08 || Laugh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kedua sahabat yang sudah lama tidak bertemu itu menyeruput minuman mereka masing-masing. Kafe yang mereka datangi belum begitu ramai karena waktu masih menunjukkan pukul 4 sore. Meski iringan musik dari pengeras suara terus mengalun sejak awal keduanya hadir, musik itu tak lantas terdengar di telinga keduanya karena mereka masih sibuk menertawakan masa-masa pertama kali jumpa.

"Lagian, kamu aneh banget. Berani-beraninya ngeledek kelas 12 di hadapan satu sekolah." Manda tertawa lebar mengingat kejadian legenda itu.

Bagaimana tidak?

Sejak Tresna melindunginya dari terpaan hujan air liur kakak kelas yang mendebat saat kampanye akbar calon ketua OSIS, mereka sering jadi bahan bisik-bisik satu sekolah. Bukan dalam konotasi negatif, tetapi bisik-bisik dijodoh-jodohkan. Bahkan guru-guru pun mengingat mereka sebagai duo anti hujan. Kejadian itu pula yang membuat keduanya menjadi lebih dekat dan sering berinteraksi bersama walau berakhir di divisi yang berbeda dalam OSIS.

"Nggak ngeledek. Kan, waktu itu gue pakai bahasa yang sopan, pakai kata hujan. Dan dia juga yang bikin gue harus memperjelas kenapa gue berdiri di depan lo."

"Ya, ya, ya, alasan diterima."

"Cih, bukan alasan. Kenyataan."

Manda mengangkat alis dan kembali menyeruput minumnya.

"Jadi, masih mau ngetawain hal-hal konyol yang terjadi waktu SMA, nih?" Tresna mulai mengarahkan pembicaraan.

Setelah tiga hari pelaksanaan Job & Faculty Fair, sebenarnya Tresna ingin beristirahat dan mendekam di kamar. Namun, di hari terakhir lagi-lagi ia bertemu secara tidak sengaja dengan Manda. Seketika, pikiran untuk menagih janji cerita Manda yang menghilang sekian lama muncul dalam benaknya. Keduanya pun berjanji untuk meluangkan waktu esok siangnya bertemu di kafe yang saat ini mereka tempati.

"Ah, itu." Wajah Manda yang tadinya cerah bersinar, mendadak kusam.

Perubahan ekspresi itu cukup ditangkap oleh Tresna dan membuatnya perang batin. Apakah perlu ia tagih janji cerita itu sekarang? Atau lebih baik menunggu Manda yang siap untuk menceritakan semuanya.

"Eh, kamu inget nggak, sih? Waktu kelas 11 kamu pernah sok-sokan ngebelain aku habis diputusin sama pacarku, tapi malah kamu yang kena tonjok."

Ah, Manda masih belum mau bahas.

Tresna pura-pura cemberut dan mengikuti alur pembicaraan Manda. "Tolong. Itu memalukan. Nggak usah dibahas."

"Ya, habisnya kamu udah tau kalo dia bakal main tangan, kamu malah berdiri di depanku. Tonjokan sama hujan air ludah itu beda, ya, Res."

"Masa gue kudu diem aja liat lo mau digampar sama si brengsek itu? Lagian, pacaran kok sama cowok nggak bener terus."

Manda tertawa. "Sorry, ya. Waktu itu aku penasaran rasanya pacaran itu kayak gimana. Jadinya, coba-coba aja."

"Kelas 10 diselingkuhin. Kelas 11 hampir kena gampar dan diselingkuhin juga. Untung kelas 12 tobat. Pas kuliah lo gitu juga nggak?" Tresna menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Meski suaranya seperti ibu-ibu yang suka julid dan ngedumel terus, tatapannya pada Manda sangat dalam dan menyiratkan kerinduan. Sudah lama ia tidak melihat tawa keluar dari perempuan itu. Sudah lama pula ia tidak menatap bola mata berwarna cokelat kehitaman itu. Terakhir kali, sebelum tragedi field trip yang membuat keduanya berpisah sekian lama dan tanpa kabar.

"Tenang. Coba-coba itu bikin aku banyak belajar."

"Masih jadi penganut nggak mau pacaran sama sahabat sendiri?" tanya Tresna dengan sedikit nada meledek, tetapi sebenarnya 99% menjadi pertanyaan serius.

***

Agustus 2015

Tresna dan Manda sudah seperti amplop dan prangko. Warga sekolah pun tidak pernah heran melihat keduanya selalu bersama dari datang ke sekolah sampai pulang lagi. Mereka hanya terpisahkan ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung atau ketika ada rapat divisi OSIS. Kalau saja tidak berbeda kelas dan berbeda divisi, sepertinya dua manusia ini akan terus bersama—entah apakah sampai maut memisahkan atau tidak seperti yang ada dalam cerita-cerita dongeng.

"Kalian ini kenapa nggak pacaran aja? Ke mana-mana nempel terus," sahut salah seorang teman Tresna saat mereka makan bersama di kantin.

"Bener. Di mana ada Tresna di situ ada Manda. Atau kebalikannya."

"Manda udah punya gebetan. Ya, kali gue tikung." Tresna merespons dengan sedikit nyinyir.

"Berarti kalo kosong, lo mau, ya, Tres?"

Belum sempat Tresna menjawab, Manda sudah menyambar lebih dulu. "Nggak baik pacaran sama sahabat sendiri. Pamali kalo kata orang Sunda."

Saat itu, Tresna yang sedang mengunyah dimsum legenda mendadak berhenti mengunyah. Jawaban Manda sedikit banyak membuat dirinya mendadak kosong. Bukan sakit atau perih yang terasa di dada, tetapi kosong. Bahkan jantungnya pun tidak terasa detakannya.

"Kenapa, Man? Bukannya malah bagus? Udah sahabatan, nempel terus, kan aman buat dijadiin pacar. Nggak kayak orang baru yang belum jelas kayak gimana karakternya."

Manda menggeleng. "Justru itu. Sama orang baru kalo putus, kan, ya, udah. Selesai. Paling kalo putusnya nggak baik-baik jadi berantem dikit-dikit. Sangat mungkin buat nggak berhubungan lagi dan aman-aman aja pasca putusnya. Kalo sama sahabat? Wah, nggak kebayang punya mantan sahabat. Mending nggak usah pacaran sekalian. Sahabat, ya, cukup sahabat. Nggak lebih."

Celotehan Manda yang panjang lebar itu membuat Tresna semakin mengerti. Mungkin perasaannya tidak akan pernah berbalas dan ia hanya bisa menyayangi Manda dalam diam. Sebagai sahabat. Tidak lebih.

"Eh, kok lo sedih gitu, Tres? Dikunyah itu yang ada di mulut. Jangan didiemin. Kayak bebek, kan, mulut lo."

Gelak tawa mengisi sebagian kecil kantin yang semakin penuh dengan para siswa yang jajan dan bersenda gurau dengan teman-temannya. Tresna sudah biasa dan tidak ambil pusing dengan ledekan yang diutarakan teman-temannya. Satu hal yang membuatnya tidak biasa dan semakin pusing jika memikirkannya adalah kemungkinan bahwa ia tidak akan pernah bisa bersanding dengan Manda.

"Hei. Jangan bilang kamu suka sama aku?" Manda yang melihat Tresna masih bengong di tempat tiba-tiba menembak dengan pertanyaan sapu jagad.

Hampir saja tersedak dimsum, untungnya Tresna masih bisa mengontrol diri. "Kagak, lah! Standar gue tinggi, sorry!" jawab Tresna nyaring.

"Halah, kagak-kagak, taunya diem-diem, iya. Ati-ati lo, Tres!" Masih dengan ledekan teman-teman yang disusul tawa-tawa masa muda.

Tresna berdecak dan menghabiskan dimsumnya dengan cepat, lalu menyeruput es teh yang ada di sampingnya.

"Ngomong-ngomong, kalian nggak kesusahan apa manggil dia 'Tres'?" Manda membuka obrolan baru.

"Emang kenapa, Man?"

"Kenapa nggak 'Res' aja, gitu, lho. Nggak ribet-ribet pakai 'T' nanggung di depan."

"Oh, makanya, lo manggil dia 'Res'. Kirain panggilan sayang." Lagi-lagi semua tertawa dan kini Tresna tidak diam. Ia ikut tertawa kecut untuk menyamarkan emosinya.

"Gimana, Tres? Eh, Res? Mau pakai 'T' apa enggak, nih?"

"Pake 'T'."

"Ribet, ih!" Manda memukul pelan pundak Tresna.

"T buat Terserah. Suka-suka kalian aja, lah."

T untuk Terserah dan T untuk Tawa yang mengisi siang di kantin kala itu. Meski di luar Tresna tampak baik-baik saja karena ikut tertawa dengan teman-temannya, hatinya tidaklah sebaik itu.

***

"Masih jadi penganut nggak mau pacaran sama sahabat sendiri?"

Tepat setelah pertanyaan itu dilontarkan oleh Tresna, pengeras suara kafe memutarkan lagu lama milik Jazon Mraz.

Do you hear me, I'm talking to you
Across the water across the deep blue ocean
Under the open sky, oh my, baby I'm trying

"Wah lagunya agak mendukung, ya," gumam Manda tidak langsung menjawab pertanyaan sahabatnya yang sedang memainkan sedotan di gelas.

Tresna tidak tahu harus merespons dengan apa selain, "Iya. Tau aja sama isi hati gue."

Meskipun sudah mengode dengan jawaban itu, tetapi Manda tetap merasa jawaban itu hanya gurauan belaka karena ia lantas tertawa. "Alah, sok banget kamu. Nggak berubah, ya, dari dulu. Masih aja lucu."

"Kayaknya, gue habis ini jadi pelawak aja. Keren, kan, pelawak lulusan S2 Magister Komunikasi. Makin jago nanti menyampaikan lawakannya."

Manda tertawa semakin lebar hingga matanya menjadi segaris. Tresna yang melihat hanya bisa tersenyum dan bergumam pada diri sendiri agar tetap bersabar dan menanti waktu yang tepat untuk menyampaikan hal yang ingin ia sampaikan sejak dulu.

Lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again

"Tresna, ya?"

Sebuah suara yang halus nan lembut membuat Tresna membeku di tempatnya. Ia menengok ke arah sumber suara dan mendapati seorang perempuan berjilbab hijau muda berdiri bersama beberapa orang temannya. "Kamu ...."

"Ayu. Anaknya Pak Bagus. Inget?" jawab perempuan itu sambil tersenyum.

"Kak Asma?"

Tresna berpaling ke Manda yang menyebutkan nama berbeda.

"Oh! Kamu Manda, ya? Ya, ampun. Aku pangling!"

"Ih, sama! Aku juga pangling Kak Asma pakai jilbab gini. Apa kabar?"

Semakin tidak mengerti dengan yang terjadi di hadapan, Tresna melongo sambil bergantian melihat Manda dan Ayu---nama yang dikenalnya beberapa hari lalu---berpelukan dan saling menanyakan kabar.

Mereka saling kenal?

***

~1364 words~

Kenalin, ini Ayu. Atau Asma?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro