09

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keesokan pagi. Luna langsung memelototi papanya.

Saat sarapan pagi di ruang TV, ia duduk di sofa seberang meja. melipat tangan dan memandangi papa yang sibuk melihat ponsel sambil minum kopi. Luna bahkan belum menyentuh roti sosis dan minuman cokelat hangat sarapannya.

Sadewa rupanya menyadari sikap aneh putrinya, tetapi ia malah tersenyum geli ketika melihat Luna yang malah terlihat seperti kodok yang sedang kesal.

"Kamu ngapain pagi-pagi udah melototin papa gitu? Nanti matanya copot, lho."

"Pa," kata Luna, "Luna nggak boleh bohong sama papa 'kan? Papa pasti marah kan kalo Luna bohong?"

"Iya." Jawab Sadewa mantap.

"Bohong itu dosa kan?"

Sadewa mengangguk.

"Terus kenapa papa bohong sama Luna?"

"Bohong gimana?"

Luna memperlihatkan surat yang ia ambil tadi malam. Wajah papanya langsung seperti orang yang baru saja melihat putrinya benar-benar berubah jadi kodok sungguhan. Ia hampir menumpahkan gelas berisi kopi yang dipegangnya.

"Kamu kemarin ke kamar waktu papa tidur?" selidik Sadewa. "Papa 'kan udah sering bilang, kamu nggak boleh masuk kamar kalau papa lagi tidur."

"Terus kenapa papa bohong?" Luna membalas. "Luna udah tahu papa bohong waktu baca surat ini, soalnya Abah selama ini nggak pernah minta iuran latihan."

Sadewa diam saja. Ia bersandar ke sofa sambil menggaruk-garuk pipinya dan memandangi langit-langit kamar.

"Papa memang nggak bisa kasih izin ke kamu," katanya. "Soalnya-"

"Soalnya pasti bahaya, nanti kalau Luna diculik gimana? Kalau kristalnya ilang gimana? Kalau nanti Luna ngebakar barang nanti gimana? Iya'kan?"

Sadewa mengangguk lesu. "bukan cuma Itu," katanya. "latihan di gunung itu pasti harus bayar iuran. Papa harus bayar-"

"Latihannya gratis," potong Luna cepat. "Cuma butuh tanda tangan papa di surat izinnya."

Sadewa mendesah. "Tanggal 26 Juni itu papa ada janji sama orang. Jadi nanti rumah nggak ada yang jaga. Kalau selama papa pergi kamu kenapa-kenapa, gimana?"

"Emang kenapa sama orangnya? Penting banget ya?"

"Orang ini, datang jauh dari Papua mau ketemu papa di Bandung," kata Sadewa. "Dia ini tahu soal kristal matahari, jadi siapa tahu- "

"Latihan Garda Patriot kan juga di Bandung?" Luna tak mau kalah. "Sekalian aja kita pergi bareng."

"Papa 'kan mau ketemuan di kotanya. Lagian kamu tahu nggak desa Cipuyang kayak apa?"

Luna menggeleng, sama sekali tidak tahu apa maksud papa.

'Itu kampungnya terpencil banget, adanya di tengah-tengah lembah. Kamu di sana nggak bakal dapet sinyal ponsel." Sadewa menjelaskan. "Terus kalau papa nanti mau telepon kamu, gimana?"

'Papa kuatir amat sih? Luna juga nggak mungkin sendirian. Nanti di sana ada pak Wira, mas Yudha, mbak Tika, terus ada Mas Jun, terus-"

"Terus, kamu tahu nggak di sana ada apa lagi?" potong Sadewa.

"Maksudnya? Emang ada apa lagi di sana?"

"Katanya, menurut cerita, konon." Suara papanya berubah misterius, "banyak setannya yang suka culik anak-anak kecil, katanya serem. Di TV aja lagi rame berita banyak binatang ternak yang hilang di sana."

Setan? Yang benar saja! Pikir Luna sebal sekaligus geli. Ia sudah dua belas tahun, bukan lagi anak TK yang bisa ditakut-takuti cerita seperti itu. Apalagi ia pernah menghadapi yang namanya monster sungguhan.

Luna ingin terus membantah, tetapi mulutnya terkunci saat papa memperlihatkan jam di ponselnya. Angka-angka di sana sudah menunjukan pukul tujuh kurang dua puluh menit, yang artinya Luna bisa saja terus berdebat dengan papa, tetapi nanti ia harus berdiri selama satu jam pelajaran di lorong sekolah karena terlambat masuk kelas.

Luna akhirnya mengalah untuk sementara, ia memilih makan sarapannya cepat-cepat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro