TERKUAKNYA RAHASIA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Persoalan Tante Indira ini cukup menyita waktu Reihan untuk berpikir. Bagaimana tidak kalau ada hubungannya dengan Eza. Beberapa waktu lalu saat dia menemukan Eza berlari histeris setelah bertemu ayahnya, apa mungkin berhubungan dengan tantenya itu. 

Harus ke mana cari informasi tentang ini? Reihan mendapat pencerahan mencoba cari tahu ke asisten papanya. 

"Boleh juga idenya, cuma harus tetap diingat, Rei. Asisten  papa lo itu, bukan anak kemarin sore. Semua kemungkinan bisa terjadi. Termasuk papa lo sudah keburu tarik asistennya sebelum buka mulut." 

Bima mengucapkan semua kalimat itu tanpa melihat Reihan. Tangannya sibuk memeriksa berkas yang baru saja ditanda tangani. 

"Gue perlu coba, kan. Kita nggak pernah tahu sebelum mencoba." Reihan tidak ingin ada pikiran buruk sebelum tahu yang sebenarnya. 

Niat Reihan ternyata dimudahkan. Selesai meeting dengan klien Reihan langsung turun ke kantin untuk makan siang. Dia terlalu lelah melangkah ke tempat parkir demi makan siang. 

Tak disangka dia bertemu asisten papanya, Pak Tio. Reihan tak punya banyak waktu. Setelah basa-basi dan berbicara soal lain, tiba waktunya Reihan menyampaikan maksudnya. 

"Pak Tio, apa Bapak tahu kejadian sebenarnya? Mungkin papa saya pernah cerita." 

Tio memang tidak berada di lokasi saat keributan terjadi. Tetapi betul tebakan Reihan, ayahnya memiliki hubungan dekat dengan Tante Indira sebelum menikah dengan Dewi. 

Tidak bisa detail Pak Tio bercerita, terutama soal papanya. Yang jelas Tante Indira memang bersalah saat itu. Wajar sebagai istri sah, Dewi murka saat adiknya berusaha mendekati suaminya.

Sudah sampai di situ Pak Tio bercerita. Dia tidak tahu keadaan selanjutnya seperti apa. Karena dirinya disuruh pulang lebih dulu dan setelahnya Pak Tio tak mendengar kabar lagi. Nama Indira seolah jadi nama yang pantang disebut di rumah. Padahal dia masih ada hubungan kekerabatan dengan Dewi. 

Cukup sampai di sana. Reihan berterima kasih atas bantuan Pak Tio dan Reihan berharap papanya tidak perlu tahu soal ini. Image dari tantenya itu memang cukup buruk dan tidak disukai banyak orang. Entah, Reihan harus lakukan apa sekarang. Tetapi tidak seharusnya kita memandang sesuatu hanya dari satu sisi. 

***

Tugas akhir Eza sudah hampir selesai. Dosen pembimbingnya sangat puas dengan hasil kerja kerasnya. Bolak-balik ke kampus, dan beberapa kali revisi sudah dilewati, tinggal sedikit lagi semua akan bisa dilihat sejauh apa usaha Eza. 

Rahman juga sedang menyusun tugas akhirnya. Tetapi tidak sesulit Eza, Rahman memiliki seseorang yang siap membantunya. Pikiran buruk itu begitu saja terlintas. Orang seperti Rahman atau orang berpengaruh lain, sudah jadi hal biasa ada yang bantu.

"Za, jangan jadi berpikir buruk sama orang lain. Mereka mungkin tidak tahu apa yang terjadi, kebetulan saja ada yang bantu," tukas Puput membantah pendapat Eza. 

Eza sendiri juga sepenuhnya sadar akan hal itu. 

"Ya, gue tahu, Put. Gue nggak mungkin berpikir buruk soal Kak Rahman. Dia sangat memikirkan detail semua planning-nya."

Ponsel Eza bergetar, Reihan menghubunginya. Sudah lama tidak ada kabar, sekarang nelepon apa masih mau melamar. Eza mengangkatnya di dering kelima. 

"Za, maaf kamu bisa keluar? Atau masih ada jam kuliah?" Suara Reihan terdengar lelah dan tak bersemangat. 

"Ada apa, Pak? Sekarang Bapak di mana?" Eza tidak mengerti rasa cemas begitu aja tertular pada dirinya. 

"Ada di depan kampus, tetapi saya nggak mau buat keributan, jadi saya menunggu di dalam mobil."

"Ok, tunggu di sana, ya!" 

"Assalamualaikum." 

"Waalaikumussalam." 

Eza melihat Reihan dengan versi yang berbeda. Biasanya dia selalu percaya diri dan malah terkesan sombong. Sekarang tampak sedih dan seperti berat beban yang dipikulnya. 

"Bapak kenapa? Saya bisa bantu?" 

"Bisa. Jangan panggil saya Bapak lagi, saya berasa tua banget tiap kali bareng kamu." 

"Tapi saya butuh waktu untuk membiasakan diri. Saya coba, nanti. By the way, datang ke kampus cuma mau bilang ini?" 

"Saya mau tanya tentang kamu di mall waktu itu. Maaf, kalau buat luka hati kamu jadi perih lagi." 

Eza menimbang mungkin Reihan hanya ingin tahu tidak lebih. Dia akhirnya mau cerita tetapi tidak semuanya. Bagaimanapun juga Tama tetap orang tuanya. 

"Jujur saya masih sakit hati dengan perlakuan Ayah pada kami. Makanya kalau disuruh menerima dia kembali, saya masih belum rela."

"Lalu soal perempuannya, apa kamu pernah kenal sebelumnya?" Reihan sampai juga di pertanyaan inti. 

"Sangat kenal. Nggak nyangka dia bersikap seperti itu."

Indira di mata Eza adalah penolong saat dia dan Ratri terpuruk jatuh setelah Tama pergi. Indira memberi tempat dan modal jualan. Dia tanpa pikir panjang langsung memberi modal setelah mencicipi gudeg buatan bundanya.

Ratri mulai maju usahanya hingga bisa bayar hutang ke Indira. Mendadak Indira pergi tanpa kabar, dia hanya meninggalkan surat kecil. Isinya cuma mengatakan kalau dia akan kembali dalam waktu dekat. Tetapi hingga sekarang tidak muncul juga. 

"Ok, saya cuma ingin tahu itu saja. Kejadian itu sangat melukai kamu jadi saya merasa perlu tahu, jadi misal hal itu terjadi lagi, saya tahu harus apa." 

"Pak, eh Mas Reihan, saya rasa terlalu berlebihan kalau Mas sampai begitu dalam ingin tahu kehidupan saya. Saya kira beban hidup Mas Reihan lebih banyak dan perlu perhatian khusus."

Reihan tersenyum. Eza mencemaskannya, meskipun sedikit. Tetapi itu cukup melegakan dan membuat Reihan senang. 

"Hanya urusan pekerjaan, kok!" jawab Reihan menutupi hal yang sebenarnya. 

"Kalau boleh memilih saya lebih baik seperti ini daripada banyak materi tapi nggak bahagia."

Eza menatap Reihan dengan rasa iba. Da Jelas-jelas ada masalah sendiri yang perlu diselesikan. Malah bertanya tentang masalahnya. 

Reflek Eza memegang bahu Reihan perlahan. Niatnya ingin memberi kekuatan supaya merasa lebih baik. 

"Saya boleh pinjam punggung kamu sebentar?" 

Tanpa banyak bicara Eza berbalik. Reihan menyadarkan kepalanya di sana. Menumpahkan semua rasa yang selama ini menghimpitnya. Rasa takut kehilangan membuatnya hilang akal juga. 

Entah, ini tangis dari sebab apa. Yang dirasakan, semua rasa itu terus mendesak ingin keluar. 

"Maaf, saya jadi mellow. Kita sudah terlalu lama di sini. Saya ke toilet sebentar."

Eza mengangguk. Ada yang masih disembunyikan Reihan darinya. Dia masih curiga kenapa ingin tahu kejadian itu. Eza tak mau overthinking. Biar semua seperti ini, Reihan memang baik tapi mereka belum ada komitmen apa pun. Eza tidak berkewajiban menjelaskan atau minta penjelasan pada Reihan. 

Eza keluar mobil, dia juga perlu udara segar. Tak diduga Rahman memanggil dan menghampirinya. Jelas saja Eza gugup. Apa yang harus dia katakan kalau Reihan balik nanti. 

"Za, kamu di sini sama siapa? Bukannya udah nggak ada kuliah, ya?" 

Lokasi Eza dan Reihan saat ini memang tidak jauh dari kampus. Taman biasa yang lumayan sering dikunjungi Eza dan mahasiswa lain.

Terkadang Eza tidak suka dengan orang yang kebanyakan tanya urusan orang lain. Tetapi ini Rahman yang tanya. Dia harus jawab apa sekarang. Dari kejauhan Reihan sedang melangkah mendekat. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro