Chapter 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf ya update lama, setelah ini update bakalan lebih random, tapi kuusahain untuk tamat sampai akhir. Tolong doain aja.

Enjoy this chapter

————————————

Hidup manusia itu seperti roda yang berputar, kadang di atas kadang di bawah. Tidak selamanya selalu bahagia, tapi juga berganti dengan kesedihan ataupun keterpurukan.

Meski bagi Taufan, hidup mereka seperti roda yang tersangkut dan sulit sekali untuk berputar.

Berlebihan rasanya jika ia mengatakan hidup mereka kembali buruk seperti dulu sebelum menikah dengan Yaya. Tentu tidak, di saat itu hidup seperti neraka duniawi. Mengerikan sekali, sama sekali bukan sesuatu yang indah untuk dikenang, apalagi untuk diulang kembali.

Tapi lalu kenapa kondisi mental mereka berlima memburuk dengan drastis seminggu ini?

Jawabannya, bukan hanya karena penolakan dari ibu Yaya, tapi juga sosok Alif yang kini menghantuinya setiap saat.

Alif ...

Bukan berarti mereka berlima membenci asisten mereka itu. Tidak, justru kebalikannya.

Karena mereka tidak punya alasan untuk membenci Alif, justru membuat segalanya makin sulit.

Karena Alif adalah sosok yang mengingatkan mereka kalau apapun yang mereka lakukan, mereka tidak akan pernah menjadi pemuda sempurna dan normal seperti dia.

Tidak sulit bagi sang asisten untuk membaur dan dikenal oleh orang-orang kantor. Bahkan untuk sang bos yang jarang berbaur itu, ia sering mendengar banyak gosip bagaimana banyak wanita lajang di kantornya mengincar Alif, karena pemuda itu masih lajang.

Ia tampan, ramah, sopan, pandai bergaul, cerdas dan punya banyak koneksi. Apa lagi yang kurang? Ia sama sekali bukan tokoh antagonis di sinetron murahan yang sering tayang di televisi. Ia cuma pemuda baik hati yang diangkat menjadi anak asuh oleh orang tua mereka sejak kecil.

Ia juga tidak 'menjual' rahasia mereka begitu saja. Tidak juga menggunakan hal itu menjadi bahan pemerasan ataupun ancaman. Ia murni menjaga, mengawasi dan membantu mereka bekerja.

Sulit untuk membencinya, tapi sosoknya membuat mereka berlima merasa semakin buruk.

Rasanya seperti ketika hitam disandingkan dengan putih, warna hitam itu semakin menonjol, semakin terlihat gelap dibanding ketika disandingkan dengan warna lainnya. Awalnya hanya mereka sendiri yang merasakannya, tapi orang-orang kantor pun mulai menyadarinya.

"... mungkin kalau bukan karena bos itu dari keluarga Aba, mungkin Alif yang jadi bosnya, please dia terlalu pintar untuk jadi asisten ..."

"... dia bahkan bisa mengambil hati kepala bagian Pak Joni yang keras kepala itu lho..."

"...aduh dia itu suami idaman banget deh..."

Taufan memijit keningnya. Ia mulai merasa iri dengan Alif. Pemuda dari keluarga sederhana itu tampak begitu sempurna dibanding dengan dirinya. Tidak perlu bersusah payah untuk bergaul dengan orang lain, tidak perlu berpura-pura normal, tidak perlu ketakutan rahasianya akan bocor setiap saat—

"Pak Direktur?"

Taufan tersentak, orang yang sedang ia pikirkan kini ada di depannya, membuat suasana hatinya semakin memburuk.

"Rapatnya sudah akan dimulai, ada baiknya Pak Direktur ke ruang rapat sekarang," jelas Alif. "Atau Pak Direktur perlu waktu lagi?" tanyanya.

Taufan segera menggeleng. Karena tahu kondisi khususnya, atau lebih tepatnya, percaya kalau ia menderita sakit jiwa, Alif memperlakukannya dengan hati-hati. Membuatnya semakin merasa berbeda dan asing di kulitnya sendiri.

"Tidak apa-apa," Taufan segera bangkit. Mereka berdua segera keluar dari ruangan direktur menuju ruang rapat.

"Untuk jadwal hari ini, jam 1 siang ada meeting dengan klien dari Amerika...," Alif membacakan jadwal harian dari notes-nya. Taufan menahan diri untuk tidak mengeluh.

"...dan saya mengingatkan besok, ayah Anda ulang tahun."

Kali ini Taufan menggerutu pelan. Bagus sekali.

Alif hanya diam, tidak berkomentar apa-apa atas gerutuan bosnya.

"Tuan Besar akan menyelenggarakan pesta kebun di malam harinya, Anda dan istri Anda bisa datang 'kan?"

Oh bagus, bukan hanya harus menderita datang ke pesta ayahnya, tapi juga akhirnya Yaya akan bertemu dengan Alif. Taufan sama sekali tidak menantikan esok datang.

Karena ia tahu besok akan menjadi hari yang buruk.

IoI

Kebanyakan orang tua ingin anaknya hidup bahagia.

Siapa yang rela menikahkan anaknya dengan seseorang yang sakit jiwa?

Yaya sebenarnya mengerti jalan pemikiran ibunya. Setelah insiden pengusiran suaminya oleh ibunya, hubungan Yaya dan ibunya menjadi sedikit renggang. Masih sulit bagi ibunya untuk menerima Boboiboy menjadi menantunya, tapi ia mencoba menghargai pilihan Yaya.

Setiap ibunya memandangnya, pandangannya terlihat kompleks. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi menahannya.

Yaya pun jadi sulit bercakap-cakap dengan ibunya. Ia takut bila ia salah bicara, ibunya akan kembali mengungkit soal suaminya. Meski ia tahu ia seharusnya berusaha menjelaskan kondisi khusus suaminya, bukan semata-mata karena penyakit jiwa.

Namun, hal yang sama sekali berbeda.

Padahal Yaya benar-benar butuh untuk konsultasi masalah pernikahannya.

Seminggu ini, ia sadar suaminya sedang mengalami stres berat. Entah karena apa, tidak ada yang mau menjelaskan apapun padanya. Mereka semua berusaha menyembunyikannya, sambil berkata kalau mereka ingin menyelesaikannya sendiri.

Hampir setiap malam, ada air mata yang mengalir membasahi bahu Yaya.

Sejujurnya Yaya sudah sampai batasnya, ia sudah tidak tahan dan ingin rasanya ia memaksa suaminya untuk jujur padanya. Namun, tentu ia tidak melakukannya. Karena orang seperti mereka tidak bisa dipaksa.

Ia tidak tahu harus melakukan apa, tapi jelas ia tidak mau diam saja. Namun, ia juga sedang sulit untuk berbicara pada ibunya, jadi Yaya hanya bisa melamun di rumah, sama sekali tidak produktif.

'Ini yang dirasakan mereka semua ketika sedang mengalami masalah ya?' batinnya berkata.

Tidak punya seorang pun untuk berkonsultasi, hanya bisa memikirkan semuanya sendiri. Yah, meski sebenarnya mereka punya lima pikiran, tapi sepertinya hasilnya sama saja.

Yaya kemudian membuka handphone-nya, seperti yang suaminya pernah katakan, satu-satunya tempat mereka berkonsultasi adalah di internet. Jadi Yaya mencoba mentukan apa yang sebenarnya ia ingin cari. Ia ingin membantu masalah suaminya, tapi ia tidak tahu masalah apa itu. 'Cara mendukung suami' mungkin yang paling mendekati apa yang ia mau.

Artikel-artikel bermunculan di laman pencarian, entah bisa dijamin kebenarannya atau tidak. Yaya mengklik tautan paling atas. Separuh hatinya merasa absurd dengan apa yang ia lakukan. Namun, bila ada orang yang bisa berkonsultasi soal hubungan suami istri kepada dokter di internet, kenapa tidak dengan dirinya?

Seandainya saja, ibunya mau mengerti keadaan Yaya dan suaminya, ia tidak perlu sampai seperti ini.

IoI

"Assalamu'alaikum."

Tegarkan hati, jangan membuatnya khawatir, jangan menangis lagi malam ini. Gempa berusaha memasukkan sugesti ke dalam dirinya. Ia berusaha untuk tidak pulang dalam keadaan wajah tertekuk. Ia tidak ingin membuat Yaya khawatir hanya karena sekarang ia sedang bergulat dengan kepercayaan dirinya yang tengah hancur.

"Wa'alaikumsalam."

Ia berusaha tersenyum ketika melihat Yaya.

Dari matanya, Yaya sepertinya menyadari kalau ia sedang berusaha menyembunyikan masalahnya, senyumannya mungkin terlalu aneh dan dipaksakan tapi sang istri tidak mengatakan apapun.

Saat Yaya mendekatinya, Gempa kira ia akan mencium tangannya seperti biasa. Tapi ia terkejut saat Yaya mencium bibirnya dengan lembut.

Ia sampai terpaku dan tidak bisa merespons. Kemudian ia ingat kalau sudah terlalu lama ia belum mencium istrinya ini lagi.

Jujur Gempa merasa begitu senang, tapi juga muncul semburat perasaan bersalah dan perasaan tak layak yeng mengganggu di kepalanya.

Ia, mereka menikah dengan Yaya karena mereka berhasil menipunya. Kemudian menjebaknya ke dalam pernikahan dengan perasaan kasihan.

Kenapa Yaya mau terus bersama mereka yang seperti ini?

Di balik semua harta dan topeng mereka, mereka hanyalah pemuda dengan kondisi aneh yang bahkan tidak tahu caranya membahagiakan orang lain.

Mereka tidak layak untuk wanita baik hati seperti Yaya.

Sama sekali tidak layak. Namun, pada saat yang sama mereka tak mampu melepaskan Yaya.

Mereka egois.

Yaya menarik bibirnya, wajahnya tampak bingung karena Gempa sama sekali tidak merespons ciumannya.

"...menurutmu hadiah apa yang cocok untuk Ayah?" Gempa berusaha untuk bersikap tidak tahu apa-apa. Ia bisa melihat kekecewaan di mata Yaya, sebagian hatinya kembali menyalahkan dirinya 'bagus, kau melukainya lagi', tapi ia berusaha mengenyampingkannya.

"Ayah kenapa memangnya? Ulang tahun?" tanya Yaya, sepertinya akhirnya memutuskan untuk ikut bersikap biasa.

"Iya, besok, malamnya diadakan pesta, kita harus datang," jawab Gempa sambil lalu, ia memandang ke arah lain selain mata Yaya. Ia tak sanggup untuk bertemu pandang dengan istrinya itu.

"Aku kurang tahu kesukaan ayahmu ... jam tangan mungkin?" jawab Yaya.

Gempa mengangguk, dalam hati sebenarnya ia tidak peduli memikirkan hadiah untuk ayahnya. Ayahnya bisa membeli apapun yang dia mau, jadi apapun yang ia belikan untuknya, tak ada artinya.

"...Gempa...," Yaya menyentuh pundaknya, akhirnya bertemu mata dengannya.

Mata yang lembut dan pengertian, tapi juga penuh rasa khawatir dan kesedihan. Gempa hanya mampu melihatnya selama sepersekian detik sebelum mengalihkan pandangannya lagi.

"Aku mau mandi," katanya kaku dan segera pergi meninggalkan Yaya.

Ya Tuhan, ia ingin sekali memeluk Yaya dan kemudian menangis. Ia ingin meminta maaf dan juga berterima kasih. Yaya adalah segalanya baginya, tapi tahu mereka tak layak mendapatkan wanita sebaik Yaya.

Mungkin seharusnya, bila tidak menikah karena terpaksa dengannya, Yaya akan menikah dengan orang lain. Pemuda baik dan sederhana yang ia cintai. Kemudian mereka akan menjalankan bisnis restoran kecil milik keluarga Yaya bersama. Mereka akan dikaruniai beberapa buah hati yang manis. Kemudian mereka akan menjadi keluarga yang harmonis,

Tidak sulit membayangkan semua itu.

Mungkin kalau ini adalah sinetron, bisa jadi mereka adalah karakter penghalang Yaya dengan cinta sejatinya.

Mungkin sebenarnya Yaya akan lebih bahagia bila mereka tidak pernah hadir di kehidupannya.

... dan besok Yaya akan bertemu dengan Alif...

...dan mungkin akhirnya akan sadar, betapa aneh dan buruknya suami yang telah ia nikahi selama ini...

Air mata Gempa mengalir tanpa isak tangis.

Ia tahu ia tidak akan bisa tidur malam ini, kemudian akhirnya menyelinap ke kamar Yaya, meski penuh perasaan tak layak dan rasa bersalah, ia tetap memeluk istrinya itu dan menangis dalam diam.

Ia benci sekali dirinya yang seperti ini.

IoI

"Sudah siap?"

Yaya mengangguk. Ia memandang Halilintar yang menolak bertemu mata dengannya. Setelan jas yang ia kenakan tampak rapi dan elegan, tapi wajahnya kaku seperti siap terjun ke medan perang.

"Kukira Gempa yang akan menghadiri pesta," katanya.

"Aku cuma menyetir sampai rumah," katanya. Yaya mengangguk, sudah paham kalau hanya Gempa yang bisa berinteraksi dengan kedua orang tua mereka.

Yaya meraih lengan Halilintar, akhirnya ia mau melihat matanya.

Kemarin ia melihat mata Gempa yang begitu pilu, penuh perasaan bergejolak, mata yang memandang Yaya seakan Yaya adalah segalanya baginya, tapi juga begitu sedih dan tersiksa. Yang ia lihat dari mata Halilintar adalah sebuah tembok yang membentengi emosinya, hampir tidak terbaca, hanya terlihat kemarahan yang terpendam.

Namun, kemarahan itu bukan untuk Yaya.

Mungkin untuk kedua orang tuanya, atau situasi yang mereka akan hadapi.

"Ayo berangkat."

Yaya mengangguk, memandang punggung Halilintar yang berjalan mendahuluinya.

"Kalian tidak perlu takut, ada aku."

Halilintar berhenti berjalan sejenak, Yaya menggunakan kesempatan itu untuk menyandarkan dirinya ke punggung suaminya.

"Aku akan selalu ada di samping kalian."

Halilintar tidak mengatakan apapun, hanya kembali berjalan dan Yaya hanya mengikutinya dari belakang.

Di dalam mobil, mereka hanya duduk diam. Yaya sendiri berusaha untuk menegarkan hati. Jujur ia masih merasa canggung dengan kedua mertuanya, belum lagi di pesta akan penuh dengan orang-orang yang tidak ia kenal, orang-orang yang jelas berbeda level dengannya.

Ia memandang wajah suaminya, yang begitu serius tapi juga suram.

Ia berdoa dalam hati, semoga malam ini tidak menjadi malam yang buruk.

IoI

Suasana pesta ulang tahun milik keluarga papan atas memang berbeda. Yaya hanya mampu memandang takjub dekorasi lampu-lampu hias yang begitu apik dan juga meja-meja yang dipenuhi berbagai makanan lezat yang memenuhi halaman belakang rumah orang tua Boboiboy.

Semua orang yang hadir tampaknya merupakan orang-orang penting bahkan selebritis. Yaya berjalan dengan kikuk, merapatkan diri ke suaminya.

"Yaya... syukurlah kamu bisa datang...," Bunda menyambut Yaya dengan senang hati, entah dengan sengaja seperti menganggap Gempa di sebelahnya seakan kasat mata dengan terang-terangan. Yaya hanya bisa tersenyum canggung, berusaha menahan pedih dengan perlakuan yang diterima suaminya.

"Ayah dimana, Bunda?" tanya Gempa, tampaknya sudah terbiasa dengan perlakuan dingin ibunya. Wajahnya yang biasanya hangat dan lembut, kini terlihat tanpa ekspresi dan kaku.

"Ada di sana dengan teman-temannya, sedang membicarakan bisnis atau apa lah," jawab sang bunda. Gempa berjalan menghampiri sang ayah, Yaya hendak mengikutinya, tapi lengannya ditarik oleh sang bunda.

"Ada yang mau Bunda kenalkan ke kamu, ayo ikut," menoleh, melihat Gempa sedang berbicara pada ayahnya, sembari memberikan kado yang sudah ia beli. Namun, sang mertua menariknya lebih jauh, Yaya hanya bisa mengikutinya dengan pasrah.

"Alif, kemarilah," bundanya memanggil seseorang. Dari suatu kelompok orang-orang yang sedang mengobrol dan menikmati hidangan yang ada, salah satunya menarik diri.

Yaya melihat seorang pemuda menghampiri ia dan mertuanya. Ia cukup tampan, kelihatannya baik dan sopan.

"Ini Alif, salah satu anak asuh Bunda, Alif, ini Yaya yang sering Bunda ceritakan."

"Anak asuh...," gumam Yaya sedikit tercengang. Tidak percaya sang mertua yang begitu dingin dengan anak kandungnya sendiri, memiliki anak asuh seperti ini.

"Ah ternyata ini Nona Yaya yang sering diceritakan Bunda. Perkenalkan saya Alif," katanya mengulurkan tangan. Yaya dengan kikuk menyambutnya.

"Yaya...," katanya dengan senyum canggung.

"Atau... harus kah saya panggil 'Nyonya Direktur'?" canda Alif, ibunda Boboiboy tertawa namun Yaya sedikit tidak paham. "Saya bekerja sebagai asisten Tuan Muda Boboiboy," tambahnya. Sekarang Yaya paham, ia membalas candaan Alif dengan senyuman.

"Kamu temani Yaya ya Alif, Bunda harus menyambut tamu yang lain, Boboiboy juga sibuk mengobrol dengan tamu-tamu lain," kata sang bunda sebelum akhirnya pergi. Yaya segera menoleh mencari sosok suaminya, dan benar dengan perkataan sang mertua, suaminya sedang mengobrol dengan orang-orang yang kelihatan penting. Padahal ini pesta ulang tahun, apa mereka masih membicarakan soal pekerjaan, deal atau hal-hal semacam itu?

"Nona sudah makan? Makanan di sini dimasak oleh chef dari hotel bintang lima milik Aba Corporation lho," ujar Alif, mengambil satu piring makanan berbentuk indah tapi Yaya tak tahu itu apa namanya.

"Terima kasih, jangan panggil Nona, panggil Yaya saja," balas Yaya, mengambil piring tersebut dari tangan Alif. Ia sedikit bingung bagaimana cara memakannya, separuh hati tak tega untuk merusak bentuknya yang indah.

"Tidak boleh, nanti Pak Direktur bisa marah," canda Alif, mengambil piring yang sama dan ikut mulai makan. Entah kenapa Yaya merasa Alif sadar dengan kebingungannya dan sedang mencontohkan bagaimana cara memakan hidangan itu tanpa terlihat seperti orang bodoh yang kampungan.

Namun, Alif tak mengatakan apapun, hanya tersenyum ketika Yaya meniru cara makan yang benar.

"Memangnya Boboiboy galak padamu?" tanya Yaya. Sedikit merasa bersyukur, di antara kerumunan orang-orang berkelas di sekitarnya, ada orang yang bisa ia ajak bercakap-cakap dan tak berkomentar apapun soal gerak-geraknya yang kikuk dan canggung.

"Tidak, Pak Direktur tidak galak, tapi kan kalau tidak hati-hati nanti saya bisa dipecat," canda Alif lagi. Yaya hanya tertawa kecil mendengarnya.

Selesai makan, Alif sudah menawarinya segelas minuman. Yaya kagum dengan sikapnya yang siaga, sopan tapi juga supel dan enak untuk diajak bicara.

"Oh sebentar lagi, sepertinya tuan besar akan memotong kuenya...," Alif memandang ke arah kerumunan yang mulai berkumpul ke satu titik.

Yaya mengangguk dan segera menghampiri sang mertua lelakinya, sambil mencari sosok suaminya di antara kerumunan. Tak sulit menemukannya, ia berada tak jauh dari kedua orang tuanya, meski wajahnya tampak begitu suram, sama sekali tak cocok untuk acara pesta ulang tahun. Yaya menembus kerumunan untuk bisa berdiri di samping suaminya.

"Terima kasih untuk para tamu undangan yang bersedia hadir di pesta untuk saya yang berumur renta ini," ayah Boboiboy bicara dengan penuh wibawa, tapi juga diselingi canda yang kasual. Beberapa tamu undangan tertawa kecil. Sungguh sebuah kharisma direktur besar.

Sang ayah memotong kue dengan iringan lagu, potongan pertama diberikan pada istrinya, kemudian kedua untuk Yaya, yang sangat terkejut dan menerimanya dengan senyum nervous dan yang ketiga untuk Alif yang ternyata berdiri tak jauh dari mereka semua.

Yaya menatap wajah Gempa, tak sulit ditebak, wajahnya kelihatan sangat muram dan terluka.

"Mungkin ini maksudnya untuk kita berdua," hibur Yaya.

Gempa hanya mendesah, wajahnya terlihat pucat di bawah temaramnya lampu taman. Tangannya memijit dahinya. Yaya menebak, sakit kepalanya pasti kambuh lagi.

"Kamu nggak apa-apa? Sebentar, biar kuambilkan minum ya," Yaya segera menaruh piring berisi kue di atas meja dan mencari minum.

Ia menemukan minuman di meja lain, tapi tampaknya bersoda, bukan pilihan yang bagus untuk orang yang sedang sakit kepala.

"Nona sedang cari apa?" Yaya kaget dengan kemunculan Alif tiba-tiba.

"Minuman... untuk Boboiboy, sakit kepalanya sepertinya kambuh," jelas Yaya.

"Ah kalau begitu, bawa Tuan Muda istirahat di kamar saja, biar saya bawakan minum dan obatnya."

"Iya tolong ya, terima kasih."

Yaya kembali kepada suaminya, yang entah kenapa terlihat semakin pucat dan kesakitan.

"Ayo, kita istirahat di kamarmu ya...," bujuk Yaya.

Gempa sepertinya keberatan, tapi tidak sanggup menolak. Yaya membantu menuntun Gempa kembali ke dalam rumah, menepis orang-orang yang kelihatan bingung dan khawatir dengan keadaan suaminya.

"Kamu ... kenal Alif?"

Yaya menoleh menatap Gempa, sedikit bingung dengan pertanyaan tersebut.

"Iya, dikenalkan Bunda tadi," jawab Yaya.

Gempa kemudian diam, matanya tersembunyi di balik poninya. Yaya masih kebingungan dengan pertanyaan tersebut, tapi memilih untuk diam dan fokus menuntun Gempa ke kamarnya.

Sepanjang jalan ia berpikir, bagaimana sang bunda mengenalkan Alif, bagaimana sang ayah memberikan potongan kue ulang tahunnya kepada Alif. Kemudian ia akhirnya sadar.

Alif yang statusnya anak asuh, lebih disayangi daripada suaminya yang merupakan anak kandung.

Begitu sampai di kamar, Gempa merebahkan diri di tempat tidur dan mengerang dengan terbuka, tampak kesakitan dengan sakit kepalanya.

"Tunggu sebentar, biar kuambilkan obat," kata Yaya segera keluar kamar. Ia bingung bagaimana harus mencari obat di rumah seluas ini. Namun  belum begitu jauh dari kamar, ia bertemu dengan Alif yang membawa nampan berisi segelas air putih dan sebutir obat.

"Ini Nona, maaf lama," katanya.

"Terima kasih," Yaya segera membawa nampan itu ke dalam kamar. Hatinya mencelos melihat suaminya meringkuk di tempat tidur sambil memegangi kepalanya.

"Gempa, ini obatnya, diminum dulu," bujuk Yaya dengan lembut. Gempa sedikit bangkit untuk mengambil gelas dan obat yang ditawarkan Yaya, tapi kemudian memucat melihat obat yang ada di tangannya.

Ia memandang mata Yaya dengan wajah yang sangat terluka. Yaya bingung dengan reaksinya.

"Aku... aku nggak gila... Yaya... atau kamu pikir... aku...?"

Yaya terpekik saat menyadari maksud reaksi Gempa. Dengan cepat ia mengambil obat di tangan suaminya itu dan membuangnya ke tempat sampah dengan wajah horor.

"Maaf, bukan ini, tunggu sebentar," katanya mulai merasa dipenuhi amarah terhadap si asisten yang membawa obat ini untuk suaminya.

Ia keluar kamar dan menemukan Alif ternyata masih menunggu di sana.

"Nona—"

"Obat sakit kepala, obat penghilang rasa sakit," kata Yaya singkat, berusaha untuk tidak membentak si anak asuh yang juga memiliki andil membuat suaminya menderita.

Alif segera mengangguk dan berbalik pergi. Tak butuh waktu lama sampai ia kembali, kali ini dengan obat yang masih di dalam bungkus stripnya. Yaya membacanya dengan seksama sebelum kembali masuk. Parasetamol, oke.

Yaya kembali masuk dan mengeluarkan obat tersebut dari bungkusnya, kemudian membantu Gempa untuk meminumnya. Kali ini sang suami tidak protes. Selesai meminumnya ia kembali berbaring. Sang istri hanya bisa membelai kepalanya dengan dada yang terasa ngilu.

"Maaf untuk yang tadi, Alif yang memberikan obatnya."

Tubuh Gempa seperti menegang dan berhenti bernapas sepersekian detik, membuat Yaya semakin yakin dengan dugaannya mengenai masalah suaminya seminggu ini.

Ternyata sumbernya dari Alif.

Yaya segera bangkit dan berjalan keluar. Ia tidak tahu harus mengatakan apa, tapi yang jelas ia harus bicara pada Alif.

Di luar, ternyata Alif masih menunggu.

"Nona, Tuan Direktur baik-baik saja?" pertanyaannya sedikit memadamkan api amarah di hati Yaya. Untuk orang yang menjadi sumber penderitaan sakit kepala suaminya, ia terlihat begitu tulus dan peduli.

"Ia akan baik-baik saja," jawab Yaya. Meski marah tapi tak tahu bagaimana harus memarahi Alif. Karena secara teknis, ia tidak melakukan kesalahan apapun.

"Oh syukurlah, saya panik apakah tuan direktur mengalami 'episode'nya di sini, untung semuanya masih terkendali," tambah Alif. Yaya menggigit bibirnya, tahu kata 'episode' biasa digunakan untuk menggambarkan penyakit jiwa yang sedang kumat.

"Ia cuma sakit kepala biasa," balas Yaya, tak bisa menahan diri untuk bersikap ketus.

"Ah begitu ... tapi saya kagum dengan Nona, pasti sulit dengan kondisi tuan direktur yang seperti itu, kalau perempuan lain mungkin sudah—"

'PLAK!'

Kesabaran Yaya akhirnya habis. Ia sendiri terkejut sudah menampar Alif, tapi ia tidak merasa bersalah, justru puas. Alif tampak membantu dan tidak bisa berkata apa-apa.

"Jangan kurang ajar, biar begitu, dia suamiku," tegur Yaya dengan dingin, sebelum akhirnya ia masuk ke dalam kamar kembali. Ia mendesah panjang dan berusaha untuk mengontrol amarahnya. Terima kasih untuk asisten kurang ajar itu, sekarang ia punya suami yang harus ia tenangkan setelah stres berat selama seminggu.

Yaya berbalik, bersiap untuk melihat kondisi suaminya yang berantakan, tapi justru bertemu mata dengan suaminya yang tampak sedang terkejut.

"Kau menamparnya...," gumam Gempa terlihat tak percaya.

Awalnya Yaya merasa malu, tapi kemudian ia mendengkus. "Ia pantas mendapatkannya."

Yaya menggeleng kepalanya kemudian naik ke tempat tidur dan memeluk sang suami.

"Syukurlah kondisimu kelihatannya membaik..."

"Kenapa...?" Gempa sepertinya masih tidak percaya. Yaya mundur dan menatap mata orang yang dicintainya itu.

"Karena ia sudah merendahkanmu...," jawab Yaya dengan lurus.

Gempa tampaknya masih kebingungan tapi tidak bisa mengutarakan pertanyaannya. Yaya memandang matanya untuk beberapa saat sebelum akhinya mulai mengerti apa yang Gempa maksud.

"Kau tidak berpikir aku akan terpikat padanya kemudian membandingkan dirimu dengan dirinya?" tanya Yaya.

Gempa hanya diam, kepalanya menunduk malu. Separah itu kepercayaan dirinya, sampai percaya Yaya akan meninggalkannya hanya karena bertemu sosok pria yang lebih baik seperti Alif. Yaya sedikit merasa terluka karena suaminya tidak percaya pada dirinya. Namun, ia tahu itu semua karena semua penolakan yang suaminya alami di masa lalu, jadi ia tak menyalahkannya.

"Oh dasar kalian semua...," gumam Yaya, kembali memeluk Gempa dengan erat.

Gempa membalas pelukannya, perlahan bergetar kemudian Yaya mendengar isak tangis. Yaya membelai punggung suaminya dengan lembut.

Ia berusaha memikirkan, bagaimana suaminya merasa sedih karena kalah dengan seorang anak asuh, kalah dalam mendapatkan perhatian, kalah dalam mendapatkan kasih sayang, harus menanggung malu karena orang tuanya tampak dengan terang-terangan menunjukkan siapa yang lebih mereka sukai di depan semua orang. Yaya membayangkan gosip apa yang suaminya dengar seputar dirinya dan Alif, bagaimana orang membandingkan mereka berdua.

"Aku... iri dengan dia...karena aku tahu... aku nggak akan pernah bisa jadi seperti dia... lebih normal... lebih... semuanya lebih...," racau Gempa di sela-sela isak tangisnya.

"Aku... harus berjuang... untuk bisa seperti dia... agar layak untukmu... lebih normal... supaya bisa diterima ibumu... tidak bisa... terus seperti ini... menyusahkanmu..."

Yaya segera mundur untuk memandang mata Gempa. Karena itukah selama ini mereka menghindarinya?

"Layak...? Oh Gempa... aku mencintaimu dan juga kalian semua. Kalian tidak perlu berjuang lagi, sudah cukup, aku mencintai kalian semua apa adanya, tidak kah kalian mengerti?"

Hati Yaya hancur melihat wajah Gempa yang justru terlihat bingung.

Meski ia sudah mengatakannya langsung, suaminya masih saja tidak mengerti. Hati dan pikirannya sudah terlalu sering disakiti hingga sudah tak berbentuk, sampai kesulitan untuk menerima cinta dari Yaya.

Karena mereka tidak mencintai diri mereka sendiri, hingga sulit menerima kenyataan bahwa ada yang sudi mencintai mereka yang seperti itu.

Sang istri mencium suaminya, sambil menahan tangis. Kali ini Gempa akhirnya merespons, ia membalas ciuman Yaya dengan erat. Seakan ia berusaha mengatakan 'jangan pergi, aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik, jangan pergi'. Air mata Yaya mengalir bersamaan dengan air mata Gempa.

Suaminya mencintainya, padahal hatinya sudah terlalu hancur untuk mencintai dirinya sendiri. Dan Yaya mencintai suaminya, meski suaminya sudah tidak mampu mencintai drinya sendiri.

Itu cukup untuk sekarang.

Sudah cukup.

TBC

————————————

Mood-nya kurang dapet, maaf ya, udah lama nggak nulis, jadi kaku deh...

Silakan review-nya

——————————
K O L O M  N U T R I S I
——————————

1. Kira-kira bagaimana reaksi orang tua saat melihat Alif ditampar oleh Yaya?

2. Pernahkah kamu merasa canggung dengan orang tuamu sendiri?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 21 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro