19 || Chance

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Manda memeluk kedua dengkulnya yang ia lipat di depan dada. Matanya menatap ke langit melalui jendela kamar kos. Langit sedang cerah, tetapi tidak dengan hatinya. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada pikiran dan perasaannya yang terus menerus memutar memori bersama Tresna semasa SMA.

Ternyata, dari dulu Tresna emang peduli. Tapi, bukannya sahabat emang gitu? Nggak mungkin, kan, Tresna punya rasa sejak dulu? Lagian, aku juga sering pacaran sama cowok lain dan Tresna baik-baik saja.

Namun, Manda kemudian ingat bahwa setiap kali dirinya menjalin hubungan baru dengan laki-laki baru, wajah Tresna selalu berubah muram. Ia pikir, kemuraman dari wajah Tresna adalah bentuk respons skeptis sahabatnya itu terhadap hubungan yang ia jalin.

"Nanti putus lagi, lo sakit hati lagi?" sindir Tresna saat Manda mengenalkan pacar barunya di SMA dulu.

"Itu urusan nanti. Namanya juga coba-coba buat ngenal berbagai macam karakter cowok," jawab Manda ringan.

Saat itu, Tresna pernah menatap Manda dengan tajam sembari memegang kedua pundaknya. "Manda, jangan main-main sama hubungan, sama perasaan. Kalo lo yang malah dimainin, lo yang bakal sakit."

"Karena aku tau aku lagi main-main, jadi nggak bakal sakit, Res. Santai aja."

"Gimana kalo di antara cowok yang jadi pacar lo ada yang beneran suka sama lo? Kalo lo putusin dia dan bikin dia sakit hati, apa lo nggak takut di masa depan malah lo yang ada di posisi itu?"

Saat itu, Manda hanya tertawa dengan rasa khawatir Tresna yang berlebihan. "Tenang. Aman terkendali, Res."

Mungkin, kata-kata Tresna saat itu menjadi nyata. Kini, sepertinya Manda memang sedang berada di posisi yang disebut sahabatnya itu. Meski saat ini, bukan orang lain yang mempermainkan perasaannya, melainkan perasaannya sendirilah yang mempermainkan dirinya.

Bisa-bisanya Manda terus berandai-andai tentang kemungkinan jika ia tidak menolak Tresna. Bisa-bisanya Manda terus menyebut jika tentang hubungannya dengan Tresna dan juga Hanan. Manda tidak tahu kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaannya. Ia hanya tahu bahwa pikirannya terus mengulang skenario di kafe—saat ia bertemu Tresna berdua terakhir kali—dan bermain dengan skenario jika ia tidak bersama Hanan, apakah calon istri Tresna adalah dirinya?

Perandaian Manda buyar saat ponsel perempuan dengan baju tidur berwarna merah muda itu berbunyi. Nama Hanan hadir di layar ponselnya.

"Oh, ya, sebentar. Aku keluar."

Kedatangan Hanan ke kos Manda bukanlah suatu hal yang aneh. Apalagi dengan kondisi Manda yang sedang kurang sehat. Hanya saja, perhatian pacarnya itu justru kembali membuat dadanya sesak. Bukankah ia seharusnya bersyukur karena memiliki pacar yang begitu perhatian? Mengapa ia tidak bisa fokus pada saat ini saja dan masih terbayang-bayang dengan Tresna?

"Gimana, Man? Udah baikan?" sapa Hanan saat Manda menghampirinya di teras kos.

Bukannya menjawab, Manda malah meletakkan kepalanya di dada Hanan. "Maafin aku, Han," lirihnya pelan dan tiba-tiba saja air matanya sudah tak terbendung lagi.

Hanan pun membantu Manda untuk duduk di salah satu kursi teras. Laki-laki itu tidak berbicara sepatah kata pun selama Manda menangis dan hanya mengelus, serta menepuk pelan pundak pacarnya itu.

Manda sebenarnya beruntung memiliki pacar yang sabar menunggunya menyelesaikan tangisan. Apalagi ia sudah menangis hampir 15 menit. Ia berusaha mengatur napas dan menghentikan tangisannya setelah menyadari bahwa sepertinya, kaos Hanan basah kuyup karena air matanya.

"Maafin aku, ya, Han." Manda mengulangi permintaan maafnya.

Hanan mengelus pelan rambut Manda yang terurai. "Emang kamu salah apa sampe minta maaf terus gitu?" tanya Hanan lembut.

"Maaf karena kayaknya, aku terus kebayang Tresna beberapa hari ini."

Manda tidak berani menatap wajah Hanan karena ia takut mengecewakan laki-laki yang tulus padanya lagi—sebelumnya sepertinya Tresna-lah yang sudah ia kecewakan.

Hanan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Apa kamu nyesel dengan hubungan kita?"

Menyesal.

Benar. Sepertinya satu kata itulah yang menggambarkan kondisi Manda selama beberapa hari ini. Ia menyesal karena lupa dengan pernyataan rasa Tresna. Ia menyesal karena tidak menganggap serius perasaan Tresna. Ia menyesal karena terlalu fokus untuk mencari hubungan lain di luar persahabatannya dengan Tresna. Ia menyesal karena bukan dirinya yang menjadi calon istri Tresna. Ia menyesal karena prinsip tidak pacaran dengan sahabat sendiri membuatnya takut untuk menyadari salah satu hal penting dalam hidupnya.

Tresna.

Dan ia menyesal karena baru menyadari perasaannya setelah Tresna akan bersanding dengan orang lain.

Manda tidak tahu harus merespons pertanyaan Hanan dengan jawaban seperti apa. Ia tahu bahwa Hanan sama tulusnya dengan Tresna dan tentu saja, Manda tidak ingin menyia-nyiakan itu. Namun, ia juga tidak bisa berbohong kalau ia tidak menyesal dengan dirinya yang menerima Hanan.

Ah, mengapa semuanya jadi rumit?

"Manda? Are you here with me?"

Akhirnya, Manda memberanikan diri untuk menatap pacarnya itu. Dua mata Hanan yang menatapnya dengan penuh kasih sayang membuat lisannya kaku. Hanya matanya yang bereaksi dengan kembali menumpahkan air mata dalam diam.

"Do you need time to reconsider our relationship? Sebelum semuanya terlambat dan kamu makin menyesal?"

"Aku," Manda mengumpulkan tenaganya untuk bersuara, "aku nggak nyesel sama kamu, Han. Kamu baik banget. Kamu bener-bener tulus. Tapi, aku juga bingung kenapa aku kayak gini."

"Thanks for saying that, Manda. Tapi, aku juga nggak tega kalo liat kamu seperti ini. Kamu sampai sakit. Aku juga nggak mau egois mikirin perasaanku sendiri."

Manda menggeleng. "Aku juga nggak mau kehilangan orang yang beneran tulus sama aku lagi, Han."

Mungkin saat ini Manda terdengar seperti perempuan yang memanfaatkan rasa sayang sepihak dari Hanan. Mungkin juga, Manda terlihat sangat egois dan rakus karena tidak mau melepaskan salah satu dari dua orang laki-laki yang hadir dalam hidupnya dengan rasa tulus menyayanginya. Apalagi, Hanan dan Tresna sama-sama tahu masa lalu Manda yang pernah jadi korban pelecehan saat field trip SMA dulu—dan mereka masih mau menerima Manda tanpa rasa jijik terhadap dirinya.

Tidak mungkin Manda rela melepaskan Hanan juga.

"Gimana kalo kita beri waktu buat hubungan ini dulu?" saran Hanan.

"Maksudnya?"

Hanan tidak langsung menjawab pertanyaan Manda. Lelaki itu menunduk dan terdiam beberapa saat. Tampaknya, ia sedang memikirkan susunan kata yang tepat untuk menyampaikan pemikirannya pada Manda.

"Aku nggak mau kehilangan kamu juga, Han," lirih Manda dengan air mata yang kembali menetes.

"Aku tau dan aku sangat berterima kasih untuk itu. Cuma ...."

"Kamu pasti kecewa sama aku, kan?"

Hanan menarik napas panjang lalu tersenyum. "Bohong kalo aku bilang enggak. Tapi, Manda, kita nggak bisa terus melangkah kalo salah satu di antara kita masih terjebak dengan perasaan yang belum selesai. Aku juga nggak mau maksa kamu buat nerima aku. Aku juga nggak mau kamu terpaksa nerima aku sebagai pengganti Tresna—"

"Kamu bukan pengganti Tresna," potong Manda. "Kamu ...."

Manda tidak bisa melanjutkan kalimatnya meski lelaki di sampingnya ini tetap diam dan menanti kelanjutan kalimat itu. Sungguh, Manda semakin merasa bersalah saat ia menyadari bahwa sepertinya ia memang melihat Hanan sebagai pengganti dari Tresna yang tidak bisa diraihnya—karena prinsip absurd tidak mau berpacaran dengan sahabat sendiri.

"Manda, aku bukan mau ninggalin kamu. Aku cuma mau ngasih kamu ruang dan waktu untuk memikirkan ulang semuanya. Kamu tau, kan, kalo aku serius sama kamu? Sejujurnya, aku pun nggak melihat usia kita sebagai usia untuk sekadar pacaran lalu putus. Aku nggak menyatakan perasaanku ke kamu untuk hubungan sesaat aja."

Biasanya, jantung perempuan akan berdebar-debar jika seorang lelaki mengatakan hal seperti yang dikatakan Hanan. Namun, jantung Manda tidak merespons dengan seharusnya. Rasa hampa itu masih menyelimuti.

"Terus apa, Han?"

"Ambil waktu buat mikirin semuanya. Jujur sama perasaanmu sendiri, Man. Apa pun jawaban kamu, aku siap buat ngegandeng tangan kamu lagi atau benar-benar melepasnya, asalkan udah kamu pikirkan dengan matang."

"Sampai kapan?"

Hanan mengangkat alis. "Apanya?"

"Sampai kapan kamu ngasih waktu aku buat mikirin ini?" Manda teringat batas waktu yang pernah dibuat Tresna. Batas waktu yang ia lupakan dan saat ini menorehkan penyesalan mendalam.

Lagi-lagi Hanan mengelus rambut Manda dengan lembut. "As long as you need. Aku bakal nunggu jawaban kamu kapan pun kamu selesai mempertimbangkan semuanya."

"Kamu nggak takut telat nikah?"

Hanan tertawa. "Ya, semoga kamu tetap pakai hati nurani, ya. Jangan baru ngejawab pas udah umur 60 tahun. Keburu aku jadi perjaka tua. Mana ada yang mau sama kakek-kakek nanti?"

"Ada."

"Hm?"

"Nenek-nenek. Hehehe." Manda mulai bisa tersenyum karena ia cukup lega dengan jawaban Hanan. Tentu saja ia tidak mungkin membiarkan lelaki itu menunggu kepastian terlalu lama. Lagi pula, sepertinya ia hanya butuh waktu untuk merelakan Tresna, bukan menolak Hanan.

"Makasih, ya, Han."

"Untuk?"

"Ngasih aku waktu."

"Anytime! Kamu pun boleh kalo mau jujur ke Tresna soal perasaanmu. Aku nggak mengikat kamu, lho."

"Tapi, kan, Tresna udah mau nikah." Kalimat itu spontan terucap dari lisan Manda. Seketika, ia menyadari bahwa dirinya masih belum bisa merelakan Tresna. Mungkin kemarin Tresna memutuskan untuk mengikuti perjodohan dari orang tuanya karena ditolak oleh Manda.

Bagaimana jika Manda jujur dan mengatakan bahwa ia tidak ingin kehilangan Tresna dan tidak ingin melihat Tresna bersanding dengan orang lain?

Hanan tersenyum melihat perubahan raut wajah Manda. "Selama janur kuning belum melengkung dan akad belum terucap, apa pun bisa terjadi, kan?"

Tiba-tiba, ada secercah harapan yang muncul di hati Manda. Hanan benar, semua bisa terjadi sebelum Tresna resmi menikah.

Mungkin sebenarnya, Manda sudah memiliki rasa yang sama sejak lama pada Tresna. Mungkin juga, ia memang butuh waktu dan kesempatan untuk jujur pada perasaannya, seperti Tresna yang sudah jujur pada dirinya setelah bertahuh-tahun memendam rasa.

Ah, mengapa Manda tidak menyadari perasaannya lebih cepat?

"Nih, jangan lupa buburnya dimakan. Istirahat, ya. Aku pamit," ucap Hanan sambil berdiri setelah memastikan bahwa perempuan yang disayanginya itu sudah baik-baik saja.

***

~1543 words~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro