03

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kata Tika, jam lima seusai latihan adalah waktunya anggota Garda Patriot berkumpul, tetapi Luna malah gelisah.

Latihan pencak silat selesai lima belas sebelum tepat jam lima. Anak-anak lain sudah meninggalkan rumah Pak Wira. Luna, Jun, Tika, dan Yudha berkumpul di dipan tepat di bawah pohon mangga. Luna menyeka keringat dengan lengan seragamnya. Latihan kali ini tidak begitu berat, tetapi hukuman push up dari Tika membuat tangannya lumayan pegal.

Yang membuat Luna tidak nyaman adalah Flora juga masih ada di sana. Ia berjalan mondar-mandir di depan rumah Pak Wira seperti setrika. Begitu tatapan mereka bertemu, anak itu langsung memelotot.

"Kamu ngapain masih di sini?" tanya Flora ketus. "Jam segini anak kecil udah harus pulang, terus bobo."

"Mau di sini sampai besok juga terserah aku," balas Luna sengit. "kamu sendiri kenapa belum pulang?"

Flora melangkah maju dan matanya berkilat-kilat marah. Luna mengepalkan tangan. bersiap-siap kalau anak itu mulai memukulnya, ia akan membalas. Jarak mereka semakin mendekat, tetapi Tika langsung berdiri di tengah-tengah mereka.

"Kalau mau berantem di luar sana, jangan di sini," kata Tika galak. "Tuh lihat, Abah udah dateng."

Pak Wira muncul di depan pagar dengan naik sepeda ontel tua. Ia memakai kemeja batik lengan pendek warna cokelat dan peci di atas kepala. Wajahnya yang berhidung mancung seperti orang imur tengah tampak lelah tetapi terlihat ceria.

"Assalamu'alaikum," pak Wira memberi salam. "Gimana latihannya?"

"Wa'alaikumsalam, " Luna dan yang lain menjawab serempak.

Arjuna dan Tika menceritakan bagaimana mereka berlatih hari ini. Ketika sampai di bagian ia memberikan hukuman push up, Luna bisa merasakan telinganya panas.

Pak Wira minta izin masuk ke rumah sebentar untuk mandi dan berganti pakaian, sementara Arjuna membawa Luna dan yang lain ke halaman bagian belakang. Perasaan Luna semakin tidak nyaman ketika melihat Flora berjalan mengekor di belakang.

Hal terakhir yang ia harapkan adalah anak menyebalkan ini juga salah satu anggota Garda Patriot.

Mereka sampai di bagian halaman yang pagarnya berupa bilah-bilah bambu tinggi dan ditumbuhi sulur tanaman yang merambat. Di salah satu bagian pagar disandarkan sekarung penuh botol minuman yang sudah kosong. Arjuna meraba-raba mencari kantung itu dengan tongkat, lalu mengambil sebuah botol di dalamnya.

"Acara hari ini, kita main tembak-tembakan," kata Arjuna. "Yang bisa nembak botol paling banyak sebelum jatuh ke tanah, aku traktir satu kantong gorengannya Emak."

Semua bertepuk tangan kegirangan, termasuk Luna. Pak Wira dan keluarganya membuka warung nasi tidak jauh dari rumah mereka. Untuk Luna, tahu goreng isi sayur dan bakwan jagung buatan istri Pak Wira tidak kalah enak dari risol bolognaise atau pai apel buatan dari Dapur Sendiri.

"Siapa yang mau duluan?" tanya Arjuna sambil melempar tangkap botol di tangannya.

Yudha yang pertama maju. Ia ternyata sudah membawa mengeluarkan korek api gas di tangannya. "Lempar aja, bang!"

Arjuna melambungkan sebuah botol ke udara dan Yudha menjentikan korek apinya. Sebuah bola api melesat dan langsung meledakkan botol itu.

"Dor!" Kata Yudha ketika berhasil mengenai targetnya. "Gue gitu lho."

Arjuna melempar botol kedua, ketiga, keempat dan kelima. Yudha mengenai semua targetnya tepat sasaran, mengubah botol itu menjadi serpihan-serpihan kecil yang berjatuhan ke tanah. Udara di sekitar halaman jadi berbau plastik gosong.

Arjuna lalu melambungkan lima botol sekaligus. Yudha membeku di tempat selama sepersekian detik,

"Tembak yang paling besar!" seru Arjuna.

Yudha membidik botol yang dimaksud Arjuna dengan tergesa-gesa. Ia menyabetkan korek apinya secara mendatar dan mengeluarkan api berbentuk sabit panjang. Kelima botol itu meledak bersamaan di udara.

"Chicken Dinner," Yudha menyeringai. "Sepuluh dari sepuluh."

Namun, Arjuna tidak terlihat senang. "Lima dari sepuluh," katanya, "Lo ledakin semua botolnya, iya' kan?"

"Gue cuma ledakin satu," Yudha berkilah.

"Jantung lo nggak bisa bohong," Jun menujuk dada Yudha, "dan gue nggak dengar ada botol yang jatuh ke tanah."

"Ta-tapi."

"Kontrol, Yudha. Kontrol."

Pak Wira muncul dari belakang. Ia sudah berganti pakaian dengan kaus putih dengan kantung di dada yang sedikit menggelembung juga memakai sarung. "Kontrol," Pak Wira mengulangi. "Dari dulu api kamu hebat, tapi harus lebih dikontrol."

"Tapi saya udah ngontrol apinya, bah." Yudha bersikeras.

Pak Wira menunjuk ke atas. "Lihat, tuh. Kalau kamu bisa benar-benar kontrol api kamu, genting abah nggak kayak gitu."

Luna mendongak mengikuti arah yang ditunjuk Pak Wira. Dua genting di atap ternyata sudah hilang. Sebagai gantinya adalah kepingan tanah liat yang berserakan di dekat dinding rumah.

"Sori, bah,."Yudha tampak menyesal.

"Kalau cuma genting rumah sih nggak masalah," kata Pak Wira. "Gimana nanti kalau kamu berantem di tempat yang ada barang gampang kebakar? Pom bensin misalnya. Apa nanti nggak berabe tuh kalau kamu malah bikin kebakaran?"

Yudha mundur dengan diam sambil menggaruk kepala. Pak Wira berdiri di samping Jun dan menyuruhnya bergabung dengan Luna dan yang lain.

"Kamu juga ikut sana," kata Pak Wira. "Nanti kalau kamu yang menang, Abah yang traktir kamu gorengan."

Giliran berikutnya adalah Tika. Luna bertanya-tanya bagaimana ia akan melakukannya. Karena sejauh ini Luna baru melihat Tika bertarung dalam jarak dekat. Untuk sesaat Tika celingukan, ia lalu meraih selang yang tergeletak di sana dan salah satu ujungnya terpasang di mulut keran.

Tika mengacungkan selang itu seolah mau menyemprot Pak Wira. "Ayo, bah."

Awalnya Luna mengira Tika akan menyemprot botol itu sampai jatuh, tetapi perkiraannya hanya setengah benar. Begitu botol pertama dilempar Air di selang Tika langsung keluar. tetapi bukan berbentuk aliran yang panjang, melainkan butiran bulat. Ketika butiran itu mengenai botol yang melayang, bunyinya mendesing seperti peluru.

Sama seperti Jun, Pak Wira juga melempar beberapa botol sekaligus ke udara dan menyuruh Tika menembak salah satu di antaranya. Berbeda dengan Yudha, kali ini Tika sepertinya menembak semua botol dengan jitu.

"Yesh," Ia mengepalkan tangan ketika botol yang terakhir jatuh ke tanah. "Gimana hasilnya, bah? Sepuluh?"

Pak Wira memungut dua buah botol terakhir yang ditembak oleh peluru air milik Tika. "Tujuh dari sepuluh," katanya sambil menunjukan dua botol itu. "Kekuatan air kamu nggak sekuat Yudha kalau buat nyerang. Kamu harus lebih fokus."

Luna mengamati botol yang dipegang Pak Wira. Botol itu hanya penyok sedikit saja di bagian yang terkena peluru air. Ia lalu membandingkan dengan botol lain yang ditembak oleh Tika. Semuanya berlubang hingga tembus ke bagian belakang.

Tika sendiri tampak tidak terlalu kecewa, Ia nyengir saat memandangi Yudha. Sementara adiknya memutar bola mata.

"Siapa lagi?" tanya Abah sambil memasukan sebagian botol yang sudah berlubang kembali ke karung. "Jun? Flora? Luna?"

Ketika namanya dipanggil, tanpa sadar Luna melangkah mundur.

"Nggak usah tegang, ini cuma main-main aja." Kata Jun kepada Luna."Napas kamu jadi nggak karuan begitu."

Luna tahu ini hanya permainan biasa, tetapi ia tak bisa membendung rasa tegang yang meluap, apalagi pandangan Flora yang sinis terpancang ke arahnya.

"Siapa lagi yang mau coba?" ulang Pak Wira. "Kalau nggak ada lagi, gorengannya buat Tika, ya."

Flora melangkah ke depan sambil meregangkan jari-jarinya sampai terdengar bunyi gemeretak kecil. Ia berdiri sambil tersenyum penuh percaya diri. Luna memandanginya dengan sebal sekaligus penasaran. Kekuatan apa yang dia punya?

"Lempar botolnya," kata Flora.

Tanpa menunda Pak Wira melempar botol ke atas, awalnya Luna kira tidak akan ada yang terjadi karena botol itu tampak melayang bebas di udara, sampai ia melihat sebuah bayangan berkelebat dari arah pagar, lalu melecut botol itu dan membelahnya jadi dua.

"Satu dulu," kata Flora menjilat bibirnya. Di sampingnya sekarang ada sebuah sulur tanaman yang tadinya menempel di pagar sekarang meliuk-liuk hidup seperti seekor ular.

Botol kedua kemudiani melayang, dan sebuah sulur tanaman di pagar ikut-ikutan menjadi hidup, sulur itu melilit botol dan meremukannya. Begitu botol ketiga, keempat, lalu kelima. Setiap kali abah melempar botol, sulur tanaman yang bar uterus bermunculan.

"Tukang pamer," Yudha bergumam.

Setelah botol kelima, Pak Wira lalu mulai melemparkan beberapa botol sekaligus secara cepat. Sulur-sulur tanaman rambat Flora langsung bergerak menanggapinya. Namun, semuanya langsung jatuh begitu saja dan tergeletak tidak bergerak lagi.

Flora terlihat sempoyongan. Ia bahkan harus bertumpu ke tembok saat berjalan dengan langkah yang terseok-seok. Luna mendekat bermaksud untuk membantu, tetapi langsung menerima pelototan dari anak itu.

"Apa liat-liat?!" bentak Flora. "Senang ya, lihat aku begini?"

Luna langsung mengerem langkahnya. Sementara Tika memapah Flora, Pak Wira meminta Yudha mengambil kursi dan air minum dari dalam rumah. Tidak lama kemudian, pemuda itu kembali dengan sebuah kursi plastik dan segelas air hangat.

"Tarik napas pelan-pelan, minumnya jangan buru-buru," kata Pak Wira saat Flora sudah duduk.

Walaupun disuruh minum dengan pelan, Flora menghabiskan air di gelas dalam beberapa kali teguk, alhasil ia malah batuk. Tika menepuk-nepuk punggungnya untuk membantu. Napas Flora masih terengah-engah.

"Lima dari sepuluh," kata Pak Wira. "Ngapain kamu maksa pakai banyak sulur begitu? Kamu'kan satu aja bisa cepat capek kalau keseringan pakai sulur kayak gitu."

Flora tidak menjawab, Ia malah melirik Luna dengan tampang jengkel. Luna sendiri kebingungan, memangnya ia salah apa?

"Gue kira, gue nilainya yang paling jelek," kata Yudha sambil bersiul. "Makanya neng, jangan suka pamer. Aw!"

Tika menginjak kaki Yudha dan membuatnya memelotot.

Setelah tertunda selama lima menit, acara tembak botol berhadiah gorengan kembali dilanjutkan. Sekarang tinggal menyisakan dua orang peserta saja. Luna dan Jun.

"Kamu atau aku duluan?" tanya Jun.

"Mas Jun aja dulu," jawab Luna. Ia dari tadi penasaran setengah mati mau melihat seperti apa kekuatan Jun, ia juga berharap bisa memberi sedikit waktu tambahan untuk membantunya menenangkan diri

"Saya lewat aja deh," kata Jun tersenyum. "Biar adil sama yang lain."

Pak Wira tampak tidak keberatan, tetapi pupus sudah harapan Luna yang dari tadi ingin melihat seperti apa kekuatan pemuda itu.

"Shomboong amaat." Yudha mencemooh. "Kayak lu yang bakal dapet gorengannya aja. Eh Iya, lu tinggal minta sama yayang lu ya, si - Aw!Aw!Aw!"

Kali ini Tika menjewer telinga Yudha sampai pemuda itu menjerit. "Lu berani ngoceh lagi." ia mengancam. "Pulang nanti, lu gue lelepin di kali gede. Ngerti?"

"I-iya mbak,ampun." Yudha mengerang ketika kepalanya ikut tertarik ke arah Tika. "tapi lepasin dulu nanti telinga gue copot!"

Tika melepaskan tangan dari telinga Yudha yang masih meringis. Pak Wira hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku kedua muridnya. Ia lalu memandangi Luna.

"Gimana, Nak?" tanya pak Wira. "Kamu siap?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro