LAMARAN KEDUA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bunda tahu kamu bingung soal Reihan. Bunda tidak memberikan harapan atau penolakan untuk lamarannya. Bunda cuma bilang semua ada di tangan kamu. Jadi pikirkan baik-baik. Pakai hati nurani jangan logika khusus untuk ini."

Ratri memberi jeda sejenak untuk memberi putrinya bernapas. Dia sangat tahu Eza ingin mencapai cita-citanya lebih dulu. Perkataan ayahnya sebelum pergi sangat melukai hatinya. Sehingga Eza merasa harus kerja keras demi membuktikan pada ayahnya-Tama-kalau dirinya kuat. Mampu mandiri tanpa dirinya.

Eza akhirnya luruh dalam pangkuan Ratri. Tangisnya pecah dengan semua yang sedang dia jalani. Haruskah cita-cita dan pembuktiannya berhenti di sini dan menikah?

Ratri mengusap kepala putrinya lembut. Mereka hanya berdua sekarang, tidak ada orang lain lagi untuk memberi kekuatan saat ini. Ratri sendiri menangis tanpa suara. Mengingat penderitaan Eza sejak Tama pergi tanpa kabar.

Dua perempuan saling menguatkan dalam tangis. Tetapi mereka juga hebat, mampu mandiri dan bangkit, dengan usaha dan tenaga yang mereka punya. Banyak orang yang bukan mengasihani, melainkan kagum dan salut dengan perjuangan keduanya.

Orang lain hanya tahu suami Ratri sekaligus ayah kandung Eza sedang keluar negeri jadi TKI. Dan untungnya mereka tidak banyak bertanya lagi.

Pembicaraan malam itu berakhir dengan keputusan Eza untuk menyelesaikan kuliahnya lebih dulu. Sayang, kalau harus berhenti, karena tinggal sedikit lagi dia wisuda. Ratri setuju dan siap memberikan jawaban itu pada Reihan.

***

"Za, ada waktu, nggak?" Rahman mendatangi Eza begitu kelas selesai.

"Iya, Kak?"

Rahman memang kakak tingkat. Dan Eza mengambil semester pendek. Jadi sekarang dia hampir menyamai waktu wisudanya. Karena itu Eza memanggilnya Kak.

"Kita bicara di tempat lain, ya?"

Eza ragu mau menerima tetapi sepertinya ada hal serius yang ingin dibicarakan Rahman.

"Jangan khawatir, bukan tempat maksiat, kok!" sambung Rahman karena Eza malah terlihat bingung dan ragu.

Eza langsung tertawa mendengarnya.

"Bukan itu, Kak! Ya, nggak mungkin Kak Rahman ke tempat begituan. Aku cuma mau mastiin aja, kalo tugasku udah masuk ke dosen. Nggak apa-apa sebentar, ya?"

"Ok, nggak masalah, saya tunggu di bangku tempat parkir, ya."

Eza mengangguk lalu beranjak segera ke ruangan dosen pembimbingnya. Setelah urusan selesai Eza segera menghampiri Rahman.

Dan, di sinilah mereka. Sebuah kafe merangkap perpustakaan yang sangat nyaman. Eza baru tahu ada tempat ini. Lokasinya juga tidak jauh dari kampus. Eza merasa adem dan berasa sedang di alam luar. Interiornya klasik ala kebun rumahan.

"Gimana, Za? Kamu suka?" Pertanyaan Rahman memudarkan perhatian Eza.

"Suka banget, Kak! Kakak tahu dari mana tempat ini? Baru buka, ya?" Eza menghampiri rak penuh buku. Buku lama tetapi masih dalam kondisi bagus.

"Iya, memang belum lama buka. Kebetulan saya kenal pemiliknya, jadi saya ajak kamu ke sini. Sekalian deh, minta pendapat ada yang kurang nggak, sama kafe ini?"

"Wah, berasa jadi orang penting, nih." Eza sejenak melupakan persoalan beratnya yang lain. Tempat ini jadi referensi cocok buat healing.

"Untuk lokasi saya suka. Lalu makanan atau minumnya kita harus coba dulu kan, ya."

Rahman mengangguk lalu memanggil pelayan kafe. Sambil menunggu pesanan diantar, Rahman memanfaatkan untuk memulai obrolan.

"Za, boleh saya bicara sekarang?"

Eza meletakkan buku yang dibacanya ke rak semula.

"Silakan, Kak!"

"Jangan formal banget, Za. Berasa kayak bos sama bawahan, nih."

Eza tersenyum geli. Iya, juga. Dia malah baru sadar sering bicara formal dengan Rahman.

"Silakan, Kak! Kita santai, ya. Mungkin aku yang harus terbiasa."

"Za, maaf kalo aku lancang. Tetapi namanya niat baik kan, nggak baik ditunda dan diem, aja. Jadi saya beraniin diri, nih, untuk menawarkan diri jadi tunanganmu. Apa kau mau?"

Eza mendongak dan menatap lurus ke mata Rahman. Mencari kesungguhan yang harus diperoleh Eza untuk mengambil keputusan.

"Kak Rahman, maaf. Fokusku sekarang adalah tugas dan kelulusan. Tinggal dikit lagi, Kak."

"Iya, aku tahu kamu ambil semester pendek. Makanya aku nggak ingin kamu jawab sekarang. Kamu pikir betul-betul. Aku sabar menunggu, kok!"

"Ok, Kak! Aku masih perlu waktu untuk jawab itu semua."

Andai Kak Rahman tahu, dia orang kedua yang melamar dalam waktu yang berbeda. Tetapi Eza jawab dengan hal yang sama. Pendiriannya berubah meskipun dia ingin hal ini sejak lama.

Batin Eza terguncang. Lebih ke antara bahagia dan bingung. Lagi dan lagi, semuanya karena pembuktian pada Tama. Eza merasa harus melakukan hal itu.

"Iya, aku bisa terima itu. Tenang, Za! Kamu pakai semua waktu sampai kamu siap!"

Cuma sampai di situ. Pembicaraan berubah menjadi lebih seru mengenai banyak hal. Tanpa menyinggung soal hati tadi.

Menu yang dipesan datang. Eza tampak antusias dan makan dengan lahap. Rahman menyusul menyantap makanannya dengan lebih santai. Karena dia yang mengatur menu di kafe itu.

Sang pemilik kafe sedang merahasiakan identitasnya demi sembunyi dari masa lalu. Ternyata Rahman pun merahasiakan sesuatu dalam hidupnya. Reihan juga Eza.

Mereka tidak akan pernah tahu jalan mana yang lebih baik. Tetapi Tuhan pasti tahu hal itu.

***

Beberapa waktu Reihan datang hanya untuk menanyakan kabar dan membeli gudeg. Pesanan juga masih mengalir dan berjalan secara profesional. Reihan tidak mengambil kesempatan sedikit pun untuk membahas hal lamaran. Eza hargai itu.

Pertemuan dengan Rahman juga berkurang. Dia seperti melakukan hal yang sama untuk memberi ruang pada Eza, menyelesaikan hal yang lebih penting dalam hidupnya.

Satu waktu saat Eza pergi ke sebuah mall, dia melihat Tama bersama perempuan. Sebenarnya Eza tidak peduli dan tidak mau tahu tentang ayahnya itu. Namun, langkah kakinya memberontak, dia malah mendekati posisi Tama yang tengah merangkul mesra perempuan di sampingnya.

Eza sengaja menyenggol posisi si perempuan. Lumayan kencang hingga dia mengaduh. Eza pura-pura menyesal dan ingin minta maaf.

"Oh, maaf, Tan ...," Kalimat itu tak pernah dilanjutkan Eza saat mengetahui siapa perempuan di samping Tama.

Eza langsung berlari menjauh, tanpa peduli panggilan perempuan itu. Eza tak menyangka kalau selama ini dua orang yang dia kenal sudah mempermainkannya.

Hingga keluar pintu mall, Eza terus berlari. Dia ingin ada di tempat sepi. Napasnya sesak melihat adegan tadi. Hatinya seperti diremas hingga hancur berkeping-keping lalu diinjak, sampai tak berbentuk.

Teganya dia berbohong selama ini. Padahal dia tahu Tama sudah menyakiti ya dan Ratri. Bagaimana bisa dia malah dekat dengan pengecut itu?

Eza sampai di halte bus trans yang kebetulan sedang sepi orang. Hanya ada sedikit penumpang yang menawarkan memberi minum padanya.

Dirinya pasti terlihat kacau sekali sekarang. Dan Tama pasti merasa senang bisa melukai hatinya lagi. Harus ke mana dia pergi? Saat detik terkritis inilah, sebuah mobil berhenti tepat di depan halte. Seorang pria berpakaian rapi keluar dan menghampiri Eza.

Tanpa pikir panjang dia melepas jas ya, menyelimuti tubuh Eza dan membimbingnya berdiri. Eza mendongak dengan wajah memelas dan sembab.

"Jangan bicara! Saya sudah tahu. Kita pergi dari sini, ya!" Reihan datang tepat waktu.

***

Maafkan, saya ngejar DL.
Ketemu lagi besok.






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro