07 || Why So Serious?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

November 2014

Tinggal satu kelas terakhir yang perlu didatangi oleh para calon ketua OSIS untuk menyampaikan visi-misi dan meyakinkan para kelas 12 dalam proses kampanye akbar. Tresna, Manda, Hanan, dan pengurus OSIS kelas lainnya, kelas 10 maupun 11, hanya bisa menunggu di luar kelas selama calon ketua OSIS berseteru dengan kelas 12 di dalam. Mereka tidak diizinkan masuk, kecuali ada hal darurat yang berkaitan dengan bencana alam.

Dari empat kelas sebelumnya, Tresna mulai bisa memahami keseruan proses kampanye akbar. Tidak sekali dua kali ia mendengar teriakan dan bentakan dari dalam kelas. Mungkin memang ini menjadi ajang balas dendam dan menunjukkan senioritas kakak kelas tersebab saat orientasi sekolah dulu, aturan aneh terkait penampilan dan barang bawaan sudah tidak lagi diberlakukan.

"Gimana, seru, kan?" Manda tiba-tiba berbisik di telinga Tresna dan membuat lelaki berseragam putih abu itu hampir terloncat. "Kamu orangnya kagetan, ya."

"Ya, siapa yang enggak kaget kalo tiba-tiba ada bisikan makhluk halus di kuping?"

Manda memukul pundak Tresna.

"Manda, bisa-bisa lo menimbulkan luka mendalam di punggung gue kalo setiap gue ngomong digeplak terus."

Bukannya minta maaf, perempuan yang rambutnya dikepang ke belakang itu malah tertawa meledek.

Gurauan keduanya terpaksa harus berhenti karena suara panggilan dari dalam kelas membuat seluruh pengurus OSIS di luar mendadak tegang. Manda, sebagai ketua divisi acara, dan Helmi, perwakilan kelas 11, langsung membuka pintu kelas. Jantung Manda serasa hampir berhenti saat ia melihat di depannya ada salah satu calon ketua OSIS yang terserang asma.

"Inhaler! Inhaler!" teriak Manda pada pengurus OSIS lain.

Mereka sudah mengantisipasi kejadian tersebut dan memang sudah dititipkan oleh Asma, calon ketua OSIS yang terserang asma, untuk berjaga-jaga dengan inhalernya jika saat beradu dengan kelas 12 penyakitnya kumat.

Tresna yang tidak ditugaskan apa-apa mengamati dari luar kelas sambil memegang pintu. Dahinya berkerut dan mulutnya tidak bisa terkatup karena ikut merasakan ketegangan yang ada di sana. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, kalau sudah tahu ada kemungkinan asma kumat, kenapa Asma memaksakan diri ikut adu mekanik dengan kelas 12? Lagi pula, apa yang dilakukan kelas 12 hingga asmanya Asma kumat?

Tresna menggelengkan kepalanya, merasa aneh karena nama kakak kelasnya itu sama dengan nama penyakit yang diderita. Namun, di tengah kegaduhan kampanye kelas, laki-laki yang memiliki tahi lalat di bawah mata kiri ini menatap perempuan dengan rambut kepang yang memangku Asma dan membantu calon ketua OSIS itu untuk kembali bernapas.

Raut wajah Manda yang tetap tenang, instruksinya yang diberikan dengan perlahan, dan tangan kecilnya yang terus mengelus pundak Asma, menyemangati agar calon ketua OSIS itu kembali mendapatkan ritme napasnya. Tanpa sadar, senyum terlukis di wajah Tresna.

"Bisa-bisanya lagi panik, lo malah senyum? Mikirin apa, lo?"

Tresna lupa kalau Hanan berdiri di daun pintu sebelahnya. "Siapa yang senyum? Salah liat kali lo."

Hanan terkekeh. "Manda keren, ya."

Tentu saja pernyataan itu tidak bisa ditolak. Manda memang keren sejak pertama kali Tresna mengenalnya. Kejadian hari ini membuat Tresna semakin tertarik untuk mengenal perempuan yang kini selalu pulang-pergi ke sekolah bersamanya naik bis.

"Lo anak PMR?" tanya Tresna setelah situasi mulai mereda. Asma sudah kembali normal, tetapi rekan-rekan OSIS memintanya untuk tetap ke UKS agar bisa memastikan kestabilan kondisi dan emosinya.

"Papaku dokter. Aku udah khatam sama hal-hal P3K kayak gini."

"Nyombong, nih, ceritanya?"

Manda tertawa kecil. "Sebenernya cuma ngejawab pertanyaanmu aja. Tapi kalau itu bikin kamu sebel, anggep aja aku nyombong."

"Dih, siapa yang sebel?"

"Itu. Bibir maju, jidat berkerut. Lucu."

Serangan kata-kata yang tak terduga itu kembali membuat jantung Tresna berdebar-debar. "Kamu kalo ngomong ati-ati."

"Emang kenapa? Baper, ya?"

"Astaghfirullahal'adzim."

Reaksi Tresna justru mendapat tawa yang semakin lebar dari Manda. Bisa-bisanya perempuan itu melontarkan kata-kata netral yang justru membuat perasaan Tresna semakin tidak netral. Namun, setelah melihat Manda berlalu dengan santainya ke kantin, ia tidak dapat menahan senyum yang muncul secara otomatis akibat perkataan sederhana perempuan itu.

Setelah 30 menit beristirahat, tibalah saatnya acara inti dari kampanye akbar, yaitu debat terbuka para calon ketua OSIS di hadapan seluruh warga sekolah—termasuk para guru. Pengurus OSIS kelas 10 dan 11 sudah menyiapkan sederet meja di bagian depan lapangan menghadap ke pelataran sekolah yang lebih tinggi. Nantinya, saat calon ketua OSIS berbaris dalam satu saf di pelataran, sederet meja itu akan diisi oleh perwakilan angkatan dari kelas 10 sampai 12. Sudah seperti mau perang, mereka akan berhadap-hadapan. Sedangkan pengurus OSIS lainnya, akan berbaris di kanan dan kiri lapangan, menjaga dari kerusuhan dan bersiap untuk membela para calon ketuanya.

Tresna tertinggal karena ada panggilan alam yang perlu dipenuhi. Sehabis makan mi ayam, perutnya justru bereaksi dengan tidak wajar. Perlu lebih dari 10 menit untuk ia menenangkan gejolak perutnya itu sehingga saat tiba di lapangan, ia seperti anak hilang yang kehilangan jejak induknya.

Mata Tresna celingak-celinguk ke bagian depan lapangan. Ia tidak menyangka, antusias warga sekolah terhadap agenda debat akbar kampanye ini sangat tinggi. Lapangan sudah terisi penuh dari depan hingga belakang dan membuatnya sulit untuk menerobos massa. Satu-satunya cara bagi Tresna untuk bisa kembali ke kelompoknya adalah dengan mencari satu orang yang dikenal untuk membantunya.

Ada Hanan, ada pula pengurus OSIS lain yang sudah dilihat Tresna lebih dulu, tetapi ia masih tetap mencari orang lain. Siapa lagi kalau bukan perempuan berkepang bernama Manda?

"Selamat siang, warga Persatuan! Selamat datang di acara Kampanye Akbar Calon Ketua OSIS SMA Persatuan 2014!"

Bagus. Tresna baru ingat kalau Manda juga menjadi master of ceremony dari acara ini. Ia tidak mungkin meminta bantuan Manda saat perempuan itu sedang memandu acara. Ia pun berusaha menerobos massa dari sisi kanan. Ucapan, permisi, saya perlu ke depan, dan saya pengurus OSIS menjadi mantra yang diucapkan Tresna untuk bisa sampai kembali ke kelompoknya setelah beradu punggung dan pundak dengan massa yang enggan memberi jalan. Untungnya, ia bisa sampai barisan pengurus OSIS tepat saat acara debat kampanye akbar dimulai.

"Lama banget kamu!" gerutu Manda saat melihat Tresna sudah kembali ke barisan.

"Panggilan alam nggak bisa diduga."

Manda berdecak dan kembali bersikap sempurna memerhatikan proses debat di depan.

"Eh, ini emang yang ditanyain nggak urut dari calon nomor satu, ya?" Tresna berbisik pada Manda yang berdiri di depannya.

"Biasanya, sih, urutan. Tapi, nggak tau, ya. Mungkin sengaja biar caketos selalu siap dan jawabnya spontan. Nggak mikir karena sudah tau kalo habis ini gilirannya."

Tresna membulatkan mulutnya.

Awalnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan masih relevan dan masuk akal karena membahas visi misi yang disampaikan oleh calon ketua OSIS. Hingga sampailah ke calon terakhir, Asma Ayu Arunika.

"Kamu sanggup jadi ketua OSIS, hei, Asma?" teriak seorang kelas 12 berambut cepak dengan suara bulat yang lantang.

"Siap, sanggup!"

"Sanggup dari mana kalo kamu penyakitan kayak gitu? Baru diteken sedikit udah asma! Makanya, namamu Asma, ya?"

Tresna mengerutkan dahi dengan pertanyaan yang menurutnya aneh itu. Apa ini sengaja gara-gara Asma tadi kumat saat kampanye kelas?

"Wah, nggak bener!"

Tresna mendengar ucapan Manda. Entah mengapa ia merasa bahwa perempuan di hadapannya ini akan berulah dengan alasan membela Asma. "Manda, jangan aneh-aneh."

Tangan Manda mengepal kuat dan Tresna melihat itu dari belakang.

"Saya mohon maaf dengan apa yang terjadi saat kampanye kelas tadi. Namun, saya tahu batasan diri saya dan saya tidak ingin membatasi diri dengan hal itu. Saya akan berusaha—"

"Bullshit! Lemah, ya, lemah aja!"

"Interupsi! Izin interupsi, Kak! Interupsi!"

Tentu saja Tresna membelalak melihat perempuan berkepang di depannya tiba-tiba berteriak beberapa kali dan mengangkat tangan di tengah gelak tawa para pendebat.

"Apa? Kamu mau ngebela? Kamu mau punya ketua OSIS yang lemah kayak dia? Kami, sih, nggak mau! Percuma!"

Tresna berusaha menghentikan Manda dengan menggenggam lengan perempuan itu. Namun, ditepis mentah-mentah. "Maaf, Kak! Itu tidak relevan dengan penjelasan visi-misi dari Kak Asma," ujar Manda meneruskan pembelaannya.

"Relevan dong! Misinya apa tadi? Berupaya mengadvokasikan kesejahteraan pembelajaran agar memiliki kultur sehat dan nyaman. Dianya aja nggak sehat, mau advokasi apaan?"

"Saya rasa, permasalahan pribadi tidak bisa dicampurkan dengan misi organisasi, Kak." Akhirnya Tresna mencoba membantu Manda dengan ikut bersuara karena menghentikan perempuan itu rasanya mustahil.

Tresna dan Manda bisa melihat senyum miring dan tatapan sinis dari kakak kelas yang mendebat. Jantung mereka sama-sama berdebar cepat, tetapi keduanya tetap berusaha mempertahankan senyum dan ketegasan dalam suaranya.

"Maju sini kalian berdua!"

Manda sempat sedikit menengokkan wajah ke arah Tresna. "Nggak apa-apa. Kita maju," bisik Tresna.

Kakak kelas itu melihat tanda pengenal Manda dan Tresna yang tergantung di pinggang. "Masih kelas 10 udah sok tau. Ketua OSIS itu harus kuat, tangguh, nggak sakit-sakitan! Emangnya kalian mau lagi sibuk-sibuk ngurus acara, terus ketua kalian sering izin karena sakit? Hah? Kalian mau dilimpahin kerjaan gitu aja karena ketua kalian lemah? Mau? Jawab! Eh, ngapain kamu berdiri di depan temanmu?"

Kakak kelas berambut cepak itu menatap Tresna dengan tajam karena tiba-tiba Tresna berdiri di depan Manda—sebelumnya, mereka berdiri bersebelahan.

"Maaf, Kak. Hujan," jawab Tresna santai dengan senyum paling manis di dunia.

"Hujan? Maksud kamu apa, hah? Kenapa merem-merem gitu?"

"Itu."

"Itu-itu. Apaan?"

"Itu ... hujan dari mulut kakak. Kasian kalo Manda yang kena."

Sontak terdengar bisikan dan suara-suara tawa yang tertahan. Seluruh warga sekolah jelas mendengar perdebatan si kakak kelas cepak dengan Tresna barusan karena suasana sangat hening dan hanya fokus pada keduanya.

"Anj—"

"Kembali kalian ke barisan." Kali ini laki-laki yang berdiri di sebelah kakak kelas berambut cepak yang berbicara. Terlihat jelas, laki-laki ini juga menahan tawa dan berusaha sebisa mungkin untuk tetap tegas serta tampak berwibawa.

Tresna dan Manda pun kembali ke barisan dan mendapatkan jempol tersembunyi dari rekan-rekan OSIS di barisan.

"Parah banget kamu, Tres!" Manda masuk ke barisan dan langsung balik kanan menghadap Tresna. Ia berucap sambil menahan tawa.

"Ya, gimana. Dia ngomongnya muncrat terus gitu. Muka lo bau sama ludahnya emang mau?"

Tangan kanan Manda menepuk pundak Tresna dan menggenggam erat pundak itu.

"Ketawa aja, jangan ditahan," goda Tresna sambil menengok ke wajah Manda yang menunduk dalam.

"Jahat kamu! Lagi serius gini malah ngelawak." Suara Manda bergetar, masih karena menahan tawa.

"Ini, kan, keseruan yang kamu maksud?"

Perlahan, Manda mengangkat kepalanya dan mengangguk cepat sambil tertawa tanpa suara.

Tresna bisa melihat wajah perempuan itu memerah dan matanya berair. "Nanti, puas-puasin ketawa kelar acara ini."

***

~1671 words~

"Ngelawak apa lagi, ya?"

.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro