Pt - 9 •Mengakui Perasaan•

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini telingaku yang bermasalah atau Zilian yang kejauhan ngelanturnya? Apa tadi dia bilang? Marry me? Sumpah demi apa pun, kata-kata Zilian membuat jantungku berdebar kencang. Bagaimana bisa seseorang yang mengungkapkan kata benci, malah berubah haluan menjadi lamaran dadakan?

Aku bahkan tidak bisa lagi mendengar racauan Zilian selanjutnya dan memilih menjauhkan telepon genggam dari telinga agar jantungku aman untuk sementara. Namun, suara lain seseorang yang terdengar memanggil membuatku kembali mendekatkan ponsel ke telinga hingga aku bisa mendengar dengan jelas perkataannya.

"Lo pacarnya Lian, ya? Bisa tolong jemput dia? Ini anak enggak mau berhenti minum padahal udah mabuk berat." Suara laki-laki lain yang terdengar asing di telinga tidak membuatku langsung percaya pada perkataannya. Namun, aku tetap ingin bertanya untuk memastikan.

"Zilian di mana?"

"Di apartemen gue. Dia datang-datang udah mabuk begini. Lo bisa datang dan jemput dia sekarang? Gue khawatir kalk dia minum terus bisa ba—"

"Kirim alamatnya. Gue pergi sekarang." Aku mematikan sambungan telepon sepihak. Aku tahu betul bagaimana sikap Zilian jika sudah mabuk. Dia tidak akan berhenti minum sampai benar-benar tidak sadarkan diri. Selagi dia masih sadar, laki-laki itu akan mencari bir atau anggur fermentasi yang memiliki kadar alkohol tinggi.

Kopi yang sudah mulai dingin itu kusempatkan untuk meminum sebelum menganti piama dengan celana jeans dan sweater serta memakai jaket kulit milik Zilian yang dipinjamkan laki-laki itu padaku.

Pukul sepuluh malam, masih tidak terlalu larut untuk aku bepergian dan mencari taksi agar bisa tiba di tempat tujuan. Aku tidak mungkin mengendarai mobil papa yang terparkir di garasi, bisa-bisa beliau tidak akan mengizinkanku pergi apalagi kalau tahu aku ingin menemui Zilian.

Suara notifikasi di handphone membuatku atensiku teralih pada benda elektronik yang kuletakkan di atas meja rias. SMS dari Zilian yang mengirimi alamat apartemen.

Setelah selesai bersiap, aku langsung mengunci pintu kamar. Pukul segini papa biasanya sering keluar untuk menyeduh teh di dapur. Daripada ketahuan dan ditanyai macam-macam, aku lebih memilih pergi lewat jendela. Dengan sangat hati-hati aku membuka, lalu keluar sebelum menutupnya dengan perlahan agar tidak menimbulkan kegaduhan.

Mataku mengedarkan pandangan ke sekeliling, tidak ada orang. Aku lantas bergegas keluar pagar usai membukanya dengan sangat pelan agar tidak menghasilkan suara nyaring yang berpotensi membuat papa keluar rumah untuk memeriksa.

Aku mengembuskan napas lega setelah bisa keluar dari pagar tanpa diiringi dengan kendala. Lantas dengan langkah cepat aku keluar dari kompleks perumahan untuk mencari taksi. Sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak padaku malam ini. Belum satu menit aku menunggu, taksi dengan tulisan kosong terlihat hendak lewat. Aku langsung melambai dan memanggil agar kendaraan roda empat itu menepi.

"Ke jalan Casa nomor 13, Pak." Aku memberitahukan alamat tujuan pada supir taksi setelah masuk dan duduk di kursi penumpang.

"Siap, Neng."

Aku menunggu dengan gelisah selama perjalanan yang memakan waktu hampir lima belas menit. Setelah taksi berhenti di tempat tujuan aku langsung keluar usai membayar ongkos jalan. Teman Zilian juga sudah mengirimkan nomor unitnya hingga aku tahu harus mengayunkan kaki ke mana.

Saat tiba di depan unit, aku langsung menekan bel yang tidak berselang lama langsung dibukakan oleh seorang laki-laki berperawakan tinggi. Dia mempersilakan aku masuk untuk segera menghampiri Zilian.

"Gue enggak tau kenapa dia tiba-tiba minum banyak. Tapi biasanya kalo Lian minum sebanyak ini, dia pasti lagi stres banget." Teman Zilian menjelaskan. Aku tidak ingat siapa namanya, tapi aku ingat wajah laki-laki itu karena pernah melihat dia bermain basket bersama Zilian.

Banyaknya kaleng bir kosong dan botol anggur yang sudah terbuka menyambut kedatanganku. Laki-laki yang sejak tadi meracau di telepon, kini sudah bisa kulihat keadaannya dengan mata kepalaku sendiri.

Tubuhnya terduduk di lantai, sementara kepalanya bersandar di sofa sembari memegang kaleng bir di tangannya. Kuembuskan napas panjang sebelum melangkah mendekat ke arah Zilian. Aku melipat kaki lalu dengan perlahan mengambil kaleng bir yang sudah kosong dari tangan laki-laki itu, meletakkannya di meja.

"Zilian?" Tanganku menepuk lembut pipinya hingga kelopak mata laki-laki itu terbuka setengahnya. Dia lantas menarik dua sudut bibir ke atas, membentuk lengkungan sabit.

"Alea? Ini Alea?" gumamnya, "enggak mungkin. Gue pasti halusinasi lagi." Kepala Zilian menggeleng lalu tangannya terangkat, meraba meja kaca di hadapannya. Aku mendesah panjang, lalu mengambil tangan laki-laki itu sembari menggenggamnya.

"Zilian, ayo kita pulang." Seingatku Zilian punya apartemen juga. Dulu—setelah aku menikah dengan Mas Juan—kata Tante Fira, mamanya Zilian, Zilian sering menginap di apartemennya hingga sering kali melewatkan makan malam bersama keluarga besar. Hanya saja ....

"Lo tau apartemen Zilian di mana?" Aku tidak mungkin membawa Zilian pulang ke rumahku atau ke rumahnya sendiri, cari mati namanya kalau aku berani.

"Tau. Satu gedung sama gue, beda lantai doang," ujarnya. Keningku berkerut. Satu gedung?

"Kenapa enggak lo aja yang bawa dia?"

"Lo pikir dari tadi gue enggak usaha? Lo liat muka gue, Alea." Laki-laki itu menunjuk sudut bibirnya yang berdarah. "Ini akibatnya karena gue udah berani ganggu dia minum. Ini anak emang suka gini. Dulu waktu cintanya lo tolak, dia malah hampir mati gara-gara kebanyakan minum. Udah, deh, sekarang lo bawa aja dia pulang."

Aku memandangi wajah Zilian. Matanya kembali tertutup rapat, sementara tangannya masih kugenggam. Kembali aku menepuk pipi laki-laki itu, membangunkannya agar mau pergi denganku.

"Zilian, bangun. Kita pulang sekarang." Setelah beberapa kali membangunkannya, akhirnya laki-laki itu kembali mengangkat kelopak matanya. Dia lagi-lagi tersenyum. Namun, kali ini Zilian justru melakukan hal yang membuat jantungku berdetak tidak karuan.

"Alea, lo akhirnya datang juga." Zilian bergumam sambil menarik tubuhku ke dalam pelukannya. "Lo tau? Gue ... kangen banget sama lo. Gue bener-bener enggak rela kalo lo beneran dijodohin sama Juan! Gue benci lo, Alea! Pokoknya, lo enggak boleh nikah sama Juan."

Meskipun Zilian berkata di bawah pengaruh alkohol, hatiku tetap merasa senang mendengarnya. Bukankah kata-katanya barusan membuktikan kalau Zilian sebenarnya masih memiliki perasaan padaku? Dia ... masih mencintaiku.

"Wah, malah confess dia." Laki-laki yang mengenakan kaos oblong itu terkekeh geli.

"Apanya yang confess?" Zilian langsung menyambar. Tiba-tiba saja dia berdiri lalu naik ke atas sofa. Dua tangannya teracung ke udara sembari berseru, "Alea, gue cinta sama lo! Tapi gue juga benci sama lo! ALEA LO CEWEK YANG ENGGAK PUNYA HATI!"

Alea meringis mendengar ucapan Zilian. Dia bahkan berteriak keras saat mengatakan aku cewek yang tidak punya hati.

"Iya, iya, Zilian. Sekarang kamu turun, dulu, ya. Kita pulang. Jangan bikin keributan di sini." Aku memegang kedua tangan Zilian, memintanya untuk segera turun dari sofa.

"Pulang? Peluk dulu, Alea."

Ya Tuhan ... ternyata mengurus orang mabuk jauh lebih merepotkan dibanding mengurus anak paud.

***

Selesai ditulis tanggal 28 Mei 2024.

Zilian mabuk gesssss. Wkwkwkwk. Kasian Alea.

Pusing dikit enggak ngaruh😗🔥😭😭😭


See u gesss.

Luv, Zea❤🔥🔥🔥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro