PENDEKATAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Za, udah siap belum?" Ratri tumben sekali mengetuk pintunya sepagi ini. 

Pagi itu Eza memang ada jadwal kuliah. Tapi masih dua jam lagi, dan dia pasti kepagian kalau berangkat jam segini. 

"Belum, Bun. Kuliahku masih dua jam lagi. Ada yang harus kusiapkan dulu." Eza membuka pintu lebih lebar, supaya bundanya bisa masuk dan dia melanjutkan kegiatannya tadi. 

"Za, kamu nggak tidur, ya?" tanya Ratri tiba-tiba. Pertanyaan itu muncul karena kondisi kamar Eza sangat berantakan. 

"Maaf ya, Bun. Aku lagi ngerjain tugas, lagi banyak banget. Makanya semalam nggak tidur."

Eza terlihat sibuk sekali. Padahal Ratri mau memberitahu kalau Reihan sudah menunggu di depan. 

"Oya, Bunda kenapa cari aku? Butuh  bantuan?" Eza mengubah posisi tubuhnya fokus pada Ratri. 

"Bunda cuma mau kasih tahu kalau Pak, eh Nak Reihan ada di depan."

"Nak? Sejak kapan Bunda panggil Pak Reihan dengan sebutan, Nak?" Secepat ini Reihan ingin ada perubahan antara mereka. Sekat tak terlihat itu dirasa makin transparan sekarang. 

"Ya, barusan. Dia yang minta." Ratri sendiri tidak menganggap soal panggilan ini masalah besar. Apa artinya panggilan kalau memang takdir sudah menggariskan sesuatu ya, itu yang akan terjadi nanti. 

Eza langsung bergegas ke depan setelah memakai hijab instan yang panjang. Dia tidak mungkin mau dandan atau apa lah. Jadi wajahnya dibiarkan polos tanpa bedak. Untung dia sudah terbiasa mandi subuh. 

"Pak Reihan, ada perlu sama saya?" tanya Eza setelah mereka saling mengucap salam. 

Reihan sempat terdiam melihat Eza memakai baju rumahan tanpa riasan muka. Dia tetap memikat hati. Tatapan itu segera dialihkan kepada tujuan awal kedatangannya. 

"Tadinya mau ngajak kamu sarapan bareng, terus saya antar kuliah. Tapi sepertinya saya datangnya nggak tepat waktu."

"Oh, gitu. Saya memang lagi ngerjain tugas, Pak. Dan kuliah saya juga masih dua jam lagi. Gimana? Duh, jadi nggak enak saya." 

Eza berpikir solusi apa yang tidak menyinggung Reihan. Sebelum Eza menemukan jalan keluar, mendadak Ratri datang dan langsung menyela. 

"Maaf, Nak Reihan. Ibu terpaksa menguping. Ya, gimana rumah segini-gininya, mau nggak mau Ibu dengar. Gimana kalau Nak Reihan sarapan di sini, aja?" 

Tawaran Ratri membuat Eza kurang nyaman sebenarnya. Tetapi niat tulusnya hanya ingin membantu, daripada cari ke luar mending di rumah. 

Dan dalam hati Reihan, mereka juga tetap bisa berangkat bersama. 

"Apa tidak merepotkan, Bu?" 

Ratri menggeleng dan langsung mengajak Reihan ke meja makan. Eza hanya bisa mengekor di belakang. Kalau bundanya sudah niat melakukan sesuatu, tidak ada yang bisa mengganggu gugat. 

"Pak Reihan nggak sama sopir?" tanya Eza sambil sesekali melihat ke luar teras. 

"Enggak, saya sengaja bawa sendiri ke sini."

Mendadak pikiran buruk Eza muncul. Mungkinkah tujuan Reihan makin mendekatinya ini sebagai bayaran karena dia bersedia tutup mulut tentang kejadian di mall itu? 

"Pak Reihan, kita bisa bicara sebentar?" Eza merasa harus memastikan sesuatu. Atau mencegah sesuatu yang mengganggu pikirannya. 

Reihan bangkit setelah sempat duduk. Tetapi niat Eza urung dengan panggilan Ratri. 

"Za, bantu Bunda sebentar!" 

Mereka berdua saling pandang. Akhirnya Eza membatalkan niatnya bicara dan langsung melesat ke dapur. 

"Maaf ya, Nak Reihan. Makan di sini menunya ya, cuma ada gudeg. Kalau mau menu lain paling juga mi instan." Ratri berbicara sambil menyiapkan satu porsi gudeg untuk Reihan. 

"Nggak apa-apa, Bu. Saya suka gudeg buatan Ibu." Reihan tidak langsung menyantap makanannya. Karena dia hanya sendirian. Rasanya kurang nyaman sekali. 

"Za, kamu temenin Nak Reihan makan, ya. Kamu belum sarapan, kan." 

Singkatnya mereka sarapan, Eza bersiap kuliah, dan Reihan ke kantor setelah mengantar Eza ke kampusnya lebih dulu.

"Makasih, Pak! Mendingan Pak Reihan langsung ke kantor. Jam segini pasti Bapak telat, kan." 

"Nggak masalah, Za. Yang penting saya bisa tahu kondisi kamu. Maaf, kita belum jadi bicara. Kalau kamu mau saya bisa  ke sini pas jam makan siang." 

Eza setuju dan segera turun. Tapi tertunda karena ditahan Reihan. 

"Za, semangat belajarnya!" 

Eza malah bingung menanggapi suntikan semangat itu. Akhirnya dia hanya senyum semanis mungkin sebagai balasan. 

Eza dihampiri Rahman dari jauh, sedangkan Reihan sudah melajukan mobilnya ke luar gerbang kampus. Dia tak sempat melihat saat Eza didatangi cowok lain di kampus. Apalagi Eza masih ada hati ke Rahman. Meskipun tidak sebesar sebelumnya. 

Mengingat banyak hal dan tindakan Reihan mendekati bundanya, membuat Eza sempat memikirkan untuk mencoba buka hati. Tetapi apa mungkin, Eza sudah pesimis di awal karena perbedaan status yang sangat mencolok. Eza mengabaikan sementara soal Reihan. Ada yang lebih penting sekarang. 

"Za, ini rencana acara bulanan Ramadhan nanti. Kamu koordinasi sama bagian konsumsi, ya. Kalian nanti yang akan bekerja cukup keras."

"Siap, Kak! Kalau dunia kuliner sih, udah biasa, Kak. Aku ke kelas dulu, ya. Makasih infonya."

Ucapan salam mengakhiri obrolan mereka, dan dengan cepat pula keduanya sibuk dengan fokus masing-masing. 

***

"Ke mana aja, Rei? Jam segini baru dateng kantor. Dicontoh karyawan, loh!" protes Bastian asisten pribadinya. 

"Tadi ada perlu bentar, lo tahu lah!" Reihan tidak perlu menjelaskan karena Bastian juga pasti tahu. 

Hubungan mereka bukan lagi seperti atasan dan asisten. Bertahun-tahun keduanya saling kenal dan akhirnya bisa bekerja sama. Tak ada rahasia bisa tersimpan lama. Pasti di waktu tertentu rahasia itu akan terkuak tanpa ada paksaan bercerita. 

"Gue tahu semua ini tentang Eza. Tapi hari ini meeting bareng bos besar diajukan sebelum makan siang. Untung lo sampe tepat waktu."

Reihan sadar posisinya akan terancam kalau ayahnya tahu tentang Eza. Dia tidak yakin hubungannya akan semulus jalan tol. Akan banyak hal, banyak orang penting dalam keluarga yang harus dia hadapi demi melindungi Eza. 

"Gue harus siap semua kemungkinan, Bas. Bahkan Eza belum memutuskan apa pun."

"Jadi sang pujaan hati masih nggak yakin. Padahal lo tampan, kaya, pengusaha sukses, masih bikin dia ragu."

Reihan tidak tahu alasan Eza masih menolaknya. Yang dia tahu cuma latar belakang keluarganya. Persoalan Eza yang dihina dan diremehkan ayah kandungnya, cuma Eza dan Ratri yang tahu. 

"Menurut gue, bukan hanya soal itu yang memberatkan. Gadis ini membuat penasaran, Bas. Jujur nggak banyak perempuan kayak dia di jaman sekarang." 

Bastian hanya dua kali bertemu Eza. Setelahnya dia ijin cuti pulang kampung. Hanya seminggu, tetapi dia sudah ketinggalan banyak cerita.

"Harus diperjuangkan kalau memang lo yakin dia yang terbaik." 

Saran Bastian memang benar. Latar belakang dia mendapatkan hati sang istri juga tidak mudah. Reihan yakin asistennya itu sangat paham hal jodoh. 

***

Alhamdulillah, bisa menyapa kalian.

Semoga pedekate Reihan berhasil, ya. Tapi Rahman gimana?

Jodoh pasti bertemu, kan.

Oke, happy reading dan selamat berpuasa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro