---39. Nasihat (2)---

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sepanjang sisa hari itu, Irham masih berusaha sabar. Setelah menyelesaikan makan malam yang sangat tenang karena keduanya bungkam, mereka masuk ke kamar. Irham menyentuh bahu istrinya dari belakang. Ina menghentikan langkah. Tanpa diminta, Ina membuka kausnya.

"Loh, kamu mau ngapain?" tanya Irham.

Ina membalikkan badan. "Mas pegang-pegang, itu bukan mau minta 'itu'?"

"Aku cuma mau panggil kamu. Masa begitu dikira mau 'itu'?"

"Oh," sahut Ina datar. "Biasanya gitu, sih. Mas baru ngomong dan baru pegang aku kalau mau 'itu'."

Irham terkaget. Ternyata seperti itu dirinya di mata Ina. "Mungkin, ya. Aku kebanyakan pikiran kali."

Ina masih berdiri dengan tubuh bagian atas terbuka. "Sekarang Mas mau 'itu' nggak?"

Irham sebenarnya cuma ingin menasehati Ina, bukan mantap-mantap. Tapi ia takut kalau menolak, Ina merajuk dan besok lidahnya akan disiksa dengan nasi goreng penuh lombok dan merica. Akhirnya, ia memenuhi undangan Ina. Seperti biasa, ia melakukannya dengan singkat, padat, dan efisien.

Ina memejamkan mata selama persatuan tubuh itu karena tidak sanggup memandang wajah Irham. Lelaki itu mendorong beberapa kali dan Ina hanya menerima. Seperti biasa, suaminya selesai saat ia belum mulai apa-apa. Sudah pasti, ia tidak berani meminta lebih karena takut dituduh berotak syahwat. Begitu Irham melepaskan diri, ia segera menarik selimut untuk menutupi tubuh.

"In?" panggil Irham setelah napas yang memburu reda. Ina sudah berbaring memunggungi dan memeluk bantal.

"In?" panggilnya lagi karena tidak mendapat balasan.

Ina membalikkan badan. "Apa?"

"Aku mau ngomong," ujar Irham.

Ina sebenarnya malas. Ia sudah lelah dan mengantuk. "Mau ngomong apa?"

Irham menarik napas untuk mengumpulkan kata-kata yang tepat. "In, kamu tahu kan kalau berumah tangga itu banyak yang harus dipikirkan?"

Ina diam sejenak sebelum menjawab, "Iya, tahu. Nikah itu bikin pusing!"

Kontan Irham mengerutkan kening. "Bikin pusing gimana? Selama ini kamu pusing jadi istriku?"

Ina melengos sambil tetap merengut. Niat Irham ingin bicara baik-baik luntur. Istri kecil ini benar-benar harus dididik dengan serius!

"Siapa sih yang banting tulang buat mencari nafkah selama ini? Aku atau kamu? Aku lembur hampir tiap hari, bela-belain cari proyek ke sana kemari. Itu semua buat siapa?"

Ina tidak bisa menjawab. Ia tahu menggantungkan hidup pada Irham. Semua yang masuk ke mulut dan melekat di badannya adalah hasil tetesan keringat Irham. Seharusnya ia bersyukur, bukan? Ada seorang dermawan yang bersedia memungut dan merawat anak yatim piatu ini. Tapi mengapa jiwanya ingin memberontak? Ina menjadi kesal pada diri sendiri. Mengapa hidupnya menjadi nista begini?

Oh, ia kangen ayahnya. Ia rindu hidupnya yang dulu, rindu Ina yang masih gadis, yang penuh harapan dan ambisi. Yang hanya memikirkan kuliah dan senyum sang ayah. Tahu-tahu air matanya meleleh. Dengan bahu berguncang, ia menutup wajah dengan selimut agar tidak perlu membalas tatapan Irham.

Melihat air mata menggenang di pelupuk Ina, Irham kebingungan. "Lho, aku ngomong baik-baik kamu malah nangis. Maumu gimana, sih?"

Ina membalikkan badan sambil masih sesenggukan. Tangan Irham yang ingin memeluk ditepis dengan kasar. "Aku mau tidur!" tukasnya.

Segala wejangan yang ingin dikatakan Irham seketika berguguran dari otak. Lelaki itu hanya bisa menikmati hati yang tersayat-sayat dan berdarah akibat mendengar isakan sang istri. Akhirnya, karena mata tak mau diajak terpejam, ia bangkit dan pergi ke kamar mandi. Selesai membersihkan diri, ia tidak kembali ke sisi Ina, melainkan ke kamar sebelah. Bersama Diana dan Joan, ia berusaha meredakan emosi. Apa daya, pikirannya malah semakin kacau.

☆---Bersambung---☆

Untuk apa gairah seksual diciptakan sebenernya?
Bikin orang gila aja, ya

Komen please ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro