TAMU TAK DIUNDANG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Eza kaget mendengar jawaban sekaligus reaksinya Reihan. 

"Saya permisi, Pak!" Karyawan tadi segera pergi. Untung dia belum jawab apa-apa, kalau dia jawab, entah apa reaksi Reihan. Bisa-bisa dipecat itu karyawan. 

"Maaf, kalau saya lancang. Nggak ada maksud apa-apa, kok!" Eza bangkit dan hendak pergi ke luar ruangan. 

"Mau kemana?" tanya Reihan. Dia curiga Eza akan pulang sebelum tugasnya selesai. 

"Cuma ke toilet. Mau ikut?" 

Reihan langsung mengalihkan perhatiannya ke meja makanan. 

Di koridor menuju toilet, Eza bertemu karyawan yang mengobrol dengannya tadi. 

"Eh, Mbak! Posisi Mbak aman, kan? Nggak bakal dipecat? Gara-gara saya, maaf ya, Mbak?" Eza merasa tak enak hati kalau sampai hal itu terjadi. 

Si Mbak malah tertawa. "Aman kok, Mbak. Tenang, aja! Pak Reihan nggak semudah itu pecat karyawan."

Eza bernapas lega. Setelah ini dia mending banyak diam saja. Cukup lakukan tugas sebaik mungkin, terus pulang. 

***

"Akhirnya bisa pulang juga." Eza segera keluar ruangan begitu semua bersih. 

Sampai di depan pintu, ponsel Eza bergetar. Wajahnya semringah melihat siapa yang menelepon. Setelah saling mengucap salam pembicaraan mulai berlangsung seru. 

Di sudut tempat lain, Reihan menunggu Eza selesai berbicara, entah dengan siapa. Saat ucapan salam terdengar, Reihan berjalan mendekat. 

"Ini bayaran kamu. Terima kasih sudah bantu saya."

Eza ragu mau terima uang itu, karena jumlah yang diterima Ratri sudah lebih dari jumlah tagihannya. 

"Pak, eh Mas. Duh, maaf. Sepertinya bayaran tadi sudah lebih dari cukup. Jadi sekarang kita anggap aja, udah lunas."

Reihan tidak mau menarik uang yang sudah dikeluarkan. "Gini aja, anggap ini bonus karena kamu dan ibumu sudah tepat waktu antar gudeg pesanan saya, dan jasa kamu yang sangat membantu."

"Terima kasih."

"Oya, saya serius kalau kamu mau pertimbangkan tawaran saya." 

Eza berbalik. Dia jelas bingung dengan tawaran apa yang dimaksud. 

"Apa kamu mau jadi istri saya?" Reihan tidak bercanda sedikitpun. Bahkan dia sangat serius saat mengatakan kalimatnya. 

Eza memilih diam tak bereaksi. Dia langsung pergi dan menganggap kejadian tadi tak pernah ada. 

***

Eza menyerahkan amplop dari Reihan tadi pada bundanya. Tak sedikit pun Eza membukanya. Dan, saat Ratri membuka amplop itu beliau tercekat. Jumlahnya sangat banyak, melebihi yang mereka harapkan. 

"Tadi aku udah tolak, tapi Pak Reihan memaksa, Bun. Ya sudah, aku terima buat dia lega, aja. Biar nggak ditahan pulang terus."

"Ya udah nanti sebagian uangnya kita sumbangin ke masjid kampung. Kebetulan kan, lagi benerin kanopi buat bulan Ramadhan nanti."

Eza mengangguk setuju. Semoga berkah, buat dia, Ratri, termasuk Reihan. Sepertinya benar apa yang karyawan itu bilang, Reihan tidak seburuk yang dia kira. Ada sesuatu yang menekan dirinya. Dan, itu bukan urusannya. 

Eza sengaja merahasiakan tentang tawaran Reihan yang gila itu. Dia pikir cari istri seperti cari barang kali, ya. 

***

"Za, tugas punya lo udah selesai?" Puput tergopoh menghampiri begitu Eza terlihat di ujung koridor. 

"Udah. Punya lo belum kelar? Gue harus minjemin tugas gue lagi, nih?" Kalimat Eza terdengar sarkas, mau bagaimana lagi, Puput seperti tidak pernah serius kuliah. 

"Lo, mau minjemin atau enggak?" Puput malah sewot. Kalau bukan dia yang punya tempat Ratri jualan gudeg, Eza sudah beranjak dari sana, supaya Puput lebih serius kuliahnya. 

Eza meminjamkan juga ke Puput. Dia malas berdebat, sudah cukup kepalanya pusing memikirkan tugas akhir kuliah. Belum perkataan Reihan waktu itu. Dia tidak mau memikirkan itu, tetapi kalimatnya enggan pergi dari otaknya. 

Puput sebenarnya baik, cuma karena kurang perhatian dari orang tua, akhirnya dia cari di luar. Kalau orang lain yang tidak kenal baik dia, sudah pasti langsung ditinggal pergi. 

Tugas kembali ke tangan Eza tepat saat dosen masuk kelas. Puput lega dan wajah paniknya tadi berubah semringah. 

Setelah kuliah selesai, Puput menghampiri Eza. 

"Za, aku traktir ke kantin, yuk! Kamu mau mie ayam,  kan? Itung-itung buat tugas tadi." Inilah sisi baik Puput, dia tidak pernah lupa jasa baik orang lain. Sesimpel apa pun bantuan yang dia dapat, Puput pasti akan membalasnya. 

"Mau banget! Ayo!" 

Sampai di kantin ada Rahman dan teman-temannya juga sedang makan di sana. Puput mendadak salah tingkah karena ada Fadil di sana. Kelihatan sekali dia suka, tetapi belum dapat respon dari sang pujaan hati. 

Sedangkan Eza sendiri lebih bisa menguasai diri. Meskipun dia menyimpan rasa untuk Rahman, tak seorangpun menyadari hal itu. 

"Za, ada Kak Fadil di sana. Tampan banget, sih!" 

Melihat tingkah Puput, ingin rasanya Eza pergi dari sana. 

"Iya, sudah, sih! Kita kan mau makan. Jadi, nggak?" Kalau Puput masih belum pesan juga, Eza yang bakal pesan sendiri. 

"Eh iya, iya, jadi!" 

Puput bergegas ke penjual mi ayam dan es jeruk dua porsi. Setelah pesanan diantar keduanya lebih fokus makan daripada melihat para cowok tadi. 

Rahman yang sebenarnya sering memperhatikan Eza, tidak berani mendekati, kecuali karena alasan kegiatan masjid kampus. 

Justru Fadil yang menyadari, kalau temannya itu menaruh perhatian pada Eza. Mahasiswi Fakultas Sastra tingkat akhir. 

"Bro, kalau ada hati deketin lah!" Fadil meneguk es tehnya hingga tandas. 

"Maksud lo apa?" Rahman pura-pura tidak paham arah bicara Fadil. Padahal dia sadar siapa yang sedang dibahas. 

Fadil mencebik sambil memalingkan muka. Masih bisa ngelak, sudah jelas-jelas curi pandang. 

"Lo nembak Eza, atau gue tikung, lo? Pilih mana?" tantang Fadil. 

"Yang bener aja, lo! Anak orang, tuh! Jangan dimainin, lagian cewek kayak dia tuh, ngejar lulus dulu, baru mikir jodoh."

Rahman hanya asal tebak. Karena yang dilihatnya selama ini, Eza selalu fokus kuliah dan ngejar tugas akhirnya. Banyak dosen yang menilainya positif. 

"Emang lo nggak mau punya jodoh kayak Eza?" 

"Ya maulah!" sahut Rahman, sebelum Fadil nekat mendekati Eza. 

Fadil tersenyum lega, jurusnya tadi ternyata ngena ke Rahman. Dia harap sahabatnya itu bisa menemukan kebahagiaan bersama gadis yang dia suka. Bukan terpaksa berbahagia karena diatur orang lain. 

Sudut tempat lain sedang tenang dan hanya peduli dengan hidangan di depannya. Eza mulai terganggu dengan getar ponselnya. Kalau yang menghubungi Ratri, dia akan langsung angkat. Tetapi yang menghubunginya saat ini adalah Reihan. Makin diabaikan, makin kencang dering ponselnya berbunyi. 

"Kamu kenapa, Za? Teleponnya nggak diangkat? Dari tadi bunyi, loh! Takut ada yang penting. Aku bayar dulu, kamu kelarin urusan teleponnya."

Eza mengangguk. Dia memang harus angkat kalau tidak mau berimbas sama orderan gudeg. 

"Halo!" jawab Eza singkat. 

"Ya ampun, Za. Ke mana aja, sih?" Suara Reihan seperti lelah dan di keramaian. 

"Ada perlu apa?" Lagi-lagi respon Eza singkat dan jelas. 

"Kamu di mana sekarang? Saya sudah di kampus kamu, nih."

***

Reihan mau ngapain, sih? Kalo sampe gangguin Eza, netizen ngamuk, loh!
😁

Semoga kalian semua sehat selalu, ya. Lancar puasa dan ibadah yang lainnya.

Semangat terus!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro