SIAPA DIA?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Saya sedang ada janji sama temen, Kak. Kak Rahman sendiri belum pulang?" 

Eza berharap Rahman tidak lama di sana. Benar saja ada Kak Fadil menghampiri. 

"Yok, Man! Eh, Za lagi di sini juga? Sama siapa?" 

"Sama temen."

Fadil mengajak Rahman untuk bergegas pergi. Sepertinya mereka sedang buru-buru. 

"Kami duluan, ya!" Rahman enggan pamit, tetapi Fadil menarik lengannya sambil berseloroh, "makanya cepetan dihalalin!" 

Rahman cuma tersenyum sambil mengikut langkah sahabatnya. Eza lega Reihan sampai setelah kedua orang tadi menghilang. 

"Maaf, lama nunggu, ya?" 

Eza menggeleng. Reihan sudah lebih tenang sepertinya. 

"Mas, saya harap cerita soal tadi jadi rahasia kita aja, ya. Kalau bisa sih, Mas lupain."

"Kenapa? Aku cuma mau bantu kamu selesaiin masalah ini. Siapa tahu ayah kamu bisa berubah dan kembali menyayangi kamu dan Bu Ratri."

Eza tersenyum kecut. "Saya sudah pernah bilang belum bisa menerima Ayah kembali. Terlalu banyak luka dan ancaman yang saya belum bisa lupa."

Reihan sangat paham posisi Eza. Dia pernah merasa di posisi itu. Tidak nyaman saat papanya ada dalam hidupnya. Mungkin kondisi dan kasusnya berbeda, Reihan hidup bersama papanya, sedangkan Eza malah ditinggal pergi. Persamaannya orang tua laki-laki mereka egois dan tidak sepenuhnya peduli dengan anaknya. 

"Tapi kamu tahu kan, seperti apa pun sikap dan sifat orang tua kita, mereka tetap harus kita hormati." 

Reihan menasehati Eza sekaligus dirinya sendiri. Eza mengangguk dan sangat paham hal itu. 

"Saya tahu. Satu hal yang perlu diingat juga, Mas. Anak juga berhak meminta haknya. Bukan harta atau materi, yang kita mau. Hanya perhatian dan kasih sayang tulus. Itu sudah cukup." 

"Ok, ok! Iya, saya juga paham." Reihan mengusap kepala Eza lembut. "Kita pulang sekarang, ya?" lanjut Reihan sambil membukakan pintu mobil. 

Perlakuan ringan Reihan membuat Eza sedikit tersipu. Makin dalam saja hal yang Reihan tahu tentang dirinya. Apa ini pertanda kalau dia benar-benar harus mulai membuka hati untuk Reihan? 

***

Setelah berpamitan dengan Ratri, Reihan langsung melajukan mobilnya untuk pulang. Tadi Ratri sempat memberikan beberapa porsi gudeg untuk dibawa pulang. Awalnya Reihan bingung gudeg sebanyak itu siapa yang makan. Dia ingat karyawan di rumah bisa ikut makan. Lagipula dia belum pernah bawa pulang gudeg buatan Ratri. Mereka pasti suka. 

Sampai di rumah, tepat waktu makan malam. Reihan memberikan gudeg pada satpam untuk dibagikan ke semua karyawan. Dewi tiba-tiba muncul dan menanyakan apa yang dibawa putra semata wayangnya. 

"Oh, itu gudeg dari temen, Ma. Orang tuanya kebetulan punya usaha kuliner itu. Jadi tadi dikasih beberapa porsi. Mama mau?" 

Sebenarnya Dewi enggan menyentuh makanan yang mengingatkannya pada luka lama. Dia dan Indira sama-sama penyuka gudeg. Tak bisa dipungkiri tampilan gudeg buatan Ratri sangat menggugah selera. 

Untung masih ada satu porsi, Reihan mengulurkan pada Dewi dan segera dibawa ke meja makan. Dewi tercekat, rasa gudeg itu sama persis dengan buatan adiknya. 

"Rei, usaha teman kamu itu di mana? Rasanya mirip seperti buatan …." Dewi tidak sampai selesai mengucapkan kalimatnya. Gudeg itu tidak dihabiskan. 

"Kenapa, Ma? Ada yang salah sama gudegnya?" Reihan mengecek kondisi gudeg masih aman. Bahkan karyawan lain tidak ada yang ngeluh, mereka malah lahap menghabiskan jatah mereka. 

"Ya udah, gudegnya biar nanti aku habisin. Mama rehat di kamar aja, ya?" 

Dewi meneguk air putihnya hingga habis. Setelah itu dia masuk ke kamar. Perasaannya campur aduk. Sudah beberapa tahun lewat, tetapi makanan itu masih saja membekas dalam ingatannya. 

***

Reihan mengetuk pintu kamar Dewi perlahan. Reaksi Dewi setelah makan gudeg tadi membuatnya khawatir. 

"Ma, Reihan boleh masuk?" 

Dewi segera menghapus air mata di pipinya. Sebuah album foto usang disimpannya tergesa ke laci meja samping ranjang. 

"Masuk, Rei!" 

Reihan melihat Dewi sedang merapikan bedcover yang sedikit berantakan. Sepertinya untuk pengalihan saja. 

"Mama baik-baik saja? Mungkin Mama ingin sharing sesuatu sama aku?" Reihan duduk di tepi ranjang diikuti Dewi. 

"Mama baik-baik aja, kok. Tadi cuma agak kaget, aja. Kamu tahu kan, gudeg adalah makanan yang bikin segalanya jadi nggak karuan." 

"Ma, kalau Tante Indira datang minta maaf gimana?" 

Dewi terdiam. Jauh di dalam hati, dia merindukan adik kandungnya. Sudah lama dia ingin bertemu Indira. Cuma dia saudara kandung yang tersisa. 

"Mama memang marah sama Tante Indira. Tapi itu sudah masa lalu, Rei. Kalau tantemu datang ke Mama, pasti Mama terima dengan senang hati."

Reihan lega mamanya sudah mampu berdamai dengan masa lalu. Informasi soal dia bertemu Indira, akan disimpan dulu. Kalau Dewi tahu, Reihan pasti akan kebingungan mencari keberadaan Indira. 

Kalau dia tanya Eza tentang ayahnya, itu ide yang buruk. Keberadaan Tama yang ada di kota yang sama saja, membuat Eza sedih. Apalagi kalau dia sampai bertanya detail soal Tama demi mencari tahu keberadaan Indira. Reihan tidak siap menghadapi kecurigaan dari gadis pujaannya. 

"Apa perlu Reihan suruh orang cari Tante, Ma?" 

Dewi menggeleng. "Nggak perlu, Rei! Tante paling nggak suka diganggu, kalau dia mau balik, pasti balik, kok!" 

Dewi membatin, adiknya itu mungkin juga masih sakit hati karena dia usir dari rumah. Padahal dulu dia tahu, Indira tidak punya tempat lagi. Dewi sendiri menyesal dan sempat khawatir. Malam itu dia menyuruh orang mencari Indira di apartemen milik orang tuanya. Tapi adiknya tidak berada di sana. 

Andai adiknya datang dia akan terima dengan tangan terbuka. Dia sangat ingin bisa membuka lembaran baru dan melupakan masa lalu. Harapan itu muncul setelah sekian lama. 

***

Eza kebingungan mencari hijab warna peach yang dibelikan Ratri bulan lalu. Sudah semua tempat di kamarnya dicari tapi belum juga ketemu. 

"Bun, aku boleh masuk?" Eza ingin coba  mencari di kamar Ratri. Beberapa waktu lalu tugasnya menyetrika baju, mungkin saja terselip di antara pakaian bundanya. 

Tidak ada jawaban, Eza membuka pintu. Ternyata tidak dikunci. Niat Eza tidak mau macam-macam, cuma mau mencari hijabnya. Tak sengaja saat melihat rak di lemari, ada kertas yang menarik perhatiannya. 

Setelah ditarik ternyata sebuah foto. Dibaliknya ada tulisan Takkan Terganti. Eza makin penasaran foto siapa yang ditemukannya. Matanya terbelalak saat melihat foto ayahnya bersama perempuan yang bertemu dengannya waktu itu. Mereka menggendong bayi kecil. Siapa bayi itu? 

"Za, kamu lagi cari apa?" Ratri tiba-tiba masuk dengan tergesa. 

"Oh, cari hijab yang waktu itu Bunda beliin. Di kamarku nggak ada soalnya." Eza segera mengembalikan foto di tempatnya. 

Satu kenyataan terbuka dengan sendirinya. Siapa bayi itu? Mungkinkah Tama memiliki anak di luar pernikahan dengan perempuan lain? Itu artinya dia punya saudara seayah di luar sana. 

Tangan Eza masih gemetar sampai dirinya masuk lagi ke kamarnya. Besok ada acara ulang tahun temannya Puput. Dan dia diminta sahabatnya menemani. Makanya dia cari hijab tadi karena gamis yang akan dipakai warnanya cocok. 

Perasaannya kembali tidak nyaman. Sedih, marah, sekaligus rindu sosok ayahnya. Eza merasa sesak di dalam kamarnya. Dia perlu ke luar rumah kalau masih ingin hidup. Jam menunjukkan pukul 23.15, Eza mengambil ponselnya lalu keluar rumah. Ratri sudah terlelap. Dia tidak mendengar suara pintu dibuka. 

Eza merasa lega saat kakinya sudah menginjak halaman samping rumahnya, bangku dari bambu menjadi tempatnya duduk. Pagar rumahnya di bagian samping lumayan tinggi. Eza merasa nyaman di sana tanpa takut dilihat orang. 

Entah karena ada firasat atau apa, ada pesan masuk dari Reihan. Kalimat ucapan selamat malam dan pengingat jangan tidur malam-malam, cukup membuat Eza merasa masih ada seseorang yang bersedia menjadi tempat bersandar. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro