Pt - 8 •Benci dan Cinta•

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Angin malam yang bertiup cukup kencang membuat tubuhku sedikit mengigil kedinginan. Namun, Zilian masih diam tidak mengeluarkan barang sepatah kata pun. Padahal aku berujar seperti itu hanya untuk memancingnya memberikan jawaban yang kuinginkan, tapi dia hanya bungkam seolah enggan memberikan jawaban.

"Lo ke sini naik apa?" Laki-laki itu bahkan mengganti topik pembicaraan alih-alih menjawab pertanyaan.

"Apa sekarang itu penting? Zilian, kenapa aku ngerasa sekarang sikap kamu kayak bunglon? Tadi siang aja kamu marah-marah, minta aku buat jauhin kamu. Dan setelah aku lakuin itu, kamu malah bilang aku campakin kamu?"

Aku benar-benar dibuat bingung dengan sikap Zilian ini. Seperti saat di dalam restoran tadi, sikapnya begitu perhatian bahkan pada hal-hal kecil seperti memotongkan steak, memberikan tisu, menyodorkan air, dan masih banyak lagi hal remeh yang dilakukannya yang membuatku tercengang. Namun, setelah keadaan sunyi, hanya ada aku dan dia, Zilian kembali ke pengaturan awal. Sinis, dingin, dan mendominasi. Aku merasa seperti ... berhadapan dengan orang yang berbeda.

"Sikap gue ke lo itu tergantung situasi dan kondisi, kok." Zilian mengambil langkah maju, lalu memakaikan jaket kulit yang sejak tadi dipegangnya ke tubuhku hingga menutup bahu yang terekspos. "Lagian, bukannya status kita udah pacaran, ya? Itu kan mau lo?" Laki-laki itu mendongakkan wajahku, menjepit dagu dengan ibu jari dan jari telunjuk.

Aku tidak pernah mengetahui sisi Zilian yang seperti ini. Dia ... cukup menakutkan. Tatapan dinginnya dan sikapnya yang agresif berhasil menjadi penyebab utama jantungku berdebar hebat.

"Ya, tapi ...." Mendadak keraguan muncul dalam hatiku. Apakah jalan yang kutempuh sudah benar? Apakah aku bisa hidup dengan tenang setelah menjadikan Zilian alat untuk menjauhkanku dari Mas Juan?

"Kenapa, Alea? Apa sekarang lo ngerasa perasaan gue ke lo itu enggak tulus?" Zilian menjauhkan tangannya dari wajahku. Laki-laki beralih melipat tangan sambil menelengkan kepala, seolah tengah memberikan penilaian padaku. "Tapi, Alea. Gue rasa ... cewek kayak lo enggak pantes dapat ketulusan dari gue. Lagian, bukannya dari awal lo deketin gue karena suatu tujuan, ya? Kalau gitu, kita sama. Mari jalani hubungan ini sampai tujuan kita tercapai."

Aku mengembuskan napas panjang. Lagi pula nasi sudah menjadi bubur. Sekali pun mundur, aku juga tidak tahu harus melakukan apa untuk mencegah takdir di masa lalu. Maka pilihan terbaiknya adalah, menjalani apa yang sudah dipilih sejak awal. Jika rencanaku berjalan dengan lancar, aku akan terlepas dari Mas Juan dan hidup aman. Namun, jika gagal dan tidak bisa menghindari kematian, setidaknya aku tidak menyesal karena pernah berusaha semaksimal mungkin.

Dua sudut bibirku tertarik ke atas membentuk lengkungan. Lantas aku memanjangkan tangan sembari berkata, "Okay. Mulai detik ini, kita resmi pacaran." Meski aku tidak tahu bagaimana hubungan ini ke depannya.

"Sepakat." Zilian menyambut uluran tanganku sambil tersenyum simpul.

***

"Serius, Le? Astaga! Gue enggak nyangka lo bakal segila ini." Tawa Rona yang begitu nyaring membuatku menjauhkan ponsel dari depan telinga. Entah apa yang perempuan itu tertawakan, padahal aku hanya menceritakan kejadian di lapangan. Pun setelah Rona yang bertanya duluan.

"Hm. Tapi enggak langsung di terima. Lo tahu bagian ter-epic-nya di mana?" Aku berujar dengan santai sambil mengaduk-aduk kopi yang baru diseduhkan oleh Bi Dila.

"Apa, tuh, apa?" Rona menyahut dari seberang sana. Nampak sekali kalau perempuan itu antusias ingin mendengar kelanjutnya.

"Zilian ngenalin gue sama mamanya. Kita ketemu di resto dekat kantor papa gue." Ucapanku langsung disambut dengan jeritan histeris Rona. Aku lantas meletakkan ponsel di meja belajar usai mengaktifkan speakernya. Lalu menyalakan komputer yang ada di meja.

"OMG! Gue bener-bener nggak nyangka ternyata Zilian masih suka sama lo."

Aku hanya tertawa hambar mendengar tanggapan dari Rona. Masih suka? Tentu saja tidak. Aku yakin Zilian sangat membenciku. Dia tidak suka diusik, tidak suka diganggu ketenangannya, terlebih dia tidak ingin terlibat dengan kakak sepupunya. Namun, aku dengan tidak tahu dirinya justru membuat Zilian mau tidak mau berurusan dengan Mas Juan nantinya.

"Gue juga nggak nyangka ...." Saking sukanya, Zilian sampai muak dengan segala tindakanku. Jika bukan karena terpaksa aku yakin laki-laki itu bahkan tidak sudi bertemu denganku.

Setelah bercakap-cakap, membuang waktu dengan obrolan yang tidak penting, aku mematikan sambungan telepon. Kini sunyi yang sempat kurasa sebelum telepon dari Rona kembali menyapa.

Baru saja tanganku hendak meraih cangkir kopi, teleponku kembali berdering. Namun, kali ini bukan nama Rona yang muncul di layar persegi itu melainkan nama Zilian.

Ada rasa gugup yang menyerang saat melihat nama Zilian. Entah apa yang ingin disampaikan oleh laki-laki hingga meneleponku saat malam sudah mulai larut. Sembari membuang napas panjang, aku menekan tombol hijau lalu menempelkan benda elektronik itu ke depan telinga.

"Ya, Zilian?" ujarku setelah sambungan telepon terhubung.

Sedetik, dua detik, tiga bahkan dalam hitungan sepuluh detik pun suara Zilian tetap tidak terdengar dari seberang sana, membuat aku berulang kali melakukan pengecekkan pada layar ponsel, memastikan apakah masih terhubung atau tidak. Detik yang berjalan, terus bertambah menyatakan kalau panggilan ini belum terputus.

"Zilian? Ada apa?" tanyaku sekali lagi. Hingga tepat pada detik ke dua puluh, barulah terdengar suara grasah-grusuh dari seberang sana.

"Alea, gu ... e benci sama lo." Suara Zilian dari seberang sana terdengar seperti meracau. Nampaknya laki-laki itu sedang berada di bawah pengaruh alkohol.

"Lo ... ce-wek ja-hat! Gue benci sama lo, Alea," racaunya lagi. Kekehanku lolos mendengar ungkapan dari Zilian. Sudah seharusnya laki-laki itu membenci seseorang yang tidak tahu diri seperti aku ini.

Orang gila mana yang masih menaruh hati pada seseorang yang sudah menggantungkan perasaannya selama satu tahun? Jawabannya tidak ada! Zilian menerimaku sebagai pacarnya juga bukan karena laki-laki suka padaku melainkan karena dendam yang sudah lama terpupuk dalam hati.

Selama satu tahun aku terus mengabaikan perasaannya, tidak memedulikan keberadaan laki-laki itu. Bahkan-jika aku tidak mengalami pengulangan hidup untuk kali kedua-mungkin aku tidak akan pernah mengetahui kalau Zilian menyukaiku dan aku menjadi orang jahat, yang menggantungkan perasaannya selama bertahun-tahun sampai aku dan Mas Juan menikah.

"Iya, Zilian. Aku tau. Kamu pasti benci banget sama aku, 'kan?"

Terdengar suara gumaman Zilian yang menjawab pertanyaanku. Namun, perkataan laki-laki itu selanjutnya membuat tubuhku membeku seketika.

"Tapi, Alea ... meski gue benci banget sama lo, gue ... juga masih sangat, sangat, sangat mencintai lo." Ada kekehan ringan yang menyela ucapannya. Setelahnya laki-laki itu kembali berujar, "Saking cintanya gue enggak mau lo disakitin sama cowok lain selain gue. Cuma gue yang berhak ngelakuin itu. Alea, marry me?"

***

Selesai ditulis tanggal 28 Mei 2024.

Kaget dikit ga ngaruh😭😭😭😭😭

Aku ga banyak cuap-cuap, kemarin lusa dapurku kena musibah. Nyaris aja kebakaran karena obat nyamuk bakar😭😭😭 jadi aku nggak fokus nulis. Terus kemarin malam, aku mau nulis, tp mataku nggak bisa diajak kerja sama. Yo wes, subuh ae lah.

See u aja deh, gesss❤🔥🔥🔥

Luv, Zea❤🔥🔥🔥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro