01 || Will Stay?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tresna mengusap keringat yang mulai menetes di dahinya sambil menatap ke berbagai tenda stan untuk pameran bursa kerja. Bukan karena panasnya matahari, karena waktu baru menunjukkan pukul 10.00, tetapi karena pekerjaannya yang mengharuskan ia mondar-mandir serta angkat-angkat barang untuk mempersiapkan fasilitas acara. Senyum tipis terbersit di wajah kuning langsatnya saat melihat hasil kerja untuk menyiapkan acara pameran bursa kerja sore nanti.

Sebagai perwakilan fakultas, ia mengajukan diri menjadi salah satu panitia dalam acara Nusantara Jaya Job & Faculty Fair, sebuah agenda tahunan universitas untuk memfasilitasi para lulusannya dalam proses mencari kerja. Hitung-hitung sebagai pengabdian terakhir sebelum wisuda dan kesempatan mencari relasi. Siapa tahu dengan menjadi panitia, ia bisa memperoleh channel yang lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan.

Baru saja Tresna akan duduk dan menegak air mineral dingin yang ia ambil dari kotak penyimpanan minuman dingin, ponselnya bergetar.

"Res, di mana?" ujar suara laki-laki di ujung telepon.

"Masih di lapangan. Baru selesai finishing tenda. Kenapa?"

"Berarti udah bisa ke sana beresin barang-barang jobfair?"

Tresna melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya. "Kayaknya baru bisa setengah jam lagi. Gue konfirmasi dulu ke anak acaranya, ya."

"Lho, bukannya lo anak acara?"

Tresna terkekeh. "Info hoaks dari mana itu? Gue anak perkap."

"Ya ampun. Kirain. Lo, kan, anak acara sepanjang masa sejak SMA." Suara di seberang telepon itu ikut tertawa. "Anyway, setengah jam lagi berarti lo ke fakultas dulu bisa? Ikut bantuin temen-temen angkat barang. Ada satu personil nggak jadi dateng karena sakit."

"Jalan kaki?"

"Kalo lo mau gempor, ya, jalan aja sendiri. Udah, gue mau nyiapin yang lain lagi."

Tresna tertawa kecil, lalu mengembuskan napas panjang setelah telepon ditutup. Walaupun sudah mendapat mandat untuk fokus membantu persiapan dari pihak universitas, suka tidak suka, keterlibatannya itu pun dijadikan perpanjangan tangan dari fakultas tempatnya bernaung. Selain bursa kerja dari beberapa perusahaan kerja sama, universitas juga memberi ruang bagi seluruh fakultas mengadakan sosialisasi program studi. Terlebih lagi, pembukaan pendaftaran perguruan tinggi periode tahun ajaran ganjil akan segera dibuka.

Setelah berkoordinasi dengan divisi acara universitas, Tresna menuju tempat parkir motor. Ia tidak rela kakinya diajak kerja rodi untuk bolak-balik dari lapangan utama universitas ke fakultasnya, lalu kembali lagi ke lapangan utama. Bisa-bisa, sebelum acara selesai, ia sudah terkapar di pinggir jalan karena kakinya tak bisa berfungsi lagi.

Namun, lagi-lagi ponsel Tresna bergetar. Sebenarnya, ia sudah terbiasa dengan banyaknya telepon yang masuk karena sejak SMA, ia selalu menjadi panitia acara-acara serupa. Tak jarang, ia menjadi contact person dari acara yang diadakan meski dirinya bukanlah anggota humas.

"Nggak ada yang bisa negosiasi dan jawabin telepon sebaik lo, Res." Testimoni dari teman-teman SMA-nya selalu seragam dan tidak pernah berubah.

Untung saja Tresna bukan tipe orang yang lelah menjawab telepon. Justru ia senang bisa menjalin relasi dan berbincang dengan orang baru. Negosiasi dan diskusi kerja sama bukanlah hal yang sulit baginya. Mungkin itulah mengapa ia memilih jurusan ilmu komunikasi dengan peminatan Public Relations dan melanjutkan studi S2-nya di jurusan yang sama.

Ponsel yang bergetar akhirnya diangkat setelah Tresna sampai di motornya. Sambil duduk di atas motor, ia menjawab panggilan dari kontak bernama Ibunda.

"Assalamualaikum, Bun. Ada apa?"

"Kamu udah makan, Dek?" Sebagai anak bungsu, sejak kecil ibunya selalu memanggil Tresna dengan panggilan Dek.

"Belum jam makan siang, Bun. Nanti Tresna makan habis zuhur. Ini masih nyiapin acara buat nanti sore."

"Oh, ya, jangan lupa makan, ya. Ini Bunda mau nyampein pesan dari Pak Bagus kalau beliau ngajak kita makan malam bareng besok di rumahnya. Kamu inget Pak Bagus, kan?"

"Teman dekatnya Ayah yang waktu itu ke rumah sehabis dari Turki, kan?"

"Alhamdulillah kalo kamu inget. Sama ini, Bunda takut kamu kaget jadi Bunda woro-woro dulu sekarang. Kata Ayah, Pak Bagus lagi nyari mantu buat nikah sama anak perempuannya."

"Oh, iya." Tresna tersenyum, tetapi ada sedikit rasa sakit di ujung hatinya. Ia tahu ke mana arah pembicaraan itu akan berlangsung, tetapi memilih untuk diam dan mengikuti arus pembicaraan ibunya terlebih dulu.

"Ya, besok persiapkan dirimu aja, ya. Kamu, kan, tinggal wisuda. Insyaa Allah nanti juga cepet dapat kerjaan. Atau kalau enggak, ditawarin Pak Bagus juga buat kerja di tempatnya. Paham maksud Bunda, kan, Dek?"

Tresna mengangguk. "He-em."

"Ya, sudah. Lanjutkan kegiatan Adek. Nanti kalau pulang malam lagi, kabari Bunda, ya."

Setelah mengucap salam dan telepon ditutup, lagi-lagi Tresna menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Namun, kali ini napasnya terasa lebih berat. Ia menatap layar ponselnya selama beberapa detik. Kemudian, perlahan jemarinya mengusap layar beberapa kali dan membuka sebuah album foto.

Tresna mengusap layar ponsel terus menerus, membuat foto-foto yang ada di album itu berganti satu demi satu. Sesekali ia membesarkan foto yang terbuka untuk melihat wajah-wajah dalam foto itu dengan lebih jelas. Sesekali pula ia tertawa, teringat kenangan yang terjadi saat foto itu diambil untuk mengabadikan momen.

Dari foto dengan banyak orang, sampailah Tresna pada foto-foto dengan seorang perempuan yang rambutnya selalu dikucir kuda.

"Udah mau enam tahun, apa kamu baik-baik aja di sana?"

Tresna kembali mengusap layar ponsel untuk melihat foto-foto lain dan berhenti pada sebuah foto saat dirinya dan perempuan itu tertawa lebar di depan salah satu wahana taman bermain. Seingatnya, itu adalah saat terakhir keduanya berfoto bersama sebelum sebuah tragedi mengharuskan keduanya berpisah.

"Udah mau enam tahun, mungkin kita emang nggak akan ketemu lagi. Dan mungkin sekarang saatnya buat ngelepas kamu."

Nostalgia Tresna terpaksa harus terganggu karena ponselnya kembali bergetar. Mata Tresna membelalak karena ia baru ingat tujuannya datang ke parkiran motor.

"Hoy, iya, ini otw ke fakultas. Sabar, sabar."

Tanpa memberi kesempatan bagi lawan bicaranya membalas, Tresna hanya menjawab dengan satu kalimat itu dan langsung menutup telepon. Ia segera memasukkan ponselnya ke saku, memakai helm dan berangkat menuju fakultas.

"Tresna!"

Seorang laki-laki dengan rambut lurus agak gondrong memanggilnya dari jauh sambil melambai. Tresna langsung berlari menuju laki-laki itu dan keduanya melakukan high five dan menepuk bahu dengan bahu masing-masing.

"Sorry, Han. Tadi Bunda nelpon dulu," ujar Tresna pada Hanan, laki-laki berambut gondrong yang tadi meneleponnya, sekaligus panitia dari pihak fakultas, yang juga teman satu angkatan Tresna di Magister Ilmu Komunikasi.

"Santai." Hanan berjalan diikuti Tresna di sampingnya. "Barang-barang ada di sekretariat prodi. Tapi kayaknya, lo kudu angkat-angkat berdua sama Thomas dulu. Gue diminta nemenin tamu yang mau ngeliput acara faculty fair kita."

"Liputan dari mana?"

"Dari anak jurusan komunikasi di universitas rekanan kita."

"Overseas?"

"Yoi."

"Amrik? Inggris?"

"Nggak tau. Gue belum ketemu, tadi masih beres-beres. Nah," Hanan berhenti di depan sekretariat program studi, "lo ke dalem, ketemu Thomas dan bantuin dia. Gue ke ruang Kaprodi buat urusan satu itu. Ntar gue nyusul bantuin habis kelar sama Kaprodi."

Tresna mengangguk. "Gue ke toilet dulu."

Hanan mengangkat jempolnya dan pergi ke arah berlawanan dari Tresna.

Sembari melihat jam tangan lagi untuk memastikan waktu, Tresna melangkah cepat menuju toilet. Namun, jantungnya tiba-tiba terasa berhenti sesaat ketika ia mengangkat kepala. Matanya berkedip berulang kali. Ia tak percaya, tetapi pandangannya tak dapat dibohongi. Begitu pula jantungnya yang berdebar semakin cepat saat mata Tresna dan perempuan itu bertemu.

"Manda?"

***

~1176 words ~

Revaldi Tresna Putra, 26, (bukan lagi) mahasiswa S2 Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Nusantara Jaya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro