21 || Over

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Baru kali ini, dalam ingatan Manda, permintaannya ditolak oleh sahabat semasa SMA-nya. Biasanya, kapan pun Manda meminta untuk bertemu dengan Tresna--untuk sekadar menemani belajar, mengurus keperluan OSIS, atau mendengarkan keluh kesah terkait hubungannya dengan orang lain, laki-laki itu tidak pernah menolak.

"Oke. Di mana?"

Jawaban itu adalah jawaban yang selalu Tresna berikan. Penting atau tidak penting, sahabat Manda itu tidak peduli dan akan tetap menemui Manda, kecuali ia memang sedang sakit dan tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya.

Namun, sudah beberapa minggu berlalu setelah Tresna menjawab bahwa ia akan menghubungi Manda lagi jika sudah bisa ditemui. Laki-laki itu tak kunjung mengisi notifikasi ponsel Manda. Perempuan berambut sebahu ini tidak berani menghubungi Tresna lebih dulu karena masih merasa sahabatnya akan menjadikan dirinya prioritas. Ia juga merasa harus Tresna-lah yang menghubunginya lebih dulu karena sahabatnya itu sudah berjanji. Ia pun terus menanti informasi dari Tresna hingga saat bekerja pun fokusnya terpecah.

"Miss Sheilamanda Elsa?

"Manda?" Kaki Hanan yang menyenggolnya di bawah meja ruang rapat menyadarkan Manda dari pikirannya yang berkelana. "Itu, di tanya Mr. Yuan."

Mr. Yuan adalah penanggung jawab dari universitas rekanan yang dalam proses kerja sama dengan Universitas Nusantara Jaya.  Beliau juga yang mempekerjakan Manda sebagai staf public relation asscociate.

"Oh, sorry."

Manda mengedip beberapa kali dan menepuk pelan pahanya di bawah meja untuk mengembalikan fokus. Pembahasan kerja sama ini sudah sampai ke tahap kurikulum pembelajaran dan ketentuan transfer kredit semester untuk mahasiswa Universitas Nusantara Jaya dan Han Yurim Public Relation Institute melakukan pertukaran pelajar satu musim maupun double degree. Artinya, Manda juga tidak bisa abai dengan proses rapat yang berjalan.

"Kamu masih sakit?" Hanan bertanya pada Manda usai rapat ditutup dan para petinggi institusi sudah keluar ruangan.

Manda menggeleng. "Aku udah sehat, kok, Han. Makasih, ya, udah peduli."

"Terus, lagi mikirin apa sampai nggak fokus gitu? Boleh aku tau?"

Walaupun mereka sedang dalam kondisi break dari hubungan pacaran yang terjalin, Hanan masih tetap menyediakan diri sebagai tempat Manda bercerita, sekalipun cerita tentang Tresna.

Manda memperhatikan Hanan dengan seksama. Ia ingin menceritakan kegelisahannya, tetapi ada keraguan dalam hati. Ia khawatir, jika dirinya bercerita pada Hanan tentang Tresna justru membuat laki-laki yang penuh ketulusan di depannya ini akan tersakiti.

"Tentang Tresna, ya?"

Mata Manda membelalak. "Ketauan, ya."

"Aku cuma nebak, sih. Apa lagi coba yang bikin kamu sebingung ini selain karena kerjaan?" Hanan menepuk pelan puncak kepala Manda."Nggak apa-apa, cerita aja kalo itu bisa bikin kamu tenang."

"Hm, sebenernya, aku bingung. Baru kali ini Tresna nolak buat ketemu aku dan nggak ada kabar sampai sekarang. Aku takut--"

Kalimat Manda terputus dengan getar ponselnya di atas meja. Nama Tresna tertera di sana.

"Han, aku ...."

"Iya, terima dulu aja teleponnya," sahut Hanan dengan senyum paling manis di dunia.

Manda berterima kasih dan keluar dari ruangan untuk menerima telepon yang sudah dinanti sejak berminggu-minggu lalu. "Halo, Tresna! Akhirnya. Aku nungguin banget telepon dari kamu. Kamu nggak apa-apa, kan?"

"Alhamdulillah, baik. Aku mau ketemu kamu. Di kafe biasa bisa? Jam-nya ngikut kamu sama Hanan."

"Oh, sama Hanan juga?"

"Iya, biar Hanan nggak salah paham kalo kamu cuma berdua ketemu sama aku. Kalian masih pacaran, kan?"

Manda terdiam sejenak mendengar jawaban dari Tresna. "Kalo aku aja yang mau ketemu kamu, bisa?"

"Hanan sibuk, ya?"

"Iya." Manda refleks menjawab. Entah mengapa otaknya sudah tidak bisa berpikir banyak lagi selain bertemu dengan Tresna. "Sore ini aja gimana?"

"Oke. Jam 4 di kafe biasa, ya."

Manda mengangguk cepat meski ia tahu kalau Tresna tidak bisa melihat bahasa tubuhnya. Jantungnya juga berdebar cepat karena bayangan pertemuan dengan Tresna melintas dalam benaknya. Manda tersenyum, tetapi senyumnya penuh getar. Sore ini, ia akan mengatakan pada Tresna bahwa dirinya memiliki perasaan yang sama. Sore ini juga, ia akan meminta maaf karena terlambat untuk menyadari perasaannya pada Tresna.

Dan sore ini juga, Manda akan memohon agar Tresna kembali padanya.

***

Rencana akad nikah yang akan dilakukan setelah Tresna wisuda membuat segala persiapan pernikahan harus dilakukan secara cepat. Biasanya, minimal orang-orang mempersiapkan pernikahan setelah lamaran adalah tiga bulan, tetapi Tresna dan Ayu harus menyiapkannya dalam waktu dua bulan.

Tidak ada waktu untuk menjadi terlalu pemilih. Sebagai orang yang nurut apa kata Bunda,  Tresna menyerahkan semua pilihan dan persiapan pada Bunda dan kakak-kakaknya. Satu hal yang ia jadikan catatan adalah kalau bisa simpel, tidak perlu dibuat ribet. Tresna hanya menyiapkan diri untuk gerak ketika disuruh dan membantu hal-hal yang memang perlu bantuannya--seperti memilih mahar dan seserahan untuk acara akad nikah nanti.

Pikiran tentang Manda tentu saja terlewat sepintas lalu. Terakhir kali Manda meneleponnya dengan isak tangis, ia sempat merasa khawatir. Saat ia menerima telepon dari Manda, bundanya memanggil dan meminta dirinya membantu Ayu. Meski sempat bimbang, Tresna tahu bahwa sudah ada Hanan yang bisa menemani Manda dan temannya itu bukan tipe laki-laki berengsek seperti mantan-mantan Manda sebelumnya. Itulah mengapa, dirinya berani untuk menolak dan memprioritaskan keluarganya.

Saat ini, nama Manda teringat karena Tresna harus menyebarkan undangan pernikahannya. Tidak mungkin jika dirinya tidak mengundang Manda di hari bahagianya. Sebelum menuju ke kafe dekat kampus, Tresna membawa dua undangan. Untuk Manda dan untuk Hanan.

Tresna pikir ia sudah datang lebih awal dan harus menunggu Manda. Namun, perempuan berkucir kuda itu sudah menunggu di salah satu meja di pojok kafe dengan segelas minuman yang sudah habis setengahnya.

"Lho, lo udah nunggu lama, Man?" Tresna segera menghampiri sahabatnya dengan sedikit panik.

"Oh, aku bosen di kosan. Jadi langsung ke sini aja tadi sambil baca-baca medsos," jawab Manda sambil tertawa kecil.

"Ah, oke. Gue pesen dulu, ya."

"Udah kupesenin, Res. Tunggu aja, bentar lagi dianter sama masnya."

Tresna mengerutkan alis dan kembali duduk. "Makasih, Man."

"Ya, ampun.  Kok, aku kangen banget, ya, Res, sama kamu."

"Tiba-tiba?"

"Enggak, sih," Manda menyeruput minumannya sebelum melanjutkan, "Waktu aku telepon kamu itu sebenernya aku lagi kangen banget sama kamu. Tau nggak? Kayaknya baru kali ini aku kangen kamu sampai sakit."

"Lo habis sakit? Sakit apa?"

Manda mengangguk. "Sakit karena rindu itu menyakitkan."

Tresna mengedip beberapa kali dengan mulut yang membuka. Biasanya, dulu ia bisa merespons gurauan Manda dengan kalimat balasan yang serupa tanpa beban. Namun, entah mengapa lisannya menjadi kaku dan tidak tahu balasan apa yang perlu ia berikan untuk kalimat sahabatnya itu. Ia pun memilih untuk tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Tumben nggak dibales," lirih Manda manja.

"Iya, mendadak gue bingung. Lagian, bukannya lo ada Hanan? Kenapa malah kangen ke gue?"

Manda mengulum bibirnya dan menatap ke atas. "Mungkin karena aku kangen masa-masa kita bareng, Res. Dan aku sama Hanan ... Ehm, lagi break."

"Break? Istirahat gitu? Bukan pegat, kan?"

Kedua bahu Manda terangkat sekilas. "Mungkin bisa dibilang gitu."

"Kenapa? Lo bosenan lagi, ya, pacaran sama orang? Jangan gitu, lah, Man. Udah bukan waktunya main-main sama perasaan orang lagi. Lagian, Hanan itu baik banget, lho. Setau gue, kalo dia beneran sayang sama orang, dia tipe yang all out. Nggak bakal nyakitin lo kayak yang sebelum-sebelumnya, kecuali lo yang mulai, sih. Tapi--"

"Aku seneng, deh, dengerin ocehan kamu lagi."

"Hah?"

"Iya, udah lama nggak denger kamu ngoceh dan peduli sama aku."

Tresna mengerutkan alis. "Gue selalu peduli sama lo, Man. Cuma mungkin dengan cara yang nggak lo tau aja."

"Iya. Salahku yang baru sadar itu sekarang. Makanya, jadi kangen banget sama kamu."

Ada sebersit rasa senang dalam hati Tresna karena akhirnya Manda mengakui kalau ia menyadari kepeduliannya, tetapi lebih besar rasa bersalah yang muncul dalam hatinya. Bukan rasa bersalah pada Manda, tetapi rasa bersalah pada Ayu.

Bolehkah ia menerima kalimat-kalimat itu dari Manda ketika ia sebentar lagi akan menikah dengan Ayu? Bolehkah hatinya kembali goyah saat hari pernikahannya semakin dekat?

Tresna menggelengkan kepalanya pelan.

"Kenapa, Res?"

Laki-laki berkemeja biru muda itu menarik napas panjang. Sepertinya, ia tidak boleh terlalu lama bertemu dengan Manda karena ia khawatir keyakinannya akan goyah. Ia tidak mau mengecewakan keluarganya dan juga calon istrinya.

"Manda, gue seneng banget karea udah ada Hanan yang bisa jagain lo. Percaya sama gue, Hanan itu worth buat lo pertahanin. Gue harap, lo nggak lagi-lagi pacaran hanya sekadar buat main-main. Udah banyak karakter cowok yang lo kenali dan biarlah Hanan jadi yang terakhir buat lo. Dia bakal  sayang banget sama lo."

"Ada kamu, Res. Kenapa bukan kamu?"

Tresna menggeleng. Ia pun mengeluarkan dua lembar undangan berwarna biru tua dan meletakkannya di paha. "Gue nggak bisa jagain lo terus, Man. Ada saatnya kita punya jalan masing-masing. Kita tetep bisa jadi sahabat, tapi mungkin nggak bisa sedeket dulu lagi karena ada hati yang perlu gue jaga."

"Maksudnya?"

Dua lembar undangan berwarna biru itu pun Tresna taruh di atas meja dan ia sodorkan pada Manda. "Doain kebahagiaan gue dan istri gue, ya. Di hari bahagia ini, gue sangat ingin mengundang lo dan Hanan. Kalian berdua orang-orang keren dan berharga yang pernah gue kenal sejak SMA."

Sepasang mata Manda memerhatikan undangan itu. Ia lalu menatap Tresna dengan mata yang berair. "Udah nggak bisa berubah, ya?"

Tresna tersenyum dan menggeleng.

"Kalo aja aku sadar lebih awal, apa mungkin nama yang ada di sini itu namaku?"

Jantung Tresna seakan berhenti mendengar kalimat itu dari Manda. Seorang Manda yang berkali-kali menolaknya, bahkan hingga detika terakhir tetap menolaknya, kini menyatakan hal yang berbeda?

Sejujurnya, Tresna ingin menanyakan maksud dari pertanyaan Manda.  Namun, sepertinya ia tahu, petaka bisa saja datang jika kejelasan itu ia tanyakan dan membuat hatinya goyah. "Titip buat Hanan, ya."

Air mata Manda menetes. Bibirnya bergetar.

Tresna menunduk memandang ice americano dan menghabiskan minumannya itu. "Oh, ya, ini acaranya akadnya sore. Kalo lo sama Hanan nggak sibuk, paginya gue wisuda. Sorenya, akad nikah. Malemnya, resepsi. Nggak harus dateng tiga-tiganya, tapi gue sangat berharap kalian ada di hari bahagia ini."

Tresna lalu mengambil tisu dari meja kasir dan menyerahkannya ke Manda. "Gue pamit dulu, ya, Man. Perlu gue telponin Hanan?"

Manda diam. Lalu, tak lama kemudian ia mengangguk.

"Oke, gue telpon Hanan sambil jalan keluar, ya. See you, Sheilamanda Elsa!"

Tega ataupun tidak, Tresna terpaksa meninggalkan Manda yang masih menangis dalam diam di meja kafe. Ia menelepon Hanan sambil terus memerhatikan Manda dari luar. Perempuan itu kini sedang menundukkan kepalanya di atas dua lengan yang disatukan di atas meja.  Sepertinya, ia menangis hebat.

"Assalamualaikum, Han. Bisa ke kafe? Temenin Manda."

***

~

1684 words~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro