Chapter 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terima kasih para reviewer. Ada yang nanya kapan fanfic ini bakal tamat? Yah, jawabannya aku juga nggak tau. Untuk fanfic kayak gini, aku nggak merencanakan 'sampe chapter sekian' gitu. Selama aku masih ada ide, ya kemungkinan bisa lanjut terus ...

Terus, ada yang minta aku update fanfic lain di review fanfic ini. Bukannya nggak mau, cuma banyak alasan kenapa aku nggak update fanfic lain. Bisa karena mood hilang, atau lagi mentok. Sabar aja

Chapter ini adalah chapter GempaxYaya, silahkan dinikmati

---------------

Berbagi tubuh dengan orang lain, mungkin adalah pengalaman paling langka di dunia ini. Gempa tidak tahu apakah ada orang lain yang mengalami hal yang sama dengannya atau tidak, atau sebenarnya orang yang berkepribadian ganda itu sama seperti dirinya. Entahlah, tapi bagian yang paling tidak ia suka dari berbagi tubuh ini ...

Ia bisa mendengar dengan jelas bagaimana kembarannya yang lain membicarakan dirinya.

Tentu ia mendengar dengan jelas, bagaimana Air dan Yaya mengobrol soal perubahan yang dialami setiap kembaran sejak mereka menikah. Dan bagaimana Air mengatakan dengan jelas kalau Gempa itu selalu tegang dan tidak bisa rileks, dan bagaimana Yaya menambahkan kalau Gempa itu selalu menjaga diri dan berhati-hati.

Sadar tidak sih mereka berdua kalau Gempa bisa mendengar semua itu secara langsung?

Gempa tidak tahu bagaimana reaksi kembaran yang lain dibicarakan oleh Air dan Yaya tapi, bagi Gempa itu seperti disiram air dingin.

Benarkah?

Benarkah ia seperti itu?

Gempa sendiri tidak sadar. Menurut pendapatnya, ia sudah cukup rileks di depan Yaya. Ia bahkan bisa menggunakan kata-kata non-formal bersamanya, menciumnya sekali bahkan menangis di pangkuannya sekali. Seperti itu masih dibilang belum rileks dan selalu tegang?

Ia pikir, seharusnya Halilintar yang seperti itu, karena dari pengamatan Gempa sendiri, Halilintar masih kaku dan menjaga jarak dengan Yaya. Meski memang perlahan kembaran yang satu itu menunjukkan kalau ia peduli pada Yaya.

Gempa menutup map berisi berkas di meja kantornya dan mendesah pelan. Mungkin, mungkin Air ada benarnya. Entahlah, Air biasanya punya daya pengamatan yang bagus, Gempa akui itu. Kalau Air mengatakan Gempa itu tidak bisa rileks dan selalu tegang mungkin benar. Apalagi, Yaya juga tampaknya sependapat.

Masalahnya, Gempa harus berbuat apa sekarang?

Ia bukan Taufan yang bisa langsung mencium Yaya setiap hari. Ia bukan Api yang manja dan haus perhatian Yaya. Ia bukan Air yang entah kenapa bisa berkomunikasi dengan Yaya sedangkan kemampuan bersosialisasinya hampir nol.

Gempa bukan kembarannya. Kalau ditanya, apakah ia mau lebih dekat dengan Yaya? Sudah pasti, jawabannya, ya dia mau.

Tapi, bagaimana caranya?

Gempa bersyukur meski berbagi tubuh, setidaknya mereka semua tidak berbagi pikiran. Kalau semua kembarannya tahu apa yang sedang dirisaukannya sekarang, ia yakin Taufan akan menertawakannya, Halilintar akan mengernyit padanya dan memandangnya seperti orang bodoh, Api tidak mengerti dan Air akan bersimpati padanya.

Perhatian Gempa terpecah saat ia ia mendengar handphone-nya berdering. Kalau berdering saat ia ada di kantor, berarti ada panggilan dari luar kantor mengingat ruang kantornya punya koneksi telepon tersendiri.

Wajahnya menjadi muram melihat siapa yang meneleponnya. Ayahnya tercinta. Oh bagus, Gempa menarik napas dan menguatkan hati kemudian menerima teleponnya.

"Assalamu'alaikum. Ada apa, Ayah?" tanya Gempa.

"Kamu bisa ke rumah sekarang? Ada yang Ayah mau bicarakan soal proyek terbaru."

"Baiklah," jawab Gempa langsung.

Ia bersyukur, setidaknya ia dipanggil ke rumah soal pekerjaan. Ayahnya yang sudah tua lebih senang memilih kerja dari rumah. Zaman sekarang dimana semua mudah terkoneksi dengan internet, tak sulit bagi ayahnya mengurus kantor dari rumahnya.

Gempa membereskan berkas-berkasnya dan segera bersiap menuju rumahnya. Masalah bagaimana ia harus berakrab ria dengan istrinya di kesampingkan terlebih dahulu.

IoI

"Baiklah, akan aku laksanakan. Kalau berjalan lancar, proyek kerjasama ini bisa dilakukan bulan ini."

Ayahnya mengangguk puas dan Gempa menunduk mengerti, menutup map berisi proyek penting.

"Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan istrimu sekarang? Kapan Ayah bisa mendapatkan cucu?"

Gempa terbatuk sedikit, untuk menutupi reaksi kagetnya dan menelan teriakan protesnya. "Sabarlah ayah, aku masih butuh waktu untuk mengenal Yaya."

Gempa bersyukur, atau bersedih, ia yang kerap harus berhadapan dengan orang tuanya. Kembaran yang lain tidak akan sanggup mengontrol emosi sebaik dirinya.

Ayahnya mengangguk paham dan Gempa bersyukur ia tidak ditekan untuk mendapatkan anak segera. Oh yang benar saja, ia dibilang masih tegang dan tidak bisa rileks di depan Yaya, bagaimana mendapatkan anak? Itu rasanya sama jauhnya dari Malaysia ke Amerika Utara.

"Aku permisi dulu, masih ada pekerjaan di kantor. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Dan Gempa keluar dari kantor ayahnya atau lebih tepatnya, ruang kerja ayahnya yang berada di rumah.

Namun, sebelum kembali ke mobil ia beralih ke dapur. Setelah tegang untuk beberapa lama, ia jadi haus.

"Eh, kamu lihat Tuan Muda Boboiboy ke sini hari ini? Kamu baru lihat kan?"

Gempa berhenti sebentar, dari pojokan ia bisa melihat dua pembantu sedang bergosip di dapur. Bukan sesuatu yang aneh. Ia melihat keduanya, yang satu bisa ia kenali tapi tampaknya pembantunya yang satu lagi masih baru.

"Iya saya baru tahu, itu yang namanya Tuan Muda Boboiboy. Eh, soal itu ... memangnya benar?"

"Soal apa?"

"Soal itu lho ... katanya Tuan Muda Boboiboy menderita penyakit jiwa gitu?"

"Oh iya .. Tapi itu rahasia lho. Jangan sampai bocor keluar, nanti Tuan Besar bisa marah, nanti kamu dipecat!"

"Ya ampun, jadi bener ya? Cakep-cakep, masih muda, kepalanya rada 'gitu', kasihan ya..."

Wajah Gempa memerah sedikit namun ia menarik napas panjang dan mengontrol emosinya. Ia tidak bisa mengatur pendapat orang lain tentang dirinya, itu hak mereka. Ia hanya merasa sedikit, terluka. Tapi, sebenarnya ini bukan hal baru. Gempa melupakan soal rasa hausnya dan berniat kembali ke mobil sebelum ia mendengar obrolan yang lain.

"Eh, tapi katanya, Tuan Muda Boboiboy udah nikah?"

"Iya, udah nikah. Nggak tahu sih sama siapa, kemarin pas ke sini, istrinya cantik banget deh."

Yah, setidaknya untuk yang satu itu Gempa sepaham dengan mereka.

"Oh ya? Tapi mau ya nikah sama orang 'gitu'. Kan gimana rasanya ..."

"Yah, paling kalau nggak nikah karena uang, paling karena kasihan :kan?"

Mata Gempa membelalak sedikit, kemudian dengan cepat ia segera berlalu meninggalkan dapur menuju halaman dimana mobilnya terparkir.

Ia tahu, Yaya tidak pernah mengincar hartanya. Jangankan mengincar harta, dibelikan buket bunga yang sedikit mahal saja wajah istrinya malah jadi asam.

Tapi ...

Kasihan?

Apa selama ini Yaya bertahan menjadi istrinya karena kasihan padanya?

IoI

"Yaya, maaf, aku ada lembur malam ini. Kamu makan malam sama tidur duluan aja ya, nggak usah tungguin aku."

"Oh gitu .. Hati-hati ya ... Jangan memaksakan diri."

"Iya, makasih. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Yaya mendesah dan menatap handphone-nya. Dalam hati menyesal, kenapa di saat suaminya pulang malam justru ia berhasil memasak sesuatu yang layak dimakan. Hanya sup ayam dengan sayur sih, tapi ini pertama kalinya Yaya bisa memasak tanpa hangus ataupun tidak matang.

Sang istri makan malam dengan wajah cemberut, sesekali wajahnya menoleh menatap jam dinding.

Pukul 8 malam, Boboiboy belum pulang. Biasanya, ia selalu pulang antara pukul 4 sampai sebelum magrib.

Ada apa ya? Ada pekerjaan penting? Yaya hanya berharap suaminya tidak memaksakan diri lagi.

Selesai makan malam, Yaya beralih ke ruang depan, untuk menonton televisi. Malam ini, untuk pertama kalinya Yaya harus menghibur diri sendirian padahal biasanya suaminya selalu ada dengannya setiap malam.

Wajah Yaya agak memerah saat ia sadar bahwa ia jadi merindukan suaminya.

Oh ya ampun, setelah 3 minggu menikah, ia sudah mulai terbiasa tinggal satu rumah dan menghabiskan banyak waktu dengan Boboiboy, dengan semua 5 kembaran yang terjebak dalam satu tubuh itu.

Yaya berharap Boboiboy cepat pulang.

IoI

Alasan kenapa Gempa mendadak lembur malam ini. Satu, karena ia mendapat proyek baru dari ayahnya. Dua, karena ia terlalu kalut untuk pulang ke rumah. Dan tiga, ia sama sekali tidak bisa fokus bekerja jadi pekerjaannya tidak selesai-selesai.

Gempa mendengus dan menyenderkan kepalanya ke kursinya yang besar dan empuk, menyerah setelah gagal berulang kali membaca dokumen di tangannya tapi ia tidak bisa fokus.

Perkataan kedua pembantunya itu masih terngiang-ngiang di kepalanya.

Kasihan ...

Ia tidak mau mengakuinya, tapi sepertinya itu alasan kenapa Yaya masih bertahan menjadi istrinya. Tentu saja, ia sama sekali bukan laki-laki menawan. Banyak perempuan sudah lari darinya (memang ia sengaja menakut-nakuti mereka dengan kondisi khususnya) dan Yaya tidak peduli dengan uang. Jadi, alasannya pasti hanya satu itu.

Karena kasihan, karena Yaya terlalu baik jadi pasti tak akan tega meninggalkan laki-laki kesepian dengan kondisi khusus seperti ini.

Hanya saja ... Gempa tidak pernah suka dikasihani.

Ia selalu berusaha untuk berpikir, kondisinya tidak menyedihkan. Masih banyak orang yang lebih menyedihkan darinya di dunia ini. Orang-orang yang terjebak di area peperangan, orang-orang yang terkena isu rasisme, atau yah ... apapun. Ia masih punya keluarga (meski mereka membuatnya tertekan), ia masih punya pekerjaan, ia punya harta, ia masih bisa hidup lebih dari berkecukupan, tubuhnya masih normal dan yah ... ia masih tahu apa itu bahagia.

Gempa tidak pernah merasa dirinya menyedihkan, mungkin ada kalanya ia iri dengan hidup orang normal. Ingin menjadi seperti mereka. Tapi, tidak, ia tidak pernah mengasihani dirinya sendiri. Ia terus berjuang selama ini, setidaknya, ia bukan bintang utama sinetron yang bisanya hanya menangis saja setiap hari.

Separuh hatinya berharap, Yaya bertahan bersamanya karena ... sama seperti Gempa yang mulai jatuh cinta pada gadis itu, ia berharap Yaya pun mulai jatuh cinta padanya.

Meski mereka berdua dijebak dalam pernikahan terpaksa ini, suatu saat ia berharap akhirnya akan menjadi akhir yang indah.

Oh tapi, siapa yang ia bohongi? Tentu saja, ia yang selama ini terpikat pada Yaya. Ia begitu kesepian, begitu tertekan dan hampir hancur sebelum gadis itu datang seperti sinar di dalam hidupnya yang gelap. Tapi, untuk Yaya, ia pasti tidak ubahnya seperti sosok si buruk rupa yang kesepian dan terlalu menyedihkan untuk ditinggalkan seorang diri.

Dan sampai kapan rasa kasihan itu akan bertahan?

Sampai kapan Yaya akan selalu ada di sisinya?

Gempa mengurut keningnya dan meminum segelas kopi yang ada di mejanya.

Ia tahu, ia tidak bisa berubah banyak. Tapi mungkin, ia masih bisa berjuang, seperti Air yang berusaha berubah untuk menjadi laki-laki yang pantas untuk mendampingi Yaya. Gempa ingin menjadi sosok suami yang bisa diandalkan dan dibutuhkan oleh Yaya.

Meski kenyataannya sebaliknya.

IoI

"Lho? Kamu sudah mau berangkat sepagi ini?"

Yaya terkejut, tadi malam ia tertidur di sofa depan televisi tapi saat bangun ia ada kamarnya, saat keluar ia menemukan suaminya sudah berpakaian rapi dan tampaknya hendak berangkat kerja.

"Di kantor banyak kerjaan."

Dari suara yang dingin dan ketus, Yaya tahu ia berhadapan dengan Halilintar.

"Oh ... tadi malam belum selesai?" tanya Yaya. Ia tidak tahu suaminya pulang jam berapa, tapi ia tertidur kira-kira jam 10 malam, jadi pasti mereka tidur setelahnya.

"Iya, Gempa ..."

Perkataan itu menggantung. Yaya mengernyit melihat Halilintar entah sedang memikirkan apa.

"Gempa kenapa?" tanya Yaya jadi khawatir. Rasanya kemarin, Gempa masih baik-baik saja.

Halilintar menggeleng. "Dia pasti lagi mikir yang nggak-nggak lagi."

Yaya jadi semakin bingung. Namun, Halilintar tidak mengatakan apa-apa lebih jauh lagi, ia hanya mengambil tas dan berlalu.

"Tunggu! Hati-hati ya ... dan salam untuk Gempa," kata Yaya, di pintu depan. Halilintar mendengkus dan mengangguk.

Yaya menatap Halilintar yang pergi kerja dengan perasaan bingung dan khawatir. Ia tidak tahu ada apa dengan kembaran suaminya tapi ... semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk dan semoga mereka mau memberitahu secepatnya.

IoI

Hal lain yang tidak disukai Gempa dari berbagi tubuh dengan kembarannya adalah ia tidak bisa mendapatkan cukup privasi. Tentu saja, semua kembarannya langsung paham kalau ada yang tidak beres dengan Gempa.

Bukannya mereka juga bisa mendengar perkataan pembantunya itu? Atau Gempa saja yang memusingkan hal itu?

"Kamu beneran nggak apa-apa?"

Dan kenapa Halilintar pagi ini harus memberi 'hints' kalau terjadi sesuatu padanya kepada Yaya.

"Aku nggak apa-apa kok," tepis Gempa.

Yaya tampaknya tidak percaya, mungkin karena senyuman Gempa tidak sepenuhnya meraih matanya.

Hari ini, Halilintar hampir mengerjakan semua pekerjaannya kemudian berganti kendali dengan Taufan yang melanjutkannya. Mereka berdua pasti sepakat dalam diam untuk tidak memberi kesempatan bagi Gempa menyentuh pekerjaannya karena tahu, saat Gempa kalut ia sama sekali tidak bisa bekerja.

Dan sekarang Gempa diberi kendali justru untuk berhadapan dengan Yaya.

Oh bagus sekali ...

Tapi, toh Gempa hanya perlu melepas kendali.

Dan kendali pun berganti. Yaya melihat mata suaminya berubah ekspresi.

"Gempa kenapa sih?"

Dari nadanya yang kesal dan agak manja, Yaya tahu ia berhadapan dengan Api.

"Dia kenapa?" tanya Yaya. Api mengangkat bahu.

"Tahu tuh! Aku juga nggak ngerti."

Yaya jadi bingung. Itu tandanya Gempa menghindarinya? Jangan-jangan ia lembur karena dia menghindari Yaya? Bahkan sampai bertukar kendali di depan mata Yaya segala ..

Apa ia marah pada Yaya karena sesuatu? Yaya tidak ingat ia melakukan apa-apa.

"Yaya ..."

Yaya mendongakkan kepalanya dan bertemu mata dengan Api.

"Kita nonton film di TV yuk."

Yaya mendesah dan Api menarik tangannya. "Ayo ..."

Yaya masih khawatir soal Gempa, tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa sampai ia tahu ada masalah apa dengan Gempa.

Setidaknya, masalahnya mungkin tidak sampai mempengaruhi kembaran yang lain ... Semoga saja bukan masalah besar.

IoI

"Gempa, ini bodoh. Mau sampai kapan kamu menghindri Yaya terus?"

Taufan mengurut keningnya, separuh berharap ia bisa berinteraksi langsung dengan Gempa. Ini sudah hari ketiga Gempa terus menghindari Yaya, hanya mau keluar saat Yaya tidak ada.

"Aku tahu, yah, tahu kamu terluka soal masalah 'kasihan' itu. Tapi, Gempa, tidak selamanya Yaya akan 'kasihan' dengan kita. Aku yakin, dia akan mulai menyukai kita cepat atau lambat. Jadi, tidak perlu dipermasalahkan ..."

Taufan mendengkus dan keluar dari kamar mandi. Ia menggosok kepalanya dengan handuk untuk mengeringkan rambutnya yang basah.

"Memang apa untungnya kamu menghindari Yaya terus?"

Taufan membuka pintu lemari, memilih jas untuk dipakai hari ini. Yang benar saja di hari Sabtu pun mereka harus bekerja. Tapi, apa boleh buat.. Proyek baru itu menyita waktu mereka.

"Kamu harus bicara soal ini pada Yaya cepat atau lambat. Kalau perlu, aku, Halilintar, Air dan Api udah sepakat untuk ngebiarin kamu seharian dan jangan mimpi untuk tukar kendali sama kita."

Taufan menatap cermin sambil membetulkan dasinya dan merapikan pakaiannya.

"Dan sebagai tambahan, kamu harusnya mendekatkan diri dengan Yaya, bukan sebaliknya."

Taufan tidak tahu bagaimana reaksi Gempa, kadang ia bingung bagaimana kembarannya yang biasanya paling bisa diandalkan dan paling serba bisa itu bisa bertingkah kekanak-kanakan seperti ini. Tapi, kalau dipikir lagi, Gempa memang paling lemah menghadapi pendapat orang lain tentang dirinya. Karena itu ia selalu memaksakan diri untuk menjadi sempurna.

Agar ia tidak dibenci.

Tapi, cepat atau lambat, Gempa harus sadar kalau ia tidak bisa sempurna, kalau ia tidak bisa selamanya bersikap seperti orang yang sempurna di depan Yaya.

Semoga hari ini, masalahnya akan selesai.

IoI

Gempa benci pembicaraan satu arah, tapi itu satu-satunya cara baginya untuk berkomunikasi dengan saudara-saudara kembarnya.

Mereka semua tidak mengerti kondisinya. Ia masih harus mencari cara untuk menjadi orang yang lebih baik, lebih sempurna lagi kalau bisa.

Supaya Yaya berhenti kasihan padanya.

Supaya ia juga tidak terlalu bergantung pada Yaya.

Dan lagi, Gempa tidak mau membagi masalahnya pada Yaya. Apa manfaatnya? Ia ingin bisa menjadi laki-laki yang membahagiakan istrinya, bukannya malah terus menyusahkannya.

Kalau ia terus menyusahkan Yaya, sebaik dan sesabar apapun istrinya itu, suatu saat pasti nantinya akan muak dan meninggalkannya.

Makanya ... makanya ...

Kenapa semuanya tidak ada yang mengerti?

Gempa ingin rasanya membenturkan kepalanya ke setir mobil. Yang seperti ini langka sekali, tapi memang kalau semua kembaran yang lain sudah sepakat untuk tidak mengambil alih, maka Gempa sendiri tidak bisa melepaskan kendali.

Dalam satu tubuh itu, harus ada yang memegang kendali kecuali dalam keadaan tidur atau tidak sadar.

Mungkin semuanya sudah muak Gempa terus menghindari Yaya, tapi ...

Gempa mendesah dan keluar dari mobil kemudian naik lift apartemennya.

Ia tahu menghindari Yaya tiga hari itu keterlaluan, tapi ia masih takut berhadapan dengan istrinya itu. Takut melihat saat menatap matanya, yang ia lihat hanya rasa kasihan saja. Takut ia makin terjerat, semakin dalam rasa tertariknya pada Yaya hingga ia tidak bisa melepaskan diri lagi dan kalau nanti Yaya meninggalkannya, ia bisa hancur berkeping-keping.

Gempa bisa merasakan kepalanya mulai pusing, seperti dihantam palu berkali-kali. Ia tahu, ia punya kecenderungan sakit kepala kalau terlalu stres. Dan ia sudah menahan stres selama beberapa hari terakhir ini, jadi tak heran rasanya kalau ia sakit kepala.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum-"

Dan pandangan Gempa mendadak gelap, yang bisa ia rasakan hanyalah rasa berdenyut dan terikat yang membuat kepalanya seperti mau pecah.

"BOBOIBOY!"

IoI

"Uh..."

Yaya langsung berlutut di samping tempat tidur dengan khawatir. Jujur saja, jantungnya seperti mau copot melihat suaminya mendadak ambruk di depan pintu. Ia sampai harus memanggil satpam untuk membantunya membawa suaminya ke tempat tidur.

Awalnya, Yaya ingin langsung menelepon ambulans, kalau ia tidak ingat bagaimana suaminya benci dokter.

Meski rencana Yaya, kalau sampai Boboiboy tidak bangun malam ini, besok pagi ia akan tetap menelepon ambulans.

"Kamu sudah sadar?" tanya Yaya dengan lembut.

"Uh...," suaminya memegangi kepalanya. Yaya langsung paham kalau lagi-lagi Boboiboy sakit kepala.

"Tunggu sebentar, biar kubawakan obat. Kamu harus minum."

Yaya segera berlari ke luar kamar dan mencari kotak obat. Ia menemukan obat penghilang rasa sakit dan baru sadar kalau obat itu harus dikonsumsi setelah makan. Jadi, ia mengambil sepotong roti tawar yang diberi selai dan susu kemudian kembali bersama dengan sebutir obat dan segelas air.

Tapi, Yaya hanya terpaku di tempat menemukan suaminya tampaknya sudah terlelap.

Ah ... yah, setidaknya kalau ia sudah bisa tidur itu artinya sakit kepalanya sudah lebih ringan. Yaya meletakkan nampan yang ia bawa di meja dan menunggui Boboiboy.

Dalam hati ia sedih, ada apa sebenarnya sampai Boboiboy bisa pingsan? Apa ada hubungannya dengan Gempa yang menghindarinya terus beberapa hari ini?

Apa semua ini salah Yaya? Apa dirinya berbuat salah tanpa ia sadari?

Mata Yaya terasa panas, namun ia mengerjapkan matanya agar air matanya tidak menetes.

Menangis tidak akan membantu.

IoI

Cinta ... Entahlah, cinta itu sebenarnya apa. Gempa sudah lupa. Mungkin, perasaannya pada Yaya lebih mirip semacam obsesi. Karena, hanya gadis itu yang mau menerimanya dan percaya padanya setelah Tok Aba meninggal.

Bagi Gempa, Yaya itu segalanya. Satu-satunya kesempatan ia bisa bahagia kembali. Hanya dengan Yaya di sampingnya, Gempa sudah merasa sangat bahagia. Sesuatu yang sudah lama ia lupakan.

Tapi, apa sebenarnya Yaya bahagia bersamanya? Bukannya selama ini hanya dirinya yang membutuhkan Yaya namun tidak sebaliknya?

"Gempa ..."

Suara lembut itu memanggilnya.

"Ada apa, Yaya?"

Gempa melihat Yaya bersama orang lain. Wajahnya tidak jelas, namun jantung Gempa berdebar kencang karena rasa takut.

"Maaf, tapi aku jatuh cinta dengan orang lain. Aku minta maaf, Gempa. Tapi, aku yakin, kau pasti bisa menemukan orang lain yang nanti akan mencintaimu."

"Ke-kenapa?" tanya Gempa dengan suara tercekat.

"Aku lelah terus menerus mengurusmu Gempa. Sebagai perempuan, aku ingin dibahagiakan, bukannya terus menerus disusahkan. Aku menyesal mengatakan ini, tapi aku tidak bisa mencintaimu karena kondisimu."

"A-aku bisa menjadi lebih baik! Aku janji! Aku bisa berubah!"

Yaya menggeleng. "Tidak, kau sendiri pun pasti tahu. Kau mencoba untuk sempurna, untuk menutupi kekuranganmu. Untuk membohongi semua orang, kalau kau itu orang normal. Tapi, Gempa, sebanyak apapun berusaha. Kau itu tidak akan pernah menjadi orang normal. Kau seperti sebuah apel mulus tapi dalamnya busuk."

"A-aku ... aku ..."

"Maaf aku tidak bisa mencintai orang sepertimu, aku harus pergi."

"Tidak Yaya! Jangan pergi! KUMOHON!"

"Boboiboy? Boboiboy! Bangun!"

"Uuh ..."

Yaya sangat kebingung melihat Boboiboy merintih dan gelisah di dalam tidurnya. Pasti mimpi buruk, karena itu satu-satunya cara yang ia tahu adalah membangunkannya. Ia mengguncang tubuh suaminya sampai akhirnya mata itu berkedut dan pelahan terbuka.

"Boboiboy?" tanya Yaya. Siapa yang mengambil alih sekarang, tidak penting, ia baru melihat suaminya seperti ini. Api dulu pernah mengatakan bahwa ia sering mimpi buruk, tapi Yaya tidak tahu kalau sampai seperti ini.

"Yaya!"

Yaya terkejut tiba-tiba Boboiboy bangkit dan memeluknya dengan erat, sampai hampir sulit bernapas.

"Boboiboy?" Yaya kebingungan.

"Uuh .. maafkan aku ... maaf ... jangan pergi ... uh .. hiks .. jangan pergi ... maafkan aku ... kumohon ..."

Yaya hanya bisa terdiam, ia merasakan pundaknya basah.

Suaminya menangis?

"Bo-Boboiboy? Ada apa?" tanya Yaya masih bingung dan khawatir.

"Uhh .. hiks .. hiks .. uuh .. maaf ... aku minta maaf ... jangan pergi ... hiks .. jangan tinggalkan aku ..."

Hati Yaya terasa perih mendengar kata-kata itu. Suara suaminya pecah dan serak, tidak begitu jelas disela-sela isak tangisnya. Yaya hanya bisa membelai pelan punggung suaminya, sambil berusaha menahan tangisnya sendiri.

"Aku tidak akan pergi ...," gumam Yaya lembut.

Namun, seakan perkataannya tidak didengar, tangisan itu masih berlanjut, badan suaminya masih bergetar dan memeluk Yaya dengan erat. Sang istri merasa kalut, ia ikut merasa sedih melihat kondisi suaminya. Ini karena mimpi buruk? Mimpi macam apa yang ia alami sampai jadi seperti ini?

Karena itu, Yaya hanya membelai, memeluk balik sambil terus menanti sampai suaminya menenangkan diri.

Perlahan, tubuh yang bergetar dan tegang itu berhenti gemetar dan lebih rileks. Pelukannya pada Yaya mengendur, membuat sang istri lebih mudah bernapas. Dan tampaknya, isak tangisnya pun menjadi lebih jarang.

"Boboiboy?"

Akhirnya suaminya mau mundur, wajahnya merah, matanya agak bengkak, tapi ia terlihat bingung untuk beberapa saat.

"Sudah sadar?"

Boboiboy mengerjapkan mata berkali-kali.

"Eng ... ini ...," gumamnya bingung.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Yaya, membelai pipi suaminya, menghapus bekas air matanya.

"Yaya?" tanya suaminya, wajahnya seakan baru sadar kalau Yaya ada di depannya.

"Ya?" tanya Yaya jadi ikut bingung.

Reaksi selanjutnya Boboiboy mengejutkan, seakan ia terkejut dan baru saja disiram air dingin. Matanya membelalak dan terpaku beberapa saat.

Lalu tiba-tiba, ia menarik selimut dan menutupi badannya sampai kepalanya.

"Lho? Boboiboy?" tanya Yaya bingung.

"Uuh .. maaf Yaya ...," itu gumaman yang terdengar dari balik selimut.

"Kamu kenapa?" Yaya panik, namun perlahan baru sadar.

Suaminya malu?

Tunggu sebentar, kalau begitu ini ...

"Gempa?"

Melihat suaminya yang tersentak di balik selimut adalah konfirmasi kalau tebakan Yaya benar.

Baru kali ini ia melihat Gempa seperti itu.. Apa karena itu ia malu? Rasanya, imej laki-laki yang bisa diandalkan, tenang dan ramah langsung hancur seketika.

Tidak disangka ...

Gempa bisa begini juga ...

"Gempa ... kamu nggak apa-apa?" tanya Yaya lagi.

"Maaf ...," gumam Gempa terdengar menyesal, namun setidaknya tidak membuat Yaya sedih seperti rintihannya tadi.

Yaya mengulum senyum. Sedikit senang, akhirnya bisa melihat sisi lain Gempa, meski tampaknya suaminya malu setengah mati. Akhirnya setelah berhari-hari Gempa menghindari dirinya ...

"Gempa ...," Yaya menarik selimut yang menutupi Gempa. Ia tidak tahan, ia mau melihat wajah Gempa sekarang.

"Yaya! Jangan!" pinta Gempa, namun Yaya tetap menarik selimut Gempa, agar suaminya itu mau menampakkan wajahnya.

Tapi sayangnya, Gempa masih jauh lebih kuat darinya. Yaya tidak mau selimutnya sobek, jadi ia melepaskan tarikannya.

"Kamu tadi mimpi buruk? Kamu bisa cerita padaku...," pinta Yaya. Meski ia sedikit tertarik dengan kondisi Gempa sekarang, akhirnya bisa menangkap basah kelemahan Gempa juga, tapi ia tahu kondisi suaminya bangun tadi tidak normal.

"Tidak apa-apa...," gumam Gempa masih bersembunyi di balik selimut.

"Oh Gempa ... Jangan bohong padaku," Yaya memaksa. Ia sudah muak dihindari Gempa terus-terusan beberapa hari ini.

"Sudahlah ... tidak apa-apa ...," balas Gempa lebih tegas.

Yaya mendesah. "Kamu marah ya sama aku? Aku salah apa?" tanya Yaya, membuat nada bicaranya lebih sedih.

"Bukan ... bukan kamu ..."

"Kalau kamu nggak mau bicara sama aku, aku nangis nih," ancam Yaya.

Sesuai tebakannya, dengan berat hati, akhirnya Gempa menyembul dari balik selimut. "Jangan ...," pintanya.

Yaya menahan senyum, Gempa yang terlalu baik tidak akan mau membiarkan Yaya menangis karena dirinya, ternyata tebakannya tepat.

"Kamu tadi kenapa? Mimpi apa?" tanya sang istri.

Gempa terlihat ragu, juga malu. Wajahnya merah, sebagian pasti karena menangis tadi, sebagian lagi karena malu sudah hilang kendali di depan Yaya.

"Nggak ...," gumam Gempa pelan.

Yaya memutar matanya. Gempa benar-benar keras kepala ...

"Kalau kamu nggak mau cerita, aku nangis nih. Kamu jahat sama aku!" Yaya mencoba meniru nada manja perempuan yang sering ada di sinetron.

Gempa terlihat terkejut dan bingung harus bagaimana. Sebenarnya, melihatnya Yaya jadi agak kasihan, tapi ia harus membuat Gempa mau bicara padanya sekarang apapun caranya.

"Uh .. aku ... aku cuma mimpi kamu."

Yaya mengerjapkan mata, akting payahnya yang pura-pura mau menangis langsung terbang ke luar jendela.

"Mimpi aku?" tanya Yaya.

Gempa mengangguk pelan.

"Terus, kenapa kamu langsung nangis gitu?" tanya Yaya lagi.

Gempa menolak bertemu matanya. "Soalnya ... ng .. aku mimpi ... kamu pergi."

Yaya mulai paham, ia mengingat apa yang Gempa katakan di sela-sela isak tangisnya. "Kamu mimpi aku pergi ninggalin kamu?"

Gempa mengangguk pelan. Yaya mendesah dan tersenyum tipis. Sepanik itu kah suaminya saat memimpikan dirinya akan pergi meninggalkannya? Sampai tangisnya pecah dan ia hilang kendali begitu bangun?

"Oh .. Gempa ...," Yaya menarik Gempa ke dalam pelukannya. Gempa agak terkejut namun tidak memberontak. Sang istri membelai lembut rambut suaminya itu.

"Kenapa kamu pikir aku bakal pergi meninggalkan kamu?" tanya Yaya, masih terus memeluk dan membelai rambut suaminya, yang tampak mulai rileks di dalam pelukannya.

"Soalnya ... aku ... uhm .. kupikir, kalau kamu menemukan ... laki-laki lain yang lebih ... uhm .."

Baru kali ini Yaya mendengar Gempa bicara dengan cara seperti itu, penuh keraguan, penuh gumaman tidak jelas dan sulit menyimpulkan apa yang mau ia katakan. Tapi untungnya, Yaya cukup pintar untuk menebak apa maksudnya.

"Maksudnya, aku menemukan laki-laki lain yang lebih, katakanlah, lebih baik darimu, maka aku akan pergi meninggalkanmu?" tebak Yaya.

Gempa tidak mengatakan apapun, Yaya merasakannya mengangguk pelan di dalam pelukannya.

"Aku mengerti sekarang apa maksud Halilintar waktu itu ... kamu mikirin hal yang nggak-nggak," Yaya mundur dan menjetikkan jarinya di dahi Gempa. Suaminya itu tampak terkejut.

"Kamu pikir aku perempuan apaan? Kamu udah dengar kan? Kita udah menikah, menikah dengan sah. Aku sudah berjanji pada Allah SWT, aku akan menjadi istrimu dalam suka dan duka. Apapun kondisimu, bagaimanapun keadaannya, aku akan terus bertahan dan mencoba untuk mencintaimu apa adanya," Yaya membelai rambut Gempa dengan lembut.

"Asal kamu juga mau mencintaiku apa adanya," tambah Yaya. Gempa perlahan tersenyum kecil.

"Tidak sulit mencintaimu Yaya ...," katanya dengan sendu.

Wajah Yaya memerah sedikit.

"Aku tidak tahu bagaimana caranya ... untuk membahagiakanmu ...," kata Gempa dengan sedih, ia menatap mata Yaya dengan wajah pilu.

"Aku takut ... selama ini kamu cuma kasihan padaku ... dan aku seperti memanfaatkan kebaikanmu ... Aku takut kamu akan pergi, karena aku tidak bisa membahagiakanmu ... karena kondisiku seperti ini," tambah Gempa lagi.

Yaya memandang Gempa dengan sedih. Jadi itukah masalahnya, makanya Gempa menghindarinya selama beberapa hari ini?

Gempa membelalak saat Yaya menarik kerah bajunya dan mencium bibirnya.

Butuh beberapa saat sebelum Gempa merespons, mencium balik, menarik Yaya ke dalam pelukannya.

"Kamu memang bodoh...," gumam Yaya, begitu ia mundur dari ciuman mereka.

"Kamu ... kalian semua ... laki-laki paling menawan yang pernah aku tahu. Orang lain saja yang tidak mengerti, tapi aku tahu ...," tambah Yaya tersenyum dengan lembut.

Yaya melihat mata Gempa tampak tersentuh dan berkca-kaca, tadinya ia pikir suaminya akan menangis lagi tapi tampaknya kali ini ia bisa mengontrol emosinya dengan baik.

Ada senyuman di sudut bibirnya.

"Kamu bohong ...," gumamnya namun dengan senyuman.

"Aku nggak bohong. Yah, memang kadang kalian semua merepotkan tapi ... kalian itu manis dengan cara kalian sendiri ...," kata Yaya dengan penuh senyum.

"Bahkan Halilintar?" tanya Gempa dengan sangsi. Yaya tertawa kecil.

"Ya, bahkan Halilintar," tambah Yaya. Ia bersyukur Gempa terlihat lebih baik.

Mereka berdua tertawa kecil bersama, kemudian Yaya baru sadar posisi mereka sekarang seperti apa. Ia ada di pelukan Gempa dan di ...

"Uhm... bisa lepaskan aku?" tanya Yaya dengan wajah merah, baru sadar kalau ia ada di pangkuan Gempa sekarang.

Gempa sedikit bingung namun kemudian sadar tapi kemudian tersenyum simpul.

"Nggak ...," tolak Gempa, memeluk Yaya dengan erat. Wajah Yaya semakin memerah, merasakan ia terdorong ke dada bidang suaminya.

Baru saja ia melihat Gempa lepas kendali, sekarang ia melihat sisi jahil Gempa?

Gempa bisa jahil juga? Ia tidak percaya.

"Gempa ...," pinta Yaya, berusaha memberontak namun Gempa memeluknya dengan sangat erat.

"Nggak ... Aku nggak akan pernah melepaskan kamu," bisik Gempa penuh senyum.

Oh ini karma untuk Yaya karena mengancam pura-pura mau menangis tadi pada Gempa.

"Gempa ... sudah malam ... aku ngantuk ...," pinta Yaya lagi. Ia masih tidak terbiasa dipeluk seerat ini, dipangkuan suaminya, apalagi di atas tempat tidur.

Gempa mencium bibir Yaya lebih dalam. Sang istri hanya bisa meleleh di dalam pelukannya.

"Malam ini tidur sama aku ya...," gumam Gempa dengan nada rendah. Wajah Yaya memerah dan mendelik curiga padanya. Sang suami tertawa.

"Aku nggak bakalan macam-macam, aku juga capek," lanjut Gempa dengan jujur. Yaya mendesah lega dan mengangguk. Akhirnya Gempa mau melepaskan pelukannya, dan Yaya mencoba menenangkan diri, wajahnya masih terbakar seperti kepiting rebus.

"Ngomong-ngomong, Ayah nanya, kapan kita punya anak?"

"GEMPAAAA!"

TBC
---------------

Aku bukan tipe yang bisa bikin angst terlalu lama, entah kenapa langsung banting setir jadi humor lagi ...

Untuk kali ini update kilat soalnya akhir minggu besok aku nggak bisa update.

Ok, chapter depan adalah stabilisasi (apaan sih) hubungan Yaya dengan Halilintar. Supaya semuanya setara.

Ok, review please ...

----------
K O L O M N U T R I S I
----------

1. Sesanggup apa Gempa menghadapi orang yang menganggapnya aneh?

2. Maukah kamu dilingkupi rasa kasihan dalam hidupmu?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 11 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro