Chapter 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf lama update-nya, biasa...

Selamat membaca!

------------

Sebenarnya apa alasan orang untuk menikah atau pun membangun keluarga? Berbeda dengan bernapas, makan maupun minum, bila tidak melakukan itu semua manusia akan mati. Namun, manusia tidak akan mati meski tidak menikah maupun tidak membangun keluarga, jadi kenapa menurut norma manusia sebaiknya menikah untuk membangun keluarga? Katanya itu merupakan insting untuk mencegah kepunahan, tapi bukankah bumi ini sudah terlalu padat dengan manusia?

Dulu, pikiran seperti itu yang dipikirkan Halilintar. Ia tidak paham kenapa pernikahan maupun memiliki anak merupakan tolak ukur kebahagiaan seseorang. Pertanyaan mengerikan "kapan menikah?" ataupun "sudah memiliki berapa anak?" menurutnya sangat menggelikan untuknya.

Tapi itu dulu.

'Karena kau tampak kelelahan sekali, aku tidak tega membangunkanmu, aku pergi dulu bersama bunda untuk melihat souvenir resepsi pernikahan kita, jangan lupa sarapan - Yaya'.

Halilintar hanya membuang kertas kecil berisi notes itu ke sembarang arah, merasa sedikit konyol ketika terbangun tadi ia sempat panik karena Yaya tak ada di sampingnya.

Rasanya sudah lama ia tidak tidur senyenyak itu, sudah lama juga ia tidak bangun sesiang ini.

Dulu, tidak ada orang yang memberikan notes untuknya.

Ia berjalan ke luar kamar menuju ruang makan, melihat sebuah tudung nasi, ketika dibuka terdapat sarapan yang sudah dipersiapkan oleh istrinya yaitu nasi goreng telur.

Dulu, tidak ada orang yang menyiapkan sarapan untuknya, setelah ia tinggal sendiri.

Sambil menguap, Halilintar menuju kamar mandi, ketika melepaskan piyama yang ia kenakan dan hendak menaruhnya ke keranjang pakaian kotor, ia melihat keranjang pakaian itu sudah kosong.

Dulu, tidak ada yang mencuci baju untuknya.

Kalau dipikir, hidupnya memang sudah berubah total dan lucunya, ia juga sudah terbiasa. Padahal dulu, ia merasa tidak nyaman dan agak terganggu dengan kehadiran Yaya di rumahnya, tempat dimana ia dan saudara-saudaranya bisa menjadi diri mereka sendiri. Namun, kini Yaya sudah menjadi bagian hidup mereka. Menjadi istri untuk mereka semua.

Ia sekarang terbiasa dimasakkan makanan, padahal dulu hanya bergantung pada delivery ataupun masakan Gempa atau Taufan. Ia sekarang terbiasa melihat pakaiannya selalu terlipat rapi di dalam lemari, padahal dulu ia harus menyiapkan pakaian kotor untuk dikirim ke laundry ataupun memasukkan kembali pakaian yang sudah di laundry ke lemari dengan asal. Ia sekarang terbiasa, bangun dengan kondisi rumah yang rapi, sarapan yang sudah menanti, kunci mobil, dompet dan tasnya ada di meja depan televisi, padahal dulu ia selalu menghabiskan setidaknya 15 menit untuk mencari kemana semua barang itu berada.

Ini kah alasan seseorang menikah? Cinta kan tidak harus selalu menikah, kalau begitu mungkin memang benar ini alasan orang menikah. Hidup bersama di dalam sebuah rumah, bukan hanya sekadar menjadi teman serumah, tapi sepasang suami istri yang saling melengkapi.

Dan cuma Yaya saja yang berhasil membuat memikirkan pikiran seperti itu di pagi hari seperti ini, padahal sebelumnya ia tidak bisa membayangkan pernikahan untuknya dan saudara-saudara kembarnya.

Selesai di kamar mandi kemudian memakai baju santai, Halilintar kembali ke ruang makan.

Yang kurang mungkin... karena Yaya tidak bisa menebak siapa yang akan bangun di pagi hari, ia tidak bisa menyiapkan minuman untuk mereka sebelumnya.

Halilintar suka meminum kopi di pagi hari, karena ia bukan orang yang bisa berfungsi dengan baik di pagi hari tanpa kafein. Sedangkan Gempa lebih suka teh. Taufan lebih suka jus buah. Api lebih suka susu dan terakhir Air lebih suka air es.

Halilintar membuka lemari dapur untuk mencari bubuk biji kopi giling yang memang khusus hanya untuknya, mungkin ada baiknya ia beli mesin pembuat kopi saja lain kali.

Kemudian matanya bertemu dengan sebuah kardus kecil yang agak mencolok, berwarna pink. Milik Yaya? Halilintar mengambil kardus itu agar bisa melihatnya lebih jelas.

Susu? Sepertinya susu... nama mereknya sedikit familier, seperti pernah melihatnya di iklan televisi ataupun ketika berbelanja ke swalayan. Gambar seorang wanita di bagian depan kardus membuat Halilintar sedikit mengernyit.

Ketika ia memutar dan membaca keterangan yang ada di samping kardus susu.

"Susu persiapan kehamilan...?"

Halilintar berhenti sejenak.

Kemudian membaca lagi. Namun, ia yakin ia membacanya dengan benar. Kemudian ia memutar kardus susu itu dan merasakan bagaimana secara cepat jantung berdetak lebih kencang.

Ia melihat kondisi kardus susu yang sudah terbuka dan kemasannya pun sudah terbuka.

Yaya... minum susu ini!?

Bayangan Yaya sedang menimang bayi kecil muncul di pikirannya, membuat Halilintar langsung bergidik dan hampir melemparkan susu itu begitu saja.

Oke, ia sudah mulai terbiasa dengan Yaya di hidupnya tapi ...

Ia sama sekali belum terbiasa untuk yang satu ini.

IoI

Yaya sudah mulai terbiasa pergi keluar dengan ibu mertuanya, awalnya terasa agak kikuk dan segan, terkadang ia terlalu tegang untuk bisa rileks. Namun, ibu mertuanya, atau yang lebih senang dipanggil dengan Bunda, adalah wanita yang ramah dan lembut. Aneh rasanya, ketika semua kembaran suaminya itu tak bisa dekat dengan wanita ini.

Tapi itu lah kenyataannya. Sisi Bunda yang cukup manipulative dan sedikit kejam hanya muncul bila sudah berhubungan dengan Boboiboy, tapi lepas dari itu Bunda adalah orang yang mudah untuk didekati.

"Bagaimana menurutmu contoh makanan untuk catering pernikahan ini? Enak?" tanya bunda.

Yaya mengangguk sambil tersenyum. Setelah pergi melihat souvenir resepsi pernikahannya, ia kembali diajak Bunda untuk mencoba contoh makanan untuk catering mereka yang disiapkan oleh bagian kuliner dari salah satu hotel Aba corporation.

"Bunda lebih suka yang sebelumnya, ada makanan barat dicampur dengan makanan melayu, atau... terlalu banyak variasi juga tidak bagus?" tanyanya.

Terkadang Yaya merasa resepsi pernikahan itu merepotkan sekali, ketika pernikahannya saja awalnya sudah membuatnya pusing, kadang ia heran banyak orang kuat mengurus pernikahan seperti ini.

"Saya pribadi lebih senang masakan melayu, Bun. Tapi, masakan barat juga oke," jawab Yaya.

Bunda kembali bicara dengan sang wedding organizer untuk resepsi pernikahannya. Mereka membicarakan banyak hal, mulai dari jumlah tamu, tren makanan pernikahan terkini dan hal-hal yang kurang Yaya pahami.

"Tapi, baju pengantinnya kemarin sudah pas 'kan ya?" tanya sang wedding organizer pada Yaya, membuat sang gadis berkerudung pink itu menoleh pada mereka.

"Iya, sudah pas," jawab Yaya. Baju pengantin yang sudah dipilihnya dan suaminya setelah membuat sesi fashion show privat, berupa gaun pengantin berwarna putih yang tidak terlalu mewah, tidak terlalu ketat dan cukup nyaman untuk dipakai, hampir seperti gaun malam biasa. "Toh, aku sudah puas melihatmu memakai berbagai gaun pengantin lain, untuk orang lain lihat cukup yang begini saja," kata suaminya waktu itu, puas dengan berbagai hasil foto Yaya dengan berbagai baju pengantin.

"Untunglah baju pengantin itu tidak terlalu ketat, kadang pasangan lain ada yang calon istrinya sudah hamil sebelum resepsi, jadi baju pengantin tidak bisa muat lagi di hari H, hal seperti itu benar-benar memusingkan... Kalau untuk baju pengantin itu, saya rasa anda akan aman-aman saja," celetuk sang WO.

"Oh ternyata ada yang seperti itu ya...," gumam sang Bunda.

"Kadang dari pihak perempuannya sendiri tidak sadar dia sudah hamil, tahu-tahu sudah hamil 3 bulan...," lanjut sang WO.

Mereka tidak begitu menyadari wajah Yaya yang bersemu merah. Gadis itu tidak tahu harus bicara apa.

Hamil? Jangankan hamil, suaminya saja belum pernah menyentuhnya dengan cara seperti itu.

Yaya rasa, cara mereka memulai hubungan mereka memang tidak sesuai alur pasangan lainnya. Yaya merasa, akhirnya mereka sudah semakin mirip seperti pasangan suami istri pada umumnya. Halilintar sekarang sudah tidak dingin lagi padanya, atau justru kebalikannya, caranya menyampaikan perasaannya bisa diadu dengan Taufan. Taufan yang awalnya terasa sangat mesum, ternyata cukup melankolis dan gentleman terhadapnya, siapa yang menyangka. Gempa yang terlihat bisa diandalkan kadang menampilkan sisi manja yang tidak terduga. Api yang tampak temperamental, sekarang perlahan mulai bisa mengatur emosinya. Begitu juga dengan Air yang sekarang sudah mulai bisa bersosialisasi dengan baik.

Tapi memang, kamar mereka masih terpisah, Yaya tidak pernah menuntut, bahkan juga tidak pernah bertanya. Namun, ia tahu, suaminya masih membutuhkan saat-saat privasi khusus untuk dirinya sendiri. Yaya masih sering mendengar suaminya bicara sendiri, atau sebenarnya bicara pada kembarannya yang lain, di dalam kamar.

Dan soal hamil...

Jujur ... sebenarnya Yaya merasa gatal ingin berkonsultasi pada seseorang. Namun, siapa yang akan bisa mengerti?

Suaminya, lima anak kembar itu, tidak terbiasa disentuh orang lain, Yaya tahu. Tumbuh besar dengan masa kecil seperti itu, mereka tidak memiliki hubungan antar manusia yang normal sebelumnya. Memang, mereka semua tidak memiliki kesulitan menyentuh Yaya, tapi untuk orang lain, Yaya bisa melihat kedut ganjil ketika suaminya hanya sekedar berjabat tangan saja, atau badannya spontan menegang bila ada orang lain, Yaya bisa melihat kedut ganjil ketika suaminya hanya sekedar berjabat tangan saja, atau badannya spontan menegang bila ada orang lain yang tiba-tiba menyentuhnya.

Meski di film, drama ataupun novel sering menggambarkan bagaimana laki-laki itu secara natural senang dengan hal-hal hubungan badan, tapi memang semua kembaran suaminya itu tidak ada yang normal. Yaya mengerti itu.

Namun, apa tidak aneh?

Hanya butuh kurang dari satu minggu sebelum suaminya itu menciumnya. Namun, sudah berbulan-bulan mereka tidak pernah menunjukkan tanda-tanda ingin lebih dari itu.

Yaya kadang merasa khawatir suaminya mengalami disfungsi seksual, tapi tidak tahu bagaimana cara untuk menanyakannya langsung.

Namun, jelas juga mereka juga mengaku terang-terangan kalau mereka ingin memiliki anak dengan Yaya.

Jadi...?

Apa Yaya yang salah? Apa sebenarnya ada semacam kode mengenai hal itu yang Yaya gagal untuk tangkap? Apa ada semacam salah paham?

"Yaya? Kau baik-baik saja?"

"Oh! Iya .. Saya baik-baik saja, Bun .. cuma melamun sedikit," jawab Yaya, tersentak dari lamunannya dengan cepat.

Kalau dipikir-pikir, Bunda juga tidak pernah membahas soal kehamilan ataupun anak, mungkin karena sudah paham kondisi Boboiboy seperti apa. Seperti tidak ada ekspektasi, hanya diam dan menanti apa yang akan terjadi. Atau mungkin pembicaraan mengenai kehamilan ataupun anak merupakan topik sensitif untuk Bunda, Yaya masih kurang paham.

IoI

"Assalamualaikum..."

"Wa'alaikumsalam..."

Yaya tersenyum, jarang kondisi ini terjadi, suaminya yang menyambutnya pulang, bukan sebaliknya. Ia melihat suaminya menghampirinya, dengan baju santai dan ... apa hanya perasaannya, tapi Yaya melihat postur tubuh suaminya agak gelisah.

"Apa terjadi sesuatu?" tanya Yaya, segera menyalami tangan suaminya kemudian bertanya dengan sedikit khawatir.

"Oh... nggak, nggak ada apa-apa...," dari cara bicara, gerak tubuh dan ekspresi itu, Yaya cepat mengambil kesimpulan kalau yang ada di hadapannya ini Taufan. Namun, bukan hanya menebak siapa yang sedang memegang kendali, sekarang Yaya juga sudah bisa melihat ketika suaminya berbohong.

"Beneran?" tanya Yaya lagi.

"Cuma kangen aja, ditinggal seharian, padahal hari libur...," Taufan berkelit dengan apik, Yaya harus akui itu. Mulutnya itu memang lebih gombal dibanding yang lain.

"Maaf ya, tapi aku juga tahu kamu nggak suka berpergian bareng Bunda," balas Yaya.

"Iya sih...," Taufan kehabisan kata-kata.

Yaya mendelik sedikit. Suasana canggung apa ini? Taufan biasanya akan meminta peluk, cium, atau sekedar menggandeng tangannya dan mereka akan duduk santai di sofa. Bukannya cuma berdiri dengan sikap tubuh yang gelisah.

Ini bukan kode 'kan? Kalau dipikir, bila Yaya saja tidak mengerti soal kode, apalagi semua kembaran suaminya.

"Sudah makan?" tanya Yaya, mengalihkan pembicaraan. Ia menaruh tasnya di sofa dan duduk, Taufan mengikutinya, tapi jelas membuat sedikit jarak dengannya. Yaya jadi semakin merasa aneh.

"Sudah.., nasi goreng telur kamu tadi enak deh... mantap... istriku sekarang udah mulai jago masak nih," goda Taufan.

Yaya tertawa kecil, tapi godaan itu masih terasa ganjil, karena tidak ada sentuhan manja ataupun sedikit genit yang biasanya suaminya itu berikan padanya.

"Maksudku makan siang...," tambah Yaya.

"Oh... sudah-sudah... Gempa masak spageti tadi, tuh masih ada sisa, buat makan malam katanya," jawab Taufan, semakin lama tampaknya ia tidak bisa menutupi rasa canggungnya.

Jarang sekali Yaya melihatnya seperti ini, orang yang easy-going seperti Taufan, terlihat begitu canggung di depannya. Ia adalah kembaran yang mampu menggoda Yaya pertama kali ketika mereka pertama menikah, melihatnya seperti ini terasa aneh.

Yaya menggeser duduknya, merapat pada suaminya dan menatap matanya.

Taufan terlihat semakin panik tapi hanya diam di tempat.

"Kenapa?" tanya Yaya singkat.

Taufan menghindar dari tatapan matanya, melihat ke segala arah selain Yaya.

"Aku cuma... hahaha... uhm...," Taufan menggosok belakang lehernya dengan kikuk. Kemudian ia mendesah dan akhirnya balik menatap Yaya.

Dan kemudian menciumnya.

Yaya sedikit terkejut, tapi ia mendesah sedikit dan menutup matanya.

"Hm...?"

Ciuman ini terasa sedikit berbeda dari biasanya? Yaya merasakan bagaimana Taufan meraih wajahnya dan memiringkannya ke arah yang membuatnya bisa menciumnya lebih dalam. Tangannya mengusap lembut wajahnya dan mendekapnya sementara bibirnya terus bergerak.

Kepala Yaya terasa sedikit pusing dan jantungnya berdegup lebih kencang.

Ketika akhirnya mereka mundur untuk mengambil napas, Taufan kembali mengecup bibirnya dengan ringan beberapa kali.

Yaya sedikit terkejut ketika bibirnya terus dicium, tubuhnya perlahan direbahkan ke atas sofa. Wajahnya memerah, tapi ia tidak mengatakan apapun. Taufan yang berada di atasnya pun wajahnya memerah, pemandangan yang jarang Yaya lihat.

"Urgh..."

Tiba-tiba Taufan mendesah dan segera mundur sambil menutup matanya dengan tangannya.

"Eh?" Yaya hanya bergumam dengan bingung.

"Maaf aku... ugh...," Taufan mengusap wajahnya dengan tangannya, wajahnya masih memerah dan terlihat malu, tapi yang paling jelas adalah wajahnya yang kelihatan gelisah.

"Uhm... kamu nggak perlu minta maaf...," gumam Yaya, meski dalam hati ada perasaan kecewa yang berusaha tidak ia pedulikan. Perlahan ia duduk kemudian diam menanti sambil menatap Taufan yang tampak sangat gelisah, ia terus mengusap wajahnya dan terkadang mengacak rambutnya sebelum akhirnya ia melihat lantai.

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya suaminya itu kembali bicara.

"Aku... sebenarnya... begini...," meski sudah diberi waktu, tampaknya ia masih kesulitan menyusun kata-kata. Yaya meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Berusaha menenangkannya dalam diam.

Taufan menarik napas dalam kemudian tertawa hambar.

"Hahaha... kurasa hari ini sikapku aneh sekali... baru kau saja yang bisa membuatku sampai kehabisan kata-kata begini Yaya...," katanya sambil tersenyum tipis.

Kebiasaan Taufan berusaha mengalihkan perhatian dari topik yang tidak ia sukai, Yaya masih menggenggam tangannya dengan erat sambil tersenyum.

"Ugh... ini semua karena... yang lain jahat sekali, kenapa harus aku coba? Ugh... begini... sebenarnya...," Taufan mengerti kalau ia tidak punya pilihan lain, kalau ia terus menghindar lama-lana Yaya akan terluka. Satu-satunya pilihan hanya membahas topik ini sekarang juga.

"Aku.... Bukan Halilintar... maksudnya, kami, menemukan... uhm... kardus susu milikmu...."

Yaya mengerjapkan mata, agak sedikit tidak paham sampai akhirnya ia mengerti apa yang Taufan maksud.

"Ah!" serunya dengan wajah sedikit merah.

Sekarang ia langsung paham dengan semua gerak-gerik aneh suaminya.

"Itu ... Itu dari Ying, sambil bercanda, meski kurasa ia juga serius, saat memberikannya padaku... aku jadi... maksudku... maaf aku nggak membicarakan ini denganmu sebelumnya," sekarang giliran Yaya yang menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Huft... yah, nggak perlu minta maaf segala...," balas Taufan dengan kikuk.

Sepasang suami istri itu terdiam untuk beberapa saat.

"Kurasa salahku juga nggak pernah membicarakannya dengan serius."

"Soal?"

"Soal... anak...."

"Oh..."

Keduanya kembali terdiam, tidak mampu memandang mata sama lain. Wajah Yaya sendiri terasa sangat panas. Ia juga merasa malu dan kalut saat menerima susu pemberian Ying itu, entah darimana tapi sahabatnya tahu kalau ia belum pernah meminum susu seperti itu sebelumnya. Kemudian ia meminumnya tanpa pikir panjang, entah apa yang ia pikirkan, mungkin Yaya berpikir lebih baik ia siap-siap dari sekarang bila nanti suatu saat tiba waktunya.

"Hahaha... sebenarnya kita ini memang aneh ya... orang menikah biasanya langsung membicarakan hal ini... sebenarnya sudah berapa lama kita menghindari membicarakan ini?" canda Taufan sambil tertawa kecil.

Wajah Yaya masih merah, tapi ia memberanikan diri menatap Taufan.

Dari semua kembaran suaminya, ia paling tidak menyangka akan membicarakan ini dengan Taufan.

Gempa ... mungkin setidaknya?

"Jangan pandang aku dengan tatapan begitu, kau harus tahu bagaimana reaksi kita tadi saat menemukan kardus susumu... Semuanya langsung lempar tanggung jawab untuk membicarakan ini denganmu, bahkan Gempa, kau tahu dia bilang apa? 'Karena sepertinya kau yang paling semangat punya anak, ini tugasmu' begitu katanya! Huh!" Taufan cemberut sedikit sebelum sadar ia mengatakan sesuatu yang salah.

"Bukan begitu maksudku... bukannya aku nggak mau... begini...," Taufan menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Kalau bukan karena topik dan situasi ini, mungkin Yaya akan bisa lebih menikmati sisi lain dari Taufan yang jarang ia lihat ini, rasanya ia terlihat manis sekali.

"Kau yang pertama menyebut mau punya anak, kau ingat?" gumam Yaya, akhirnya bisa kembali bicara.

Taufan kembali gelagapan. "Oh itu... itu... ah..."

Suaminya kembali menutup wajahnya dengan tangannya.

"Saat itu karena kupikir... punya anak adalah cara agar... kau tetap bersama kami..."

Suaranya lebih kecil, namun Yaya bisa mendengarnya dengan jelas. Taufan tampak tak mampu memandang matanya, bila tadi wajahnya terkesan begitu malu dan kikuk, sekarang berubah menjadi lebih sendu.

"Maksudku saat itu... kupikir kamu adalah wanita terbaik yang bisa kami dapat, maksudku itu kenyataannya sampai sekarang, kupikir saat itu... tanpa cinta juga nggak masalah... kita bisa jadi teman, bisa menjadi keluarga, membesarkan anak bersama... kira-kira seperti itu?"

Yaya hanya bisa diam mendengarkan.

Taufan kembali mendesah. "Jujur Yaya, kurasa kamu pun sudah tahu, kita sebelumnya... membayangkan bisa menikah pun nggak sanggup, apalagi membangun keluarga... punya anak..." Taufan menggelengkan kepalanya.

"Ini juga salahku... karena reaksiku setiap saat kalian menyebutkan soal memiliki anak...," balas Yaya dengan wajah memerah.

Tentu saja ia ingin, meski separuh hati merasa ia belum siap, merasa belum sanggup menjadi orang tua yang baik, merasa ia masih perlu banyak waktu untuk bisa mengenal suaminya lebih baik lagi sebelum hadir anggota keluarga yang lain.

"Nggak... aku, kami mengerti... lagipula biasanya kami menyebutkannya dengan nada bercanda, tapi kenyataannya mau membicarakannya dengan serius saja semuanya langsung kabur begini," tepis Taufan, kali ini ia yang meraih tangan Yaya dan menggenggamnya dengan erat.

"Yaya... semakin aku, kami mengenalmu... semakin kami... uhm... kau adalah segalanya, sesuatu paling indah yang pernah terjadi dalam hidup kami, makanya sejujurnya kami sering merasa..."

Yaya menatap Taufan yang menggulirkan pandangannya ke samping.

"Uhm... merasa tidak layak..."

Hati Yaya sakit mendengarnya.

"Seperti... kami sudah menerima sebanyak ini darimu tapi masih meminta lebih... terkesan serakah... seperti tidak tahu terima kasih...," lanjut Taufan.

"Anak? Haha... dari kami? Sekarang setelah kami sadar betapa pentingnya dirimu... anak... anak dari kami, aku sangat menyukai pikiran... bagaimana bila dirimu versi kecilnya, Yaya kecil, menjadi anggota keluarga baru kita... tapi... kalau kami versi... ugh... membayangkannya saja aku..."

Yaya menatap Taufan dengan sendu.

Meski mereka mencintai Yaya, sangat mencintainya. Namun, mereka masih kesulitan untuk sekedar bisa menyukai, sedikit saja, diri mereka sendiri. Setelah banyak hal terjadi, dibesarkan dengan cara seperti itu, tidak aneh bila mereka sendiri memandang diri mereka seperti bukan manusia.

"Kadang... lebih mudah membayangkanmu... bersama dengan laki-laki yang lebih normal, memiliki anak, membangun keluarga... tentu saja aku ingin, aku juga ingin, aku tahu yang lain juga ingin tidak peduli apapun yang mereka katakan, tapi... tetap sulit membayangkannya... makanya..."

Yaya mengusap wajah Taufan, akhirnya suaminya mau menatapnya. Matanya terlihat sendu dan sedikit berkaca-kaca.

Yaya tidak pernah membayangkan perasaan mereka seperti itu, merasa tidak layak, merasa seperti meminta terlalu banyak, merasa sulit untuk membayangkan.

Karena itu mereka tidak pernah melakukan lebih dari sekedar ciuman. Bagaimana kadang mereka meminta sentuhan-sentuhan kecil yang terkesan sepele, seperti tidur di pangkuan, ataupun memeluk, tetapi wajah mereka terlihat sangat senang. Membuat Yaya ingat, bagaimana suaminya tidak pernah menyentuh orang tuanya sendiri, hanya salim saja. Tidak ada pelukan, tidak ada tepukan, ataupun genggaman tangan.

Hidup terasing begitu lama setelah Tok Aba meninggal, apa itu yang membuat mereka merasa tidak layak mendapatkan semua itu?

"Taufan... yang lain juga dengar...," kata Yaya dengan lembut, ia mengusap wajah suaminya.

"Aku istri kalian bukan? Aku tidak berencana jadi istri orang lain, aku istri kalian semua. Maaf kalau selama ini aku juga terkesan tidak mau memiliki anak, bukan begitu maksudku. Aku perlu waktu untuk mengenal kalian semua, sebelum nantinya kita sibuk dengan urusan anak. Aku juga ingin memiliki anak dari kalian. Versi kecil kalian? Kurasa akan sangat manis, manis sekali dan aku tidak khawatir anak kita akan jadi seperti kalian. Lihat sekarang, kalian semua, dengan semua yang kalian alami, berada di sampingku, terus tegar menghadapi semuanya, aku harap anak kita pun nanti akan seperti kalian."

Taufan tampak tertegun mendengarnya. Yaya tahu, dia, dan semua kembarannya, masih kesulitan menerima semua kata-katanya, itu yang terjadi kalau kau membenci dirimu sendiri terlalu lama, tapi Yaya tetap sabar dan berusaha untuk lebih pengertian.

"Tapi, aku tidak mau kalian merasa kalian tidak layak hanya untuk sekedar menyentuhku. Aku istri kalian, yang artinya, aku halal untuk kalian. Aku mengerti kalau kalian butuh waktu, tapi aku tidak mau menerima alasan kalian tidak mau menyentuhku karena merasa tidak layak, oke?"

Taufan mendesah sedikit, ia mengangguk kecil dan Yaya tersenyum puas.

"Soal anak mari kita bicarakan pelan-pelan... tidak perlu terburu-buru, aku akan tetap berada di sini, sampai tiba saatnya kalian merasa siap, banyak yang harus dilakukan, aku saja pusing harus memulai darimana," kata Yaya sambil tertawa kecil.

"Oh... seperti cek kesehatan sebelum kehamilan, sebaiknya sebelum menikah malah, kemudian kontrasepsi, perencanaan kehamilan dan sebagainya?" tanya Taufan, membuat Yaya kembali tertawa.

"Ternyata kalian sudah mencari tahu juga... yah, kupikir, kita jalani semuanya perlahan, membiarkannya mengalir dengan sendirinya, kalau sudah siap, nanti kita bisa mulai semuanya...," Yaya tersenyum kemudian mengecup pipi Taufan.

Taufan terlihat lega dan lebih rileks, gelagatnya yang kikuk dan canggung sudah menghilang. Ia menarik napas lega dan duduk bersandar ke sofa.

"Sejak menikah denganmu, aku nggak kepikiran aku yang bakal membicarakan ini semua sama kamu... ya ampun, semuanya emang brengsek...," gerutunya pelan membuat Yaya kembali tertawa.

"Apalagi aku... tapi sebenarnya, Gempa memang nggak bisa ngomong soal beginian 'kan? Apalagi yang lain...," Yaya ikut menyandarkan diri ke sofa, tubuhnya merapat dengan Taufan.

"Meski Api nggak se-innocent itu, tapi aku pikir dia malah nggak mengerti, kenapa ini jadi penting dan jadi masalah besar," Taufan tertawa kecil, tangannya menyelinap ke pinggang Yaya dan menyamankan diri di sana. Yaya mendesah dan menyenderkan kepalanya di bahu Taufan.

"Kurasa Air juga sama."

"Yah, mereka berdua itu mirip... nggak juga sih, kita semua sebenarnya mirip..., bedanya mungkin aku, Gempa dan Halilintar kadang, bisa lebih peka."

"Oh ya...? Masa kalian lebih peka?" goda Yaya.

"Asal jangan main kode-kodean... aku masih bisa ngerti," balas Taufan. Yaya kembali tertawa.

Mereka berdua akhirnya kembali diam, kali ini bukan keheningan yang terasa canggung, tapi keheningan yang terasa damai dan tenang. Jemari Taufan memainkan jemari Yaya yang ada di genggamannya.

"Sebenarnya kita juga masih harus ngomongin 'itu'," celetuh Taufan, memecah keheningan.

"Itu?"

"Tapi enak aja, bukan aku yang bakal ngomongin 'itu', aku udah cukup dengan topik ini, nanti giliran yang lain," kemudian Taufan tertawa, membuat Yaya bingung.

"Kamu ngomong apa sih? Aku nggak ngerti...," tanya Yaya bingung, tapi Taufan menggeleng.

"Nanti juga tahu," katanya dengan senyum sedikit jahil.

Yaya memiringkan sedikit kepalanya tapi tidak kembali bertanya. Apakah akan ada pembicaraan seperti ini dengan topik yang berbeda? Karena ia sudah menikah dengan seorang laki-laki yang memiliki lima jiwa di dalamnya, sepertinya Yaya memang harus mempersiapkan diri untuk hal-hal seperti ini.

"Akan kutunggu kalau begitu," balas Yaya membuat Taufan tertawa.

Apapun itu, selama bisa saling berkomunikasi untuk bisa saling mengerti satu sama lain, Yaya yakin tidak akan ada masalah, itu pasti.

Tbc

------------

'Itu'?

Coba tebak apa 'itu'?

Dan coba kalian tebak juga, siapa yang bakal ngomongin 'itu' dengan Yaya.

Silakan review bila berkenan.

Oh, iya .. Satu lagi-

SELAMAT MENUNGGU CHAPTER SELANJUTNYA~~

Semoga kita dapat berjumpa kembali.

----------
K O L O M N U T R I S I
----------

1. Sepanjang 25 chapter di LTWYA, coba sebutkan sifat para kembaran!

2. Kamu ada pengalaman diskusi yang menegangkan? Coba ceritakan di sini!

3. Terima kasih telah mengikuti LTWTA sampai sejauh ini ^_^ Silakan kalian keluarkan unek-unek atau mau misuh-misuh mengenai LTWYA XD

4. Apa pendapatmu terhadap Chapter 25 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro