LAMARAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Eza tak habis pikir ngapain orang itu ke kampusnya. Jangan bilang bahas soal order gudeg, bukannya dia punya nomor Ratri. 

"Maaf sebelumnya, nih,  Pak Reihan. Anda ada perlu apa dateng ke kampus? Penting? Nggak bisa ngomong lewat telepon, aja?" 

Jujur Eza tidak nyaman kalau harus bertemu Reihan sekarang. Apalagi ada Rahman yang mungkin bisa melihat. Gagal dong, rencana mendapatkan hati Rahman. 

"Kenapa? Kamu malu? Saya tampan, loh! Mobil saya juga bagus, kenapa malu?" 

Eza menepuk jidatnya frustrasi. Kalau dia tolak, dia pasti lapor ke bundanya. Eza mengerang kesal, ditenggaknya es jeruk hingga tandas. 

"Mau kemana, lo?" Puput curiga, karena Eza tampak sangat kesal. 

"Gue pergi sebentar, ya. Ada urusan sama bos besar." Eza tak bisa menutupi rasa kesalnya. Tetapi saat matanya bertemu dengan tatapan Rahman, senyumnya muncul alakadarnya tetapi mampu membuat Rahman membalasnya. Ada sedikit penghibur di hati setelah senyum tipis Rahman tertuju padanya. 

***

"Siang, Za! Maaf, harus nemuin kamu di sini. Tetapi ada hal penting yang memang harus saya bicarakan sekarang."

"Ok, saya juga udah selesai kelas. Kita mau bicara di mana? Nggak mungkin di sini, kan?" 

Reihan tersenyum. "Tentu saja nggak di sini. Saya tahu kamu nggak nyaman sejak saya telepon tadi."

Eza nyengir kuda menanggapi ucapan Reihan. 

"By the way, Pak, Anda harus sering senyum kayak tadi. Biar cepet dapat jodoh." 

Eza hampir memukul mulutnya sendiri. Kenapa harus bahas soal jodoh, sih? Reaksi Reihan sebelumnya saja bisa kepikiran. Sekarang mancing-mancing soal jodoh. 

"Abaikan omongan saya barusan, Pak. Kita cari tempat aja, yuk!" ajak Eza sebagai pengalihan. 

Reihan mengangguk setuju. Dia menahan senyum yang nyaris keluar, gara-gara salah tingkahnya Eza. Gadis itu mendadak begitu saja masuk dalam hidupnya. Ketusnya hingga keceriaan ala Eza tak mampu hilang dari benaknya. Namun, Reihan belum yakin apa nama dari perasaannya itu. Mungkin hanya kagum tidak lebih. 

***

"Kamu mau makan atau minum sesuatu?" tanya Reihan begitu mereka mendapat meja di sebuah kafe. 

"Perut saya masih bisa nampung minum sih, Pak. Boleh pesan air mineral dingin?" 

Reihan menoleh pada Eza memastikan pesanannya. "Air mineral? Kamu nggak mau makan?" 

"Saya tadi udah makan, Pak. Cuma belum sempat minum air putih."

"Ok, ok!" 

Reihan memanggil pelayan kafe dan memesan beberapa camilan dan minum sesuai permintaan."

Eza cukup suka dengan camilan di kafe itu. Tidak mengenyangkan tapi asyik jadi teman ngobrol. 

"Saya mau mengulang pertanyaan saya waktu itu. Ada hal mendesak yang mengharuskan saya melakukan itu."

"Pertanyaan yang mana, Pak?" 

Eza tidak berani menerka-nerka. Dia takut kalau tebakannya benar. Tanpa menebak pun keringat dingin mengucur di tubuhnya. 

"Soal, apa kamu mau jadi istri saya? Atau jadi tunangan dulu juga nggak apa-apa."

Eza makin gugup, dia dilamar orang tanpa proses saling mengenal dulu. Bahkan kesannya seperti asal dapat calon istri buat nikah. Tentu saja Eza langsung menggeleng. Masih banyak mimpi yang ingin dikejar. 

" Pak, maaf kalau saya langsung menolak. Bapak pasti tahu alasan apa saja yang jadi penyebabnya. Di luar sana pasti banyak yang lebih pantas dari saya. Apalagi Pak Reihan tampan, sukses dan berlimpah materi."

"Tapi kamu nolak saya, kan?" Reihan sepertinya tidak akan semudah itu mundur. 

"Sekarang gini, deh! Kasih saya alasan kenapa Pak Reihan ingin nikah sama saya?" 

"Tidak ada alasan, karena semua muncul gitu, aja!" 

Reihan bukanlah anak gaul, atau suka buka-buka sosial media. Kalimat itu murni apa yang dia rasakan. Memang tidak ada alasan jelas dia ada di kafe dan melamar gadis di depannya.

Eza benar-benar frustrasi sekarang. Otaknya sudah penuh dengan tugas akhir yang harus dikejarnya. Sekarang nambah lagi dengan persoalan hati. 

"Kamu nggak perlu jawab sekarang. Saya cuma mau kamu tahu dan memikirkannya. Gimana?" Reihan mencoba bernegoisasi. Dia tidak ingin Eza tertekan nantinya. 

"Dan saya bisa bantu kamu selesaikan tugas akhir kamu." 

Kalimat lanjutan ini sontak membuat Eza kaget dan bingung. Reihan pengusaha, tetapi mau bantu tugas mahasiswi Sastra. 

"Perlu kamu tahu juga, saya sarjana Sastra. Lulus dengan nilai nyaris sempurna. Nggak percaya? Perlu saya tunjukkan ijazahnya?" 

Eza masih belum sembuh kaget ya, ditambah kenyataan Reihan lulusan Fakultas Sastra. 

"Saya butuh waktu, Pak. Saya akan pikirkan baik-baik." Eza menghabiskan minumnya lalu bangkit. 

"Saya harus pergi sekarang. Makasih minumnya." 

Eza perlu udara segar saat itu juga. Kepalanya pusing setelah mendengar semua penuturan Reihan. Kakinya berjalan tak tahu arah. Eza seharusnya bisa langsung memesan ojek online. Dia malah berjalan ke arah taman kota tak jauh dari kafe. 

Taman itu biasa dipakai teman kampusnya juga untuk diskusi atau nongkrong sekadar melepas lelah setelah kuliah. Mungkin karena itu kakinya reflek berjalan kesana. 

***

Eza begitu menikmati kesendirian serta kesejukan udara taman kota. Hatinya sedang mengharapkan Rahman. Tetapi ada yang datang mengharapkan hatinya. Circle ini membingungkan. Sama-sama belum terlihat yang mana yang lebih baik. 

"Kak, ini coklat!" Eza terkejut bukan main, tiba-tiba ada anak kecil menghampiri dan bawa coklat. 

"Coklatnya buat siapa, Dek?" 

"Buat Kakak. Katanya orang yang nitip tadi Kakak makan coklat ini, pasti sedihnya ilang," ujar anak itu polos. 

Eza mencari orang yang menitipkan coklat dari arah yang ditunjuk. Ternyata Reihan yang kini sedang bersandar di samping mobilnya. Tak lama ponsel Eza bergetar. Reihan menelepon. 

"Ya." Eza berdeham sebelum bersuara. Dia sempat menangis tadi, dan jangan sampai Reihan tahu itu. 

"Kamu makan coklat itu, paling enggak demi anak yang nganter ke kamu. Lalu saya udah janji sama Bu Ratri untuk antar kamu pulang dengan selamat. Gimana? Kamu mau?" 

Eza hanya mengangguk, dan Reihan pasti bisa melihatnya. Eza sudah lelah berpikir. Biarkan kali ini dia nurut saja, yang penting bisa sampai rumah dan bisa segera menikmati rebahan di kamar mungilnya. 

***

Hari berganti, Eza menjalani harinya seperti biasa. Kuliah dan berjualan gudeg jadi rutinitas yang membuatnya begitu menikmati hidup. Sampai hari ini tugas akhir kuliahnya bisa diselesaikan dengan baik. 

Dia berharap tidak perlu minta bantuan Reihan. Sementara waktu, dan kalau bisa seterusnya Reihan tidak perlu datang lagi. Semoga dia banyak kerjaan dan meeting dengan klien. Jadi tidak punya waktu lagi mikir tentang lamarannya. 

"Za, udah tidur?" Suara Bunda memanggil. 

"Belum sih, Bun. Masuk, aja. Nggak dikunci, kok!" 

Ratri membuka pintu dan duduk di tepi ranjang Eza. 

"Tugasnya masih banyak?" tanya Ratri, sambil sesekali merapikan sprei yang sedikit berantakan. 

"Untuk malam ini tinggal dikit lagi, Bun. Ada apa? Ada masalah?" Eza meletakkan pulpen dan berbalik menghadap pada Ratri. 

***
Soal apa yang mau dibicarakan Ratri?
Bisa nembak, ya?
Kita tunggu reaksi Eza, kasihan hatinya bingung harus ke mana.

Selamat rehat dan menyiapkan energi puasa esok hari.
Sehat-sehat selalu, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro