Chapter 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Silakan dinikmati. Maaf ya kalau fanfic ini ceritanya jadi jelek atau gimana. Saya cuma mau berbagi cerita, nggak meminta cerita ini untuk dibaca kalau memang nggak suka.

———————————————

Tidak ada manusia yang menginginkan penolakan dari manusia lain. Karena manusia tidak bisa hidup sendirian, karena manusia membutuhkan orang lain, maka dari itu keinginan untuk diterima oleh masyarakat merupakan sifat dasar manusia. Namun sayangnya, manusia juga cenderung tidak menyukai sesuatu yang aneh dan sukar dimengerti. Karena itu, terdapat manusia yang tidak bisa masuk ke dalam kelompok masyarakat.

Yaya tahu, selama ini Boboiboy, suaminya selalu berjuang keras untuk bisa diterima orang lain. Berusaha bersikap normal, berusaha agar tidak ada orang yang curiga, berusaha untuk tidak melakukan kesalahan. Pada akhirnya semua usaha itu justru memperlihatkan betapa tidak normalnya dia, karena manusia yang normal tidak berusaha sekeras itu.

Meski tak pernah bertanya, Yaya tahu suaminya tidak memiliki teman. Jangankan teman, suaminya pun tak begitu akur dengan kedua orang tuanya. Jangankan teman, tak pernah sekalipun Yaya pernah mendengar nama rekan kerja terucap dari mulutnya. Yaya tidak tahu bagaimana rasanya, harus berpura-pura normal ketika ia tidak normal. Mungkin rasanya seperti berbohong kepada diri sendiri. Mungkin rasa seperti sadar betapa palsunya diri ini.

Yaya tahu suaminya punya masalah dalam menghadapi orang lain dengan jujur atau menjelaskan kondisi khususnya. Karena itu, Yaya juga sadar suaminya sengaja tidak pernah meminta bertemu ibunya karena ia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Yaya tahu itu semua ... tapi....

"Ibu meminta kita untuk makan malam besok di rumah, kau bisa?"

Halilintar mendongakkan wajahnya, mulutnya yang sedang mengunyah makan malam buatan Yaya berhenti sebentar. Matanya memicing dan wajahnya mengerut, seakan ia tak suka apa yang baru saja Yaya katakan.

Menikah bukan hanya menyatukan dua manusia, tapi juga dua keluarga. Bukan hanya Yaya yang harus berurusan dengan keluarga Boboiboy, tapi begitu juga sebaliknya. Yaya merasa keluarganya tidak memiliki masalah. Keluarga kecilnya adalah keluarga yang normal. Meski mungkin memang di situlah masalahnya, karena keluarganya normal, suaminya tak tahu harus bersikap seperti apa.

Halilintar meraih gelas dan minum sebelum ia bicara. "Besok malam?" tanyanya.

Yaya mengangguk. Ia tahu betul kondisi suaminya jadi ia mengerti dan tidak menyalahkannya. Namun pada saat yang sama, sebagai seorang anak berat rasanya terus menerus menolak permintaan ibunya. Ibunya hanya ingin mengenal menantunya, seperti semua mertua pada umumnya.

"Baiklah, besok setelah aku pulang kerja, kita bisa ke sana."

Yaya tidak menyangkanya. Ia pikir suaminya akan menolak dengan seribu alasan.

Namun, sepasang mata yang tampak mendung dan kedua tangan yang sudah terlipat, tidak kembali menyentuh makanannya menjawab kebingungan Yaya.

"Kau yakin? Tidak bisa juga tidak apa-apa, nanti biar kujelaskan pada ibu ...," hibur Yaya.

Halilintar mendengkus, kemudian bersandar pada kursi, wajahnya tampak penat. "Tidak perlu. Kita sudah menghindarinya terlalu lama. Lagipula ibumu juga harus dilibatkan dalam persiapan acara resepsi pernikahan kita, tidak ada pilihan lain."

Aneh rasanya melihat Halilintar yang keras kepala itu kelihatan pasrah. Mungkin selama ini ia dan saudara-saudara kembar suaminya sudah tahu. Berkunjung ke rumah ibu Yaya akan terjadi cepat atau lambat.

"Kau ... akan menjelaskannya pada ibuku?"

Yaya menatap Halilintar dengan pandangan khawatir. Halilintar sendiri tidak terkejut ataupun marah dengan pertanyaan Yaya. Ia hanya diam dan kelihatan pasrah meski wajahnya terlihat berat.

"Mau tidak mau ... dia ibumu, kita sudah memutuskannya, ia berhak tahu."

Yaya hanya bisa mengangguk. Matanya dengan hati-hati memperhatikan gerak-gerik suaminya. Sebagai istri, ia tahu suaminya cenderung labil secara mental. Yang jelas, ia paling tidak suka saat suaminya bersedih atau stres. Halilintar tidak pernah menunjukkan emosinya secara bebas. Namun, Yaya tahu wajahnya tampak mendung dan ia kembali melanjutkan makan dengan suasana hati berat.

"Nanti biar kubantu menjelaskan," tambah sang istri.

Halilintar hanya mendengkus, entah apa maksudnya.

IoI

"Kau beli ini semua ...?"

"Ya ... berlebihan?"

Taufan menatap Yaya yang tampaknya pusing dengan apa yang sudah ia lakukan. Sang kembaran itu merasa tak ada yang salah dengan yang ia perbuat. Hari ini adalah hari yang ... ia tahu akan datang cepat atau lambat. Ia dan saudara-saudaranya sudah membicarakan soal ini berulang kali, sudah mempersiapkan diri bila hari ini akan datang.

Dan Taufan merasa, seperti prajurit yang akan maju ke medan perang, ia tak mau bertempur dengan tangan kosong.

"Taufan, kau tidak perlu membelikan adikku PSP segala ... ini berlebihan."

"Aku dengar adikmu suka main game juga, apa itu salah?" tanya Taufan, mengambil kardus PSP terbaru. Harganya tidak mahal, baginya. Maksudnya, jika dibandingkan dengan tumpukan game konsol terbaru beserta berkeping-keping berbagai game yang sudah ia beli, ini tidak mahal.

Yaya mengerutkan dahi memandangnya. "Mungkin akan kuberikan saat ia ulang tahun saja, jangan sekarang ...," katanya.

Taufan hanya bisa mengangguk, memilih untuk menuruti kata-kata Yaya.

"Dan kita cuma bawa parsel buah dan kue ini saja, yang ini ...," Yaya mengangkat sebuah tas bermerek keluaran terbaru, "tidak usah ya."

Taufan hanya bisa mendesah. "Ya, ya terserah kamu."

Yaya menghampirinya dan membelai lengannya dengan lembut. "Oh Taufan, aku sangat menghargai usahamu, usaha kalian semua. Aku tahu kalian mau membuat kesan baik pada ibuku, tapi buah dan kue saja sudah cukup, oke?"

Taufan mengangguk lagi. Mulutnya agak cemberut. Percuma ia sudah meminta anak buahnya membelikan PSP dan tas baru. Ini memang kebiasaan, membelikan sesuatu untuk seseorang agar ia bisa membeli hati orang tersebut. Apa boleh buat, paling mudah menyenangkan orang dengan uangnya. Dan seperti prajurit yang suka membawa senjata sebanyak apapun yang ia bisa, tanpa sadar ia dan saudara-saudaranya mungkin jadi berlebihan dalam membelikan buah tangan.

"Untuk adikmu bagaimana?" tanya Taufan.

"Buah dan kue cukup untuk ibuku dan adikku, mereka pasti suka, aku bahkan tidak yakin mereka bisa menghabiskan kue sebesar ini berdua saja," jelas Yaya lagi.

Sang suami menyerah. Mungkin daripada membantu, prajurit yang membawa senjata terlalu banyak hanya akan menyulitkannya bergerak bukannya membantunya memenangkan pertempuran.

"Baiklah, baiklah, aku mandi dan ganti baju dulu, baru kita berangkat ya."

Wajah Yaya seperti ia ingin mengatakan sesuatu. Wajah yang pilu dan tampak bingung tapi mulutnya tertutup seperti tak tahu bagaimana cara merangkai kata untuk mengungkapkannya. Taufan tahu, senyumnya aneh, tangannya berkeringat dan sejak tadi ia tegang.

Tentu saja ...

Ia dan yang lain paling tak suka saat mereka harus menjelaskan kondisi mereka pada orang lain.

Karena yang biasanya mereka terima adalah penolakan.

Dan kalau ibu Yaya menolak mereka, nanti ...

Taufan menggelengkan kepalanya, tidak perlu takut akan sesuatu yang belum terjadi. Lebih baik ia fokus untuk mandi dan bersiap-siap.

IoI

"Jujur, kupikir Gempa yang akan menemui ibu, bukan berarti apa-apa sih, aku cuma ..."

"Yah, aku tahu. Gempa lebih berpengalaman soal ini. Tapi aku sudah memutuskan untuk tidak membiarkan dia menghadapi semuanya sendiri. Dan selain Gempa, kau pikir siapa yang paling jago membuat kesan pertama yang bagus? Hehe..."

Yaya tidak mengatakan apapun meski ia mendengar tawa Taufan pecah dan serak.

Ia tidak mengatakan apapun meski ia melihat tangan suaminya gemetaran memegang setir mobil.

Ia juga tidak mengatakan apapun meski ia tahu suaminya begitu tegang sampai sulit memasang sabuk pengaman.

Yaya tidak pernah melihatnya, sejak pertama menikah, ia tidak pernah melihat seperti apa suaminya ketika berusaha menjelaskan kondisinya pada orang lain. Namun  sekarang ia bisa melihat dengan jelas, ketakutan, kekhawatiran dan kepanikan seperti memancar keluar dari tubuh suaminya.

Namun, wajahnya terlihat pasrah dan menerima kenyataan.

Seakan bersiap akan kemungkinan terburuk.

Senyumnya getir dan matanya tampak sendu.

Seperti tahu apa yang akan ia terima nanti.

"Ibuku sudah memasak banyak makanan untuk kita lho...," Yaya berusaha menenangkan.

"Oh baguslah ..., aku juga sudah lapar," balas Taufan, meski Yaya tahu ia bohong. Tidak peduli dia, Gempa, Halilintar ataupun kembaran mereka yang lain, ketika mereka semua stres, mereka cenderung tidak nafsu makan. Karena itu tubuh suaminya cenderung kurus, ketika laki-laki seumuran mereka sudah mulai kesulitan menghadapi perut buncit, terutama yang sudah menikah, suaminya tetap kurus.

Ada yang bilang, menjadi gemuk setelah menikah tandanya bahagia.

Sepertinya semua yang dimakan suaminya berubah menjadi energi karena otaknya terlalu stres memikirkan banyak hal.

"Tenanglah ...," Yaya menggenggam lengan Taufan. Suaminya itu hanya mampu tersenyum gugup padanya.

Yaya tahu, kebanyakan menantu pasti tegang bila bertemu mertua. Hubungan menantu dan mertua biasanya cenderung tidak akur. Hubungan pernikahan seharmonis apapun, bila terganggu oleh mertua yang tidak menyukai menantunya, pernikahan pun ada kalanya bisa kandas.

Namun, yang suaminya takutkan, sepertinya jauh lebih buruk dari itu.

Yaya belum mengerti soal ini. Dan ia harap ... ia tidak akan mengerti karena yang ia harapkan, apa yang suaminya takutkan tidak menjadi kenyataan.

IoI

Mereka sudah lama menyerah mendapatkan teman.

Mereka sudah lama menyerah keluarga mereka akan mengerti kondisi mereka.

Mereka sudah lama menyerah siapapun akan menerima keadaan mereka.

Banyak reaksi yang mereka terima saat mereka memberitahukan kondisi mereka pada orang lain.

Mulai dari tidak mengerti.

Syok.

Takut.

Marah.

Kasihan.

Dan lain sebagainya.

Sejauh ini, hanya Tok Aba dan Yaya yang mengerti kondisi mereka.

Jadi, mereka berdua adalah pengeculian. Karena umumnya yang mereka terima adalah penolakan. Jadi, untuk Taufan sekalipun, sulit rasanya untuk tetap optimis soal hal ini.

Harapan akan diterima orang lain, pada akhirnya hanya selalu kandas dan meninggalkan luka.

Ketika keluarga mereka saja tidak bisa menerima mereka apa adanya, siapa yang bisa?

Taufan menarik napas panjang dan menghelanya. Setelah ini ia berjanji akan jauh lebih menghargai Gempa soal ini. Siapa yang tahu ternyata bersiap memberi tahu seseorang akan kondisi mereka itu benar-benar ... menyiksa. Taufan terbelah akan ingin semua ini cepat selesai atau ingin lari dari kenyataan.

"Kau sudah siap?"

Yaya menatapnya dengan penuh pengertian. Tidak mengomentari apapun, meski Taufan tahu, meski ia berusaha terlihat baik-baik saja, ia begitu gugup dan tegang sampai tangannya terus gemetaran.

"Siap, biar aku yang bawa buahnya," kata Taufan.

Mereka berdua keluar dari mobil, tak lupa mengambil parsel buah dan sekotak kue yang sudah Taufan beli. Di hadapan mereka sekarang terdapat sebuah rumah mungil, yang meski terlihat agak tua dari kusamnya cat, tapi tampak hangat dan mengundang.

Namun, justru tempat seperti ini yang membuat Taufan makin sadar diri kalau tidak cocok berada di sini.

Semuanya begitu normal ...

Dan ia yang tidak normal sepertinya tidak bisa membaur di sini.

"Ayo," ajak Yaya pelan.

Taufan tersenyum padanya. Refleks, meski mulutnya sebenarnya terlalu kecut untuk tersenyum, apalagi untuk makan.

Yaya yang sudah mengenal baik tempat mereka berdiri sekarang, segera maju ke pintu depan dan mengetuknya. "Assalamu'alaikum."

Taufan hanya bisa berdiri, merasa begitu tegang dan salah tempat tapi berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan diri.

"Wa'alaikumsalam!"

Dan pintu pun terbuka.

IoI

Sekarang Yaya mengerti kenapa suaminya sepertinya tidak pernah punya masalah dalam menyembunyikan kondisinya di kantor.

Ia pandai berakting.

Taufan yang tadi begitu gugup dan tegang, sekarang dengan luwes tertawa dan berakrab ria dengan ibu maupun adiknya.

Jika kau tidak lama mengenalnya, mungkin tidak akan sadar ada sesuatu yang ganjil.

Namun, Yaya yang sudah menikah dengannya, tahu itu semua cuma akting.

Senyumnya, bagaimana tubuhnya terus bergerak seakan tak nyaman di tempatnya, bagaimana ia terus mengalihkan perhatiannya dengan hal lain, bagaimana ia memainkan kedua sendok dan garpu namun hanya sedikit makanan yang masuk ke mulutnya.

"Oh ini Yaya waktu masih kecil? Manis sekali!"

"Wah, ini semua piala kamu Yaya? Kok nggak pernah cerita?"

"Aduh ini makanannya enak sekali, Bu."

Sesekali Yaya menggenggam lengan Taufan, untuk menyadarkannya kalau ia masih di sisinya. Untuk sepersekian detik ketika bertemu mata dengan Yaya, wajah Taufan akan turun dan matanya mendung tapi sekejap kemudian sudah kembali berakrab ria dengan ibunya.

"Makasih ya kamu sudah mau menyempatkan diri datang kemari, Ibu tahu kamu sibuk, Yaya juga sudah cerita."

"Nggak apa-apa kok, Bu, saya yang nggak enak karena nggak sempet dateng ke sini terus."

"Kak Boboiboy kerja apa di perusahaan?"

"Aku kerja jadi Kepala Divisi Telekomunikasi dan Teknologi bagian Aba Corporation."

"Oh? Berarti yang bikin laptop sama HP gitu?"

"Iya dong, keren 'kan?"

"Aku main ke sana kapan-kapan boleh?"

"Boleh aja."

Mungkin ini cuma perasaan Yaya saja, tapi sulit rasanya untuk ikut membaur mengobrol bersama suaminya, ibunya dan adiknya. Semata-mata karena ia tahu, ini cuma pembicaraan kosong. Karena Taufan yang ia tahu tidak seperti ini. Ia terlalu palsu hingga membuat Yaya merasa tidak nyaman.

"Yaya, kamu kenapa?" tanya ibunya.

Yaya tersentak dan segera tersenyum. Justru ia yang jadi menarik perhatian ibunya.

"Nggak apa-apa, Bu," tepis Yaya cepat.

Taufan memandangnya dengan khawatir dan Yaya hanya mampu tersenyum padanya. Matanya seakan bingung, seakan ia tahu Yaya bermasalah karena sikapnya dan itu salahnya.

IoI

Ketika sudah terbiasa akan sesuatu, manusia akan menyesuaikan diri. Sama seperti Boboiboy yang dengan kondisinya hampir selalu ditolak, ia sudah menyesuaikan diri. Dengan kondisinya yang cenderung tidak bahagia, ia sudah mulai terbiasa. Karena itu, Yaya yang datang ke kehidupannya, membawa kebahagiaan, terasa mungkin di dalam diri mereka memang sudah ada yang rusak. Karena, kadang mereka berpikir Yaya adalah sebuah 'keabnormalan' di dalam kehidupan mereka. Mereka merasa, kebahagiaan yang mereka rasakan tidak akan berlangsung lama.

Mungkin itu karena mereka sudah terlalu lama tidak bahagia, sehingga kebahagiaan itu kadang terasa menyakitkan.

Aneh, tapi memang itulah bukti kalau sesuatu di dalam diri mereka ada yang hancur.

"Makanannya enak?"

"Iya, Bu, terima kasih."

Taufan menyugingkan senyuman palsunya. Senyuman yang sudah terlatih oleh Gempa, meski berbeda jiwa tapi tubuh mereka tetap sama. Otot pipinya pun terbiasa menyugingkan senyuman sopan dan manis milik Gempa, tak sulit melakukannya. Namun, pada saat yang sama senyuman itu meninggalkan jejak pahit baginya. Karena tahu ia terus berpura-pura dan semua ini bukanlah Taufan.

Banyak orang yang merasa tertipu dengan sikap mereka. Tidak menyangka di balik sosok pemuda yang baik, sopan, memilliki status sosial yang tinggi dan hampir tanpa cela, ternyata tersembunyi kondisi yang aneh.

Ketika adik Yaya kembali ke kamarnya, Taufan tahu ini lah saat yang tepat baginya untuk menjelaskan semuanya.

Untuk jujur.

Akan jauh lebih baik ibu Yaya tahu dari dirinya sendiri, bukan dari orang lain ataupun karena suatu kejadian tidak terduga.

"Bu ... ada yang harus saya sampaikan pada Ibu."

Ibu Yaya, seorang wanita paruh baya dengan pandangan yang lembut yang sangat mengingatkan Taufan akan Yaya sendiri. Inilah sosok yang sudah melahirkan dan membesarkan Yaya hingga menjadi istrinya seperti sekarang. Karena itu, mereka semua sepakat kalau ibu Yaya berhak tahu kondisi mereka.

Meski mungkin hasilnya nanti—

"Ya? Ada apa?" tanyanya.

Yaya menggenggam tangannya dengan lembut dan memberikan senyuman dukungan.

Taufan tidak bisa membalas senyumannya. Dalam hati, ia sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Ia tidak ingin menerimanya, tapi ini harus ia hadapi.

"Maaf sebelumnya karena sudah meyembunyikan ini ... tapi ... saya ..."

Sampai sekarang tak ada seorang pun dari semua kembar Boboiboy yang bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan kondisi aneh mereka.

Karena itu memang lebih mudah ...

"Saya didiagnosis menderita kepribadian ganda."

Itu adalah penjelasan paling mudah yang bisa diterima semua orang. Kondisi yang paling mirip dengan kondisi aneh mereka. Namun, sebenarnya sangat berbeda jauh.

Ibu Yaya tampak kaget, tapi Taufan sudah tak berani memandang wajahnya. Telapak tangannya penuh keringat dan gemetaran. Ia sangat benci hal ini, tapi ia harus melakukannya.

"Kepribadian ganda?" tanya ibu Yaya, syok sekaligus bingung.

"Makanya saya ingin ibu tahu, maaf karena sudah berbohong selama ini—"

"Yaya! Kamu tahu soal ini!?"

Taufan terdiam, pertanyaan ibu Yaya yang penuh amarah membuatnya terluka. Ia pernah mendapatkan reaksi ini sebelumnya, tapi saat itu Gempa yang menghadapinya. Saat itu ia hanya melihat, tidak melakukan apa-apa.

"Iya, Bu, aku sudah tahu, Ubu dengarkan—"

"Kamu sudah menderita ini sejak sebelum menikah?" tanya ibu Yaya dengan panik, kembali kepada Taufan.

Taufan mengangguk dengan sangat berat hati.

"Kenapa kamu tidak bilang? Kenapa tidak ada yang bilang pada ibu? Oh..."

Dan air mata itu jatuh.

"Ibu ...," Yaya sudah bergerak mendekati ibunya yang kini menangis.

"Yaya ... kenapa kamu tidak cerita? Kita sudah ditipu seperti ini dan ..."

Ibu Yaya kehabisan kata-kata dan terus menangis. Yaya membisikkan kata-kata hiburan yang tidak bisa didengarkan oleh Taufan.

"Makanya ... makanya anak dari keluarga terpandang seperti kamu mau menikahi Yaya! Oh ya ampun, kenapa ibu tidak sadar itu dari dulu? Apa kamu pikir kita itu orang miskin yang bisa kamu permainkan begitu saja!?" hardik ibu Yaya keras.

Taufan tersentak.

"Bukan begitu, saya—"

"Kalau tahu, saya tidak akan pernah mau menikahkan Yaya dengan orang seperti kamu! Saya tidak peduli harta kamu miliaran atau apa, tapi saya tidak akan merestui anak saya menikah dengan orang gila macam kamu! Keluar dari rumah ini sekarang!"

"Ibu, jangan!" pinta Yaya namun tak digubris.

Selama ini Taufan tidak pernah merasakan kemarahan orang tua karena cinta pada anaknya. Karena orang tuanya sendiri tak cinta padanya. Namun, ia cukup tahu kalau kasih sayang seorang ibu pada anaknya sangat besar. Karena itu pula, kemarahan seorang ibu pun sangat mengerikan.

"Maaf, Bu, biar saya jelaskan—"

"Cukup! Jangan panggil saya 'Ibu'! Keluar dari rumah saya!"

Dalam hati yang paling dalam Taufan tidak ingin menyerah, tetapi wajah ibu Yaya yang penuh amarah dan terluka membuatnya tidak bisa berkata apa-apa. Yaya yang sedang panik meminta dan memohon pada ibunya saja tak terdengar, apa lagi dirinya. Karena itu dengan berat hati Taufan beranjak keluar dari rumah kecil tersebut dan pintu itu dibanting di depan mukanya.

IoI

"Kamu ini bagaimana sih? Sudah susah payah Bunda jodohkan dengan anak teman Bunda, selalu saja ..."

"Maaf, Bunda, begitu aku coba jelaskan tentang kondisiku ..."

"Makanya jangan kamu jelaskan."

"Eh?"

"Kalau kamu jelaskan dari awal, memangnya ada yang mau menikah denganmu?"

"... tapi kan ..."

"Seperti yang Ayah sudah jelaskan dari awal Boboiboy, kamu harus mengikuti wasiat Tok Aba. Ayah dan bunda mencoba mencarikanmu jodoh sebelum kamu mencapai umur 25 tahun seperti di wasiat itu, tapi ternyata tidak berhasil. Kalau kamu sampai tidak menikah dengan calon yang sudah dipilihkan Tok Aba, kamu tidak akan menjadi pewaris Aba Corporation. Kamu mengerti kan? Ayah tak mau perusahaan kita sampai jatuh ke tangan sepupumu."

"... tapi ... itu artinya ..."

"Tidak apa-apa, soal kondisimu bisa dijelaskan nanti kalau sudah menikah. Kalau nanti ternyata istrimu meminta cerai tidak masalah, yang penting kamu sudah menjalankan sesuai dengan surat wasiat. Kamu tetap akan menjadi pewaris Aba Corporation yang sah."

"Baiklah ..."

Ternyata dirinya senista itu, itu yang dulu Taufan pikirkan. Bukan ia yang mau menyembunyikan kondisinya dari Yaya berserta keluarganya. Tapi itu pilihan orang tuanya. Dan Gempa pun tak bisa menolak saat itu. Maupun kembaran yang lain. Karena mereka tahu.

Itu benar.

Siapa yang mau menikah dengan mereka jika tahu kondisi mereka dari awal?

Siapa yang mau menikahkan anak mereka dengan orang yang punya kondisi aneh seperti mereka?

Meski saat itu mendengar perrkataan itu dari orang tuanya sendiri sangat menyakitkan.

Di dongeng untuk anak perempuan, biasanya tuan putri dan sang pangeran akan menikah dan bahagia selamanya. Mungkin polos baginya untuk berharap kalau pernikahan akan jadi kesempatan baginya untuk bahagia.

Karena itu ia berusaha menemukan siapa yang mau menerima kondisinya dan menikah dengannya.

Namun, ternyata tidak ada 'kan?

Makanya Tok Aba membuat surat wasiat itu. Mungkin beliau sudah mengira hal itu akan terjadi. Meski curang, tapi akhirnya mereka bisa menikah.

Mungkin ini memang salah.

Menikah atas dasar paksaan dan penipuan.

Namun ...

Yaya ...

Mereka sudah tidak bisa lagi ...

Sudah tidak mampu lagi ...

"AAAAAHHHHHHHHH!"

Teriakan melengking menyayat hati itulah yang ia lontarkan sebelum ia menyerah dan memberikan kendali tubuhnya ke saudaranya yang lain.

IoI

"Bu ... jangan menangis...."

Yaya sudah berjam-jam duduk di depan ibunya, membelai, membisikkan kata-kata penenang. Ayahnya dulu selalu bilang, ibunya adalah orang paling baik sedunia. Namun, karena itulah ibunya mudah sekali terluka.

Yaya membiarkan ibunya menangis, percuma mencoba menjelaskan keadaan bila ibunya belum tenang. Sementara hatinya begitu kalut dan khawatir dengan kondisi suaminya. Hatinya terasa hancur melihat Taufan diusir dari rumahnya.

Karena itulah Taufan begitu tegang.

Karena itulah Halilintar terlihat berat tapi pasrah.

Karena itulah suaminya selalu menghindari bertemu ibunya selama ini.

Karena mereka sudah mengira hal ini akan terjadi.

Penolakan lagi.

"Ibu ... aku mohon ... berhentilah menangis...," pinta Yaya dengan pilu. Ia ingin segera pergi ke suaminya, entah seperti apa kondisinya sekarang, justru karena itu Yaya sangat khawatir. Namun, sebagai anak ... ia tidak tega membiarkan ibunya menangis sendirian.

Adiknya yang sempat bingung dan menghampiri mereka, Yaya usir dengan halus dengan bahasa tubuh. Adiknya segera mengerti dan kembali ke kamarnya.

"Bagaimana Ibu bisa tenang? Ibu sudah menikahkan kamu dengan laki-laki seperti dia!" raung ibunya.

"Ibu...," bisik Yaya pelan. Ia membelai berulang-ulang tangan ibunya.

"Pantas saja ... harusnya Ibu sudah curiga dari awal ... pasti ada sesuatu kenapa keluarga papan atas seperti mereka mau menikahkan anaknya denganmu ... ternyata ..."

"Ibu ... sudahlah...," hibur Yaya pelan.

"Ibu tidak tahu penderitaan kamu selama ini Nak ... pasti berat ... maafkan Ibu...."

Yaya menggeleng. "Ibu ... tenanglah dengan dengarkan aku," bisik Yaya dengan lembut.

Setelah sekian jam menangis dan mengeluh, akhirnya air mata ibunya mulai mengering.

"Awalnya aku juga kaget dan merasa terluka karena Boboiboy sudah menyembunyikan kondisinya dariku ...," jelas Yaya perlahan. Yaya memutuskan untuk tidak mencoba menjelaskan kondisi Boboiboy sebenarnya bukan penyakit jiwa. Itu terlalu sulit untuk sekarang.

"Tapi ... aku belajar untuk menerimanya Bu, apa adanya. Aku ... sekarang bahagia dengannya...," jelas Yaya lagi.

"Bagaimana mungkin Yaya?" tanya ibunya tidak percaya.

Yaya mendesah. "Bu ... ia sangat baik, sangat baik padaku. Kondisinya memang aneh ... tapi aku sudah menerimanya. Ia sudah terluka selama ini Bu. Ibu tidak tahu apa saja yang sudah Boboiboy alami...," Yaya berhenti.

Yaya tidak tahu bagaimana menjelaskannya.

Semua air mata yang tumpah selama dua bulan ini.

Semua kerapuhan serta ketakutan suaminya.

Senyum bahagia akan sesuatu yang sepele.

Bagaimana sepasang mata itu memandangnya seakan Yaya adalah segalanya bagi mereka.

Bagaimana mereka terus berjuang hingga terasa menyakitkan.

Semua luka itu ...

Suaminya adalah manusia yang rusak di bagian dalamnya. Ia disakiti terlalu sering. Ia terlalu lama sendirian. Ia sudah begitu lama tidak bahagia.

Dan yang paling menyakitkan, ia sudah terbiasa dengan semua itu.

Namun, meski dengan kondisi seperti itu, mereka masih bisa membuat Yaya tersenyum dan merasa senang. Meski tidak bisa mencintai diri mereka sendiri, dengan segenap tenaga mereka berusaha menyayangi dengan segala sesuatu yang masih tersisa di dalam diri mereka.

"Aku tidak bisa meninggalkannya Bu ... tidak bisa ... aku tidak meminta Ibu untuk menerimanya tapi setidaknya mengertilah, Bu..."

Yaya menatap mata ibunya yang berkaca-kaca. Ia sama sekali tidak berbohong. Ia menyayangi mereka semua, semua kembaran suaminya itu. Dari sisi yang paling manis hingga yang paling kelam. Setiap luka yang suaminya miliki, setiap sesuatu yang rusak dari suaminya itu ...

Ia sayang mereka semua ...

Dan ia ingin ibunya mengerti akan hal itu.

"Oh Yaya...."

Dan ibunya memeluknya dengan erat sambil menguraikan kembali butir-butir air mata.

IoI

Yaya sudah terbiasa dengan kondisi aneh suaminya, sehingga kondisi aneh itu menjadi sesuatu yang normal baginya sekarang. Menonton kartun dengan Api, memasak bersama Gempa, bermain game dengan Taufan, bertengkar kecil dengan Halilintar maupun bersantai dengan Air. Ia terbiasa melihat suaminya bicara sendiri. Terbiasa melihatnya berganti kendali.

Standar 'aneh' baginya sudah bergeser sehingga kondisi aneh suaminya itu termasuk normal baginya.

Jadi kadang, Yaya lupa kalau ternyata kondisi suaminya itu memang aneh.

"Boboiboy...?"

Wajahnya dengan horor memandang bagaimana kondisi apartemennya sekarang.

Kondisinya seperti diterjang bencana alam yang dahsyat.

Jendela pecah.

TV yang sudah terbanting di lantai.

Sofa yang sudah terbalik.

Di lantai begitu banyak berserakan pecahan kaca, kertas dan barang-barang hancur lainnya.

"Boboiboy!" seru Yaya ketakutan.

Ia kadang lupa kalau suaminya benar-benar labil.

Ia kadang lupa kalau suaminya tidak normal.

Yaya tidak melepaskan sepatunya, dengan panik ia segera mencari di mana keberadaan suaminya.

Hatinya mencelos lega melihat suaminya ada di dalam kamarnya, terduduk di lantai dengan kepalanya terbari di tempat tidur.

Kondisi kamarnya pun tak berbeda dengan kondisi ruang tamu depan.

Semuanya berantakan.

Semuanya hancur.

Membuat hati Yaya tersayat, karena ini semua menggambarkan bagaimana kondisi suaminya sekarang.

"Boboiboy?" panggil Yaya pelan dengan lembut, tak mau mengagetkan suaminya.

Boboiboy dengan perlahan bangkit, matanya merah dan di pipinya ada bekas air mata yang mengering. Tangannya memerah dan ada luka yang berdarah. Pakaiannya masih sama seperti kemarin, tapi sudah berantakan bahkan ada yang sobek.

"Yaya ...?" tanyanya dengan suara parau. Matanya seperti setengah sadar.

Yaya menghampirinya dengan hati-hati. Ia memberikan waktu bagi suaminya untuk mencerna kondisinya. Sampai akhirnya mata itu membelalak dan ia justru mundur ketika Yaya berusaha menggapainya.

"Kau ... mau mengucapkan selamat tinggal?"

Pertanyaan itu ditanyakan dengan penuh ketakutan, suaranya serak dan pecah membuat Yaya hampir menangis mendengarnya.

Halilintar dulu pernah mengatakan, mereka semua tak akan selamat bila Yaya meninggalkan mereka.

Yaya berusaha menahan air matanya dan tersenyum pilu. "Aku tidak akan pergi ...," bisiknya lembut.

Suaminya tampak bingung. Dalam kondisi seperti ini, Yaya tak bisa mengenali siapa yang sedang memegang kendali. Namun, itu tidak penting. Karena ia tahu, di dalam tubuh itu, kelima kembaran suaminya itu pun pasti sedang hancur dan terluka.

"Aku tidak akan pergi, aku 'kan selalu bilang begitu...," Yaya mendekati suaminya lagi dengan perlahan.

Boboiboy tampak tidak yakin, namun kali ini tidak menghindar.

"Sungguh?"

Yaya ingin menangis rasanya. Jadi begitu ... suaminya pasti berpikir, karena ibunya tidak merestui pernikahan mereka, maka Yaya akan meninggalkannya. Karena itulah mereka begitu takut kemarin. Karena itulah ...

Yaya membelai wajah suaminya dengan lembut, menghapus sisa air mata yang mengering di sana.

"Aku tidak akan pergi...," ulang Yaya dengan lembut.

Ekspresi ketakutan itu perlahan berubah menjadi lega, badan suaminya yang awalnya tegang perlahan mengendur dan mulai rileks sampai ia menjatuhkan dirinya ke pelukan Yaya.

"Maafkan aku ... maaf ...," rintihnya. Suaranya yang pecah dan penuh isak. Yaya tahu suaminya kembali menangis.

"Sssshhh ... sudahlah...," hibur Yaya pelan, membelai punggung suaminya.

Ia tidak mengerti kenapa suaminya minta maaf.

Padahal ibunya yang menyakitinya.

"Jangan pergi...," pinta suaminya lagi. Memeluk Yaya lebih erat. Pipinya yang basah bertemu dengan pundak Yaya.

"Aku tidak akan pergi...," ulang Yaya lagi, membalas pelukan suaminya lebih erat.

"Maafkan aku ... maaf ... aku minta maaf..."

Yaya tidak bisa menghentikan air matanya yang akhirnya mengalir. Rintihan pilu dan menyayat, seperti anak kecil yang ketakutan membuat hatinya sakit. Terdengar seperti anak kecil yang meminta ampun karena sudah terlalu sering dilukai.

Sang istri hanya bisa memeluk suaminya dengan erat, membiarkan air mata itu mengalir dan untaian maaf terus terucap dari mulutnya seperti radio rusak.

Ia tidak akan pernah bisa meninggalkan suaminya.

Ia tahu suaminya tidak normal, ia tahu mungkin luka yang ada di dalam diri suaminya sudah tidak bisa diobati lagi.

Namun, ia tetap menyayanginya.

Apa adanya.

Karena itu Yaya dengan sabar menanti, sambil membelai punggung suaminya, mereka berpelukan di antara semua barang pecah yang berserakan di sekitar mereka.

To Be Continued

——————————————

Akhirnya! Akhirnya bagian ini beres juga! Hah! Banzaaaiiiii!

Maaf kalau jadinya jelek, dapetin feel-nya susah banget!

Review bila berkenan.

——————————
K O L O M  N U T R I S I
——————————

1. Akankah BoBoiBoy dapat menyatukan kembali kepingan hati yang terluka?

2. Bila kamu mendapatkan penolakan, bagaimana kamu menyikapinya?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 18 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro