendengarkan rayuan disertai senyum mesum khas Arion.

"Pak, saya kerja di meja saya aja ya?"

"Kenapa? Kamu terganggu sama sikap saya?" Arion berdehem sambil merapikan dasi. "Bisa dikondisikan. Saya nggak akan gombalin kamu. Untuk sementara."

"Janji ya?" Anggukan Arion terlihat kemudian. Dalam hal ini, Cessa yakin laki-laki itu bisa diandalkan. Arion selalu profesional, yaah terlepas dari kelakuannya yang ajaib.

Arion berbicara dengan sekretarisnya melalui interkom. Berselang beberapa menit, Melissa masuk ke ruang kerja. Arion terdengar menanyakan tentang jadwal hari itu. Melissa memberikan daftarnya, kemudian menawarkan kopi.

"Beritahu OB buatin kopi untuk Bu Ayana juga ya?"

Cessa merasa lucu setiap Arion menyebut namanya dengan menambahkan "Bu" di depan namanya.

"Nggak usah. Saya udah minum kopi di rumah. Minumnya, saya bawa tumbler sendiri," Cessa menolak dan menunjukkan tumbler berisi air putih yang ia bawa serta ke ruangan itu.

"Ya udah kalo gitu." Melissa hanya meliriknya, sebelum pamit kepada Arion.

Arion hanya mengangkat alis melihat gerak-gerik Melissa.

"Saya kerja di meja saya aja, Pak."

"Kenapa?"

"Sekretaris Bapak." Cessa beralasan, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Ia yakin Arion mengerti maksudnya.

Melissa kerap melemparkan tatapan sinis setiap melihatnya keluar atau masuk ruangan Arion. kali ini bukan tatapan sinis yang ia dapat karena ada Arion di situ, tetapi tetap saja Cessa merasakan aura yang tidak begitu baik.

"Biarin aja. Dia kan udah tau kita lagi ngerjain laporan bareng," balasnya kalem. Arion meyakinkannya untuk tidak memedulikan apapun yang bisa menghambat pekerjaan mereka.

Kali ini Cessa mengangguk pelan.

"Oke kalo gitu."

Suasana di ruang kerja Arion terasa lebih rileks daripada hari Senin kemarin. Satu hal yang disyukuri Cessa adalah, mereka bisa bekerja dalam suasana damai. Karena perasaan mereka tidak lagi digelayuti awan mendung. Cessa bisa tersenyum tanpa canggung. Arion kini bisa mengontrol tingkah gombalnya, mengingat pekerjaan mereka masih banyak.

Ia rasa, mereka bisa jadi partner kerja yang baik.

Jam demi jam berlalu menuju jam makan siang. Arion mengajaknya makan siang bersama, tapi Cessa segera menolaknya.

"Saya makan siang sama teman-teman saya saja, Pak."

"Saya maunya makan siang sama kamu."

Cessa tetap menggeleng, menolak.

***

Tatap mata Arion tidak bisa ke mana-mana lagi. Hanya kepada Ayana yang menolak ajakan makan siang bersama. Tadinya, ia bermaksud mengajak Ayana makan siang bersama di luar kantor, tetapi Ayana menolak. Ia mengatakan bahwa ia sudah janji makan siang bersama teman-temannya.

Tapi, tentu saja ia tidak pernah kehabisan akal. Setiap peluang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

"Saya bisa gabung di meja kalian?"

Arion ingin memberikan kejutan kepada Ayana. Saat ia tiba di meja khusus staf, gadis itu sedang menikmati nasi campur dengan lauk ayam goreng dan telur balado saat ia datang ke meja panjang yang bisa memuat enam orang.

"Pak?" Cessa melebarkan mata ke arahnya.

Terlambat untuk menolak. Ia sudah duduk di kursi kosong di samping Ayana.

Ketiga staf yang selalu bersama Ayana ke mana-mana, kompak menoleh kepadanya dan menunjukkan sikap memperbolehkan. Meski dengan wajah mereka yang terlihat tidak santai, efek terkejut akan aksi spontanitas itu.

"Silahkan, Pak."

Arion membetulkan posisi kursi yang ia duduki, kemudian mengamati keadaan di sekitarnya yang masih cukup ramai pada jam makan siang. Ia menangkap ekspresi dari beberapa karyawan yang melihatnya. Ia tidak punya waktu menerjemahkan berbagai ekspresi tersebut. Jika mereka mulai membicarakan tentangnya, ia memilih bermasa bodoh. Misalnya, tentang dirinya yang duduk bersama staf pada jam makan siang. Sebuah hal yang tidak lumrah, tetapi juga bukan hal terlarang. Setiap orang yang makan di kafetaria, bebas memilih duduk di tempat yang disukai.

Dan tentu saja, sebagai seorang bos, ia pun bisa memilih duduk di mana saja.

"Ayo silahkan makan. Jangan merasa terganggu dengan kehadiran saya di sini." Arion lalu menuding ke piring Ayana. "Kamu banyak makan biar sehat."

"Ini udah habis setengah." Ayana menjawab lalu melanjutkan makan.

Sekali-kali ia ingin mereka makan siang bersama. Sejak kebersamaan mereka kemarin, Arion mengakui jika ia semakin tidak bisa jauh dari Ayana. Hingga ia berusaha keras mencari cara bagaimana ia bisa terus melihat Ayana, pujaan hatinya.

Suasana meja tersebut lebih hening dari yang bisa dibayangkan.

Apakah kehadirannya di sana terasa mengganggu?

"Lo aja."

"Lo aja duluan."

Bisik-bisik itu terdengar di antara ketiga staf tersebut.

Akhirnya staf bernama Jenn memberitahu kepada teman-temannya untuk mengambil pencuci mulut. Langkahnya meninggalkan meja diikuti dua orang lainnya.

Apa mereka sengaja meninggalkan ia dan Ayana berdua di meja itu?

Jika memang benar, ia tidak akan berpikir panjang untuk menaikkan gaji mereka dalam hitungan seminggu kerja.

"Bapak kenapa sih harus gabung makan di sini? Meja ini khusus untuk staf, bukan buat direksi."

"Suka-suka dong, saya mau duduk di mana? Saya sesekali ingin merasakan atmosfir makan siang yang berbeda. Biar saya tau gimana rasanya makan di meja staf. Ternyata sama saja ya?" Arion rasanya ingin menertawakan dirinya sendiri. Sebenarnya hal ini sedikit konyol.

"Iya, tapi habis ini, pasti teman-teman saya bakal mencecar saya dengan pertanyaan khas wartawan infotainment."

Arion tergelak. "Apa mereka seperti itu?"

"Tentu saja."

"Saya nggak begitu peduli soal itu. Kamu mau saya ngasih tau mereka soal hubungan kita?"

Cessa berhenti mengunyah. Ditatapnya kedua mata Arion, kemudian melanjutkan lagi makannya.

"Bapak tau kan aturannya?"

"Iya tentu saja. Tapi saya memilih mengabaikan hal itu."

"Bapak mau bikin saya dipecat?"

Arion menghela napas.

"Sebenarnya, saya mulai mikirin opsi lain." Tapi Arion tidak mengatakan apa yang ia maksud dengan opsi lain tersebut.

"Opsi lain?"

Arion berbisik. "Saya nggak bisa ngomongin soal itu di sini."

Ayana hanya mengangguk pelan, kemudian meneruskan makan. Arion menunggu sampai Ayana menelan makanan dalam mulutnya sebelum mengajaknya bicara lagi.

"Sepertinya teman-teman kamu nggak bakal balik ke meja ini."

Ayana langsung menoleh, mencari keberadaan teman-temannya. Arion tersenyum karena mereka kini telah duduk di meja lain.

"Mereka pasti sudah curiga," ucap Arion. "Apa perlu saya balik ke meja saya saja?"

"Sebaiknya begitu," jawab Ayana. Wajahnya terlihat tidak tenang. "Saya beneran kepikiran deh soal ini. Saya nggak mau digosipin punya hubungan sama Bapak. Yaa meskipun...," Ayana menghentikan kalimat yang terucap. Ia menoleh kanan kiri, nampak khawatir ada yang menguping pembicaraan mereka.

"Saya akan segera bicara ke papa saya soal...kita. Papa sudah pulang dari New York, jadi saya nggak akan menunda lagi." Arion melanjutkan. "Mama yang ngasih kabar soal itu. Dan...kata Mama, Papa sudah tau soal kamu. Mama menceritakan ke Papa kemarin malam, saat mereka makan malam bersama. Tapi, Papa belum ngasih respon apa-apa. Jadi, saya sendiri yang akan bicara."

Tatapan Ayana kepadanya terlihat ragu. Tentu saja, Arion tidak ingin Ayana meragukannya lagi. Arion ingin meyakinkan Ayana bahwa ia serius dengan keinginannya menikahi gadis itu.

"We're gonna make it. Ay."

***

Arion melakukan semacam latihan pernapasan dengan menarik dan membuang napas berulangkali setelah turun dari mobil. Kebiasaan itu selalu ia lakukan setiapkali hendak bertemu dengan papa.

Arion memutuskan datang ke sana karena tidak ingin menunda waktu. Ia singgah ke apartemen untuk mandi dan berganti pakaian, beristirahat sejenak kemudian memacu mobilnya menuju rumah orangtuanya.

"Akhirnya kamu datang juga ke rumah ini,"

Suara Papa yang lantang dan tegas menyambut Arion ketika ia memasuki ruang keluarga. Berada satu ruangan dengan papa bukan hal favoritnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.

Raut wajah papa seolah menyiratkan kalimat ' kamu hanya akan datang ke sini jika ada hal penting yang ingin dibicarakan'.

"Sudah makan malam?"

"Sudah, Pa," jawab Arion.

Papa nampaknya tidak ingin berbasa-basi. Arion pun demikian. Ia datang ke sana hanya untuk memberitahukan maksud kedatangannya, meminta restu, dan pulang setelah mendapatkan restu dari papa.

Jelas tidak akan sesederhana itu. Menjadi anaknya, mengajarkan Arion satu hal. Bahwa menghadapi papa tidak pernah mudah. Dari seluruh anggota keluarga ini, tidak ada satupun yang bisa meraih hatinya dengan mudah. Adel, adik bungsunya pun yang jelas-jelas jadi anak kesayangan papa, juga mengakui jika sosok papa yang kelewat tegas tidak begitu membuat nyaman saat berada di dekatnya. Jika Adel saja merasakan perasaan seperti itu di dekat papa, lalu bagaimana sikap papa kepadanya? Sudah pasti akan lebih buruk. Ia memang bukan anak favorit papa, karena sikapnya yang sering membangkang. Jadi, ia tidak mau memasang ekspektasi terlalu tinggi.

"Bagaimana pekerjaan kamu di kantor? Papa dengar manajer keuangan masuk rumahsakit." Papa selalu memulai pembicaraan tentang kantor sebelum berpindah ke topik lain.

"Iya, Pa. Pak Dayat lagi sakit, cutinya sampai Minggu depan. Pekerjaan di kantor juga baik-baik saja," jawab Arion, tanpa sadar menelan ludah. Aura papa begitu dominan. Mau tidak mau, nyalinya mulai menciut. Tapi hal itu tidak akan membuatnya berhenti.

Papa mengetuk-ngetukkan jari di sandaran tangan sofa single yang ia duduki. Raut wajahnya lelah, kerutan di keningnya semakin banyak. Papa pasti terlalu banyak berpikir belakangan ini.

"Lalu siapa yang meng-handle pekerjaannya?"

"Aku. Sama asisten manajer keuangan."

"Pacar baru kamu?"

Arion mengangguk.

"Calon isteriku, Pa."

Papa tergelak. "Mama kamu sudah bilang ke Papa soal itu. Papa bahkan belum pernah ketemu gadis itu dan kamu sudah nyebut dia sebagai calon isteri kamu."

"Arion datang ke sini untuk minta restu dari Papa. Mama sudah merestui, jadi sekarang Arion butuh restu dari Papa."

"Papa sudah dapat informasi tentang siapa sosok gadis yang kamu klaim sebagai calon isteri kamu." Papa menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu tahu apa konsekuensinya sama tindakan kamu ini?"

"Tolong, Papa jangan coba-coba menyakiti Ayana."

"Papa hanya melakukan tugas Papa untuk memastikan kamu mendapatkan calon isteri yang pantas."

"Apa maksud Papa dengan calon isteri yang pantas? Papa mau bilang kalau pilihanku nggak pantas?"

"Carilah calon yang sepadan dengan keluarga kita, Arion. Apa kata-kata Papa itu tidak jelas buat kamu?" Papa melanjutkan. "Sebelum Papa mengambil tindakan sendiri, kamu harus segera memutuskan hubungan kalian." Papa mengeluh dengan suara tegas. "Kenapa selera kamu selalu bertolak belakang dengan menantu yang Papa inginkan?"

Ia tidak peduli dengan sosok menantu seperti apa yang diinginkan papa. Karena, ia tidak mau peduli segala sesuatu yang papa rencanakan dan tidak sesuai dengan keinginannya. Arion tidak ingin diatur-atur lagi. Ia sudah dewasa dan berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri.

"Arion cinta sama Ayana, Pa."

"Cinta itu bisa luntur, Arion. Tapi tidak dengan reputasi keluarga ini."

"Papa menolak hanya karena Ayana berasal dari keluarga biasa?"

"Hanya? Kamu bilang hanya? Latar belakang keluarga adalah hal pertama yang Papa lihat untuk jadi bahan pertimbangan Papa. Seharusnya kamu sadar akan hal itu."

Arion membuang pandangan dan menemukan bayangan mama dan Adel yang menguping percakapan mereka dari balik dinding.

"Aku hanya mau nikah sama Ayana, Pa. Hanya itu yang aku bisa bilang sekarang."

Dari kejauhan, Mama mengacungkan jempol. Begitupun Adel.

"Baiklah kalau itu mau kamu." Papa beranjak dari duduk. "Atur pertemuan dengan siapapun itu yang mau kamu nikahi, hari Minggu ini."

"Jadi, Papa setuju?"

"Apa ada kata-kata Papa yang bilang Papa setuju?" Papa berbalik. "Bawa saja dia ke sini, baru Papa bisa memutuskan keputusan apa yang harus Papa ambil nanti."

"Aku hanya mau bawa dia ke sini kalau Papa berjanji akan merestui hubungan kami."

Papa terdiam sesaat.

Arion menunggu jawaban yang melegakan dari papa. Tidak ada salahnya berharap.

Tapi kalimat papa berikutnya begitu mengejutkan sampai-sampai Arion berharap apa yang ia dengar hanya halusinasinya saja.

"Kalau begitu, lebih baik kamu lupakan saja meminta restu dari Papa. Karena Papa tidak bisa memberikan restu jika kamu memaksa. Papa tidak suka cara kamu bicara sama Papa."

"Pa, aku minta maaf kalau aku sudah menyinggung perasaan Papa."

Papa mengangkat satu tangan sebagai isyarat untuk menyuruhnya diam.

"Kamu hanya akan menikah dengan perempuan pilihan Papa."

"Pa, dengar dulu."

Papa mengakhiri percakapan kali itu dengan meminta Arion untuk tidak berbicara apa-apa lagi. Tidak ada diskusi apa-apa lagi malam itu. Papa mengambil remote yang tergeletak di atas meja dan menyalakan TV.

Mama melangkah cepat keluar dari persembunyian, diikuti oleh Adel.

"Ri, duduk dulu." Mama memintanya tetap duduk ketika melihat Arion mulai beranjak dari duduk. Adel dengan sigap duduk di samping Arion dan menepuk pahanya.

"Semuanya bakal baik-baik saja. Percaya deh."

Arion mengusap lembut rambut Adel, setelah Adel meyakinkannya. Semoga saja, Mama dan Adel bisa membantunya mendapatkan restu dari papa.

"Paa. Arion dateng kok malah Papa nonton tivi? Udah lama kan Arion nggak ke sini, berkumpul bersama kita? Masa Papa malah jadi ketus gitu."

Papa masih memandangi monitor televisi. Tetapi ia masih mendengarkan ucapan mama.

"Lain kali, dia mesti belajar sama yang namanya sopan santun sama orangtua. Papa nggak suka dipaksa menuruti keinginan anak-anak. Apapun itu. Karena Papa harus memikirkan segala sesuatu dengan penuh pertimbangan sebelum mengambil keputusan. Papa selalu seperti itu sejak dulu. Dan selalu berhasil.

Mama mengelus-elus lengan papa dan menyandarkan kepala sejenak di bahu papa.

"Iya, Mama mengerti. Tapi kan Papa jangan langsung emosi begitu. Kasihan sama jantung Papa. Lagipula Arion datang ke sini dengan niat yang baik. Akhirnya Arion mau menikah. Itu kan yang Papa harapkan selama dua tahun belakangan ini? Apa Papa nggak senang dengan keputusan Arion?"

"Papa bukannya nggak senang. Papa malah senang kalau akhirnya Arion mau menikah. Tapi, Papa nggak mau Arion menikahi perempuan yang tidak setara dengan keluarga kita," desah Papa. "Papa heran, kenapa anak itu selalu jatuh cinta dengan karyawannya? Apa dia tidak belajar dari pengalaman?"

"Pa, lupain aja yang waktu itu. Kasih kesempatan sekali lagi untuk Arion membuktikan kalau perempuan pilihannya ini nggak akan mengecewakan apalagi mempermalukan keluarga kita." Mama berbisik. "Calon menantu kita ini cantik dan pintar. Anaknya juga sopan. Mama yakin, kali ini adalah pilihan yang tepat."

"Tapi, Ma? Perbedaan status sosial mereka akan menimbulkan masalah. Apa kata orang nanti?"

Mama menggeleng. "Gitu deh. Papa selalu saja mikirin penilaian orang lain. Iya, Mama paham maksud Papa soal menjaga status sosial keluarga. Tapi apakah harus dengan menikahi perempuan yang sepadan tapi nggak dicintai oleh anak kita?"

"Cinta bisa datang belakangan." Papa menegaskan. "Dulu, Papa sama Mama juga begitu kan?"

Mama kembali menggeleng. "Please, Pa. Mama nggak mau menantu kita merasakan hal yang sama dengan yang Mama rasakan. Bagaimana kalau bertahun-tahun nggak ada perkembangan dalam hubungan mereka, dan akhirnya memilih pilihan yang tidak menyenangkan? Mama mohon ke Papa. Tolong biarin Arion menentukan pilihan hidupnya. Selama ini Arion selalu mengikuti keinginan Papa, bukan? Yaah, meskipun pelariannya pada perempuan, tapi dalam hal lain, Arion selalu berusaha memberikan yang terbaik. Papa lihat kan gimana kerja keras Arion di perusahaan keluarga kita? Jadi anggap saja, ini sebagai hadiah untuk kerja kerasnya selama ini."

Papa terdiam, lalu meletakkan tangannya di atas telapak tangan mama.

"Papa hanya butuh mengenal lebih jauh calon menantu kita." Papa menghela napas. "Papa nggak bisa memberi restu sebelum benar-benar yakin."

Mama tersenyum. "Tapi Papa mau kan memberi kesempatan untuk lebih mengenal Ayana?"

Papa terdiam lagi, kemudian mengangguk pelan.

"Kalau mintanya seperti ini, Papa bisa bilang apa ke Mama?"

Arion tidak bisa menahan senyumnya lebih lebar lagi.

Ya Tuhan.

Semoga proses perkenalan Ayana kepada keluarga mereka berjalan dengan mulus, karena hanya dengan proses itu, papa bisa memberikan restu kepada mereka untuk menikah.

Kemudian ia mendengar papa dan mama mengobrol berdua tentang rencana mereka mempertemukan Ayana dengan keluarga besar seperti Opa, Oma dan keluarga inti lainnya. Ia tahu prosesnya tidak akan dilalui sekejap mata.

Tetapi paling tidak ada secercah harapan. Ia dan Ayana hanya harus berupaya lebih keras untuk meyakinkan keluarganya bahwa mereka pantas satu sama lain.

***

Bagaimana pendapat kalian tentang part ini? Kayanya nggak lama lagi ending ya :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro