04

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luna sudah tidak bisa mundur lagi.

Ini cuma permainan, Luna kembali mengingatkan dirinya sendiri. Ini bukan penilaian apakah ia pantas untuk bergabung ke Garda Patriot atau tidak. Ini cuma main tembak-tembakan botol berhadiah gorengan.

Ia melirik penonton di belakang. Yudha seperti biasa tampak cuek, meraba ke samping kepalanya, mungkin untuk memastikan apakah telinganya masih utuh dan ada di tempat yang benar. Tika mengucapkan ayo kamu bisa tanpa suara membuat semangat Luna sedikit naik.

Sayangnya, Jun yang memperhatikan dengan serius dan tatapan sinis Flora membuat perut Luna terasa melilit.

Luna mengangkat kedua telapak tangan dengan jari-jari yang terentang lebar. "Siap, Bah."

Botol pertama melayang naik. Luna membidik sambil berkonsentrasi, Ia mencoba memusatkan pikiran ke kalungnya, memanggil kekuatan panas dari dalam sana. Luna bersiap menanti sensasi rasa panas yang biasanya akan segera muncul.

Namun, tidak ada yang terjadi.

Sampai botol yang dilempar Pak Wira mendarat di rerumputan. Kedua telapak tangan Luna tetap kosong. Ia tidak merasakan rasa panas yang biasa mengalir di saat akan mengeluarkan peluru bola api miliknya.

Luna menunduk untuk memeriksa kalungnya. Kristal matahari masih berwarna merah muda yang cerah, berarti seharusnya tidak ada masalah. Ia mungkin kurang berkonsentrasi.

"Lempar botolnya lagi," kata Luna.

Pak Wira mengangguk dan melempar botol yang kedua. Kali ini Luna memerintahkan kalungnya lebih keras, Di dalam pikirannya, ia berusaha mendesak agar kristal matahari segera memberikan kekuatan kepadanya untuk menghancurkan botol yang masih melayang di udara.

Namun, Botol itu kembali mendarat dengan selamat di tanah.

"Konsentrasi Luna," kata pak Wira yang sudah memegang botol ketiga, "lebih konsentrasi lagi."

Luna hanya mengangguk, padahal dari tadi ia merasa sudah sangat focus, tetapi entah kenapa kristal matahari tidak mau menurut. Mungkin suasana hati kalung itu sedang buruk? Entahlah, itu juga kalau kalungnya memang punya hati.

Botol ketiga dan keempat melayang dan hasilnya tetap sama saja. Mereka hanya menumpang untuk terbang di depan mata Luna lalu jatuh tanpa kerusakan yang berarti. Kekuatannya macet,rasa panik sekaligus malu mulai merambat di dada Luna.

Terdengar suara dengusan, lalu cekikikan,kemudian berubah menjadi tawa keras. Luna menoleh dan mendapati Flora terbahak-bahak dengan gaya yang dilebih-lebihkan.

"Anak ini mau jadi Garda PatrIot? HAHAHA." Flora tertawa sambil memegangi perutnya, "Terus ngapain dia nanti kalau ketemu penjahat? Jadi tim hore aja? HAHAHAHA."

Ditertawakan seperti itu, Rasanya Luna mau menggali tanah di bawah kakinya dan bersembunyi di dalam lubang saja. Yang tertawa memang hanya Flora, tetapi Luna merasa semua anggota Garda Patriot yang menonton ikut menertawakannya dalam hati.

" Jaga sikap kamu." Tika menegur Flora, tetapi anak itu tidak peduli dan terus saja tertawa.

"Mending kamu pulang aja sana, nggak bisa ngapa-ngapain juga di sini," ejek Flora. "Kamu cuma jadi beban doing."

Perasaan malu Luna berubah menjadi rasa marah. Sudah sejak awal latihan pencak silat, Flora selalu membuatnya kesal, Berani benar anak itu! Padahal Luna merasa tidak punya masalah dengannya. Semakin keras Flora tertawa, Rasa marah terus naik mencapai tenggorokannya. Kalau saja bisa, ia ingin memberinya pelajaran.

Kristal mataharinya berubah menjadi panas dalam seketika.

Seolah kristal matahari mengetahui perasaannya. Tubuh Luna langsung seperti dijalari api yang membara sampai ia bisa merasakan darahnya sendiri benar-benar mendidih. Dalam satu kedipan mata saja, dua bola cahaya yang bersinar terang terbentuk di kedua telapak tangannya.

Sepasang bola cahaya itu semakin membesar dan bertambah berat dengan cepat. Luna sampai harus membungkuk untuk mempertahankan kedua bola itu agar tetap melayang di dekat tangannya sementara rumput di bawah kakinya mulai berasap. Luna bermaksud berbalik agar menghadap pak Wira untuk meminta saran atau pertolongan, tetapi kekuatan bola itu menahan tubuhnya tidak bisa berputar ke belakang,

Luna mendongak dan menemukan pilihan lain.

"Semua nunduk!" Luna berteriak sambil mengerahkan seluruh kekuatan yang ia punya untuk mengangkat tangannya. Bola cahaya itu langsung melesat diikuti sinar terang yang menyilaukan.

Tubuh Luna terdorong ke belakang, ia hampir jatuh andai saja tangan pak Wira tidak menahan punggungnya, kemudian terjadi ledakan dengan cahaya menyilaukan seakan matahari kembali terbit.

Butuh waktu beberapa detik untuk Luna agar pulih dari rasa terkejutnya. Ia langsung melihat ke arah mereka yang tadi sedang menonton. Yudha jatuh tiarap ke tanah, Flora terjengkang dari kursi, sedangkan Tika berjongkok sambil menutupi kepalanya. Hanya Jun yang sedang bersandar di tembok rumah tidak bergerak dari tempatnya.

"Kamu nggak apa-apa, Nak Luna?" tanya Pak Wira.

Luna mengangguk. Kelihatannya tidak ada orang yang terluka, namun jantungnya seakan terperosok ke dasar perut begitu ia melihat wajah pak terkejut Wira dan mengetahui apa yang sudah ia perbuat.

Bola cahayanya mengenai pohon jambu milik pak Wira, mengubahnya menjadi seonggok tiang kayu bakar yang membara. Ranting-rantingnya sudah menjadi debu, sedangkan buahnya yang hampir masak berserakan di tanah dan menghitam.

Tika dengan sigap mengambil selang yang tadi ia pakai dan langsung menyemprot pohon yang sudah dilalap api. Air yang menyembur keluar dari selang itu lebih banyak dari seharusnya apalagi karena Tika tidak memutar keran air sebelumnya. Dalam sekejap, api langsung padam dan menyisakan bau kayu hangus yang memenuhi udara.

Luna memandangi semua itu dengan nelangsa. Ia mengepalkan kedua tangan kuat-kuat sampai kukunya menusuk telapak tangan, berharap dengan begitu air matanya tidak keluar.

"Kamu sengaja'kan?!" Flora berdiri dan menunjuk Luna. "Kamu mau celakain aku? Iya'kan?!"

"Flora, sori, aku nggak-" Luna mencoba menjelaskan tetapi Flora menunjuk wajahnya. Ada jejak merah berasap yang muncul di pipinya.

" Lihat nih, aku cuma keserempet sedikit aja udah kayak gini, gimana kalau yang lain sampai kena?!"

"Flora, aku benar-benar nggak-"

"Anak ini nggak boleh gabung sama kita!" Flora malah tambah histeris. "Dia ini monster, anak setan, dia-"

"STOP!"

Suara Pak Wira menggelegar seperti geledek yang tiba-tiba saja menyambar. Keadaan berubah hening seketika . Mulut Flora langsung terkunci rapat.

Pak Wira menarik napas panjang. "Latihan buat hari ini selesai, dan kalian sudah boleh pulang."

Semua orang perlahan membubarkan diri tanpa bersuara. Tika menyempatkan diri mengedipkan mata sebelum berbelok menghilang ke balik tembok dengan wajah penuh simpati, membuat Luna merasa sedikit lebih baik. Setidaknya, masih ada yang mau menunggu untuk mengantarnya pulang nanti.

Sekarang, hanya tinggal Luna dan Pak Wira berdua saja di belakang rumah. Luna menunduk, tidak berani mengangkat kepala. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan, ,inta maaf saja tidak akan membuat pohon jambu pak Wira kembali seperti semula.

"Abah, pohon jambunya nanti saya ganti." Kata Luna dengan nada berhati-hati. "Saya janji."

"Pohon jambu itu," kata Pak Wira, "Rencananya kalau buahnya sudah matang, mau buat pesta rujak bareng anak-anak yang lain."

Luna langsung merasa dirinya menciut menjadi sekecil semut.

"Tapi ya sudah, diiklhasin aja. Ditangisin juga pohonnya ga bakal numbuh lagi." lanjut pak Wira. "Abah juga bisa tanam yang baru lagi. Cuma Abah cuma mau tanya, kenapa bola sinar kamu bisa muncul begitu aja? Padahal dari kamu di sini sepertinya kekuatan kamu nggak pernah keluar lagi."

Karena itulah Luna dari tadi merasa gelisah. Sejak ikut pencak silat di rumah pak Wira, bola apinya tidak pernah keluar lagi. Awalnya ia senang karena tidak ada sesuatu yang terbakar secara tdak sengaja, tetapi begitu tahu ada pertemuan semacam ini anak itu mulai merasa cemas.

"Saya juga nggak tahu," Luna mengakui, Dari gilirannya menembak ia sudah berusaha mengerahkan konsentrasinya, tetapi kekuatannya seakan macet di tengah jalan. "Cuma tadi saya kesal aja sama Flora. Dari latihan dia udah rese banget."

"Marah?"

Luna mengangguk. "Ta-tapi saya nggak ada maksud buat nyakitin Flora. Saya beneran nggak sengaja." Ia buru-buru menambahkan. "Bola sinar saya keluar gitu aja."

"Emosi Luna. Belajar kendalikan emosi kamu," Pak Wira mengingatkan. "Mungkin emosi kamu punya pengaruh sama kekuatan kristal itu."

Luna mau bertanya bagaimana cara untuk melakukannya, tetapi ia menahan diri karena mendengar Adzan Magrib berkumandang mengisi langit yang semakin berwarna ungu.

"Ya, sudah. kamu boleh pulang. Abah juga mau salat," kata Pak Wira. Ia lalu menyerahkan sebuah amplop yang sedari tadi disimpan di saku kausnya. "Ini buat papa kamu, pulang nanti dikasih, ya?"

Luna menerima amplop itu dengan perasaan was-was. Isinya tidak mungkin surat teguran karena ia baru saja membakar pohon jambu pak Wira 'kan?

"Abah," panggil Luna ketika Pak Wira mulai berjalan meninggalkannya.

"Ya, Nak?"

"Abah... saya... saya masih boleh latihan di sini kan?".

Pak Wira tersenyum lembut. ""Karena itu kamu di sini, nak. Buat belajar. Kita semua di sini buat belajar."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro