20 || Ties

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika biasanya keluarga Pak Bagus yang berinisiatif mengunjungi kediaman keluarga Tresna, akhirnya, kali ini Tresna beserta keluarganya yang mengunjungi kediaman sahabat ayahnya itu. Tentu saja bukan sekadar untuk berbasa-basi dan makan bersama, lalu pulang. Akan tetapi, tujuan penyatuan dua keluarga sudah dibawa dalam genggaman.

"Akhirnya, Pak Dennis dan keluarga bisa mampir ke mari," sambut Pak Bagus setelah tamu-tamunya duduk di ruang tamu. "Maaf, ini istri sama anak saya masih beres-beres di dapur. Nanti kita makan bersama, ya."

Pak Dennis, ayah Tresna, tersenyum hingga kerutan di samping kedua matanya terlihat jelas. "Alhamdulillah, terima kasih. Maaf jadi merepotkan, ya, Pak. Ini sambil silaturahmi, sambil meneruskan maksud baik dari anak saya, Tresna."

Tresna yakin, semua orang di ruangan itu sudah tahu arti dari maksud baik yang terucap. Namun, tetap saja semua perlu dilisankan sebagai formalitas dua keluarga dan sebagai bukti bahwa tidak ada keterpaksaan atas keputusan yang diambilnya. Lelaki berbaju batik biru ini mengangguk setelah mendapat kode dari ayahnya. Ia yang sedari tadi duduk tegak, semakin menegakkan posisi duduknya dan menyatukan kedua tangan di pangkuan. Walau Pak Bagus sudah memberi tahu, tatanya mencuri pandang ke sekitar ruang tamu, tetapi tetap tidak menangkap sosok yang dicari.

"Sebelumnya, terima kasih karena Pak Bagus sudah menyambut baik keluarga kami. Sudah menyiapkan makanan juga padahal kami baru menginformasikan semalam. Semoga tidak merepotkan, ya, Pak." Tresna mengeluarkan jurus basa-basinya.

Pak Bagus tentu saja menggeleng. "Tugas kami memuliakan tamu yang datang. Apalagi tamu yang sangat diharapkan sejak lama."

Sebelumnya, Tresna memang menolak ketika keluarganya ingin berkunjung dan memenuhi keinginan Pak Bagus. Ia khawatir, jika semuanya belum pasti dan kunjungan mereka malah memberi harapan lebih, tentu hal tersebut bukan hal yang baik bagi dua keluarga. Berbeda dengan sekarang. Dirinya yang sudah yakin untuk melanjutkan proses bersama Ayu, akhirnya memberanikan diri menyampaikan keputusannya pada keluarga. Tentu saja sambutan keluarga sangat baik. Ia masih ingat raut bahagia dan terharu dari bundanya saat dirinya menyampaikan bahwa akan melamar Ayu.

Tresna juga menyepakati bahwa acara khitbah atau lamaran cukup dilakukan sederhana saja, sesederhana silaturahmi antar dua keluarga—Ayu pernah mengatakan hal serupa saat keduanya mengobrol lebih jauh setelah Tresna mengenalkan Ayu sebagai calon istri pada Hanan dan Manda. Ia tidak ingin terlalu fokus pada keramaian dan keribetan tetek bengek lamaran seperti yang dilakukan teman-teman sebayanya—pakai seserahan, mengundang banyak orang, dan semacamnya. Tresna ingin lebih menjaga proses ini.

"Iya, ya, Pak. Mohon maaf jika kami, khususnya saya, terlalu lama mengulur waktu untuk melanjutkan proses baik ini. Terkait akan hal itu, mungkin langsung saya sampaikan saja, ya, Pak." Tresna menarik napas dalam, menunduk untuk mengatur kata-kata yang sebenarnya sudah ia uji cobakan semalam, dan mencoba menarik kedua ujung bibirnya agar bisa tersenyum. "Saya ... Saya mohon izin untuk melamar anak Bapak, Asma Ayu Arunika, untuk menjadi istri saya. Insyaa Allah, dunia dan akhirat."

Kalau saja para manusia di ruang tamu itu benar-benar mendengarkan Tresna dengan seksama, mereka akan dapat merasakan getaran dari suara lelaki dengan tahi lalat di bawah mata kiri itu. Kalimatnya yang sedikit terbata-bata di awal menunjukkan kecanggungan lelaki itu saat ia akhirnya berhasil mengambil salah satu pilihan terpenting dalam hidupnya.

Menikah.

Sebelumnya, Tresna tidak pernah membayangkan bahwa ia akan bersanding dengan perempuan selain sahabat SMA-nya, Manda. Bayangan masa depannya sudah terlalu penuh diisi oleh bayangan masa depan bersama Manda. Namun, semakin dewasa, Tresna semakin menyadari bahwa memang tidak ada yang pasti dalam kehidupan, termasuk perihal jodoh.

Siapa yang sangka, perasaan jangka panjangnya terhadap Manda bisa seketika hilang saat ia memilih untuk menghadapi kepastian dan mendapat penolakan? Siapa yang sangka, sehari mengobrol secara mendalam dengan perempuan yang baru dikenalnya bisa menumbuhkan secercah harapan dan rasa yang baru soal masa depan?

Mungkin ini yang namanya betapa mudah hati seseorang dibolak-balikkan, batin Tresna saat ia menyadari rasa nyamannya pada Ayu beberapa waktu lalu. Entah karena sifat manusiawi seorang laki-laki atau hal lain, Tresna hanya tahu jantungnya berdebar-debar saat menantikan pertemuan dengan Ayu dan sudah biasa saja ketika teringat soal Manda.

Hati seseorang terkadang memang selucu itu.

"Terima kasih atas niat baik yang Nak Tresna sampaikan untuk anak saya," jawab Pak Bagus dengan tatapan kagum dan penuh kasih sayang selayaknya menatap anak sendiri. "Tapi, tentu saja bukan saya yang menjawab, ya. Tunggu sebentar."

Pak Bagus bangkit dan meninggalkan keluarga sahabat bisnisnya itu. Sepertinya, beliau bermaksud memanggil istri dan putri satu-satunya yang masih sibuk menyiapan hidangan di dapur.

"Heh, bukannya udah pasti diterima? Kok, tegang banget gitu?" Mas Pandu menyenggol pelan bahu adik iparnya.

"Tegang apanya?" bantah Tresna. Namun, kakak iparnya itu hanya memberikan kode dengan melirik ke kedua tangan Tresna yang tergenggam erat dengan dua jempol yang saling beradu. Juga melirik ke dahi Tresna yang ternyata dibasahi oleh keringat.

"Lap dulu keringetnya. Nggak elok kamu ketemu calon istri keringetan kayak gitu," ledek Risma sambil menyerahkan tisu ke adik laki-lakinya.

Sadar atau tidak sadar, selain dua jempol yang beradu dan dahi yang berkeringat, Tresna juga sering menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan suara desis yang cukup kencang lewat mulut. Siapa pun yang melihat pasti bisa membaca ketegangan yang sedang diraskaan oleh lelaki berbatik biru ini.

Tak lama, Pak Bagus datang kembali bersama istri dan anak perempuannya. Di mata Tresna saat ini, ia hanya fokus pada Ayu yang berjalan dengan kepala menunduk dan menggandeng ibunya erat. Perempuan yang mengenakan gamis biru dongker dan jilbab abu-abu itu mulai mengangkat kepala dan tersenyum saat ia sudah duduk di sofa ruang tamu, bersebelahan dengan ibunya.

"Tadi, sudah saya sampaikan ke Ayu niat baik dari Nak Tresna. Nah, sekarang, silakan Ayu boleh menjawab. Atau perlu Papa yang jawab?" ujar Pak Bagus dengan nada bercanda.

Semua, selain Tresna yang masih sibuk dengan kecanggungannya, tertawa pelan dengan candaan ringan dari Pak Bagus itu. Tresna sendiri bingung dengan kondisinya yang semakin menunggu Ayu bersuara, justru dirinya semakin tegang. Ia tidak bisa tersenyum, apalagi tertawa.

"Seperti yang pernah Ayu bilang juga ke Tresna, Ayu percaya dengan Papa, termasuk dengan keputusan pada siapa Papa mengenalkan Ayu untuk dijodohkan."

Tresna mengangkat kepalanya. Berusaha menatap Ayu walau lehernya terasa kaku dan kram karena terlalu lama menunduk. "Jadi?"

Ayu hanya tersenyum, mengangkat alis, dan mengedikkan bahu.

Tresna ingin menyimpulkan respons itu sebagai jawaban Iya, tetapi ia tidak yakin. "Kak Ayu yakin?" tanyanya lirih.

"Menurutmu?" ledek Ayu.

"Ayu, ini adik saya udah tegang banget, lho, dari tadi. Biasanya bisa diajak bercanda, tapi kalo sekarang kayaknya pikirannya lagi nge-freeze." Mas Pandu ikut-ikutan meledek Tresna yang sukses mendapat pukulan keras dari Tresna di pahanya.

Pak Bagus tertawa melihat interaksi ini. "Nak Tresna, selamat datang. Semoga keluarga kita bisa menyatu dengan baik dan saya titip putri saya satu-satunya ini, ya!"

"Oh, berarti lamaran saya diterima, Pak?"

Bukannya jawaban, malah tawa dari seluruh anggota keluarga yang menjai respons atas pertanyaan Tresna.

"Iya, Tresna! Kamu nggemesin banget, sih, pengen Mas giling rasanya."

"Nanti, jangan panggil Ayu pake sebutan Kak lagi. Dia udah bukan kakak kelasmu, tapi calon istrimu." Risma menambahkan dan terkekeh sendiri.

Tresna menatap kakak-kakaknya dengan tatapan nyinyir dan memajukan bibirnya seperti bebek sambil menirukan perkataan mereka. Ia lalu membungkuk dan meminta maaf pada Pak Bagus sekeluarga karena kekonyolan yang terjadi hari itu.

"Dari Tresna sendiri, apa sudah menentukan mau kapan melangsungkan akadnya? Kalau dari saya, sebaiknya hal baik nggak perlu ditunda terlalu lama, ya." Pak Bagus kembali mengarahkan pembicaraan dua keluarga ini.

"Sebenarnya, kami terpikir melangsungkan hari H akad nikah dengan waktu seperti kakaknya Tresna dulu," sahut Bunda.

"Oh, memang dulu Nak Risma dan suami bagaimana?"

Kali ini Mbak Risma yang bersuara dengan sedikit malu-malu. "Dulu, saya sama Mas Pandu akad nikah sore hari setelah saya wisuda. Acara resepsinya malam hari, Pak."

Pak Bagus membelalak. "Oh, iya! Tresna sebentar lagi wisuda, ya. Bisa, bisa. Semua bisa di atur. Kita atur aja nanti."

Tresna tidak mau ikut-ikutan soal penentuan tanggal. Kapan pun, terserah. Ia hanya tinggal mengikuti arahan orang tua dan kakaknya yang lebih berpengalaman. Lagipula, segala urusan soal wisuda sudah selesai. Ia tinggal hadir gladi bersih dan mengikuti arahan kampus terkait persiapan lain untuk wisuda.

Setelah banyak berbincang soal persiapan pernikahan, Pak Bagus mempersilakan keluarga Tresna untuk menikmati hidangan makan siang buatan istri dan anaknya. Sebenarnya, Tresna ingin mengobrol lagi dengan Ayu. Ia juga menangkap gelagat Ayu menginginkan hal yang sama.

Namun, baru saja Tresna akan menghampiri Ayu yang sedang membantu menyiapkan hidangan dan alat makan, ponselnya berdering. Ia sedikit tersentak karena kaget dengan dering ponselnya dan menyesal karena baru sadar kalau ia lupa mengaktifkan mode getar.

"Assalamualaikum, kenapa, Manda?"

"Tresna, boleh kita ketemu?"

Tresna mengerutkan alis. "Kenapa emangnya?"

Tiba-tiba suara di ujung telepon mulai bergetar dan terdengar suara isakan tangis. "Ada yang mau kuomongin. Penting banget."

***

~1424 words~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro