Chapter 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Oke, silakan dinikmati chapter selanjutnya.

————————————

Manusia pasti setidaknya memiliki satu keinginan yang sulit untuk diwujudkan. Mungkin, karena itu mimpi yang berarti impian, memiliki kata yang sama dengan mimpi sebagai bunga tidur. Mimpi itu bagaikan mimpi. Tidak semua mimpi bisa diwujudukan, kadang hanya berakhir sebagai mimpi saat tidur saja. Namun, manusia selalu bermimpi. Karena hidup seharusnya dipenuhi oleh mimpi sebagai tujuan hidup.

Begitu pula dengan Yaya.

"Jadi, seperti yang suami Anda inginkan, tema dari foto pra wedd- oh maksud saya, foto yang nantinya akan dipajang sebagai display pada resepsi pernikahan Anda akan bertema 'fairytale'. Saya sudah menyiapkan beberapa gaun bertema seperti putri kerajaan, juga nantinya tempat fotonya…"

Yaya menutup matanya, berusaha menahan malu meski di bibirnya terpulas senyuman. Ia masih ingat bagaimana beberapa hari yang lalu, seluruh kembaran suaminya hampir lepas kendali di butik gaun pengantin. Ia bahkan merasa menjadi seorang foto model, karena mereka terus memintanya untuk berganti-ganti gaun pengantin bahkan memintanya untuk melepaskan jilbabnya dan berpose mengenakan gaun pengantin yang pendek sementara di tangan suaminya ada kamera besar ala fotografer.

'Aku suamimu, boleh dong…,' kilah mereka membuat Yaya malu, tapi tetap mengikuti keinginan mereka sambil meminta foto-foto itu tidak akan diperlihatkan kepada siapapun.

Bagaimana ia bisa menolak ketika bahkan Halilintar saja tersenyum melihatnya menggunakan gaun pengantin yang indah?

Kemudian besoknya, terdapat album foto penuh dengan foto Yaya yang memakai berbagai gaun pengantin di lemari suaminya.

"Ini gaun-gaun yang sudah dipersiapkan untuk photo shoot besok, apakah ada yang harus ditambahkan atau diperbaiki?"

Yaya melihat sederetan gaun-gaun berbagai warna yang tampak sangat anggun dan cantik, menggantung rapi di tempat gantungan baju.

Ia hanya bisa menggeleng, tak mau memikirkan berapa banyak uang yang sudah dihabiskan suaminya untuk membuat semua ini. Namun, Yaya tak akan bisa menghalangi keinginan para kembaran suaminya, jika ini membuat mereka bahagia, maka Yaya akan ikut senang.

"Huft… selera Boboiboy ternyata seperti itu ya…," gumam Bunda, yang seperti biasa, hari ini pun menemaninya untuk mengurus resepsi pernikahannya.

Yaya hanya mampu mengulum senyum sementara wajahnya sedikit kemerahan.

"Biasanya kebanyakan pengantin pria ingin foto pra wedding yang simple agar cepat selesai," timpal sang wedding organizer yang merupakan seorang wanita paruh baya yang anggun dan stylish untuk orang seumurannya.

Wajah Yaya semakin kemerahan, ia hanya berusaha menutupinya dengan tertawa kecil.

Dasar kembar lima itu, jika sudah menyoal urusan Yaya, entah kenapa mereka jadi kompak.

"Sayang suami Anda tidak bisa datang ke sini, semoga ukuran bajunya tidak berubah dari yang kemarin ya?" kata sang desainer, sekarang sedang mengambil gaun-gaun dari gantungan baju.

Yaya hanya mengangguk. Ia yakin tubuh suaminya tidak akan banyak berubah. Mereka semua tidak ada yang benar-benar rakus. Mungkin hanya Halilintar kadang yang bisa makan lebih dari satu porsi, tapi sisanya nafsu makan suaminya sesuai dengan mood mereka. Kadang sulit sekali makan, kadang biasa saja, kadang tidak mau makan sama sekali, sehingga badan suaminya tidak pernah mengalami perubahan yang berarti.

"Untuk suami Anda, nanti akan ada beberapa sesi dimana ia memakai jas sesuai dengan warna gaun, ada juga ia akan terlihat lebih santai dengan memakai kemeja saja, bagaimana?" tanya sang WO.

Yaya hanya mengangguk, di meja ada beberapa foto pra wedding dari pasangan-pasanan lain yang menjadi contoh. Yaya mengakui semua foto tampak sangat indah, benar-benar seperti pasangan dalam dunia dongeng.

Kemudian ia baru menyadari satu hal.

Bisakah ia berfoto dengan semua kembaran suaminya itu? Atau hanya satu orang saja dari mereka?

IoI

"Maksudnya?"

"Maksudnya … apa nanti aku hanya berfoto denganmu saja, atau aku bisa bergantian berfoto dengan Taufan, Halilintar, Api atau Air juga?"

Gempa menatapnya dengan seksama sambil meminum tehnya dari mug. Yaya memandangnya lekat-lekat sambil menanti jawabannya, kemudian Gempa menaruh kembali mugnya di meja dekat sofa mereka dan menghembuskan napas.

"Photo shoot seperti itu akan melibatkan banyak orang Yaya, minimal ada fotografer dan juga make up artist, kau tahu kalau kondisiku ini rahasia….," terang Gempa.

Yaya mendesah, ia sudah menduganya. Entah kenapa semangatnya langsung memudar. "Aku ingin berfoto dengan kalian semua… tidak adil kalau tidak semuanya 'kan?"

Gempa tersenyum pilu. "Mungkin lain kali aku bisa meminta bantuan yang lain… Alif mungkin, untuk memfoto kita semua satu persatu tapi bukan untuk photo shoot yang ini Yaya. Bunda ingin photo shoot ini terlihat sempurna, aku tidak bisa meminta bantuan orang amatir untuk menjadi fotografernya…"

Yaya hanya mengangguk pelan. Salah kah ia jika ia juga ingin mempunyai koleksi foto semua kembaran suaminya bersamanya?

Namun, Yaya juga bisa membayangkan bagaimana bila semua kembaran suaminya berfoto bersamanya dan orang-orang melihatnya, mereka semua pasti akan kebingungan melihat sikap suaminya terus berubah-ubah.

Kemudian Yaya tersentak saat mengingat sesuatu.

"Kalau fotografer itu temanku bagaimana?"

Gempa terdiam kemudian mengernyit.

"Kau tahu Fang 'kan?" tanya Yaya, ia tidak mempedulikan bagaimana air muka Gempa berubah menjadi sedikit masam. "Fang sebenarnya fotografer dan hasil jepretan kameranya benar-benar bagus… oh dan Ying juga lumayang jago merias orang…" Yaya tersenyum lebar, merasa idenya sangat brilian.

Yaya melihat Gempa terlihat ragu. Jadi sang istri menggenggam tangannya. "Gempa, kalian semua yang meminta untuk tema photo shoot ini fairtytale, kalian yang bahkan tidak pernah mau ikut mengurus acara resepsi pernikahan kita langsung histeris saat aku mencoba memakai gaun pengantin dan kalian bahkan sudah menyiapkan kamera…"

"Kita tidak histeris…"

"Yah, pokoknya, aku tahu, kalian semua juga pasti ingin berfoto denganku, jangan coba-coba menyangkalnya…"

Gempa menatap mata Yaya sebelum ia akhirnya mendesah dengan pipi sedikit kemerahan. "Tentu saja kita semua mau, Taufan bahkan terus memelas padaku agar setidaknya mendapat satu foto bersama denganmu, jangan tanya bagaimana sikap yang lainnya, semuanya sebenarnya berebut agar bisa berfoto denganmu … tapi…"

Gempa menggenggam tangan Yaya dengan kuat. "Itu artinya teman-temanmu setidaknya tahu kondisiku..."

Yaya mengerjapkan mata dan terdiam. Selama beberapa bulan ia menikah, meski ada kalanya ia curhat dengan Ying, Yaya tidak pernah menjelaskan soal kondisi suaminya. Itu karena ia tahu, kondisi suaminya adalah rahasia besar yang bila bocor, bisa merusak nama baik keluarga Aba.

"Aku yakin baik Ying ataupun Fang bisa menjaga rahasiamu, hanya … boleh kah aku memberi tahu mereka? Kalau tidak pun tidak apa-apa…," kata Yaya lembut. Sirna sudah semangatnya tadi, ia tahu benar membocorkan rahasia mereka kepada orang lain merupakan topik sensitif.

Gempa menutup matanya, terlihat sangat bimbang. Melihatnya, Yaya jadi merasa bersalah. Padahal mereka tengah bersantai setelah sekian lama suaminya didera masalah dan juga sibuk dengan pekerjaannya.

"Ying itu … sahabatmu 'kan?" tanya Gempa. Yaya mengangguk. "Dan Fang adalah pacarnya, aku percaya mereka berdua."

Gempa mendesah panjang, kemudian akhirnya tersenyum meski matanya penuh dengan keraguan dan ketakutan. "Kalau begitu … baiklah, aku setuju, tapi kamu harus bertanya pada yang lain juga."

Yaya mengangguk dan membalas senyumannya, ia kemudian memeluk Gempa dan membelai punggungnya. "Terima kasih…"

Gempa membalas pelukannya. "Iya…," katanya lirih.

Dan malam itu berakhir dengan Gempa berada di dalam pelukan Yaya yang terus mendekap dan membelai punggungnya dengan lembut.

IoI

Yaya mengaduk minuman yang ada di depannya dengan resah, kemudian melemparkan pandangan ke segala penjuru arah. Kafe tempat ia berada adalah kafe langganannya, tempatnya sering bertemu dengan Ying bila ia ingin membicarakan hal yang sebaiknya tidak terdengar oleh orang-orang yang ia kenal. Kalau tidak, biasanya mereka hanya akan bertemu di restoran Yaya.

Hari ini ia menerima izin dari semua kembaran suaminya. Awalnya, ia berpikir Halilintar setidaknya akan mencoba mencegahnya, namun di luar dugaan ia pun membolehkannya.

Karena itu sekarang, ia sedang menunggu Fang dan Ying datang.

Bagaimana ia harus menjelaskannya ke mereka? Yaya merasakan kepalanya terasa penat dan kali ini tidak seperti saat berusaha memberi tahu ibunya dulu, suaminya tidak ada di sisinya.

"Oh, Yaya!"

Yaya menoleh, melihat sepasang kekasih yang merupakan sahabatnya itu, sudah berada di dalam kafe. Ying, dengan satu tangan mendekap lengan Fang dan tangan lainnya melambai pada Yaya serta Fang dengan wajah sedikit apatisnya dengan tangan yang bebas memegangi kamera besar yang menggantung di dadanya.

Mereka berdua akhirnya duduk di depan Yaya.

"Maaf ya lama, Fang ada pekerjaan di sekitar sini…," kata Ying.

Fang meletakkan kameranya dengan hati-hati dan memberi senyuman kecil pada Yaya.

"Nggak apa-apa, aku yang mendadak meminta bertemu kok…," kilah Yaya.

Setelah keduanya memesan minuman dan makanan, Yaya berdeham sedikit untuk mengatur kata.

"Jadi, apa yang mau kau bicarakan pada kami berdua? Tumben…," ujar Ying.

Yaya tersenyum kecil pada sahabatnya sejak kecil dulu. Ia sangat percaya padanya, Ying, yang selalu ada setiap saat di sisinya, terus berteman dengannya meski berbeda sekolah ataupun berbeda pekerjaan, ataupun Yaya sudah menikah sekarang. Begitu pula Fang, meski Yaya tidak mengenalnya seakrab Ying, tapi Fang juga merupakan teman dekatnya.

"Uhm… sebenarnya begini… bagaimana cara menjelaskannya…? Uhm…," Yaya ingin menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tak heran semua kembaran suaminya selalu kesulitan menjelaskan kondisinya pada siapapun, Yaya sendiri kesulitan menemukan cara yang tepat agar kedua temannya itu bisa mengerti, mau ikut merahasiakan rahasia suaminya dan juga tentu saja, tidak marah karena sudah merahasiakan hal ini selama ini.

"Kenapa sih? Kok kayaknya serius banget…," tanya Ying, terlihat kebingungan. Ia bertemu mata dengan Fang, dan seperti layaknya sepasang kekasih, mereka seperti bertukar pendapat secara non verbal.

"Maaf karena aku sudah merahasiakannya selama ini… tapi, bukan berarti aku memang ingin menyembunyikan hal ini dari kalian…," Yaya menarik napas panjang. "Suamiku sebenarnya punya kondisi khusus."

Ying dan Fang terdiam, tapi berbeda dengan Ying yang terlihat begitu syok hingga tidak bisa berkata apa-apa, wajah Fang berubah seperti mengkalkulasi sesuatu.

"Kondisi khusus seperti apa?" tanyanya.

Jadi, Yaya menjelaskan apa yang pernah suaminya jelaskan padanya. Bagaiamana Boboiboy terlahir sebagai anak kembar lima namun hanya satu yang bertahan hidup, bagaimana mereka semua hidup dalam satu tubuh, bagaimana mereka terus berebut kendali dalam tubuh itu, bagaimana mereka berobat ke psikiater, bagaimana mereka mencoba bertahan hidup selama ini.

Ying dan Fang hanya terus diam, sesekali bertanya, tapi sisanya mereka terus menyimak penjelasan Yaya. Hingga akhirnya, perempuan berhijab itu selesai bicara.

"Ah seperti itu rupanya, seorang pewaris generasi ketiga dari keluarga konglomerat dengan kondisi khusus yang sulit dijelaskan secara ilmiah … rasanya seperti drama Korea yang sering kau tonton, bukan begitu Ying?" tanya Fang pada pacarnya kemudian ia menyeruput kopi pesananannya.

Yaya tahu sifat sarkartis Fang, jadi ia tidak merasa tersinggung mendengarnya.

"Dan… kau merahasiakan ini dariku selama ini Yaya…. Oh…," Ying kemudian terlihat marah, reaksi yang sudah Yaya duga sebelumnya.

"Aku juga sebenarnya sangat ingin bercerita padamu Ying, tapi kau tahu bagaimana posisi suamiku…," kata Yaya dengan berat hati. Ying mendengkus dan sedikit cemberut, Fang hanya tertawa kecil.

"Kau pasti butuh bantuan kan? Terutama dariku…," tebak Fang, hampir membuat Yaya melonjak. Sang pengantin baru itu hanya bisa tesenyum meringis. Kadang, pikiran tajam Fang membuatnya takut.

"Kalian tahu 'kan dua minggu lagi keluarga suamiku akan menggelar resepsi pernikaha?"

Fang dan Ying mengangguk.

"Ada sesi photo shoot, kalau orang biasanya bilang foto pra wedding… aku… sebenarnya aku merasa bersalah baru jujur pada kalian ketika aku membutuhkan bantuan, tapi… aku benar-benar ingin sekali bisa berfoto dengan semua kembaran suamiku…. Karena aku sudah tahu, selama resepsi pernikahan hanya akan ada satu atau dua kembaran suamiku yang melakukannya…," terang Yaya dengan wajah sendu. Sama seperti saat akad pernikahan mereka dulu, Yaya tahu hanya akan ada Gempa atau mungkin Taufan yang bersanding dengannya di resepsi pernikahan mereka yang dihadiri oleh keluarga mereka dan orang-orang penting.

"Oh… makanya kau meminta bantuanku dan Fang…?" tebak Ying, dari caranya tersenyum jahil, Yaya bersyukur temannya itu tidak merasa tersinggung karena meminta bantuannya seperti ini.

"Sepertinya kau sedikit salah sangka, aku bukan fotografer acara pernikahan… aku ini fotografer jurnalis…," jelas Fang.

"Iya, Yaya juga pasti sudah tahu Fang, tapi kau juga pernah 'kan sempat jadi fotografer acara pernikahan…," balas Ying, membela Yaya.

"Iya sih… tapi kau tahu itu kan untuk mencari uang Ying… untuk beli kamera dan sebagai pekerjaan sampingan juga, kau tahu aku benci melakukan itu…," balas Fang lagi.

Yaya diam memandang mereka berdua, seperti ini lah mereka, kadang terlihat sangat dekat tapi ada kalanya mereka bisa berdebat dengan penuh semangat seperti ini.

"Lebih baik kau yang setidaknya seorang fotografer, daripada aku yang harus memotret mereka berdua dengan kameramu…," hardik Ying.

"Memangnya siapa yang akan meminjamkannya?"

"Tuh kan, kau selalu begitu!"

"Guys!" Yaya menyela mereka berdua sebelum perdebatan mereka berubah menjadi pertengkaran yang tak tentu arahnya.

"Aku hanya bisa meminta bantuan padamu Fang… tapi kalau memang sekiranya aku menyusahkanmu… nggak apa-apa… aku akan mencoba mencari cara lain…," kata Yaya.

Fang mendengus keras, memandang Yaya kemudian memandang Ying. Pacarnya itu, melipat lengannya dan memandangnya dengan tajam.

"Oh baiklah, aku akan melakukannya!" serunya dengan wajah masam.

"Nah, itu baru pacarku!" seru Ying, memberikan kecupan di pipi Fang. Yaya tertawa kecil melihat wajah Fang bersemu sedikit.

"Berarti aku yang mengurus make up dan settingannya?" tanya Ying pada Yaya. Sang gadis berkerudung pink itu mengangguk.

"Tolong ya," kata Yaya sambil tersenyum senang.

"Dan jadi asisten fotografer juga, jangan lupa," timpal Fang. Ying menyikutnya dengan wajah cemberut. Dan akhirnya Yaya bisa tertawa lepas melihat tingkah kedua temannya itu.

Ia memandang mereka dengan rasa sedikit iri.

Ia berharap ia dan suaminya juga bisa seperti itu suatu saat nanti, bisa berdebat tanpa ada maksud jahat tanpa perlu ketakutan akan menyakiti satu sama lain.

IoI

"Wow…."

"Tempatnya keren 'kan?"

Taufan tersenyum lebar melihat Yaya termangu menatap tempat mereka berada. Sebuah rumah besar bergaya western yang terbengkalai dengan taman yang sangat luas. Terlihat indah tapi juga menakutkan.

"Rumah ini sempat dipakai untuk syuting film horor beberapa waktu lalu, kupikir bagus sih… kita itu tidak cocok photo shoot tema fairy tale yang berwarna-warni, tapi lebih ke… dark…," kata Taufan. Ia pernah terpikat pada satu foto pra wedding yang tak sengaja ia temukan di internet, foto hitam putih dua pasangan dengan latar belakang gedung terbengkalai, tampak sendu dan penuh seni.

"Kupikir awalnya kita tersasar, tapi benar fotonya di sini?"

Yaya dan Taufan menoleh pada dua orang yang datang menghampiri mereka. Fang dan Ying membawa banyak barang-barang bersama mereka.

"Oh Ying! Maaf kita berdua telat, tadi kami harus mampir ambil baju-baju untuk photo shoot-nya dulu dan terjebak macet!" seru Yaya sambil tersenyum gugup.

"Kupikir awalnya alamatnya salah, kalian mau photo shoot atau syuting film horor sih?" tanya Ying yang menoleh pada Taufan.

Yaya sempat resah memikirkan apakah suaminya akan terganggu dengan para sahabatnya. Ia yang tak pernah punya teman dan selalu berusaha menutupi kondisinya dari orang lain.

"Tuan Direktur!"

Yaya menoleh, melihat mobil lain terparkir tak jauh dari mobil mereka. Ia terkejut melihat Alif keluar dari mobil itu. Ia tersenyum pada mereka semua dengan sopan.

"Ah, selamat pagi Nona, lama tidak berrtemu," katanya. Yaya membalas senyumannya dengan kikuk, masih tidak begitu menyukai pemuda ini.

"Aku sudah membawa semua barang-barang yang Anda pesan," kata Alif pada Taufan.

Taufan mengangguk dengan puas. "Kerja bagus."

Dari senyumannya, Alif terlihat hampir tertawa tapi menahannya. Taufan dan Gempa sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Alif, juga mulai mengerti kalau anak asuh keluarganya ini memang bukan orang jahat. Karena Alif memang orang yang bisa diandalkan, pintar dan gesit jadi sangat sesuai jadi asisten mereka. Dan Taufan merasa ia harus memanfaatkan orang ini selagi bisa.

Yaya ingin tertawa dengan sikap Taufan yang benar-benar mengingatkannya kalau sebenarnya suaminya ini adalah seorang direktur. Ia menoleh pada Ying yang tampak tercengang maupun pada Fang dengan wajah yang sedikit kecut, mungkin iri?

"Baiklah… mari kita perkenalan dulu….," Yaya menarik Taufan agar berputar menghadap Ying dan Fang.

"Seperti yang kalian tahu, ini suamiku, Boboiboy, dan dia ini… Taufan," jelas Yaya, entah kenapa perkenalannya terasa aneh tapi Yaya memutuskan untuk tetap tersenyum lebar.

"Dan mereka adalah sahabatku, Ying dan Fang," tambah Yaya sambil menoleh pada suaminya,

"Dan dia," Yaya menunjuk pada Alif. "Asisten suamiku, Alif."

"Salam kenal," katanya sambil menunduk sopan.

"Salam kenal juga…," kata Ying melambai kikuk. Fang hanya mengangguk dan mendengkus di sebelahnya.

"Jadi, kapan kita mulai photo shoot-nya?" tanya Fang, yang lagi-lagi mendapat hadiah sikutan dari pacarnya.

IoI

"Yaya, gaunmu benar-benar cantik sekali…"

Yaya hanya bisa tersenyum, ia menatap gaun biru muda yang ia kenakan. Gaun seperti ini hanya pernah ia lihat di foto maupun di film, cantik sekali.

"Kau juga sangat jago merias orang Ying," puji Yaya, menatap cermin, bagaimana Ying mempoles wajahnya, tidak terlalu tebal tapi tetap cantik.

"Ah, bisa aja…," temannya itu tersipu malu. Akhirnya mereka berdua keluar ruangan dan bertemu dengan para laki-laki yang tampaknya sibuk membicarakan bagaimana setting foto akan dilakukan. Sampai akhirnya Taufan bertemu mata dengan Yaya,

Wajah Yaya bersemu saat Taufan tak berhenti menatapnya.

"Nona cantik sekali…," puji Alif di sampingnya.

Yaya hanya bisa tersenyum malu. Taufan sendiri tampak tampan dengan jas biru gelap yang sesuai dengan bentuk tubuhnya. Rasanya seperti aktor atau foto model.

"Nanti jangan lupa ada foto Yaya sendiri, yang banyak," tambah Taufan pada Fang.

"Iya, aku sudah tahu, kau sudah bilang itu tiga kali," gerutu Fang. Yaya hanya tertawa mendengarnya.

"Ayo, mulai dong fotonya!" seru Ying, mendorong Yaya pada Taufan.

Taufan akhirnya menghampiri Yaya dan mengambil tangannya. Jantungnya berdegup begitu kencang melihat betapa cantiknya Yaya di depannya. Gadis ini bagaikan malaikat yang turun dari kahyangan dan menyelamatkannya dari kesengsaraan. Atau seperti seorang putri yang menyelamatkan seorang pangeran yang terkutuk. Itulah alasan kenapa ia memilih tema fairytale untuk photo shoot ini. Karena ia ingin melihat Yaya seperti tuan putri.

"Berpose di depan jendela itu, saling bertatapan," kata Fang mengarahkan. Yaya menatap Ying ada di samping Fang, sementara Alif memegang semacam cermin untuk pengcahayaan.

"Jangan kaku begitu, Yaya, coba letakkan tanganmu pada pundak suamimu, dan hei kau," Taufan mengernyit sedikit, "coba letakan tanganmu pada pinggang Yaya, yak… lebih dekat lagi, seperti itu… tahan… tahan…."

Taufan bisa mendengar bunyi shutter kamera, tapi ia memfokuskan pandangannya pada Yaya. Ia tidak bisa bersama dengan istri cantiknya ini pada akad pernikahan mereka, maupun pada resepsi pernikahan mereka. Ia hanya akan jadi penonton di dalam tubuhnya sendiri. Karena itu, ia merencanakan photo shoot ini untuk dirinya sendiri maupun kembaran-kembarannya yang lain.

Gadis cantik yang katanya mencintainya ini, ia ingin mengabadikannya di dalam sebuah foto yang ia ingin simpan selamanya.

"Yak… coba berganti posisi…"

IoI

Jika ada yang merasa bahwa sikapnya berubah, setidaknya mereka tidak mengatakan apa-apa. Halilintar menatap kedua teman Yaya, yang sebenarnya terlihat mereka berusaha terlihat biasa-biasa saja. Sementara Alif tidak menunjukkan apapun, hanya terus tersenyum seperti biasa.

"Jangan cemberut begitu, kau membuat mereka takut," tegur Yaya.

"Itu salah mereka sendiri kalau mereka takut…," kata Halilintar. Yaya hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

Yaya sudah berganti pakaian memakai gaun berwarna merah, dengan Halilintar yang memakai kemeja lengan panjang berwarna hitam yang tidak dimasukkan ke celana dan lengannya digulung.

Mereka berfoto di sudut rumah, dimana terdapat retakan-retakan pada dinding yang terlihat kusam. Tapi, Halilintar tidak mempedulikan suasana suram di sekitarnya selama ada istrinya yang cantik berada di sampingnya.

"Coba saling dekap satu sama lain… Yaya, coba taruh tanganmu di wajah suamimu," Yaya membelai lembut pipi Halilintar sambil menatap matanya. Yaya sedikit terkejut saat Halilintar mendekapnya hampir terlalu erat.

Yaya tersenyum padanya, sementara Halilintar serius memandangnya.

"Coba ganti posisi…"

Yaya menghembuskan napas yang ia tahan, kemudian memaku saat Halilintar menciumnya untuk sesaat sebelum melepaskannya.

Halilintar menyugingkan seringai padanya. "Kau memfotonya?" tanyanya pada sang fotografer.

"Tentu saja..," jawab Fang dengan wajah masam. Ying tampak ingin memekik tapi berusaha menahannya. Alif menahan tawa kecil.

"Kenapa kau melakukannya di depan semua orang!?" pekik Yaya saat otaknya kembali bekerja. Ia tidak menyangka dari semua kembarannya, Halilintar akan menciumnya di depan orang-orang yang mereka kenal.

"Kenapa? Kita kan sudah menikah…," Halilintar menarik tangannya jadi wajah mereka kembali berdekatan hingga Yaya bisa merasakan hembusan napasnya. "Kau milikku, dan aku milikmu 'kan?" bisiknya.

Yaya menutup matanya, berusaha menahan malu karena lagi-lagi ia mendengar adanya bunyi shutter kamera. Dan kali ini ia sudah mempersiapkan saat Halilintar kembali menciumnya.

"Rasanya juga aku pernah melihat adegan seperti itu di drama Korea… iya kan Ying?" tanya Fang, berusaha untuk mengalihkan perhatiannya sendiri sebelum ia merasa gerah.

"Oh, kalian suka nonton drama Korea juga?" tanya Alif dengan penuh senyum.

Sementara Ying hanya melonjak-lonjak di tempat tanpa suara, tidak mempedulikan kedua laki-laki yang sedang membicara drama Korea mana yang Fang maksud.

IoI

Photo shoot dengan Api cukup berantakan, Api memainkan daun-daun berguguran di sekitar rumah, kemudian berlari, kemudian memeluk Yaya dari belakang sambil tertawa lebar. Ia tidak mau mendengarkan arahan Fang sama sekali, membuat sang fotografer sangat frustasi karena ia harus ikut berlari mengikuti gerak Api.

"Api, kau tenang sedikit!" tapi Yaya tidak bisa berhenti tertawa. Untunglah gaun pink yang ia kenakan lebih sederhana, sehingga ia lebih mudah bergerak dibanding sebelumnya. Api juga mengenakan kemeja merah lengan pendek yang membuatnya mudah berlari.

"Nggak mau, habis udah lama banget aku nggak keluar! Dan di sini seru!" katanya penuh tawa, ia menarik tangan Yaya dan mengajaknya berputar di taman. Yaya juga hanya bisa tertawa, sebelum akhirnya Api menariknya ke dalam pelukannya.

Api tampaknya sama sekali tidak mempedulikan keberadaan Alif, Fang maupun Ying yang dari tadi bergerak di sekitar mereka.

"Kamu cantik banget, kayak tuan putri…," katanya dengan senyum khas Api.

Yaya hanya membalas senyumannya.

"Kita main ke sana yuk, kata Taufan, di sebelah sana ada sungai kecil."

"HEI!" dan akhirnya Fang pun berteriak pada mereka.

IoI

"Posenya bukan seperti itu… sudah kubilang…"

Air menatap Fang dengan masam. Fotografer itu tampaknya mulai kehabisan kesabaran karena sebelumnya harus menghadapi Api yang semaunya.

"Coba, pegang tangan Yaya seperti tidak mau melepaskannya pergi…. Bukan, bukan seperti itu…"

Yaya tersenyum penuh simpati pada Air yang tampak begitu kaku di depan kamera.

"Ah… kalau begini?" tanya Yaya, ia duduk diri di tanah dan melipat kedua pahanya, tidak mempedulikan bagaimana gaun biru tuanya jadi kusut. Ia kemudian memberi isyarat pada Air agar mengikutinya, kemudian menarik Air agar merebah di pangkuannya.

"Ya, seperti itu juga boleh…," komentar Fang terdengar pasrah.

"Fuh…," Air mendengus, membuat Yaya tertawa kecil. Ia membelai Air yang ada di pangkuannya, mungkin tampak sia-sia Air mengenakan jas hitam dengan kemeja biru muda tapi Yaya merasa pose seperti ini yang sangat cocok untuk mereka berdua.

"Aku tidak tahu photo shoot sangat merepotkan…," komentar Air, memainkan salah satu daun berguguran yang ada di tanah.

"Oh, kau menyesal sudah ikut?" tanya Yaya.

"Nggak, kau cantik…," katanya sambil tersenyum sebelum akhirnya bangkit dan mencium kening Yaya.

"Nah, sekarang coba berdiri…"

Tapi Air tampaknya sudah berhenti untuk mendengarkan Fang, karena ia kembali merebah di atas pangkuan Yaya dengan pose malas.

"Argh!" Fang terdengar begitu frustasi.

"Kalau kau marah-marah terus, kau bakalan cepat tua lho," komentar Air dari pangkuan Yaya.

"Apa kau bilang!?"

Yaya, Ying dan Alif hanya tertawa lepas mendengarnya.

IoI

"Maaf kalau yang lain membuatmu kesal…"

Gempa menatap Fang yang raut wajahnya tampak semakin masam semakin lama photo shoot itu berlangsung. Tapi, justru sekarang fotografer itu tampak kikuk karena sudah diberi pernyataan maaf.

"Sudahlah, sana, biar cepat selesai," kata Fang.

Gempa kemudian berjalan menghampiri Yaya yang memakai gaun berwarna krem. Gempa sendiri memakai setelan jas berwarna coklat tua.

"Coba genggam tangannya seperti tidak mau melepaskannya pergi, ya seperti itu… Yaya coba geser tubuhmu lebih jauh lagi…, yak tahan… tahan…"

Gempa merapikan jasnya kemudian menatap Yaya lagi. Ia tersenyum lembut melihat Yaya yang begitu cantik di depannya.

"Apa kau senang?" tanya Gempa.

"Senang sekali…. Sedikit lelah tapi senang," kata Yaya.

"Kau kira-kira bisa menggendong Yaya?" tanya Fang.

"Iya, bisa…," jawab Gempa.

"Coba gendong Yaya, tapi Yaya menghadapmu, kau tahu… seperti menggendong anak kecil," kata Fang.

"Hm… oh seperti itu…," Gempa merunduk sedikit kemudian memeluk kaki Yaya dan kemudian berdiri. Yaya memekik sedikit, merasa begitu tinggi dari lantai, ia menggenggam kedua bahu Gempa karena takut jatuh.

"Tenang, aku tidak akan menjatuhkanmu…," gumam Gempa. Yaya menenangkan jantungnya yang berdegup kencang dan tersenyum pada suaminya.

"Rasanya juga aku cukup familiar dengan adegan ini… dari drama Korea yang mana ya…," gumam Alif.

"Ini pose klise sekali untuk genre romance, kau pasti pernah melihatnya dari suatu tempat."

"Terima kasih ya, untuk semua ini…," gumam Yaya.

"Aku yang harusnya berterima kasih, karena sudah mau tetap menjadi istriku selama ini," balas Gempa.

Keduanya saling bertatapan lekat-lekat, tenggelam dalam pantulan di mata satu sama lain.

"Aduh, rasanya jadi gerah deh di sini…," goda Ying.

"Lompat ke sungai aja sana," balas Fang.

"Ih, kok kamu gitu sih!? Ya udah, aku beneran lompat nih ya…"

"Bercanda Ying! Aku bercanda!"

IoI

"Begini hasil semua fotonya…"

Gempa menatap dengan seksama foto-foto yang ada di kamera milik Fang. Mereka semua dengan berbagai pose dan warna baju yang berbeda, foto Api dengan Yaya tampak banyak yang blur tapi ada juga yang tampak indah, foto ciuman Yaya dengan Halilintar yang tampaknya terlalu passionate untuk dipajang, foto Air yang ada di pangkuan Yaya yang kelihatan begitu damai ataupun foto Taufan dan Yaya yang saling mendekap.

"Nanti ini semua masih akan diedit lagi," kata Fang.

"Terima kasih," balas Gempa. Fang hanya mendengus. "Kalian semua ternyata memang berbeda… awalnya aku sempat nggak percaya sama kata-kata Yaya…," gumamnya.

Gempa hanya tertawa kecil. "Yah, terima kasih atas bantuanmu…"

Fang mengangguk.

"Kau juga Alif, terima kasih ya…," kata Gempa beralih pada Alif yang sedang membereskan perlengkapan.

"Sama-sama, Tuan Direktur," katanya.

"Dia berbakat jadi asisten fotografer," timpal Fang.

"Oh ya? Kalau begitu, kalau misalkan aku dipecat dan butuh pekerjaan, boleh melamar jadi asistenmu?" tanya Alif.

Fang hanya tertawa spontan mendengarnya, begitu pula Gempa.

"Hei, kalian semua, laper nggak?" tanya Ying yang baru menghampiri mereka bersama dengan Yaya yang sudah berganti pakaian dengan pakaian yang lebih santai.

"Mau makan di restoranku?" tanya Yaya, kemudian menoleh pada Gempa, dengan mata yang menanyakan izin tanpa kata-kata. Ia melihat interaksi suaminya dengan Fang, Ying maupun Alif tampak cukup bagus hari ini, tidak dihantui ketakutan atau apapun.

"Ya, biar aku yang traktir," kata Gempa.

"Yes! Tapi… sudah bosan sama masakan restoranmu Yaya…," ujar Ying.

"Kalau begitu, di Sky Palace bagaimana?" tanya Gempa.

"Apa!? Sebentar, itu bukannya restoran di dalam hotel bintang lima itu?" tanya Ying dengan wajah tercengang.

"Iya…," jawab Gempa.

Tiba-tiba Ying menjadi kikuk begitu pula Yaya.

"Aku tahu restoran sea food yang enak, tidak jauh dari sini, bagaimana?" tanya Fang.

"Ah, itu saja, itu saja!" seru Ying.

Yaya mengangguk dan akhirnya Gempa juga mengangguk. Kemudian Gempa menoleh pada Alif sejenak.

"Memangnya makan di Sky Palace kenapa?" tanyanya dengan berbisik

"Uhm… tiba-tiba makan di tempat bergengsi sementara jelas kita kelelahan, bau keringat dan sebagian dari kita tidak tahu table manner, saya rasa itu alasannya Tuan Direktur," jawab Alif dengan sopan.

Gempa termangu kemudian mengangguk kecil.

Ia kemudian menatap Yaya yang sedang ditarik Ying menuju mobil, sementara Fang mengekor dari belakang dengan semua tas kamera yang dibawanya.

"Kau ikut 'kan?" tanya Gempa.

"Kalau Tuan Direktur mau mengajak saya," balas Alif.

Gempa tertawa kecil dan merreka berdua pun berjalan menyusul mereka semua.

Setelah 25 tahun hidup ini, akhirnya Gempa mulai mengerti apa itu yang disebut 'teman'. Ia awalnya berpikir itu semua cuma mimpi yang tak akan bisa diraihnya. Tapi, bersama dengan Yaya rasanya ia bisa menggapai mimpi-mimpi yang selama ini sudah lama ia pendam.

Dan mungkin saja, nantinya ia bisa menemukan lagi mimpi-mimpi yang baru.

Tbc

————————————

Kayaknya sebentar lagi mau tamat nih…

Oke, bila berkenan silakan me-review ya

Sampai jumpa lagi di chapter depan

——————————
K O L O M  N U T R I S I
——————————

1. Ada bayangan bagaimana pesta resepsi mereka digelar?

2. Yang manakah sesi photo shoot favoritmu?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 24 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro