Chapter 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yosh, silakan dinikmati!

———————————————

Masa depan. Masa depan dibentuk oleh rencana dan angan-angan manusia, sebelum akhirnya perlahan manusia melangkah menyusuri masa kini sebelum bisa mencapai masa depan. Meski ada kalanya, masa depan terlalu sulit untuk dibayangkan. Karena meskipun bisa membuat rencana ataupun impian, tapi tidak ada yang tahu masa depan seperti apa yang menanti di depan mata setiap orang.

Setidaknya itu berlaku bagi Boboiboy. Atau mungkin lebih tepatnya untuk Gempa.

Kembaran Boboiboy yang satu itu tidak begitu suka menyambut matahari terbit. Hal itu hanya mengingatkannya akan hari baru yang ia jalani. Ia jauh lebih suka menyambut matahari terbenam, karena itu artinya satu hari sudah terlewati dan umurnya semakin berkurang. Karena itu, ia lebih senang membiarkan kembarannya yang lain mengambil alih di pagi hari. Meski kadang-kadang ia harus muncul di pagi hari, tapi kalau bisa ia tidak ingin melihat matahari pagi.

Namun, itu dulu.

Sekarang ....

Gempa mengerjapkan matanya. Ia bisa merasakan bagaimana sinar mentari memasuki sinar jendela. Setidaknya, jam biologis tubuhnya mengatakan bahwa ini waktunya untuk bangun dari tidur.

Sepertinya tadi Taufan yang salat subuh, tapi hari ini adalah hari Sabtu, mereka hanya ada satu meeting di siang hari jadi bisa ditebak Taufan kembali membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Dan di sini lah Gempa berada sekarang.

Pemuda itu bangkit dan meregangkan tubuhnya sedikit, kemudian melirik ke samping, melihat istrinya yang manis pun tertidur di sampingnya.

Bukan rasa sedih dan lelah karena harus menyambut hari yang melelahkan yang dirasakan Gempa, tapi perasaan hangat dan senang karena itu artinya satu hari lagi ia bisa menghabiskan waktu bersama Yaya.

Seperti ini rasanya 'bahagia' bukan? Ia sudah lupa karena bertahun-tahun tidak merasakannya.

Gempa kembali membaringkan diri dan menatap Yaya yang sedang tertidur.

Bagaimana gadis cantik ini mau menerima dirinya apa adanya? Sampai sekarang ia masih tidak mengerti karena Gempa sendiri kesulitan untuk menyukai kondisi dirinya.

Gempa merapikan helaian rambut yang menutupi mata Yaya, ia menariknya ke belakang dengan lembut. Kalau seandainya Yaya tidak menikah dengannya, kalau seandainya Tok Aba tidak membuat surat wasiat itu, Gempa tidak ingin membayangkan hidup seperti apa yang ia jalani.

Sebenarnya ia masih bisa membayangkannya dengan jelas.

Ia hanya mencoba hidup hari demi hari, sambil menanti janji '10 tahun' itu.

Apa gunanya hidup bila tidak bahagia? Meski selalu mencoba untuk terlihat tegar, tapi Gempa mengakui ia bukan orang yang tegar.

Yah setidaknya ... ia bersama Yaya sekarang, tidak sendirian lagi.

Gempa mengecup bibir Yaya dengan sayang. Bibir mungil dan manis yang ia sukai. Untuk yang satu ini ia sependapat dengan yang lain, Yaya memang cantik, mengingatkannya kembali kalau dirinya memang laki-laki.

Gempa tersenyum geli memikirkannya. Ingat kalau dulu, jangankan menginginkan wanita, berjabat tangan dengan orang lain saja ia sudah merasa tidak nyaman. Setelah sekian lama diperlakukan seperti makhluk asing oleh orang tuanya sendiri, wajar ia lupa sensasi sentuhan seperti apa.

Gempa mengecup bibir Yaya lagi, sebelum akhirnya sang istri menggerutu sedikit dan membuka matanya.

"Pagi ...," sapa Gempa dengan hangat. Yaya mengerjapkan mata, mengerut, kemudian menguap sebelum akhirnya bisa fokus. Rambutnya yang panjang sebahu berantakan tak tentu arah, mungkin daripada 'cantik', istilah 'kusut' lebih tepat untuk mendeskripsikan Yaya sekarang.

"Taufan?"

Lengkungan bibir Gempa turun sedikit. Tapi ia menyingkirkan rasa kesalnya. Bukan salah Yaya, karena membedakan mereka hanya bisa dari kepribadian saja. Apalagi istrinya masih mengantuk dan belum fokus.

Gempa memilih untuk mengecup dahi Yaya kemudian bangkit dari tempat tidur. "Hari ini biar aku yang masa sarapan, ya?"

"Oh ... Gempa ... kamu nggak kerja?"

Gempa sedikit kagum Yaya bisa menebaknya dengan tepat hanya dengan satu kalimat saja. "Aku cuma ada satu meeting siang ini, jadi nggak usah buru-buru," jawab Gempa.

Yaya mengangguk. "Ya udah kalau gitu aku mandi dulu," balasnya.

Gempa pun keluar dari kamar, sempat terbesit di benaknya untuk mengucapkan kata 'sayang'. Ia sering melihat bagaimana remaja-remaja labil yang berpacaran memanggil satu sama lain dengan berbagai macam panggilan mulai dari 'beb', 'sayang' sampai 'papa-mama'. Ironisnya ia yang sudah menikah, ingin mengucapkan 'sayang' saja masih merasa malu.

Ah, sudahlah.

IoI

Masa depan memang tidak bisa ditebak. Jika pada 2 bulan yang lalu ada yang mengatakan pada Yaya kalau ia akan menikah dengan generasi ketiga dari keluarga pendiri Aba Corporation, ia pasti hanya akan tertawa dan menganggap orang itu gila. Ia adalah gadis yang cukup realistis dan tidak pernah membayangkan hidupnya yang sederhana dan damai akan berubah.

Ia selalu membayangkan, suatu saat ia akan bertemu dengan pasangan hidupnya, menjalani hidup sederhana sambil meneruskan usaha restoran kecil keluarganya. Ia tidak meminta laki-laki yang tampan dan kaya, ia hanya menginginkan suaminya kelak adalah suami yang pengertian, baik dan mencintainya apa adanya.

Namun, di sini lah ia sekarang, menatap suaminya yang sedang membuat sarapan untuknya. Yaya tidak bisa tidak mengagumi Gempa. Jujur saja, almarhum ayahnya memasak mi instan sendiri pun berat dan selalu meminta dirinya ataupun ibunya untuk memasak. Ayahnya memang mengurus restoran, tapi bukan bagian memasak, lebih ke keuangannya.

Ia selalu berpikir, ada suami yang mau memasakan sarapan untuk istrinya itu hanya ada di drama televisi.

Namun, ternyata ia salah. Ia jadi ingin menertawakan dirinya sendiri.

"Masak apa?" tanya Yaya menghampiri suaminya. Gempa menoleh padanya dan tersenyum.

"Uhm ... aku bikin omelette, roti bakar sosis keju dan salad," jawabnya, tangannya sibuk menata dua piring.

Yaya juga mengagumi kemampuan masak Gempa. Sedikit membuatnya terintimidasi sebagai perempuan, tapi ia tetap ikut senang. Siapa tahu Gempa bisa memberi masukan soal menu makanan di restoran keluarganya?

"Wah~ kayaknya enak, ada yang bisa kubantu?" tanya Yaya.

"Uhm ... ini udah hampir selesai, kamu bisa bikin teh?" tanya Gempa.

"Oh, ok." Yaya segera beralih ke dispenser untuk mengambil air panas. Ternyata selera sarapan para kembaran juga beda. Yaya ingat Halilintar lebih senang kopi di pagi hari, sedangkan Taufan senang meminum susu dingin, kalau Api suka smoothies dan Air menyukai susu hangat.

Tak lama keduanya pun sarapan dengan tenang.

"Aku masih nggak ngerti caranya bikin omelette begini, kok kamu bisa sih?" tanya Yaya, bingung bagaimana Gempa bisa membuat omelette yang masih setengah matang di dalam. Justru di situ poin yang susah, telur yang digoreng setengah lingkaran dengan bagian tengah yang masih setengah matang jadi meleleh, Yaya suka dengan rasanya. Apalagi diberi tambahan keju dan lada, jadi semakin gurih.

"Nggak begitu susah, pakai api kecil aja sama telurnya yang banyak," jawab Gempa.

Yaya memperhatikan cara makan Gempa yang masih membuatnya terpesona. Bahkan untuk sarapan sederhana seperti ini, ia masih menggunakan pisau dan garpu untuk menyantap omelette-nya. Bagaimana tubuhnya tegap dan memakan makanannya dengan perlahan. Table manner yang sempurna, tapi agak aneh kurang cocoknya dengan suasananya. Mungkin Gempa sudah kebiasaan seperti itu di rumahnya.

"Kenapa?" tanya suaminya bingung.

Yaya baru sadar kalau ia sudah tertawa geli sedikit. "Nggak ... kamu cara makannya memang begitu ya?" tanya Yaya.

Gempa mengedipkan mata, seakan bingung karena ia tidak merasa sudah melakukan hal yang aneh. Senyum Yaya makin lebar, sadar kalau Gempa pun kadang bisa polos untuk beberapa hal seperti ini.

"Nggak apa-apa kok, udah kamu lanjut makan aja," kata Yaya karena Gempa sudah berhenti makan.

Gempa memiringkan kepalanya sedikit, wajahnya tampak tak puas karena tidak tahu apa maksud Yaya tetapi ia tetap diam dan melanjutkan makannya.

Kadang hal sederhana seperti ini pun bisa mengingatkan Yaya kalau dunia mereka berdua berbeda. Mungkin agak sedikit berlebihan, tapi sama seperti Gempa yang kadang masih polos akan sesuatu 'menengah ke bawah' Yaya juga masih kikuk menyesuaikan diri dengan gaya hidupnya yang 'menengah ke atas'.

"Uhm ... sebenarnya ada yang mau kubicarakan," Gempa menaruh alat makannya dengan anggun setelah ia selesai makan. Yaya yang juga sudah selesai makan segera mendongak. Dari gaya bicaranya yang kembali formal, Yaya tahu Gempa ingin mengatakan sesuatu yang penting.

"Kamu ... ingat masalah resepsi pernikahan kita?" tanyanya.

Yaya mengerjapkan mata, agak kaget. Gempa menunggu, memberinya kesempatan untuk mengekspresikan rasa kagetnya.

"Waktu itu ... kita nggak menggelar resepsi, 'kan?" tanya Yaya, bukannya ia merasa ragu tapi justru karena ia ingat mereka tidak melaksanakan resepsi pernikahan begitu menikah.

"Iya, karena waktu itu kita mendadak menikah, sejak itu aku mencoba mencari saat yang tepat untuk ... melaksanakan resepsi pernikahan," jelas Gempa dengan hati-hati.

Yaya mengerjapkan mata. Logikanya memang selalu memberitahu kalau orang sekaya dan setenar suaminya tidak mungkin menikah tanpa menggelar resepsi pernikahan yang megah, kecuali pernikahan itu adalah pernikahan yang disembunyikan.

"Jadi ... kapan resepsi pernikahannya digelar?" tanya Yaya. Bukannya ia tidak senang, tentu saja ia senang. Namun, ia harus menyiapkan diri dengan semua perhatian yang akan ia terima nanti. Ia bisa membayangkan suaminya akan mengundang banyak orang penting. Bahkan mungkin saja pernikahan mereka akan masuk berita.

Gempa tersenyum lembut padanya. "Sebenarnya lebih cepat lebih baik, aku tidak ingin ada gosip menyebar alasan kenapa kita menunda resepsi pernikahan begitu lama. Kalau bisa aku tidak ingin masalah surat warisan Tok Aba bocor ke media. Namun, aku juga tidak menekan kamu untuk buru-buru," jelasnya.

Ternyata dugaan Yaya tepat selama ini.

"Yah ... aku memang bukan selebritis sih, tapi gosip soal pernikahan kita bisa tersebar di antara pejabat perusahan lain dan itu bisa memengaruhi banyak hal."

Yaya menarik napas panjang. Sejak ia beranjak dewasa, ia paling tidak ingin menjadi selebritis atau artis. Karena ia tahu bagaimana publik figur kehilangan privasi mereka dan selalu disorot apapun yang mereka lakukan. Yaya yang suka hidup damai dan sederhana tentu sama sekali tidak mau hidupnya berubah menjadi seperti itu.

Setidaknya, suaminya bukanlah selebriti terkenal, tapi ia memang 'selebriti' di bidang ekonomi karena Aba Corporation adalah satu dari perusahaan besar di negara ini, bahkan di Asia.

"Setelah resepsi pernikahan kita digelar, mulai dari sana mungkin ... akan ada perubahan sedikit Yaya. Mungkin kamu akan ikut ke beberapa meeting di luar atau beberapa pesta. Yang jelas, setelah tahu kita sudah menikah, banyak orang yang akan ingin bertemu denganmu," jelas Gempa lagi dengan sangat hati-hati.

Yaya seakan bisa mendengar perkataan 'dan dari situ bila kamu ingin berpisah dariku, akan semakin sulit karena semua orang sudah tahu soal pernikahan kita' yang tak terucap dari mulut Gempa. Karena bagaimana Gempa mencoba menjelaskannya dengan sangat hati-hati dan tubuhnya yang kaku seakan bersiap untuk menerima penolakan.

Yaya memberikan senyuman manis padanya, agar Gempa tidak takut ia akan meninggalkannya.

"Tapi ... resepsi pernikahan kita tidak akan dilaksanakan mendadak 'kan?" tanya Yaya memastikan.

Gempa mengangguk. "Tentu saja tidak, sebenarnya aku juga tidak suka tapi resepsi pernikahan kita ... mungkin akan jadi acara besar. Aku tidak bisa menghentikannya."

Yaya sudah melihat bagaimana pernikahan-pernikahan selebriti yang ditayangkan di televisi. Ia mengerti, pernikahan hanya sekali seumur hidup, tapi logikanya mengatakan untuk apa menghamburkan begitu banyak uang? Di dunia ini masih banyak orang yang lebih membutuhkan uang daripada menghabiskannya untuk hal-hal semacam itu.

Namun, Boboiboy punya resputasi yang harus dijaga, untuk yang itu Yaya mengerti.

"Supaya kamu tenang, kurasa aku bisa mengatur pernikahan kita akan diurus oleh cabang perusahaanku. Mungkin kita bisa memakai salah satu hotel milik bagian properti, juga untuk makanan bisa meminta bagian kuliner, jadi tidak akan terlalu boros," Gempa sepertinya sudah menebak apa yang dipikirkan Yaya, membuat pipi yang bersemu karena malu.

"Oh, bagus lah," ucap Yaya tenang.

"Hm ... apa perlu kuadakan acara khusus? Syukuran ke panti asuhan misalnya ... kurasa bagian Aba Fondation bisa mengurusnya," tawar Gempa lagi.

Senyum Yaya mengembang. Ia kadang lupa perusahaan besar milik mertuanya itu juga punya anak perusahan yang mengurus dana bantuan ke orang-orang yang membutuhkan.

"Tidak perlu sampai begitu, kurasa ... tidak apa-apa sedikit royal untuk resepsi pernikahan kita nanti," tolak Yaya dengan halus. Meski ia tidak punya bukti, tapi Yaya yakin suaminya selama ini selalu menyalurkan dana pribadinya ke Aba Fondation juga. Karena ia bukan tuan muda arogan yang kerjanya berfoya-foya menghabiskan uang.

"Dan kamu tidak perlu repot nanti, Bunda punya teman wedding organizer ... dan sebagai tambahan, mungkin Bunda juga akan mengatur sebagian besar resepsi kita, kamu tidak masalah 'kan?" tanya Gempa lagi.

Yaya mengangguk. Sama sekali tidak masalah karena ia tidak tahu bagaimana harus menggelar pesta pernikahan yang megah.

Selama ini Yaya selalu membayangkan, pernikahannya akan jadi perrnikahan kecil yang hanya dihadiri oleh teman-temannya dan kerabat, tapi oh ya sudahlah mau bagaimana lagi?

IoI

"Wow, selamat! Kamu harus undang aku sama Fang ke resepsi pernikahanmu lho!"

Yaya hanya mendengus, sementara sahabat baiknya, Ying tersenyum puas.

"Ini akan jadi pesta besar Ying. Entah kenapa aku jadi ... resah," jelas Yaya. Ia merasa ia takut akan banyak hal, tapi tidak tahu apa.

Itulah alasan setelah suaminya berangkat kerja, Yaya segera menelepon Ying, memintanya untuk bertemu dengannya di kafe tempat mereka biasa kunjungi. Ia tidak ingin menyusahkan suaminya, memberikan kesan kalau ia berat untuk menggelar resepsi pernikahan. Tentu saja tidak.

Namun, setelah ini, rasanya ia benar-benar 'resmi' menjadi pendamping calon CEO Aba Corporation. Ia tidak tahu apa yang akan ia hadapi setelah ini. Dan hal itu membuatnya resah.

"Oh, ayolah Yaya, kadang aku heran denganmu, ketika banyak orang mendambakan untuk menjadi kaya, kamu malah seperti ini," tegur Ying, mengaduk jus miliknya kemudian meminumnya.

"Karena kebahagiaan itu nggak bergantung pada uang Ying ... uang bukan segalanya. Lagipula, yang kurisaukan bukan masalah uang untuk kali ini, tapi aku nggak tahu apa aku siap. .. menjadi pusat perhatian banyak orang," jawab Yaya.

Ia bahkan bisa membayangkan, banyak orang akan takjub kenapa gadis dari keluarga biasa sepertinya bisa menikah dengan keluarga papan atas seperti Boboiboy. Ia bisa membayangkan akan ada orang yang mau menulis berita soal hal itu, kisahnya seperti sinetron kacangan. Hanya saja ini realita.

"Yah~ Iya sih ... kayaknya risih juga, cuma bukannya suamimu juga biasa aja?" tanya Ying.

Yaya mendesah. Ia tahu, kadang suaminya bisa masuk majalah bisnis ataupun berita, tapi ia tampaknya sudah terlatih menghadapi itu semua. Selama tidak menunjukkan hal yang mencolok, media tidak akan menghampiri mereka.

"Lagipula ... kurasa Boboiboy punya cukup 'kekuatan' untuk mendiamkan media lho .. kamu tinggal bilang padanya, hek ... Aba Corporation kan punya cabang di industri media dan hiburan juga," Ying mengingatkan.

Yaya mengerjapkan mata.

"Oh iya ya...," ia kadang suka lupa kalau suaminya sebenarnya 'sehebat' itu. Mungkin karena selama ini Yaya jarang melihat suaminya memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi.

Eh tunggu ... apa mungkin karena itu selama ini tidak ada gosip muncul mengenainya dan Boboiboy? Padahal sudah jelas ia tinggal bersamanya dan kadang pergi ke rumah orang tuanya. Yaya bisa membayangkan bagaimana fotonya terpampang dengan judul utama 'pewaris Aba Corporation memiliki gadis simpanan?!' atau 'ternyata pewaris Aba Corporation sudah menikah diam-diam!' di koran. Mungkin selama ini suaminya itu sudah menekan media, karena itu hidup mereka terus damai?

"Tapi ... kira-kira aku bisa nggak ya ... jadi pendamping yang pantas untuknya ...?" keluh Yaya. Ia selama ini tidak pernah merisaukannya. Yang ia risaukan bukan masalah ia menjadi 'pendamping' Boboiboy, tapi menjadi pendamping seorang calon CEO perusahaan besar. Sebagai seorang istri, jelas ia harus mendukung pekerjaan suaminya. Namun, ia tidak tahu bagaimana caranya.

"Oh Yaya, aku bahkan berani bilang Boboiboy itu beruntung mendapatkanmu, aku tahu kau pasti bisa. Lihat saja, awalnya kan kau juga ragu menikah dengannya, tapi lihat sekarang? Kalian bahkan lebih dari 'baik-baik saja' kan?" kata Ying menenangkan.

Wajah Yaya sedikit memerah. "Maksudmu lebih dari baik-baik saja, itu apa?" protes Yaya, hanya menuai tawa dari Ying.

"Hm ... yah pokoknya begitu lah. Sudah, kamu jangan risau lagi, yah orang risau waktu mau menikah itu biasa, tapi kan ini resepsi Yaya, kamu itu udah nikah," sindir Ying.

Yaya cemberut mendengarnya dan Ying tertawa lagi.

IoI

Laki-laki pada dasarnya biasanya ingin bisa diandalkan. Karena itu, kebanyakan kisah dongeng mengisahkan pangeran yang menyelamatkan tuan putri, bukan sebaliknya.

Karena itu tentu saja, Taufan juga ingin bisa diandalkan oleh Yaya. Bukan hanya sekedar masalah mencari uang dan menjadi kepala keluarga. Namun, diandalkan untuk hal lain.

Taufan mengendurkan dasinya dan melempar jasnya dengan asal ke tempat tidur. Siapa yang menyangka ia bertemu Yaya dengan tidak sengaja tadi. Di tengah meeting, kliennya mengatakan ia ingin istirahat makan siang sambil membicarakan perjanjian kerja sama dengan lebih santai. Dan yang dipilih adalah sebuah kafe. Dan Taufan melihat Yaya dan temannya di sana.

Ketika acara makan siang selesai, ternyata perjanjian kerja sama pun langsung selesai, awalnya Taufan ingin mengagetkan Yaya. Sampai mencuri dengar kalau Yaya sedang curhat pada Ying soal resepsi pernikahan mereka.

Makanya ia sudah menyarankan pada Gempa untuk mengatakannya pelan-pelan dengan suasana yang lebih nyaman seperti ... makan malam di luar atau apalah.

Meski sarannya langsung ditolak karena Yaya tidak suka restoran berbintang dan tidak mau mengambil resiko ia akan ditertawakan karena tidak bisa table manner.

Sebenarnya Taufan maklum dengan keresahan Yaya, karena jujur ia pun merasakan hal yang sama.

Namun, ia merasa agak kecewa karena Yaya tidak menceritakan keresahannya itu padanya. Ia ingin ... jadi tempat Yaya bisa berkeluh kesah. Ia juga ingin bisa diandalkan oleh Yaya, bukan hanya mereka saja yang menyusahkan Yaya.

"Yah ... curhat ke orang seperti kita mungkin memang bukan tindakan yang bagus?" ucap Taufan dengan sarkartis pada dirinya sendiri.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," balas Taufan. Ia baru saja selesai mengganti bajunya dan keluar melihat Yaya yang baru saja pulang.

"Kamu pulangnya cepet banget," komentar Yaya, salim padanya.

Taufan hanya bisa menyeringai sedikit. "Yah, meeting-nya nggak lama..."

Yaya menatapnya, seakan tahu ada sesuatu yang tidak beres. Taufan tidak bisa seperti Gempa yang hati-hati dan kadang sungkan, ia lebih suka mengatakan sesuatu dengan frontal.

"Kamu kenapa nggak cerita sama aku? Kamu resah sama resepsi kita nanti?"

Yaya membelalakkan mata dan Taufan tidak bisa menutupi rasa kecewanya. Sebenarnya rasa kecewa itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri, karena gagal menjadi laki-laki yang bisa diandalkan oleh Yaya.

"Kamu kok bisa-"

"Aku tadi ngeliat kamu di kafe, tapi kayaknya lagi asik banget curhat sama temen kamu, jadi nggak enak mau ganggu," Taufan sedikit menyesal tidak bisa menekan nada sarkartisnya karena Yaya kelihatan terluka.

"Aku cuma nggak mau membebani kalian ... kalian kan banyak urusan...," jelas Yaya dengan lirih.

Taufan mengangguk mengerti, ia tahu Yaya tidak punya maksud buruk. Ia mengambil kedua tangan istrinya dan menggenggamnya dengan lembut.

"Mungkin masih sulit ... tapi aku pengen kalau ada apa-apa, kamu bicara sama kita semua. Kita selalu berkeluh kesah sama kamu, kita juga ingin ... kamu juga bisa melakukan sebaliknya," pinta Taufan. Ia tidak ingin hubungan mereka seperti dokter dan pasien, di mana pasien datang untuk berobat dan dokter mengobatinya dan tidak bisa sebaliknya.

Taufan kadang merasa, ia bahkan yakin yang lain pun merasakannya, ia seperti memanfaatkan kebaikan Yaya. Gadis baik hati seperti Yaya tidak mungkin akan meninggalkan pemuda dengan kondisi aneh seperti dirinya begitu saja, tidak bila ia tahu mereka semua sangat membutuhkan kehadiran seseorang di sisi mereka.

Namun, mereka juga ingin bisa dibutuhkan oleh Yaya. Kalau Yaya tidak membutuhkan mereka, nanti ia bisa saja menemukan orang lain yang ia butuhkan— laki-laki yang lebih normal yang bisa menerima curhatan tanpa takut mentalnya terbebani mungkin?

"Maaf ya, lain kali, aku bakal langsung cerita sama kalian," kata Yaya dengan lembut. Taufan mengangguk.

Kadang sulit untuk tetap berpikir positif saat tahu kondisinya seperti itu. Taufan sadar kalau hubungan mereka masih berat sebelah, di mana ia sangat membutuhkan Yaya tapi tidak berlaku sebaliknya.

Rasa takut Yaya akan pergi selalu menghantui di belakang pikirannya, mereka semua.

Karena itu kadang ia menggoda Yaya untuk cepat mendapatkan anak. Karena kalau mereka sudah memiliki anak, akan semakin berat bagi Yaya untuk meninggalkannya.

Cara pengecut yang menyedihkan ....

"Taufan?"

Taufan membuka matanya dan tersenyum pada Yaya.

"Kalau nanti kamu menyembunyikan sesuatu lagi dari kami, kami bisa marah lho...," godanya. Yaya hanya memutar matanya, tapi kemudian ia membelai lembut wajah Taufan.

"Kamu kenapa? Capek ya? " tanyanya, jelas sadar ada sesuatu yang salah dengan Taufan.

Taufan menggeleng. Ia tahu, ketakutan akan Yaya akan pergi itu adalah ketakutan yang berasal dari dirinya sendiri. Yaya tidak akan bisa mengusir rasa takutnya, sampai Taufan sendiri yakin Yaya tidak akan meninggalkannya.

Karena itu ... untuk saat ini meyakinkan Yaya ada di sisinya sudah cukup. Mereka harus berjuang untuk mengusir rasa takut itu nanti.

"Nggak ... aku cuma ... mau tidur di pangkuan kamu aja boleh?"

Yaya tampaknya tak puas dengan jawaban itu, namun tidak menekan lebih jauh.

"Ya udah ... aku ganti baju dulu sebentar ya," katanya. Taufan mengangguk.

Ia mendesah kecil dan duduk di sofa.

Huft ...

Mungkin memang mereka harus berjuang menjadi pria yang lebih bisa diandalkan ya? Supaya Yaya tidak akan pergi meninggalkan mereka.

Supaya masa depan yang menanti mereka adalah masa depan bersama Yaya, bukan kembali sendiri seperti dulu. Halilintar benar, jika itu terjadi, bukan hanya Gempa, tapi mereka semua tidak akan sanggup menghadapinya.

Karena itu mereka masih harus berjuang ... harus ....

TBC

———————————————

Ketika teman yang kamu anggap teman baik ternyata memilih curhat ke orang lain itu ... sakitnya di sini. Apalagi istri sendiri ya? Rasanya tuh pasti kayak nggak dipercaya ... kecewa ... ahh ...

Ya udahlah, berhenti ngocehnya

Silakan review-nya ^^

——————————
K O L O M  N U T R I S I
——————————

1. Akankah Yaya benar-benar mencurahkan masalahnya pada para kembaran?

2. Siapa teman curhat paling nyaman buatmu?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 17 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro