Chapter 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Silahkan dinikmati chapter ini

---------------

Perubahan, manusia cenderung sering berubah semasa hidupnya. Dari bayi, balita, anak-anak, remaja sampai dewasa pastinya mengalami perubahan bukan hanya dari fisik tapi juga mental, bahkan sampai ke kepribadian. Tapi, perubahan dibenci banyak orang. Sederhananya, karena banyak orang yang sudah nyaman di comfort zone mereka dan tak mau berubah. Tapi, tanpa perubahan seseorang tidak akan bisa maju.

"...Boboiboy?"

Yaya mencari sosok suaminya yang tiba-tiba hilang di apartemennya. Apartemennya adalah apartemen kecil yang minimalis. Hanya terdiri dari ruang tamu, dua kamar yang di dalamnya ada dua kamar mandi dan sebuah dapur, serta satu balkon di luar. Yaya menemukan suaminya sedang duduk di bangku di teras, memandang lurus ke arah langit malam.

"Kamu kenapa di sini?" tanya Yaya, ikut duduk di sebelah Boboiboy. Mereka duduk di bangku panjang, dikelilingi oleh beberapa pot bunga yang tampak indah di bawah sinar bulan.

"Nggak ... cuma lagi memikirkan sesuatu aja," jawab suaminya lirih. Dari cara matanya yang setengah terbuka, wajah tanpa ekspresi, nada bicara yang datar dan suaranya kecil, Yaya bisa menyimpulkan bahwa ia sedang berhadapan dengan Air sekarang.

"Sesuatu?" tanya Yaya, ikut memandang ke langit dimana bulan separuh bersinar dengan indah. Hari ini adalah malam yang cerah tanpa ada awan yang menutupi sinar bulan. Terlebih, apartemen mereka ada di lantai yang cukup tinggi sehingga tidak tercemar udara perkotaan, dari kejauhan terlihat banyak sinar lampu yang bagaikan seperti bintang di daratan.

"Hm ... semuanya berubah karena kamu."

Yaya memandang Air. Air menoleh dan menatapnya dengan lurus.

"Halilintar, Api, Taufan ... semuanya mulai berubah."

Yaya mengerjapkan mata dan mencoba memikirkan hal itu. Ia tidak menyadari apa mereka berubah karena memang Yaya belum terlalu lama bersama suaminya. Ia lebih sering berpikir, ia melihat sisi baru para kembaran suaminya. Itu saja.

"Halilintar mau berhubungan dengan orang lain ... Api mau belajar menjadi dewasa ... dan Taufan mau memperlihatkan isi hatinya," jelas Air memandang bulan yang bersinar di atas kepala mereka.

"Aku ... mau berubah."

Sang istri mengerjapkan mata lagi kemudian perlahan tersenyum lembut. "Kamu tidak harus berubah."

Air menggeleng. "Nggak. Sejak kamu datang, semuanya jadi berubah. Aku nggak bisa kayak gini terus."

Yaya sedikit bertanya-tanya apa maksudnya, apa yang sebenarnya sedang dibicarakan Air?

"Aku mau ... lebih hidup."

Sekarang Yaya benar-benar tidak paham.

"Lebih hidup?" tanya Yaya dengan bingung.

Air mengangguk. "Kamu mungkin nggak bakalan pernah mengerti. Tapi, setiap harinya aku cuma bisa keluar beberapa jam, kadang nggak keluar sama sekali. Sisanya, aku cuma bisa melihat tanpa melakukan apa-apa. Aku sering bertanya-tanya, apa yang seperti ini pantas disebut 'hidup'?"

Yaya hanya bisa diam. Ia tidak akan pernah mengerti bukan berarti ia tidak bisa membayangkan. Entah bagaimana rasanya, hanya memiliki waktu beberapa jam setiap harinya. Harus berbagi tubuh dengan orang lain. Kebebasan terkekang, waktu pun terbatas.

"Makanya, dulu aku nggak pernah mau keluar. Apa artinya hidup seperti ini? Tapi ..."

Di sudut bibirnya, Air tersenyum kecil. Ia menatap Yaya dengan pandangan penuh makna. "Tapi, ada kamu, makanya aku mau keluar. Aku mau ... lebih hidup sekarang."

Yaya masih kesulitan mengerti maksud dari perkataan itu, tapi setidaknya ia tahu kalau itu adalah sesuatu yang bagus.

"Aku ikut senang mendengarnya," balas Yaya penuh senyum.

"Makanya, mulai besok, aku mau kerja."

Sekarang, Yaya sama sekali tidak menduga Air akan mengatakan hal itu.

"Bukannya kamu bilang kamu nggak mau kerja?" tanya Yaya. Air mendesah sedikit.

"Kan tadi aku udah bilang, aku mau 'lebih hidup'," jelas Air. Yaya hanya mengerjapkan mata sementara mulutnya terkatup rapat.

Paham kalau istrinya tidak mengerti, Air mencari kata lain. "Selama ini, aku menghindari tanggung jawab karena aku nggak mau hidup. Aku nggak mau sekolah, aku nggak mau menghadapi orang lain, aku nggak mau kerja. Aku selalu membiarkan yang lain menangani masalah mereka, tanpa mencoba berbuat apa-apa. Kalau kupikir sekarang, selama ini aku egois dan nggak adil dengan yang lain."

Yaya membelai lembut pundak Air, karena matanya sekarang terlihat sendu.

"Yah, lain dengan Api yang nggak boleh kerja, aku ... aku sepertinya bisa. Aku nggak tahu, aku nggak pernah mencoba."

Sekarang Yaya bisa melihat kalau Air terlihat gugup. Pantas malam sudah mulai larut, ia hanya termenung di balkon seperti ini.

"Kamu sudah bicara dengan yang lain?" tanya Yaya. Air mengangguk.

"Sudah. Kata mereka, coba saja dulu. Entahlah, dari cara mereka bicara, kurasa mereka tidak menaruh banyak harapan padaku," Air terlihat ciut dan gugup. Yaya tidak bisa menyalahkan, sekian tahun kembaran ini tidak pernah keluar, hanya menjadi pengamat kembaran yang lain. Yaya bahkan tak pernah melihat Air berinteraksi dengan orang lain selain dirinya, jadi jujur Yaya tak tahu bagaimana sikap Air di dunia luar.

"Makanya kamu gugup seperti ini?" tebak Yaya. Air mengangguk, tampak malu tapi seperti biasa, ia memang jujur bahkan untuk hal yang membuatnya malu.

"Aku ... nggak biasa menghadapi banyak orang," gumam Air lirih.

"Tenang aja ... aku yakin kamu bisa. Tapi, kamu nggak perlu memaksakan diri, kalau memang kamu pikir nggak bisa menangani situasi, kamu bisa biarkan yang lain ambil kendali," saran Yaya, berusaha memberi semangat.

Air tersenyum tipis, kelihatan masih gugup.

"Terima kasih."

IoI

Istri memiliki tugas untuk mendukung suami. Apapun masalah yang dihadapi, istri harus siap sedia memberikan semangat maupun tempat berlabuh seorang suami. Yaya paham betul hal itu.

"Sampaikan salamku untuk Air, aku tahu dia pasti bisa."

Gempa tersenyum lembut pada Yaya. "Dia terlalu nervous pagi ini, sampai sakit perut," Gempa memeluk perutnya sendiri sambil tertawa kecil. "Makanya aku harus ambil alih. Tapi tenang aja. Air itu tenang dan nggak mudah panik, cuma dia memang introvert total, hari ini nggak ada rapat ataupun presentasi, jadi seharusnya dia akan baik-baik aja."

Yaya mengangguk, entah kenapa ikut tegang memikirkan nasib Air nanti, melihatnya Gempa tersenyum makin lebar. "Tenang Yaya, kami bukannya pergi ke medan perang."

Yaya tertawa kecil mendengar candaan Gempa. "Aku tahu ..." Yaya berjinjit dan mengecup pipi Gempa.

"Tolong katakan padanya, nggak usah memaksakan diri."

Gempa membelai lembut pipi Yaya. "Nggak perlu kukatakan pun, dia bisa dengar kok."

Yaya memutar matanya, ia tahu hal itu. Tapi, kan tetap terasa aneh bicara pada kembaran yang sedang tidak mengambil alih, meski memang seharusnya Air bisa mendengarnya.

"Aku berangkat dulu. Assala'mualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

IoI

Setelah lebih dari dua minggu menikah, Yaya mulai bisa mengenal para kembaran suaminya dengan baik.

Mereka itu kebanyakan introvert, alias, tidak suka bergaul dengan orang banyak.

Gempa yang terlalu memaksakan diri setiap waktu, yang selalu ingin jadi sempurna, yang selalu menyelesaikan semua masalah meski ia sendiri tidak menyukainya. Separuh hati, Yaya berpikir bahwa Gempa pun sebenarnya orang yang introvert hanya punya jiwa kepemimpinan yang baik, tapi tampaknya kadang lebih senang menyendiri.

Taufan yang sepertinya extrovert, alias suka bergaul dengan banyak orang. Yang selalu tersenyum, selalu bercanda, selalu membuat suasana jadi cerah tapi selalu menyembunyikan isi hatinya. Mungkin, dari semua kembaran, Taufan yang paling mudah bergaul dengan orang lain, tapi dia punya sisi yang sangat tertutup.

Halilintar, tidak perlu ditanya, dia pasti introvert total hampir seperti Air. Dia bisa berhadapan dengan banyak orang, tapi bukan berarti ia menyukainya. Halilintar tampaknya senang menyendiri dan sulit mempercayai orang lain. Orang yang selalu menjaga jarak, mengontrol emosi, ketus dan dingin.

Api sepertinya extrovert, tapi sayangnya ia dikurung di dalam apartemen sehingga ia tidak bisa bergaul dengan orang lain. Api pasti kesepian, makanya tak heran begitu menikah ia langsung berakrab ria dengan Yaya. Sebenarnya Api menyenangkan, kekanakan dan polos, hanya saja dia sensitif dan temperamental.

Dan Air ...

Air yang mengaku selama ini tidak hidup, yang selama ini mengurung diri di dalam tubuh suaminya dan menolak untuk keluar. Sudah dipastikan, kemampuan sosialisasinya mungkin hampir nol besar. Jadi, dia pasti introvert total. Tampaknya, ia takut berhadapan dengan orang lain, karena itu ia selalu menghindari tanggung jawab, karena tanggung jawab biasanya mengharuskan untuk berhubungan dengan orang lain.

Tapi, seperti Air bilang, semuanya mulai berubah. Air sendiri pun ingin berubah. Yaya senang mengetahui hal itu, tapi ia takut Air memaksakan diri. Semua kembaran suaminya sepertinya punya satu persamaan. Mereka berusaha terlalu keras, sampai kadang Yaya sedih melihatnya.

"Hayo! Lagi mikirin siapa?"

"Ying!" Yaya memekik kaget dan mengurut dadanya. Sementara, sahabatnya itu hanya tersenyum manis padanya.

"Duh kangennya sama kamu, mentang-mentang kamu udah nikah, jadi sombong ya sekarang," goda Ying lagi. Yaya hanya tersenyum karena tahu Ying tidak serius. Hari ini, ia tadinya ingin membantu restoran keluarganya hanya untuk tahu kalau restorannya sedang ditutup karena ibunya ingin para karyawannya libur. Sudah lama mereka bekerja keras tanpa libur karena restorannya buka setiap hari.

Karena itu, untuk menghabiskan waktu, Yaya memutuskan untuk pergi ke cafe bersama Ying.

"Jadi, gimana kamu sama suamimu? Udah hamil?"

Yaya menyemburkan jus yang sedang ia minum, untung bukan ke arah Ying.

"YING!"

"Iya maaf, bercanda kok," Ying terkikik kecil. Yaya hanya bisa cemberut tapi wajahnya merah padam.

Yaya selama ini masih terus berhubungan dengan Ying via SMS dan sosial media. Tentu Yaya tidak memberitahu Ying soal kondisi khusus suaminya, tapi Ying cukup tahu bagaimana hubungan Yaya dengan Boboiboy sekarang.

"Tapi dari ceritamu selama ini, kayaknya hubungan kalian lancar-lancar aja tuh," timpal Ying.

Yaya masih agak sebal sedikit pada temannya. Tapi, akhirnya ia tersenyum. "Ya, alhamdullilah."

Boboiboy bukan suami yang buruk, kondisi khususnya memang membutuhkan waktu bagi Yaya untuk beradaptasi, tapi yang jelas ia bukan suami yang menyebalkan seperti di banyak sinetron picisan yang selama ini ia lihat.

"Terus gimana? Udah jatuh cinta sama dia?" tanya Ying lagi.

Wajah Yaya kembali bersemu. Bagaimana ia menjawab pertanyaan itu?

Wajahnya makin memerah mengingat bagaimana semua kembaran suaminya (kecuali Halilintar) kini sudah menciumnya. Bagaimana masing-masing dari mereka sudah membuat Yaya berdebar dengan cara mereka sendiri. Bagaimana mereka tampaknya dengan mudah terpikat dengan Yaya dan membuat Yaya merasa dibutuhkan suaminya. Bagaimana mereka kerap tidur bersama di satu ranjang.

Meski awalnya Gempa menyarankan mereka mulai dari teman, sepertinya sekarang sudah lebih dari itu, tapi Yaya tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya.

Yaya kemudian melihat Ying yang tersenyum padanya. Jelas, meski Yaya tidak mengatakan apa-apa, Ying tampaknya menikmati wajah merah Yaya.

"Ciee ... yang udah nikah," goda Ying. Yaya kembali cemberut.

"Apaan sih ... kita belum ngapa-ngapain kok," bantah Yaya. Mendengarnya, Ying hanya tertawa kecil.

Namun, sekarang Yaya baru sadar satu hal.

Lho ... apa itu artinya ia sudah mulai jatuh cinta pada suaminya? Lima-limanya?

Memikirkannya, entah kenapa Yaya merasa berdosa. Apa mungkin seseorang bisa jatuh cinta pada lima orang sekaligus?

"Yaya?"

Ying pasti sadar perubahan ekspresi wajahnya, jadi Yaya berusaha mengesampingkan hal itu.

"Ada masalah?" tanya Ying.

Yaya hanya mengulum bibirnya. Ia ingat bagaimana Gempa memperingatkannya untuk tidak menceritakan kondisi khususnya pada orang lain. Yaya juga tidak mau membocorokan rahasia suaminya tanpa seizinnya.

"Uhm ... menurutmu, mungkin nggak seseorang jatuh cinta lebih dari satu orang?" tanya Yaya dengan ragu-ragu.

Ying mengerjapkan mata. "Ha? Boboiboy selingkuh?"

Yaya menggeleng dengan cepat. Kalau dipikir, ia yang ... bagaimana menjelaskannya ... melimakan suaminya? Oh ... Yaya mulai pusing memikirkannya sekarang. Ia sama sekali tidak sadar sampai detik ini. Apa itu artinya bahkan suaminya pernah cemburu dengan kembaran yang lain? Atau mereka sebenarnya sedang berkompetisi untuk merebut hati Yaya?

"Bukan ... dia nggak selingkuh," jawab Yaya, dalam hati ia melanjutkan 'mana mungkin ia selingkuh ... jangankan selingkuh, teman saja dia tidak punya' pikir Yaya getir.

"Cuma berandai aja kok ... penasaran," tambah Yaya.

Ying memandangnya dengan curiga namun syukurnya tidak curiga lebih lanjut. "Bisa saja kan? Buktinya ada poligami."

Yaya mengurut keningnya. Dulu ia sempat tidak suka dengan yang namanya 'poligami', sedih melihat istri-istri yang harus berbagi suami. Tapi, sekarang, malah dirinya yang seperti poliandri, alias punya suami lebih dari satu.

"Menurutmu ... suami yang poligami itu... orang jahat?" tanya Yaya lagi.

"Hm ... nggak sih. Cuma mungkin dia agak mengkhianati istrinya. Tapi, selama dia udah minta izin sama istrinya dulu sih, nggak apa-apa," jawab Ying meski wajahnya tampak ragu.

Yaya memikirkan hal itu. Apa dia mengkhianati suaminya dalam artian tertentu? Sepertinya tidak. Karena memang suaminya kan punya kondisi khusus. Akan jauh lebih baik, kalau Yaya bisa mencintai mereka semua bukan?

Meski kenyataan kalau Yaya mulai jatuh cinta dengan 5 orang sekaligus membuat Yaya merasa berdosa.

"Jadi, cerita dong ... sekarang kamu sama Boboiboy gimana?"

Yaya hanya tersenyum getir dan mencoba mencari sesuatu yang diceritakan pada Ying, sesuatu yang cukup normal untuk diceritakan.

IoI

Yaya berusaha keras untuk melupakan masalah 'ia mulai jatuh cinta kepada 5 orang sekaligus' dan memfokuskan diri tentang masalah Air.

Sekarang, bagaimana kondisi Air? Apa ia baik-baik saja di kantor? Apa ia bisa?

Yaya memutuskan untuk menyiapkan sesuatu pada Air ketika ia pulang nanti. Kalau Air ternyata berhasil bekerja dengan baik, Yaya ingin menghadiahinya sesuatu. Tapi, apa ya?

Jadi, dimulailah ide gila Yaya untuk memasak. Suka tidak suka, hancur ataupun tidak, Yaya harus memaksakan diri untuk memasak. Kalau berhasil kan, berarti ia dan Air berhasil melakukan sesuatu.

Yaya sedang sibuk memanggang pie apel ketika akhirnya suaminya pulang.

"Assalamu'alaikum."

Yaya sedang mengeluarkan pie dari oven, jadinya sih tidak gosong tapi malah mungkin tidak matang. "Wa'alaikumsalam."

Sang istri segera berlari ke arah pintu depan. "Bagaimana?"

Air langsung memeluk Yaya erat, sampai Yaya tak sempat melihat wajah suaminya. Namun, dari caranya yang memeluk erat dan tangannya sedikit bergetar dan bagaimana Air menenggelamkan wajahnya di bahu Yaya, hati sang istri mencelos karena tahu pasti hasilnya tidak sesuai harapannya.

"Air?"

Air tidak merespon, masih tetap diam di tempat. Yaya akhirnya memilih untuk memeluk balik Air, tangannya membelai punggung suaminya dengan lembut.

"Hei ... duduk dulu yuk," bujuk Yaya dengan lembut. Ia sedikit pegal sekarang, karena Air bersandar padanya, membuat Yaya harus menopang berat tubuhnya. Dan tentu saja, suaminya itu lebih berat darinya.

Air akhirnya mau mundur, wajahnya sendu meski ia tidak menangis. Yaya menuntun suaminya ke sofa dan sesudah mereka duduk, Air kembali memeluk Yaya.

Yaya menunggu Air menenangkan diri. Sepanjang waktu, sang istri membelai, mencium rambut suaminya sambil bergumam nada lagu menenangkan yang ia ingat.

"Aku gagal ..."

Akhirnya Air mau bicara.

"Ada apa?" tanya Yaya merasa khawatir.

Air mundur dan mendesah keras, ia menutup wajahnya dengan telapak tangannya.

"Aku payah menghadapi orang."

Sebenarnya itu bukan rahasia lagi. Tapi, itu mengonfirmasi tebakan Yaya selama ini.

"Ada rapat dadakan dan aku ..."

Yaya diam membayangkan. Ia tidak pernah tahu, rapat di kantor itu seperti apa. Tapi pastinya, ada saat dimana Boboiboy sebagai seorang atasan harus bicara. Mungkin, Air gagal melakukannya.

Lalu, rapatnya jadi kacau.

"Kamu tidak membiarkan yang lain mengambil alih?" tanya Yaya lagi, ia padahal sudah bilang pada Air untuk tidak memaksakan diri.

Air menggeleng. "Aku ... aku harus bisa menangani situasi seperti itu ... aku tidak bisa selamanya bergantung dengan yang lain."

Yaya mendesah. Tebakannya benar ternyata. Air itu setipe dengan kembarannya yang lain. Mereka terlalu memaksakan diri.

"Air ... coba dengarkan aku ...," Yaya membelai pipi Air lembut. Akhrinya, suaminya mau menatap matanya. Ia melihat mata suaminya sudah berkaca-kaca, membuat Yaya merasa pilu.

"Kamu sudah mau berubah saja, itu sudah bagus. Tidak ada orang yang bisa berubah tiba-tiba, semuanya menjalaninya sedikit demi sedikit," jelas Yaya lagi. Ia mengusap mata Air yang meneteskan air mata.

"Aku sudah bangga padamu ... kau mengerti?" tanya Yaya lagi. Air mengangguk pelan.

"Tapi ... aku ingin bisa menjadi orang yang diandalkan," jelas Air dengan lirih. Yaya mengerjapkan mata, merasa agak bingung.

"Untuk siapa?" tanya Yaya. Air memandangnya, entah kenapa memandang Yaya seperti Yaya itu orang bodoh.

"Untukmu."

Yaya sedikit terkejut mendengarnya.

"Aku ingin bisa diandalkan, seperti Gempa, Halilintar atau Taufan. Aku ... aku ingin belajar jadi laki-laki yang pantas- untuk jadi suamimu."

Mulut Yaya menganga sedikit, kemudian perlahan wajahnya memerah. Ia sangat tersentuh mendengar hal itu. Ia sama sekali tidak menyangka, Air melakukan semua itu untuknya. Padahal, ia tidak pernah meminta Air melakukan apapun.

"Oh, Air ...," Yaya memeluk Air, merasa bahagia dan tersentuh, pada saat yang sama jantungnya berdebar cepat. Bagaimana ia bisa menahan diri untuk tidak mulai jatuh cinta pada laki-laki yang tulus dan jujur ini?

Air tampak bingung karena ia tidak membalas pelukan Yaya. Mungkin, karena menganggap dirinya gagal, ia tidak tahu kenapa Yaya terlihat senang.

"Sudah kubilang kan? Kamu udah mau berubah aja, itu udah bagus. Bagus sekali. Banyak orang yang nggak mau berubah, karena itu...," Yaya merapikan poni rambut Air dan memandangnya dengan lembut, "kamu harus diberi hadiah."

"Hadiah? Aku kan gagal...," Air terlihat bingung dan Yaya hanya tertawa kecil melihatnya. Benar-benar, Air itu kadang polos sekali.

"Hadiah karena kamu sudah mau berubah dan berani mencoba."

Air mengerjapkan mata, tampaknya mulai paham meski terlihat masih ragu.

"Hadiahnya?" tanya Air, tampaknya suasana hatinya sudah lebih baik.

"Uhm ... aku sudah membuat pai apel untukmu, tapi kayaknya nggak mateng. Jadi, begini aja deh. Kamu mau apa? Biar kukabulkan, satu keinginanmu, asal aku masih bisa, dan kamu nggak minta yang nggak-nggak," tawar Yaya penuh senyum. Kemudian sadar, jangan-jangan ia sudah menggali lubang kuburnya sendiri.

Air tidak akan minta yang macam-macam ... 'kan?

Air diam sebentar, matanya yang setengah terbuka menatap lurus pada Yaya, membuat sang istri merasa gugup tiba-tiba.

"Aku ... mau tiduran di pangkuanmu."

"Eh?" Yaya mengerjapkan mata, sama sekali tidak menduganya.

"Waktu Gempa dipangku olehmu, rasanya tidak jelas, soalnya dia nangis dan lagi sakit kepala," tambah Air dengan wajah datar.

Yaya menahan senyum, permintaan Air polos sekali. Ia jadi merasa bersalah sudah curiga padanya.

Sang istri membetulkan posisi duduknya sedikit di sofa kemudian menepuk pahanya. "Ayo."

Air tersenyum senang, senyuman yang polos, membuat Yaya senang karena suaminya sudah tidak sedih lagi. Sang suami membuka jas dan mengendurkan dasinya. Ia kemudian membaringkan kepalanya di pangkuan Yaya. Rasanya sedikit agak malu dan Yaya merasa agak was-was, tapi ia menekan perasaannya itu dan yakin Air tidak akan berbuat macam-macam padanya.

Kedua merilekskan diri, Yaya mulai membelai rambut Air, suaminya sama sekali tidak menolak, malah kelihatan senang.

"Hm ...," ia mendesah senang. Wajah Air tampak damai. Membuat Yaya miris sendiri, suaminya bisa bahagia hanya dengan hal-hal sepele. Tapi, mungkin justru hal sepele macam ini yang tidak pernah ia alami selama ini.

Mungkin, selama ini, ia tidak pernah dipangku ibunya seperti ini.

"Hm ... Air...?" tanya Yaya, mengecek apa Air tidur, karena ia menutup matanya dan tampak begitu tenang.

"Ya?" tanya Air, membuka matanya.

"Aku boleh tanya sesuatu?" tanya Yaya lagi. Air mengangguk dan menatap matanya.

"Uhm ... kamu bilang semuanya mulai berubah, sebenarnya ... awalnya kalian seperti apa?" tanya Yaya.

Air menatapnya dengan lurus, sejenak Yaya melihat keraguan di wajahnya.

"Halilintar ... bisa bekerja dengan baik, dia pemimpin yang baik, tapi dia nggak bisa percaya orang lain. Taufan ... selalu memaksakan diri tersenyum, meski dia ada di situasi sulit. Api ... Api selalu mengamuk, dia nggak mendengarkan perkataan yang lain ... dan Gempa..."

Air berhenti, Yaya menanti.

"Dia selalu tegang, dia nggak pernah rileks ... dia ..."

"Dia selalu menjaga diri dan berhati-hati?" tanya Yaya. Air mengangguk.

"Tapi, Halilintar peduli sama kamu," tambah Air. Wajah Yaya agak memerah, mengingat bagaimana Halilintar mencarinya di tengah hujan badai kemudian merawatnya yang sedang sakit nyeri haid.

"Api mau belajar jadi dewasa," lanjut Air. Yaya tersenyum mengingat Api yang mencoba menyiapkan sarapan tapi gagal dan akhirnya bercerita bagaimana dirinya tidak pernah diberi tanggung jawab oleh kembaran yang lain.

"Taufan ... menangis, itu kedua kalinya. Dia cuma pernah nangis saat Tok Aba meninggal." Yaya agak sedih mendengarnya. Ia juga melihat bagaimana Taufan mau menunjukkan isi hatinya, kalau ternyata ia tidak seceria yang selama ini ia kira.

"Semuanya berubah menjadi lebih baik ... makanya aku juga mau berubah, aku yakin, Gempa juga," Air tersenyum pada Yaya dan sang istri membalasnya.

"Selama kamu nggak memaksakan diri," tegur Yaya. Air tersenyum kecil.

"Kamu akan selalu ada untuk menghentikanku kalau aku memaksakan diri kan?" tanya Air, membuat Yaya memutar matanya. Namun, ada sedikit keraguan dan ketakutan di mata Air, membuat Yaya tersenyum padanya.

Apa ia pikir suatu saat Yaya akan meninggalkannya?

"Iya, aku akan selalu ada untuk kamu, untuk kalian," tandas Yaya dengan tegas. Air tersenyum bahagia dan mengangguk. Ia bangkit dan mengecup bibir Yaya. Sang istri agak terkejut namun tersenyum dan menutup matanya.

Ciuman lembut yang membuat kaki Yaya seperti meleleh, untung dia sedang duduk.

"Aku kadang merasa nggak pantas untuk kamu," gumam Air pelan, namun Yaya bisa mendengarnya dengan jelas. "Tapi ... aku akan berusaha!" lanjutnya, membiarkan keningnya dan kening Yaya bersentuhan.

Yaya ingin mengatakan kalau Air tidak seharusnya merasa begitu, kalau ia pantas untuk Yaya, kalau mereka berhak bahagia, tapi semua kata-katanya hanya tenggelam dalam kebisuan dan Yaya mengecup bibir Air untuk menyampaikan maksudnya. Air tersenyum senang dan memeluk Yaya. Sang istri membalas pelukannya.

Mereka semua punya kondisi khusus, tapi mereka tidak perlu berjuang untuk dicintai. Yaya sudah mencoba menjelaskan hal itu pada Gempa, tapi mungkin karena sudah menjadi kebiasan, jadi sulit hilang.

Tapi, suatu saat mungkin, mungkin mereka akhirnya akan mengerti.

TBC

---------------

Ok, akhirnya bagian Air kelar. Besok tinggal bagian Gempa. Oh ya, Halilintar udah tahu, kenapa ada yang minta bagiannya Halilintar lagi? Oh iya sih, dia masih kurang ya, cuma dia nih yang belum cium Yaya, liat ntar deh.

Ada satu yang harus dilurusin di sini. Aku nggak bakal nulis 'itu'. Ampun, udah jelas 'kan fanfic ini rating-nya T, ya nggak lah. Mungkin, akan ada adegan sebelum dan sesudahnya tapi nggak, untuk bagian 'itu' jelas nggak bakalan kutulis.

Kurasa itu aja ya?

Terima kasih untuk review-nya.

Silahkan, review lagi! ^^

——————————
K O L O M  N U T R I S I
——————————

1. Sudah mengerti 'kan kenapa Air jarang muncul sebelum menikah?

2. Air sudah mau berubah menjadi lebih baik. Kamu mau kapan merubah kepribadian yang lebih baik?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 10 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro