TIGA--C

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sayang?

Barusan dia manggil aku Sayang?!

Jangan salahkan Vara yang langsung menginjak kaki Dika tanpa ampun. Dika menatap balik Vara yang gemas ingin melumatnya. Vara menginjak kaki Dika lagi menggunakan tumitnya berkali-kali. Cukup keras, sampai bisa membuat Dika meringis. Namun, Dika tetap mempertahankan ekspresi datarnya. Seolah injakan kaki Vara tidak berarti apa-apa.

Sepertinya tanggapan Vara sedang ditunggu, karena beberapa pasang mata di meja makan ini masih mengarah kepadanya.

"Iya, kan, Sayang?" Dika tersenyum seraya mengusapkan jempol di punggung tangan Vara. Sebagai isyarat kalau sebaiknya Vara menurut saja.

Situasi ini malah didukung oleh Nala yang sepertinya senang kalau Vara menjadi kakak iparnya.

"Kalian berdua serasi, lho," ucap Nala yang membuat Vara semakin kelabakan.

Namun, baru saja Vara ingin menjelaskan kesalahpahaman ini, tiba-tiba Ratih datang menghampiri meja makan untuk memberitahu Gatra kalau ada tamu yang datang. Gatra dan Rianti meninggalkan ruang makan. Terpaksa harus menunda makan malam demi menghormati tamu.

"Maksudnya Mas Dika apa, sih, pakai bilang sayang-sayang segala?" sembur Vara yang tanpa menunggu lama lagi segera menarik tangannya dari genggaman Dika.

Dika belum menjawab. Lelaki itu melirik ke arah Nala yang diam menyimak kekisruhan mereka berdua.

"Kita omongin di luar," ujar Dika yang langsung meraih pergelangan tangan Vara. Memaksa wanita itu untuk bangkit dan mengikuti langkahnya. Diikuti pandangan mata Nala yang penasaran dengan tingkah sang kakak.

Tangan Vara baru terbebas setelah mereka berdua sudah ada di sebuah ruangan yang ia tebak sebagai ruang kerja Gatra. Dika menutup pintu. Menunjukkan kalau isi pembicaraan mereka bukan sesuatu yang boleh didengar orang lain.

Vara melipat kedua tangannya di depan dada. Menunggu penjelasan dari Dika atas sikapmya yang menurut Vara kelewatan.

"Maaf kalau kamu tadi jadi nggak nyaman karena sikap saya." Dika mulai berbicara. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana chino berwarna coklat yang dikenakanmya. "Tapi saya juga punya alasan kenapa tadi saya jadi bersikap begitu sama kamu."

"Alasan apa yang membenarkan kamu seperti tadi?"

Pertanyaan tersebut tidak langsung dijawab oleh Dika. Lelaki yang tampak tampan dengan vest berwarna abu-abu itu lalu berjalan mendekati Vara. Menyisakan jarak tiga langkah saja dengannya.

"Kamu mau tinggal di sini, berarti kamu menerima perjodohan kita, bukan?" tanya Dika memastikan.

Idih ... kata siapa?! batin Vara meronta tak terima.

"Mas Dika jangan sampai salah sangka, ya. Aku mau tinggal di sini juga itu gara-gara dipaksa sama Ayah. Bukan karena aku setuju dengan perjodohan kita."

"Kenapa kamu nggak mau?"

"Nggak maulah. Tiba-tiba dijodohin sama orang yang nggak pernah aku kenal sebelummya. Malah aneh kalau aku setuju."

Dika menyugar rambutnya ke arah belakang. "Tapi saya setuju menikah sama kamu."

"Tapi, kan, aku nggak mau. Masa kamu mau maksa aku?" protes Vara. "Mas Dika bisa cari wanita lain yang mau dinikahin."

"Saya maunya sama kamu," ujar Dika enteng.

"Kenapa juga harus aku, sih?" Vara semakin gregetan dan mulai berpikir kalau Dika menyukai dirinya. "Mas Dika naksir aku?"

Dika mengangkat alisnya mendengar dugaan Vara. "Kamu pikir begitu?"

"Kalau nggak, terus kenapa kamu maksa banget harus sama aku?" Vara menuntut penjelasan.

"Saya hanya mau membahagiakan orang tua saya dengan menikahi kamu," ungkap Dika lalu melanjutkan, "Menurut orang tua saya, kamu pantas untuk saya. Jadi saya nggak mau menolak sesuatu yang menjadi keinginan mereka."

"Kamu nggak nolak, tapi aku nggak mau, Mas," kukuh Vara. "Menikah dengan orang yang nggak aku cinta itu rasanya nggak benar."

Dika terdiam. Tampak memikirkan sesuatu. Sebelah tangannya mengusap leher sambil menengadahkan kepala, lalu kembali lagi pada Vara yang masih tak terima.

"Saya mengerti. Tapi bisa nggak kalau kamu jangan langsung menolak perjodohan kita? Kita bisa jalanin dulu hubungan kita sekarang dengan lebih saling mengenal lagi."

"Kalau aku tetap nggak mau?"

"Saya harap kamu mau. Kalau setelah itu kamu pikir tetap nggak bisa, saya juga nggak akan memaksa lagi. Saya hanya mau kamu membantu saya dengan kasih sedikit kesabaran di situasi kita ini. Seenggaknya kita terlihat mau berusaha di depan orang tua," terang Dika.

Vara seperti berada di persimpangan keputusan. Apa ia harus membuka kesempatan untuk Dika?

"Bisa, kan?" tanya Dika.

Dalam dunianya Dika, belum pernah ia memohon pada seorang wanita. Saat mulai berhubungan dengan Manika pun, tak ada penolakan atau usaha yang keras untuk mendapatkan hatinya. Wanita-wanita di sekelilingnya selalu berusaha menarik perhatian, meski Dika selalu tidak acuh dan mengabaikan mereka.

Namun, baru kali ini Dika bertemu dengan wanita yang malah tidak mau dijodohkan dengan dirinya. Dika masih tak habis pikir kenapa Vara menolak. Sedangkan wanita di luar sana berlomba-lomba memilikinya.

Dika selama ini selalu beranggapan kalau semua wanita sama saja, terkecuali ibu dan adiknya. Dika kira wanita akan mudah silau dengan keindahan ragawi dan banyaknya harta yang dimiliki seorang pria. Sama seperti mantan istrinya dulu.

"Buat apa, Mas? Aku akan tetap menolak untuk menikah sama kamu," ujar Vara yang tanpa banyak kata lagi segera melangkah keluar dari ruangan.

Dika berdecak. Wanita ini ternyata cukup keras kepala dan sulit diluluhkan. Ia memutar otak, karena bagaimanapun juga pernikahan ini harus terlaksana.

•••

Secuil kemewahan keluarga Sumayoda seakan disodorkan langsung pada Vara, ketika ia hendak berangkat ke kampus. Tadinya Vara akan memesan taksi online saja, tapi Rianti malah menyuruhnya menggunakan salah satu dari banyak mobil yang terparkir cantik di garasi. Vara sampai melongo saat ditunjukkan pada sebuah Mini Cooper seri Paceman untuk dipakainya.

"Silakan, Nona." Ratih menyerahkan kunci mobil padanya.

Vara masih bergeming. Antara ingin mencoba mengendarai mobil mewah itu dan juga rasa takut kalau sampai membuat lecet.

"Kayaknya aku naik taksi aja, Bu," tolak Vara sungkan.

"Kenapa? Apa mau pilih mobil lain?"

Vara melemparkan pandang ke arah deretan mobil mewah lainnya yang ada di garasi luas ini. Mencari kalau ada mobil yang biasa saja dan harganya pun berkisar seratus juta. Namun, sejauh pandangannya beredar, ia hanya menemukan mobil mewah yang harganya bisa membuat orang sesak napas.

"Apa Nona mau saya pilihkan seri Mini Cooper yang lain? Mungkin Nona kurang suka seri yang ini."

Tanpa menunggu lagi, Ratih langsung menunjuk satu per satu Mini Cooper yang ada. Tak kurang ada delapan Mini Cooper yang hampir membuat bola mata Vara keluar. Ia merasa seperti sedang berada di showroom mobil dibanding garasi sebuah rumah.

"Kalau yang hitam, itu seri Clubman. Biasanya dipakai Tuan Dika. Tapi tadi Nyonya Rianti sudah bilang sama saya, kalau Nona Vara bebas memilih mobil yang diinginkan," jelas Ratih.

Vara dengan halus menolak niat baik itu, lalu berangkat ke kampus dengan taksi yang kemudian dipesankan oleh Ratih. Di kampus, Vara belum memberitahu Raras soal kepindahannya ke rumah Dika. Bisa dibayangkan seheboh apa temannya itu kalau tahu. Vara lebih memilih menyembunyikannya dan melalui hari dengan damai tanpa kehebohan soal Dika.

Tapi kedamaian Vara tidak berlangsung lama. Pada saat jam terakhir mata kuliahnya selesai, Vara keluar kelas dan mendapati Dika sudah berdiri di depan pintu dengan buket bunga di tangan. Bisa dipastikan kemudian, seheboh apa teman-teman Vara yang melihat. Membuat Vara ingin menenggelamkan dirinya saja ke laut.

•••☆•••

Alasan sebenarnya Dika pengin menikah sudah tertebak, kan?

Jangan lupa beri VOTE dan komentarnya. Yang belum follow jangan lupa untuk follow, ya ❤

Terima kasih ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro