---14. Ngilu---

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ina pulang dan mendapati suaminya masih bersama para pegawai dan puluhan komputer. Lelaki itu berdiri membelakangi pintu sambil setengah membungkuk mengamati layar monitor. Ina hanya melongok di ambang pintu, ragu untuk masuk. Namun, sosok Irham seperti punya magnet. Ia tak dapat menahan diri untuk tidak melangkah mendekat.

Pegawai Irham yang mengetahui kedatangan Ina langsung memberi kode kepada bosnya. Irham menoleh. Tangannya segera membuat tanda untuk mencegah Ina mendekat.

"E-eeh! Jangan masuk!" ujarnya. "Mandi dan ganti baju dulu!"

Ina menghentikan langkah. Sejenak kaget karena penolakan itu. "Kok gitu?"

"Iya. Kamu bisa aja bawa virus dari luar. Mandi dulu, cepet!"

Mata Ina melebar. Masa ia dituduh membawa virus? Memang tidak salah Irham berkata begitu. Setelah keluar dan ketemu orang-orang, ada kemungkinan ia membawa jasad renik berbahaya itu. Namun, penolakan keras itu menumbuhkan gundukan kedongkolan di ulu hati. Kaki Ina segera balik kanan dan menderap menuju kamar mandi.

Di ruang yang sempit itu, ia terduduk di kloset. Masa iya belum satu minggu menikah sudah diketusi? Tahu begini ia jalan saja dengan Dika.

Sepanjang malam itu, Ina merengut di kasur. Rasa hati ingin segera bertemu Irham, lalu menunjukkan mulut manyunnya. Sayang, sampai tinggi malam, Irham belum juga naik. Padahal petang tadi, lelaki itu sudah berjanji akan melakukan pergumulan malam ini. Ina akhirnya mengambil laptop dan mengerjakan tugas kuliah sampai akhirnya kelelahan.

❦❦❦

Malam telah melewati puncak saat Irham naik ke lantai tiga. Ia sudah mandi keramas dan berganti baju. Anak buahnya sudah pulang tiga jam yang lalu, tapi ia harus menyelesaikan bagian yang tidak bisa dikerjakan orang lain. Sebenarnya, pekerjaan kecil itu tidak memakan waktu lama. Ia bisa naik dua jam yang lalu. Apa daya, ide modul baru untuk sistem operasi Linux-nya tiba-tiba melintas. Kalau tidak dieksekusi sekarang, Irham takut besok sudah terlupakan. Ah, bukan terlupakan, melainkan takut terpikir terus dan malah tidak bisa tidur.

Lampu dapur dan ruang duduk di lantai tiga sudah dimatikan. Cukup lama Irham membiasakan diri menghadapi lantai tiga rumahnya yang kosong setelah ditinggalkan Dwita. Setahun sebelum perpisahan resmi terjadi, Dwita telah pulang ke rumahnya sendiri di daerah Wonokromo. Katanya untuk menenangkan diri. Ruko Irham terlalu riuh untuk sepasang suami istri yang perlu merenung. Ternyata perempuan itu benar-benar tenang, bahkan hatinya mendingin dan mengeras sehingga tidak ragu untuk melayangkan gugatan cerai. Irham masih belum lupa bagaimana pilar-pilar kebanggaan sebagai lelaki runtuh saat surat itu sampai di tangannya.

"Tolong, lepasin aku," ucap Dwita saat Irham datang ke rumahnya meminta penjelasan.

"Kamu apa-apaan, sih? Kita udah nikah hampir tujuh tahun. Masa harus bubar gitu aja?"

"Aku nggak bisa kasih kamu keturunan. Mamamu nggak akan bahagia kalau kita mengadopsi anak. Terus aku harus gimana?"

"Berapa kali aku harus bilang, yang nikah itu kita, bukan mama!"

"Aku udah nggak sanggup mendampingi kamu, Ir. Maaf ...."

Irham menatap istrinya dengan nanar. Ia tidak bisa memahami mengapa tuntutan-tuntutan tidak masuk akal itu dilayangkan Dwita. Ia dituduh tidak menghargai istri, tidak perhatian, tidak peka, dan entah apa lagi. Irham sampai tidak hafal karena terlalu banyak. Ujung-ujungnya ternyata ada lelaki lain.

"Kalau kamu emang udah nggak suka sama aku, bilang aja langsung. Ngapain pakai nyiksa perasaanku bertahun-tahun, Ta?" ucap Irham lirih karena masa depan kini hanya terlihat sebagai ruang kosong dan gelap yang meniupkan angin dingin keputusasaan.

Itulah yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Kosong. Gelap. Sunyi. Bahkan kehadiran Adel pun tidak bisa mengubah banyak.

Irham melangkah menuju kamar tidur utama yang terletak di bagian depan. Ia membuka pintu perlahan. Udara harum segera menyapa. Ia memang menyuruh Mak Nah memasang pengharum ruangan sejak memiliki Ina. Padahal sebelumnya ia tidak peduli apakah kamar itu berbau apek atau anyir. Tak jarang ia membuka jendela, mematikan AC, dan merokok di dalam kamar. Karena akan menikah itulah ibunya menyuruh orang untuk mengecat seluruh dinding, membeli kasur, dan perabotan baru. Begitu pula gorden, diganti baru. Akhirnya suasana kamar itu berubah total. Hanya saja, nuansanya merah muda. Menggelikan. Ternyata selera ibunya macam anak kecil saja.

Sekarang selain pengharum ruangan, ada lagi aroma lain. Harum feminin dari wewangian yang berasal dari parfum dan berbagai kosmetik yang digunakan Ina. Mau tak mau ujung bibir Irham terangkat. Senangnya menikah itu seperti ini, ada yang menunggu di kamar saat ia selesai bekerja.

Kamar itu remang-remang. Rupanya Ina sudah terlelap. Perempuan itu bergulung di balik selimut sambil memeluk guling. Ada bagian selimut yang tersibak dan menampakkan tubuh yang berbalut baby doll chibi.

Irham meringis. Padahal ibunya sudah menyiapkan lingeri berbagai warna, tapi semuanya masih tersimpan di gantungan lemari. Dengan perlahan ia merayap ke dekat Ina. Ditariknya selimut, lalu memeluk Ina dengan hati-hati.

Ada perasaan hangat yang aneh setiap ia memeluk Ina. Bukan bara birahi seperti dengan Dwita dulu. Ia merasakan sesuatu yang lebih halus dan tulus. Entah mengapa begitu. Barangkali karena Ina tumbuh dewasa bersamanya. Padahal Adel dulu acapkali memberi kode minta dilamar, tapi ia malas menanggapi. Anehnya, begitu diminta menikahi Ina, ia langsung menyanggupi tanpa berpikir lama. Ina telah menjadi bagian dari hidupnya. Ina-lah wanita kedua yang ia perhatikan dan lindungi selain Kartini.

Dulu, ia punya adik perempuan. Bila hidup, umurnya saat ini sekitar dua puluh delapan tahun. Namanya Sandra. Kelahiran adik bungsu itu sudah ditunggu selama sepuluh tahun. Sayang, Sandra tidak ditakdirkan berumur panjang. Saat berusia tujuh tahun, ia bermain di pabrik kompor sang kakek seperti biasa. Ternyata ada kabel yang terkelupas. Sandra tanpa sengaja menyentuhnya. Anak malang itu tidak sempat dibawa ke rumah sakit, langsung meninggal di tempat. Gara-gara peristiwa itu, dan karena kebutuhan pengembangan, pabrik kompor dipindah ke daerah lain di pinggiran kota.

Keluarga Irham memang diwarnai kematian. Irham sebenarnya memiliki seorang kakak lelaki. Tapi anak itu lahir dengan penyakit jantung bawaan. Setelah berjuang selama dua tahun, para malaikat menjemputnya. Mungkin penghuni surga berbelas kasih pada keluarga kecil itu. Mereka memberi pengganti bayi laki-laki yang sehat. Irham lahir dua tahun kemudian.

Kelahiran Ina pun adalah hadiah surgawi. Tepat satu bulan setelah ayah Irham tiada, bayi Ina yang mungil dan cantik hadir ke dunia. Kedatangannya memberi cahaya penghiburan bagi keluarga mereka, terutama bagi Kartini. Walau hanya anak dari adik angkat, Ina menjadi pengganti putrinya yang telah pergi. Begitu pula Irham. Rasa sayangnya tumbuh begitu makhluk mungil itu berada dalam gendongannya.

Jalan hidup memang misteri. Kini makhluk mungil itu berada dalam pelukannya sebagai istri. Sepertinya mereka memang ditakdirkan untuk bersama sejak semula. Ia mengecup puncak kepala dan pundak Ina, serta menghirup aroma khasnya. Tarikan napas itu membawa hawa ketenangan. Ia tidak mau pernikahannya kali ini gagal lagi.

---Bersambung---

Mau double up malam nanti? Beri ikon api-api yang banyak, donk ...
😊😊😊
Buat pembaca yang nggak sabar menunggu apdetan, langsung aja cuuus ke Karya Karsa atau KBM. Di sana udah tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro