10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepanjang jam pelajaran, Pikiran Luna malah melantur pulang ke rumah.

Ia nyaris tidak menangkap seluruh pelajaran yang dijelaskan di depan kelas. Kebingungan ketika ditanya secara tiba-tiba, untungnya Dirga membantu dengan membisikan jawabannya untuk menghindar dari omelan Ibu Win.

Di jam istirahat, Luna bercerita tentang surat yang ia dapat, Dirga kelewat antusias waktu mendengarkannya. Anak itu terus menanggapi dengan, "wow" atau "keren," setiap kali Luna selesai bicara satu kalimat, alhasil membuatnya ceritanya tidak selesai walaupun jam masuk kelas sudah berbunyi.

Pada jam pelajaran berikutnya, mereka tidak bisa mengobrol dengan bebas karena itu adalah jam pelajaran Bahasa Inggris. Selain Mrs. Fritz yang dikenal galak kepada anak yang suka mengobrol, bahasa Inggris adalah kesukaan Luna. Paling tidak pelajaran itu membantunya ketika ia menonton video di youtube yang tidak punya terjemahan bahasa Indonesia.

"Emangnya kenapa kamu nggak boleh pergi?" tanya Dirga di jam istirahat kedua. Mereka sedang menikmati bekal dari rumah masing-masing. "Ini pasti rahasia banget, aku aja baru tahu ada yang kayak gitu. Sayang lho kalau kamu nggak ikut."

"Biasalah, papa." Luna mendesah muram. "Ada aja alesannya, jauh lah, nggak ada sinyal HP lah. Terus tau nggak alasan yang paling aneh?"

"Apa?"

"Katanya di sana banyak setannya."

Dirga mendengus dan tertawa, sampai beberapa butir nasi tersembur dari mulutnya. "Serius papa kamu bilang gitu? Kayak ada yang lebih serem dari si kadal yang dulu aja."

"Tau tuh papa. Dikira aku nggak pernah lihat yang lebih serem kali."

"Terus, gimana?" tanya Dirga. "Nggak ada cara lain gitu biar kamu bisa pergi?"

Luna mengangkat bahu. Dari tadi ia juga sibuk memikirkan bagaimana caranya, tetapi pikirannya buntu. Sempat terpikir untuk memalsukan tanda tangan papa, tetapi ia buru-buru menghapus ide itu. Tanda tangan papa sulit untuk ditiru, berbentuk seperti cacing yang menari kacau dan tidak jelas. Luna heran kenapa papa bisa melakukannya berulang kali dan hasilnya selalu sama persis.

"Beli makanan kesukaan papa kamu?" Dirga memberi usul. "Cuci bajunya? Beres-beres rumah satu minggu? Dapat nilai delapan waktu ulangan semester matematika?"

Ide pertama Dirga, Luna tidak yakin. Papa selalu makan hampir apa saja. Kwetiaw goreng? Mereka baru beberapa hari lalu memakannya untuk lauk makan malam. Durian? Sekarang bukan musimnya.

Ide kedua mungkin bisa dipakai, tetapi selama ini Luna yang selalu mengantar cucian papa ke laundry di lantai bawah apartemen, jadi itu hal yang biasa ia lakukan. Selain itu, papa juga tidak terlalu suka kalau Luna membereskan kamarnya. Papa kuatir kalau ada catatan penting yang tidak sengaja terbuang.

Yang tersisa hanya ide ketiga, dapat nilai delapan di ulangan akhir semester matematika, Tidak, terima kasih. Rasanya lebih mudah untuk Luna melawan naga daripada mendapatkan nilai sebesar itu, apalagi di ujian akhir semester.

"Apa suratnya harus ditandatangan sama papa kamu, gitu?" tanya Dirga. "nggak bisa orang lain?"

Luna mengingat-ingat isi suratnya." Ditandatangani sama orang tua," Ia bergumam, "atau wali anak."

"Nah itu," Dirga tersenyum sumringah. "Berarti selain papa kamu bisa kan? Om atau tante kamu misalnya."

Mendengar saran Dirga, Luna berjengit. Semua saudara papa tinggal di daerah Jawa Tengah. Satu-satunya saudara yang tinggal paling dekat adalah sepupu ibunya, tante Artemia. Ia paling malas berurusan dengan si tante yang punya wajah seperti gabungan badut dan nenek sihir itu.

"Nggak," Luna langsung menolak. "Nggak mau, nanti kalau aku disuruh tinggal bareng Tante Mia, gimana?"

"Emang kenapa? Rumahnya kecil? Jelek?" tanya Dirga, " tapi daripada kamu nggak bisa ikut latihan sama Garda Patriot?"

Oh iya, Dirga belum tahu, pikir Luna. Rumah tante Mia tidak kecil apalagi jelek, justru sebaliknya. Rumahnya besar dan mewah sekali seperti sebuah istana. Kalau tinggal di sana apapun yang Luna mau pasti akan disediakan, tetapi masalahnya, sekali tinggal bersama si Tante ia takut tidak boleh bersama papanya lagi.

Tante dan papa tidak pernah akur seperti kucing dan anjing. Biasanya kalau mereka bertemu selalu bertengkar hebat meributkan Luna dan mamanya, kadang-kadang juga ditambah cakaran atau barang-barang kecil yang melayang.

"Mending cari ide lain aja," Luna memutuskan. "Yang nggak harus ketemu sama tante Mia dan nggak ada ulangan matematikanya." 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro