TAK TERDUGA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Masih jauh bulan Ramadhan datang. Tetapi Rahman dan mahasiswa lain yang tergabung Rohis Kampus, sudah mempersiapkan acara untuk dua minggu selama bulan suci nanti. 

Eza sendiri baru selesai diskusi dengan timnya, mengenai menu untuk buka puasa nanti. 

"Gimana, Za? Semua lancar atau perlu bantuan?" tanya Rahman begitu mereka sampai di pintu masuk sebuah kafe. 

Panitia lain sudah sampai lebih dulu. Suasana ramai dan seru, Eza beruntung bisa ada di tengah orang-orang yang asyik diajak kerja sama. 

Puput yang ikut gabung di bagian seni, langsung memberi tempat di sampingnya. 

"Hai, kok, baru sampe, sih?" 

"Bicara soal makanan nggak ada habisnya, Put. Tapi seru, semua panitia nggak ada yang egois dengan pendapatnya. Salut banget!" 

Bukan hanya Eza yang merasa nyaman. Ada beberapa orang baru juga mengatakan hal yang sama. Suasana kerja seperti ini kemungkinan besar akan menghasilkan keberhasilan. Semoga saja. 

"Habis ini mau ke mana, Za?" Puput menyusul Eza yang lebih dulu jalan ke luar, setelah acara selesai. 

"Pulang, dong! Kasihan Bunda kalo jualan sendiri terus." Eza memesan ojek online, tetapi dicegah Puput. 

"Jangan pesan dulu! Kayaknya ada yang mau nganterin, tuh!" bisik Puput sambil mematikan layar ponsel Eza. 

"Maksud lo, apa?" Eza menoleh dan di belakang ada Rahman yang melangkah ke arahnya. 

"Gue duluan, udah dijemput tuh, di sono!" 

Memang benar, ada mobil sudah menunggu di depan. Puput berlalu dan tinggallah aku dan Rahman. Bahkan panitia yang lain juga sudah pulang. 

"Kalau saya antar, gimana, Za? Biar cepat sampai rumah dan bantu ibu kamu. Maaf, saya tadi sempat dengar obrolan kalian."

Eza memang harus cepat sampai rumah. Dan tawaran Rahman akan sangat membantunya. Tanpa berpikir lagi, Eza mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. 

Rahman melajukan mobil dengan tenang. Tergelitik rasa ingin bertanya tentang lamarannya. Tetapi apa ini waktu yang tepat, Rahman meragukan hal itu. Apalagi dia juga ingat sejak awal Eza sudah bilang ingin lulus kuliah lebih dulu. Hal itu jadi pertimbangan sendiri bagi Rahman. 

"Kak, saya berhenti di depan situ, aja." Eza harus berhenti di depan minimarket untuk membeli sesuatu. 

Setelah Rahman pamit, Eza segera mengambil keperluan selama sebulan. Uang sudah disiapkan, tetapi saat sampai kasir, seseorang sudah menyodorkan uang lebih pada kasir.

"Kak Rahman, kok, balik lagi?" Eza bingung mau bilang apa dulu. 

"Saya cuma beli minuman ini. Beberapa sekalian  buat persediaan lembur. Buat kamu sekalian, ya?" Tanpa menunggu jawaban Eza, Rahman sudah menaruh beberapa ke dalam tas Eza. 

"Kak ini terlalu banyak, apalagi semua belanjaan juga dibayarin. Saya jadi utang, dong!" 

"Saya ikhlas, Za. Dan, saya nggak pernah anggap ini utang. Sekarang kamu cepat pulang. Saya duluan, ya!" 

Rahman pergi tanpa menoleh lagi. Dia benar-benar hanya ingin bantu tanpa berniat meremehkan atau apa pun. Semoga Eza juga tidak berpikiran macam-macam. 

***

Semakin hari Eza merasa keterlaluan dengan dua pria yang begitu baik padanya. Dari awal di sudah mengatakan kalau ingin menyelesaikan kuliah lebih dulu. Tetapi Tuhan malah terkesan membuat mereka dekat dan berbuat sesuatu. Tanpa Eza bisa menolak dan membalas. 

Kalau sampai mereka minta balasan dengan memberikan hatinya, Eza tidak sanggup. Sungguh pengaruh Tama di masa lalunya sangat kuat dan berbekas. Sehingga sulit bagi Eza untuk berani menentukan pilihan sebelum sukses dia raih. 

Malam itu menyenangkan sekaligus melelahkan. Gara-gara dua orang pria yang sama-sama baik, sama-sama tulus membuat matanya baru bisa terpejam setelah lewat tengah malam. 

 "Za, sudah bangun? Jangan lupa tahajud, ya!" Suara Ratri pelan tetapi cukup membuat Eza terjaga. 

Tahajud sekaligus menunggu waktu Subuh sudah menjadi hal biasa. Namun, kali ini Eza sempat tertidur di atas sajadahnya. Kalau tidak ada dering dari ponselnya, mungkin dia terlewat waktu subuh. Setelah dilihat siapa yang misscalled ternyata Reihan. Ada pesan singkat supaya dia bangun. 

"Kalau kamu tahu, tidurku mulai terganggu gara-gara kamu. Juga karena makhluk sejenis kamu yang bernama Rahman." Eza bermonolog.

***

Kantor lumayan padat jadwal hari ini. Reihan kurang semangat rasanya belum bertemu atau sekadar melihat Eza. Tetapi bukan waktunya mellow dan seperti anak remaja. Dia harus selesaikan pekerjaan hari ini atau ayahnya akan mulai melakukan hal yang di luar dugaannya. 

"Bas, berkas sudah siap, ya. File presentasi juga sudah simpan di flashdisc?" Reihan tahu Bima pasti sudah siapkan semua. Tidak ada buruknya juga memastikan

"Sudah. Semua sudah siap meluncur!" 

Meeting berlangsung agak alot soal anggaran. Tetapi Reihan meyakinkan semua anggaran yang tercantum sudah memakai harga ekonomis dengan banyak perbandingan dan riset.

"Yang pasti saya sudah riset di beberapa tempat. Harga dan kualitas yang perusahaan Anda inginkan sudah sesuai.“

Reihan bernapas lega akhirnya klien mau menerima dan tanda tangan kontrak. Kerja sama nanti harus dia awasi sendiri dan Bastian. Klien ini agak ribet orangnya jadi tidak bisa diwakilkan orang lain, saat dia berhalangan. 

"Bas, saya minta tolong, proyek yang ini kita sendiri yang ngawasin, ya. Susah kalau perwakilan perusahaan ngawasin. Saya takut ada yang terlewat."

"Sudah waktu makan siang. Kita mau makan bareng atau masing-masing?" tanya Bastian sambil mengeluarkan ponselnya. 

"Kita bareng aja, sambil jalan-jalan bentar di mall Simpang."

Jadilah mereka di mall dengan setelan rapi. Reihan melepas jas dan melipat lengan kerjanya sebatas siku. Bima tanpa disuruh sudah lebih dulu mengikuti. 

Mata Reihan terhenti pada sosok perempuan yang dia kenal. 

"Tante Indira?" sebut Reihan ragu. 

Tante Indira adalah orang yang dulu pernah dekat dengan Dewi. Persahabatan mereka putus karena Indira mengkhianati mamanya. 

"Tan, apa kabar?"

Indira sempat gugup bertemu dengan Reihan. 

"Baik, Rei. Kamu apa kabar?" 

"Aku sehat, Tan. Terakhir aku dengar Tante di Singapura. Sekarang sudah balik? Mampir ke rumah, Tan. Sepertinya kalian perlu bicara, kan?" 

Tak lama Indira pamit duluan karena sudah janji sama orang. Reihan tidak menahannya, dia kembalipada niatnya mau makan siang. 

Setelah terpisah dari Reihan, Indira segera menemui orang yang sudah lama menunggunya. 

"Maaf, ya, Mas Tama. Tadi ketemu sama anaknya temen. Jadi sekadar nanya kabar."

"Nggak apa-apa. Yang penting sekarang kita ketemu, kan. Saya harap nggak ada masalah." 

Pertemuan mereka berdua tak sengaja tertangkap oleh Reihan. Dia mengenal kalau pria di sana adalah ayahnya Eza. Ada apa ini? Tante Indira belum lama bercerai dan sekarang bersama pria lain. 

Lalu kejadian saat Eza menangis itu, apa karena Tante Indira juga? Apa yang terjadi kalau Eza tahu hal ini? Apa dia akan menjauhi dirinya? Karena Tante Indira adalah saudara kandung mamanya. 

***






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro