Chapter 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di dunia ini tidak ada hal yang lahir dari ketiadaan. Semua yang ada itu ada sebab-akibatnya. Sama seperti perasaan manusia yang muncul diakibatkan oleh sesuatu, meski kadang sebabnya tidak diketahui.

Air sendiri tahu, sebab kenapa orang tuanya tampaknya tidak menyayanginya dan saudara-saudaranya. Jika ada yang bertanya pada dirinya, ia sendiri tidak tahu apa yang ia rasakan untuk perlakuan kedua orang tuanya. Tentu ada rasa kekecewaan, tidak adil, juga rasa sedih dan iri. Namun, ia tidak merasa ia membenci kedua orang tuanya seperti Halilintar dan Api. Ia juga bukan Gempa yang terus berusaha menyenangkan hati kedua orang tuanya dengan susah payah.

Ia dan Taufan berada dalam pihak netral, tidak membenci ataupun mencintai. Banyak orang tua lebih baik dari orang tua mereka, tapi ada juga orang tua yang lebih buruk dari orang tua mereka. Setidaknya, ia masih hidup sampai sekarang, masih disekolahkan, bahkan diberi pekerjaan. Meski ia tidak diberikan kasih sayang yang cukup, tapi ia masih bisa hidup terus sampai sekarang tampaknya adalah sesuatu yang cukup untuk disyukuri.

Lagipula, ia sering berpikir ia tidak bisa menyalahkan orang tuanya yang kurang menyukai mereka semua. Kalau ia ada di sisi mereka... Ah, ia tidak akan bisa membayangkannya.

Air menaruh berkas yang sedang ia baca ke atas mejanya. Ia ingin menarik napas sejenak dari pekerjaan, terutama juga karena tidak ada Alif saat ini, ia sedang sibuk mengurus masalah di sisi lain perusahaan.

Air tidak tahu apa saudara-saudaranya yang lain sama dengannya, tapi ia mengingat kapan ia pertama kali mengerti alasan kenapa sikap orang tuanya seperti itu pada mereka semua.

Flashback

Terlahir dengan kondisi yang aneh, satu tubuh yang dihuni 5 jiwa, masa kecil kelima saudara kembar Boboiboy habis dengan berebut kendali tubuh kecil dan sempit itu. Hingga mereka sadar dengan kondisi mereka dan kemudian masa SD mereka habis dengan mencoba mencari cara untuk bisa berdamai menggunakan tubuh itu.

Bukan sesuatu yang mudah, tentu saja. Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya menjadi mereka, tidak ada yang bisa memberikan jawaban bagaimana mereka harus bisa berdamai dengan satu sama lain. Yang ingin mereka lakukan hanyalah bermain dan melakukan apa yang anak-anak lain lakukan, bukannya hanya diam menanti membiarkan tubuh digerakkan orang lain tanpa bisa melakukan apa-apa.

Rasanya seperti di penjara, rasanya seperti boneka yang digerakan oleh orang lain. Namun, masih bisa merasakan, mendengar, melihat apa yang dialami.

Berdamai dan membagi kendali tubuh bukan sesuatu yang mudah dilakukan, karena komunikasi yang dilakukan hanya bisa dengan satu arah, sulit untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan terjadi pun bukan berarti janji akan dipegang, sehingga perebutan kendali selalu terjadi setiap hari.

Butuh waktu bertahun-tahun, berratus-ratus kali gagal sebelum akhirnya mereka bisa memiliki kualitas hidup yang lebih baik tanpa harus berebut kendali setiap saat.

Yang mereka semua rasakan saat itu, bagaimana baiknya Tok Aba yang ada di sisi mereka dan bagaimana kejamnya orang tua mereka yang tak mau mengerti mereka.

Namun, setelah Tok Aba meninggal, mereka sadar kalau mereka tidak bisa hidup sendirian dan membutuhkan kasih sayang orang tua mereka juga, seperti anak-anak lain di dunia ini.

Jadi, mereka semua sepakat untuk mencoba memenangkan hati orang tua mereka. Mereka juga bisa berprestasi, membuat bangga, meski kondisi mereka memang tidak normal.

Halilintar pulang dengan membawa piala di tangannya, wajahnya tetap tenang tapi lebih cerah dari biasanya meski ada beberapa luka di wajahnya. Ia senang, atau mungkin kalau menurut saudara-saudaranya yang lain, begitu gembira, karena sudah memenangkan kejuaraan karate tingkat kota. Orang tuanya memang tidak sempat datang, bukan hal yang mengejutkan, tapi ia tetap senang bisa membawa pulang piala yang cukup besar.

Meski ketika sampai di rumah ia sedikit jengah melihat keadaan yang ramai. Ia lupa ibunya tidak menonton pertandingannya hari ini karena hari ini ada bakti sosial di rumahnya, atau lebih tepat disebut pengajian, entahlah ia kurang paham. Meski sebenarnya tidak ada acara sekalipun, Halilintar ragu ibunya akan datang menonton, tapi itu tidak penting sekarang.

Ia masuk rumah dengan menyelip di antara orang-orang, berusaha mencari sosok ibunya. Ia tahu ia tidak boleh berharap terlalu banyak, tapi sulit menahan luapan emosi karena akhirnya mendapatkan target yang sudah ia kejar. Ia ingin tahu, apakah jerih payahnya selama ini bisa membuahkan hasil.

Ia menemukan ibunya, di antara lautan orang dewasa dan anak-anak, sedang berbincang-bincang dengan beberapa orang juga menggendong balita di lengannya.

"Bunda."

Ibunya menoleh padanya, sejenak dari wanita paruh baya yang lembut berubah menjadi tanpa ekspresi begitu bertemu matanya.

Halilintar tidak mengatakan apa-apa, juga tidak tersenyum, hanya menyodorkan piala yang ada di tangannya.

"Wah, anaknya Ibu hebat sekali..."

"Menang kompetisi karate... wow... hebat, hebat!"

Yang Halilintar dengar adalah pujian dari orang-orang sekitarnya, bukan dari ibunya yang masih diam.

"Bersihkan wajahmu dan masuk kamar."

Hanya satu kalimat tanpa kata pujian dan ibunya berbalik meninggalkannya.

Halilintar terdiam di tempatnya, tidak percaya ibunya tidak mengatakan apa-apa akan prestasi yang sudah ia raih dengan susah payah. Sedikit pujian pun tidak apa-apa, ia tidak mengharapkan sesuatu yang kelewat muluk. Beberapa saat yang lalu saat menerima piala ini pun, ia hanya bisa diam sendirian melihat juara-juara di bawahnya dipeluk dan dicium keluarga merreka.

Rasa kecewanya perlahan berubah menjadi amarah. Piala yang ia genggam ingin rasanya ia banting ke lantai untuk menarik perhatian ibunya, tapi ia tahu sebaiknya ia tidak melakukan itu. Tidak akan menguntungkan siapapun, tidak ada gunanya juga.

Jadi Halilintar hanya bisa naik ke lantai dua, menuju kamarnya yang ada di sudut rumah.

Matanya sempat berhenti memperhatikan ibunya yang tengah membelai anak-anak lain dengan penuh sayang.

Halilintar segera mengalihkan matanya, berusaha meredam amarah yang semakin membakar dadanya.

Semua perjuangannya sia-sia, semua latihan, luka, waktu, keringat, semuanya... Rasanya seperti orang bodoh saja, berusaha sekeras itu tapi tidak mendapatkan apa-apa.

Halilintar terkejut saat ia merasakan sensasi yang sangat familier- tapi tidak ia suka. Tangannya gemetaran dan menjadi kelu.

Ada yang sedang berusaha merebut kendali tubuhnya dengan paksa. Padahal mereka semua sudah sepakat untuk tidak mengambil kendali sampai batas waktu perjanjian atau ada yang melepas kendali dengan suka rela.

Halilintar jatuh berlutut, tubuhnya seperti kejang, bergemetar hebat di luar kendali, tapi ia menutup rapat mulutnya agar tak ada suara yang keluar. Ia tidak boleh menarik perhatian orang-orang yang ramai di lantai satu.

"...Api... sialan... jangan bodoh...," protes Halilintar dengan segala kontrol yang masih tersisa. Hanya Api yang akan melakukan hal ini di saat seperti ini. Halilintar ingin merayap masuk ke kamarnya, tapi sebagian besar tubuhnya sudah tidak bisa ia kendalikan lagi.

Namun pada akhirnya ia sudah kehilangan kendali akan tubuhnya.

Api segera bangkit, mengambil pialanya yang sempat terjatuh ke lantai saat ia berebut kendali tadi. Seharusnya Halilintar marah dengan apa yang ibunya perbuat, ia melihat sendiri bagaimana perjuangan saudaranya itu untuk bisa meraih juara ini. Saat menerima piala ini pun, Api berharap Halilintar tahu kalau ia bersorak-sorak dalam hatinya dengan senang.

Seandainya mereka adalah saudara-saudara normal yang tidak terjebak dalam satu tubuh...

Namun, apa-apaan sikap ibunya itu! Tidak adil! Kenapa malah sibuk mengasuh anak-anak lain ketika anaknya sendiri pun tidak pernah diberi kasih sayang!?

Dengan penuh amarah, Api kembali turun ke lantai satu, matanya berusaha menemukan ibunya yang dingin.

"MAMA!"

Teriakan kencang itu berhasil membuat ibunya menoleh padanya, juga menarik perhatian-perhatian orang-orang lain. Biar saja, biar semua orang tahu seperti apa ibunya sebenarnya.

"Kenapa Mama tidak mengatakan apa-apa? Aku tidak mengharapkan hadiah, aku cuma mau ucapan selamat! Tapi, ternyata... sama saja! Tidak ada gunanya! Mama bodoh!"

Api membanting piala di tangannya ke lantai dengan sekuat tenaga.

Piala emas berkilau itu seketika hancur berkeping-keping dengan suara yang membuat hening semua orang. Api menatap ibunya yang tampak terkejut, puas, kalau bisa ia ingin membuat ibunya semakin marah, jadi setidaknya ia tahu apa yang sedang dirasakannya sekarang.

"Susi! Doni!" Ibunya langsung menerikan dua nama yang membuat Api tersentak. Buyar semua rasa amarah, hanya ada rasa takut.

Api berbalik, berusaha lari, tapi banyaknya orang-orang yang ada di sekitarnya membuatnya sulit bergerak.

Pada akhirnya ia melihat dua orang berpakaian serba putih berkelebat di sudut pandangannya. Tangannya segera dikunci ke belakang punggungnya dan Api jatuh ke lantai, kesulitan bergerak dengan beban yang mengunci gerakannya di atas tubuhnya.

Satu pria dewasa sudah mengunci gerakannya dan satu wanita menatapnya dengan wajah serius.

Saat ada sesuatu di tekan ke badannya ia meraskan sengatan listrik menyakitkan yang sangat familier, teriakan Api tenggelam di tangan seseorang yang menutup mulutnya sebelum pandangannya menjadi gelap dan kesadarannya pun hilang. Ia juga tak bisa merasakan tetesan air mata yang mengalir di pipinya.

Saat kesadarannya kembali, yang mengambil kendali adalah Taufan. Saat kesadaran hilang mendadak, maka tidak ada rencana sebelumnya siapa yang akan mengambil kendali. Biasanya terjadi secara acak, tergantung siapa yang mengambil kendali paling cepat.

Kalau boleh memilih, Taufan paling benci terbangun pada saat seperti ini.

Terbangun dengan tangan yang diikat ke tempat tidurnya dan juga infus yang menancap di tangannya yang lain.

Ia menatap seorang suster perempuan yang sedang berdiri, matanya fokus mengisi suntikan dari vial. Taufan tidak terlalu tahu apa obat itu, semacam anti depresan atau sejenisnya. Suster itu menjetikkan jarinya beberapa kali ke suntikannya untuk menghilangkan udara sebelum menyuntikkannya ke dalam infus.

Mata mereka bertemu, suster itu hanya tersenyum sopan padanya.

"Boleh minta tolong lepaskan ini?" tanya Taufan menarik tangannya yang diikat ke tempat tidur, ingin bercanda tapi merasa kondisi yang terlalu menyedihkan untuk dibuat jadi lelucon.

Suster itu, Susi kalau tidak salah namanya, memperhatikannya sebentar, sebelum mencatat sesuatu di papan jalan yang selalu ia bawa sebelum akhirnya melepaskan ikatan di tangan Taufan.

Begitu lepas, Taufan segera memijat pergelangan tangannya dan tersenyum canggung pada suster itu.

Suster itu pun pergi tanpa mengucapkan apa-apa.

Taufan paham kenapa ia diikat, Api kalau mengamuk memang lumayan mengerikan makanya setelah hilang kesadaran, untuk jaga-jaga ia akan diikat agar tidak kembali mengamuk. Untung tadi Api cuma menghancurkan piala miliki Halilintar sebelum dilumpuhkan oleh suster-suster yang ahli menangani pasien sakit jiwa itu.

Taufan mengelus ke tengkuknya, mencoba meraba bekas shock gun yang menyetrumnya tadi.

Menyedihkan dan memalukan ... di hadapan orang banyak diperlakukan seperti pelaku kriminal seperti itu. Ia bisa mengingat pandangan dingin ibunya saat memanggil para suster itu. Marah pun tidak, hanya terlihat dingin dan tak berekspresi. Taufan berkedip beberapa kali agar matanya yang sudah berkaca-kaca tidak meneteskan air mata.

Namun, sebenarnya ia tidak merasa terlalu sedih, hanya ada perasaan hampa dan agak mengantuk. Mungkin karena efek obat yang diberikan padanya.

Matanya kemudian bergulir melihat piala pecah yang ada di meja belajarnya.

Ia pun menghampiri piala itu, sebenarnya ia merasa sangat kecewa dengan reaksi ibunya tadi tapi ... mau diapakan lagi? Kasihan Halilintar sudah berusaha keras mendapatkan piala ini, jadi Taufan akhirnya menghabiskan waktu membetulkan piala yang hancur itu.

Setelah puas dengan piala yang sudah kembali berdiri, meski banyak perekat, lem, dan bahkan stiker di sana sini, infus juga sudah habis dan dicabut, Taufan membiarkan dirinya melepaskan kendali.

Gempa menatap pekerjaan Taufan, tidak terlalu buruk, tapi ia tetap merasa piala ini akan menjadi kenangan menyakitkan untuknya. Namun piala ini akan disimpan atau tidak itu hak Halilintar, ia tidak mau ikut campur.

Ketika ada yang mengetuk pintu, Gempa tahu sang suster mengantarkannya makan malam di atas nampan. Makanan yang mengingatkan Gempa akan makanan rumah sakit, tapi ia tetap memakannya tanpa protes. Setidaknya kali ini ia tidak diberi obat lagi, apa dosis obatnya sudah diganti? Ia tidak tahu dan tidak peduli karena merasa obat-obat itu tidak ada pengaruhnya untuknya.

Selesai makan malam, Gempa menyingkirkannya nampannya di meja dekat pintu kemudian mengecek apakah pintu kamarnya dikunci. Bukan sekali dua kali ia akan dikurung dalam kamar selesai insiden mengamuk.

Gempa mengembuskan napas lega saat pintunya bisa dibuka.

Ia suka berada di dalam kamar, terhindar dari mata-mata orang-orang yang menyakitkan, tapi ia juga tidak suka bila kamarnya menjadi seperti penjara.

Tidak lagi terdengar suara orang ramai, itu artinya acara ibunya sudah selesai. Gempa mengendap-ngendap keluar, ingin ke teras belakang rumah dekat kolam, tempat yang sepi dan cocok baginya untuk menarik napas.

Ia berhenti saat melihat di ruang tamu di lantai dua dekat balkon, ruang tamu yang lebih santai dibandingkan dengan ruang tamu di bawah, ia bisa melihat ayah, ibunya serta pamannya sedang berbincang di sana.

Pamannya juga bekerja di Aba Corporation bersama dengan ayahnya, Gempa cukup familiar dengannya meski ia tidak begitu menyukainya. Entahlah, rasanya di balik senyum ramahnya, ada sesuatu.

"Jadi, kau berhasil memenangkan tender perusahaan itu?"

"Ah, itu bukan hal sulit, cuma perusahaan kecil, tapi sepertinya masih bisa menghasilkan profit..."

Gempa hanya mengernyit karena tidak pernah mengerti percakapan bisnis ayahnya.

"Oh ya, bagaimana dengan anakmu?"

Saat itu, Gempa yang hendak pergi segera berhenti melangkah. Ia diam di tempatnya di balik dinding.

"...Ah yah, seperti biasa..."

"Masih seperti itu?"

"..."

Telapak tangan Gempa mengepal erat. Ia tidak tahu harus merasa bagaimana, sedih, marah, atau malu. Atau mungkin campuran ketiganya. Ia tahu seharusnya ia pergi saja, untuk apa terus berada di sana. Namun, entah kenapa tubuhnya tak mau mendengarkannya seakan ada saudaranya yang sudah mengambil alih tubuhnya.

"Kau harus berhati-hati lho, dia kan akan jadi pewaris perusahaan suatu saat nanti..."

"Yah, dia masih kecil, waktu masih panjang."

Gempa berusaha mengintip sedikit ekspresi kedua orang tuanya. Ibunya sejak tadi tidak mengatakan apapun, hanya duduk diam dengan sikap tubuh yang apik sempurna.

"Mungkin sebaiknya kau memiliki anak lagi, kalau tidak posisi penerus perusahaan akan jatuh ke anakku... ups maaf, aku lupa kalau istrimu-"

Badan Gempa menegang saat ia mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya, berharap bayangan gelap bisa menyembunyikan dirinya. Ia kemudian melihat ibunya melewatinya, ibunya menyadari kehadirannya karena matanya sempat bergulir ke arahnya tetapi ia tidak mengatakan apapun dan terus melangkah pergi.

Gempa terbiasa melihat wajah ibunya tanpa ekspresi atau dingin atau lembut di depan orang lain. Baru kali ini ia melihat wajah ibunya begitu terluka, matanya tampak berkaca-kaca meski tidak meneteskan air mata.

"Saya minta, Kakak pergi sekarang juga."

"Maaf, hahaha, sungguh aku tidak bermaksud-"

"Tolong pergi."

Lalu Gempa melihat ayahnya juga melewatinya, dan sepertinya sama sekali tidak sadar akan kehadiran Gempa , mungkin mengejar ibunya. Berbeda dengan ibunya, ayahnya tampak sangat marah, dengan wajah tertekuk dan memerah.

Gempa termenung melihat kepergian keduanya, sedikit tidak paham apa yang baru saja terjadi.

Pewaris perusahaan, kondisinya, ibunya yang tidak bisa memiliki anak lagi...

Apa itu maksudnya, karena kondisinya seperti ini maka ia tidak layak jadi pewaris perusahaan ayahnya? Lalu, ibunya yang tidak bisa memiliki anak lagi artinya kalau bukan dirinya, maka posisi pewaris perusahaan akan jatuh ke sepupunya?

Perlahan-lahan Gempa mulai mengerti. Ia tahu bagaimana Tok Aba dan ayahnya mengerahkan segenap jiwa dan tenaga untuk membangun perusahaan, memulai bisnis dari nol hingga menjadi perusahaan besar seperti sekarang. Bagaimana ayahnya bekerja siang malam memimpin perusahaan. Lalu, perusahaan itu justru akan jatuh ke tangan pamannya kalau tidak memiliki pewaris?

Lalu ibunya...

Gempa tahu, ibunya sudah tidak bisa memiliki anak lagi, ia kurang mengerti kondisinya, karena ada kista di rahim atau apa...

Apa ibunya merasa telah gagal memberikan anak calon pewaris perusahaan untuk ayahnya?

Karena kondisi Gempa seperti ini...

Gempa mengurungkan niat untuk pergi ke teras belakang, ia kembali menuju kamarnya. Semakin lama langkahnya semakin cepat sebelum ia akhirnya berlari.

Semakin lama ia semakin mengerti. Alasan kenapa ayah dan ibunya seakan tidak mensyukuri kelahirannya...

Karena bagi ayahnya ia bukan calon pewaris perusahaan...

Karena bagi ibunya ia adalah pengingat kalau ibunya sudah gagal memberikan keturunan yang bisa meneruskan perusahaan... dan juga mungkin merasa telah gagal sebagai istri untuk ayahnya...

Itulah jawaban kenapa hubungan ayah dan ibunya selama ini tidak begitu akur, di antara mereka seperti ada perang dingin meski jarang bertengkar tapi juga jarang berinteraksi dengan satu sama lain.

Itulah jawaban kenapa ayah dan ibunya tidak menyayangi mereka...

Bukan cuma karena keberadaan mereka memalukan, tapi juga karena mereka tidak ada gunanya, cuma menjadi beban dan aib yang harus ditanggung.

"Uuhh... hiks... hiks..."

Gempa berusaha menghentikan tangisannya namun tidak sanggup. Ia memandang piala yang penuh perekat dan plester dan menangis semakin keras.

Kenapa ia lahir dengan kondisi seperti ini? Kenapa ia tidak seperti anak normal?

Kenapa tubuh ini tidak ikut mati saja bersama dengan empat tubuh saudara-saudaranya yang lain?

Flashback End

"Pak Direktur?"

Air tersentak dari lamunannya, agak sedikit merengut saat melihat Alif ada di depannya.

"Sudah waktunya meeting, Pak Direktur tidak apa-apa?"

"...tidak apa-apa... tunggu sebentar," kata Air, menahan diri untuk menghela napas. Ia membereskan berkasnya yang belum terbaca dan bangkit dari kursinya.

"Saya ke kamar mandi dulu," katanya selewat pada Alif.

Anak asuh orang tuanya itu mengangguk, Air memandangnya sebelum ia menutup pintu kamar mandi di dalam ruangan kantornya.

Kalau ayah dan ibunya memiliki anak seperti Alif, tampaknya mereka akan jauh lebih bahagia...

Namun, apa mau dikata...

IoI

Saat ranjang berbunyi di malam hari dan ada seseorang yang mendekapnya dari belakang, Yaya tahu itu pasti suaminya. Sudah lebih dari dua bulan mereka menikah, ia sudah semakin terbiasa dengan tabiat suaminya itu.

"Kenapa kita tidak sekamar saja sih? Padahal kita hampir setiap hari tidur bersama..." tanya Yaya dengan sedikit mengantuk. Mencoba mengungkit masalah bagaimana semua kembaran suaminya bersikeras untuk memiliki kamar terpisah saat mereka pindah rumah.

Suaminya tidak mengatakan apapun, hanya menghela napas berat dan menenggalamkan kepalanya ke pundak Yaya.

Sang istri tersenyum tipis, berusaha mengganti posisinya agar ia bisa menghadap suaminya.

Suaminya belum menutup matanya, tapi juga tidak menatap mata Yaya. Pandangannya tampak sendu. Dari cahaya lampu tidur yang temaram, Yaya bisa melihat kantung mata suaminya yang mulai menghitam.

Ia tidak bodoh, ia tahu beberapa hari belakangan ini suaminya tampak tertekan dan stres. Tapi ia menolak untuk menceritakan masalahnya.

'Cuma masalah perusahaan' begitu jawab mereka.

Yaya tidak percaya tapi juga tidak ingin menekan. Ia akan menunggu sama mereka menceritakan sendiri masalah mereka.

"Kenapa? Mimpi buruk?" tanya Yaya lembut.

Suaminya mendesah, tidak menjawab apapun, tangannya mengambil tangan Yaya dan memainkannya.

"Mau kubuatkan sesuatu?" tanya Yaya lagi, sadar semenjak masuk ke kamarnya, suaminya belum mengatakan apapun.

Ia menggeleng dan memejamkan mata, tangannya menggenggam erat tangan Yaya, seakan tak mau melepaskannya.

"Mau kunyanyikan Nina Bobo?" tanya Yaya lagi.

Ia kembali menggeleng dan tampak berusaha menyamankan dirinya untuk tidur.

Yaya mendesah pelan, ia merapikan poni suaminya yang menutupi matanya, menarik helai rambut itu ke belakang telinga sebelum membaringkan diri lebih dekat, mengenggam balik tangan suaminya dan berusaha untuk kembali tertidur.

Ketika beberapa jam kemudian sang istri merasakan dekapan erat suaminya serta isak tangis pelan dan bahunya yang basah, Yaya tidak mengatakan apapun, hanya bisa membelai sampai suaminya kembali tertidur.

Keesokan harinya ia tidak mengatakan apapun mengenai hal itu dan keduanya bersikap seakan semalam tidak terjadi apa-apa.

Karena Yaya tidak merasa ia butuh penjelasan di balik air mata itu. Jika sekarang suaminya merasa sudah cukup untuk bisa menangis di pelukan Yaya, maka istrinya tidak merasa masalah dengan hal itu.

Ia hanya berharap ia bisa menghentikan tangis itu. Tapi entah bagaimana caranya.

Tbc

--------------

Maaf kalau kurang nge-feels, seperti biasa nulis bagian flashback itu susah... Dan maaf juga kalau agak pendek.

Oke, silakan review bagi yang berkenan.

----------
K O L O M N U T R I S I
----------

1. Sudah paham 'kan alasan Ayah dan Bunda membenci anaknya (BoBoiBoy)?

2. Tidak diakui sebagai anak sendiri rasanya menyakitkan. Kalau kamu kesal kepada orang tua karena apa?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 20 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro