1. Hijau

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah mengedarkan pandangan ke sekitar dan berhenti di satu titik, Kanaya berkata,

"Kayaknya, aku udah gila."

Kalimat itu terucap ketika Kanaya melihat dengan jelas apa yang ada di hadapannya saat ini. Ia tidak takut, tetapi merasa aneh. Pikirnya, tak seharusnya ia melihat objek tersebut.

"Yang suka beginian 'kan, si Alisa. Kenapa jadi aku yang diperlihatkan?"

Kanaya mengernyit hingga dahinya berkerut. Kemudian, pikirannya melayang pada kejadian kemarin malam, sebelum semuanya terjadi.

***

Kanaya teringat bahwa memang baru kemarin malam, adiknya yang bernama Alisa itu menceritakan isi novel yang menurutnya sangat aneh. Ada seorang tokoh perempuan yang kabur dari perjodohan dan mati di tengah hutan akibat diserang monster.

"Aku bacakan pada Kakak cerita ini, karena katanya 'kan, Kakak suka romansa!" celetuk Alisa saat itu.

"Aku memang suka romansa, tapi aku tidak suka fantasi!" tandas Kanaya. "Apalagi cerita multi ras yang baru saja kamu sebutkan itu. Apa namanya? Orc?"

"Half orc! Setengah orc, setengah manusia. Ini termasuk ras yang paling didiskriminasi. Contohnya, si cewek yang kabur dari perjodohan ini!"

Alisa bersikeras kalau novel di tangannya itu seru. Kanaya tak habis pikir, mengapa adiknya bisa suka pada cerita-cerita khayalan seperti itu. Ia menduga, ini semua pengaruh Tante Nuri yang selalu membelikan Alisa berbagai dongeng fantasi ketika adiknya itu masih kecil.

"Bacakan pada Alisa sebelum dia tidur. Sekarang, keluarganya hanya tinggal kamu, Kanaya. Kamu harus bisa menjaga Alisa. Dan semoga, dongeng-dongeng dengan akhir yang bahagia ini bisa membuat Alisa tak pupus harapan setelah ditinggal Mas Aji dan Mbak Nia," ucap Tante Nuri, sembari meneteskan air mata ketika menyebut nama orang tua Kanaya yang telah tiada.

Dampaknya adalah setelah Alisa dewasa. Ia jadi sangat menggandrungi novel fantasi. Ia rela menabung uang jajannya sedikit demi sedikit agar bisa membeli novel incarannya. Matanya berbinar ketika lembar demi lembar novel-novelnya itu dibaca. Sangat berkebalikan dengan Kanaya, yang tidak menyukai fantasi.

"Aku lebih suka sesuatu yang nyata, yang bisa dirasakan. Perancis, Italia, Korea, tempat-tempat yang benar ada dan bisa dikunjungi," jawab Kanaya. Harus berjuang membiayai kehidupan dan pendidikan adiknya membuat ia tak punya waktu untuk bermimpi.

Semua itu hanya obrolan biasa, sampai keesokannya, kecelakaan menimpa Kanaya saat dalam perjalanan menuju acara wisuda Alisa di kampusnya.

***

Kejadiannya berlalu begitu cepat, dan sejujurnya Kanaya tidak terlalu ingat. Yang ia tahu, dirinya perlu tiba di kampus Alisa dalam beberapa menit saja saat jam satu siang. Namun, kafe tempatnya bekerja sedang sibuk di waktu makan siang seperti itu. Kanaya terpaksa membantu pekerjaan yang ada terlebih dahulu, sebelum akhirnya bisa pergi menemui Alisa.

Naas, kepanikan untuk tidak bisa datang tepat waktu membuatnya menggeber motor hingga terjadilah kecelakaan itu.

"Err, seharusnya aku ada di rumah sakit, 'kan?"

Kanaya celingak-celinguk kebingungan. Semestinya, yang ia lihat adalah bangunan berwarna putih dengan bau obat-obatannya yang khas, serta cairan infus yang menggantung. Namun, yang ia rasakan saat ini justru embusan angin yang menusuk tulang. Pepohonan menjulang tinggi, dengan dedaunan yang bergoyang tampak di hadapan, menambah keheranan.

Kanaya jelas bukan ada di rumah sakit. Bahkan, ia yakin kalau ia tidak lagi berada di kota yang sama terakhir kali dirinya berada. Terutama, ketika ia melihat ada sosok makhluk hijau di hadapannya.

Makhluk tersebut menatap Kanaya tajam. Gada bergerigi dipukulkan ke telapak tangan yang kasar berkali-kali. Ia mengancam Kanaya dengan kilatan matanya yang tajam dan taring-taring yang sengaja diperlihatkan dari balik moncong berliur itu.

"... apa itu yang disebut Orc? Eh, apa namanya? Half orc?" Kanaya membenarkan ucapannya sendiri. Gadis itu pun memperhatikan lagi lebih saksama.

"Ciri-cirinya mirip. Hijau. Eh, bentar. Kata Alisa, half orc itu tingginya sama seperti manusia. Tapi, ini pendek. Palingan cuma sedada. Berbuntut juga. Tapi ... eh, bentar! Bukan itu yang harusnya kucemaskan sekarang!"

Saat Kanaya setengah berterika seperti itu, tiba-tiba kepalanya terasa cenat-cenut. Rasanya seperti dipukul pelan-pelan pakai benda tumpul berkali-kali. Kanaya refleks memegang dahinya. Namun, yang terasa adalah cairan yang menetes.

"Darah?"

Kanaya memicingkan mata, ketika ia melihat cairan apa di dahi yang barusan memenuhi tangannya. Kental dan terus menetes, terlihat makin kontras dengan warna kulit Kanaya. Spontan, gadis itu melotot melihat tangannya sendiri.

"Hijau?! Apa-apaan ini!"

Kanaya mengangkat kedua tangan ke depan mata agar makin terlihat jelas. Warna kulitnya yang sawo matang khas Indonesia berubah menjadi hijau pekat. Kanaya sigap berdiri untuk melihat keseluruhan tubuhnya yang telah berubah.

Tak ada lagi rambut hitam yang sengaja Kanaya potong pendek sebahu agar memudahkannya untuk beraktifitas. Yang ada kini adalah rambut putih bergelombang yang menjuntai sampai atas pinggang. Kanaya mencoba meraba-raba kepalanya, barangkali ada lagi yang berubah.

Benar ternyata. Saat ini, gadis itu sedang merasakan ujung telinganya yang berubah menjadi panjang dan lancip, mencuat keluar dari balik rambut panjangnya.

"Ahh! Apa ini?!"

"Nona Lysandra! Apa yang Anda lakukan?"

Ketika Kanaya sedang bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya telah terjadi, terdengar suara tak jauh dari lokasinya berdiri saat ini. Kanaya sampai terlonjak, karena tak menyangka akan ada yang datang. Terlebih lagi, yang datang juga bukan manusia.

Seorang pemuda mengenakan kemeja putih dan vest hitam, serta celana kain hitam mendekat ke arah Kanaya. Kedua telinganya juga panjang dan lancip, dan kulitnya berwarna putih, yang saking putihnya, tampak sedkit bercahaya ketika tertimpa sinar mentari.

"Pakaiannya seperti seragam di kafe tempatku kerja. Telinganya panjang, tapi kulitnya tidak hijau ... elf?" gumam Kanaya pelan, sambil mencoba mengingat-ingat ciri-ciri ras selain manusia yang pernah diceritakan Alisa.

Kanaya hanya terdiam. Ia tak merasa dipanggil. Bukan namanya yang barusan disebut. Namun, pemuda itu terus bergerak ke arahnya, lalu berhenti tepat di depan mata.

Begitu si pemuda menyadari bahwa Kanaya sedang berhadapan dengan sesosok makhluk hijau pendek, ia segera mengeluarkan busur dan tiga anak panah, lalu menembakkan ketiganya berturut-turut dan semuanya tepat mengenai dada makhluk tersebut.

"KRIEEE!" Teriakan kesakitan makhluk itu membuat pengang telinga Kanaya. Ia merasa, pendengarannya jadi lebih tajam dari biasanya.

"Apa ini karena telingaku yang jadi memanjang?" tanya Kanaya lirih. Setelah menghabisi monster tadi, pemuda tadi segera beralih kembali pada Kanaya.

"Nona Lysandra, semua orang sedang mencari Anda. Sangat bahaya ada di tengah Hutan Treas sendirian seperti ini!" seru pemuda itu, lalu menunjuk pada makhluk hijau yang telah mati. "Ada banyak goblin seperti itu!"

Kanaya mengernyit, sebelum akhirnya bertanya, "S-siapa?"

"Hah? Apa maksud Anda bertanya begitu? Ini saya, Alaska!"

Sesaat kemudian, Alaska menyadari bahwa darah telah mengalir dari dahi Lysandra. Dengan sigap, ia menggerakkan tangannya, lalu mengucapkan sesuatu.

"Heal..."

Detik itu juga, tampak cahaya berpendar-pendar dari telapak tangan Alaska yang mengarah pada luka Lysandra. Darah yang masih mengalir dari sana langsung berhenti seketika.

Kanaya terbelalak. Itulah kali pertama ia melihat sesuatu yang sering diidam-idamkan adiknya untuk bisa dimiliki: sihir.

"Ini hanya penanganan sementara. Nanti di kedai, luka Anda akan dirawat lebih baik lagi," ucap Alaska. Kanaya meraba lukanya. Benar-benar sudah tidak berdarah lagi, tetapi masih terasa perih saat disentuh.

"Kedai?" Kanaya benar-benar tidak mengerti apa pun yang diucapkan oleh si pemuda elf.

"Kedai Gasthaus, rumah yang Anda tinggali bersama Tuan Benedict! Apa Anda lupa?" tanya Alaska balik. Namun, sesaat kemudian, ia menyadari sesuatu.

"Jangan-jangan, Anda hilang ingatan akibat serangan goblin tadi?! Duh, bisa mampus saya! Apa yang harus saya jelaskan pada Tuan Ben nanti!" seru Alaska panik.

"Siapa itu Benedict?" tanya Kanaya lagi.

Alaska menghela napas, tak abis pikir. "Kakak Anda, yang juga atasan saya di kedai. Bahkan mengenai Tuan Ben saja Anda juga sudah lupa!"

"Bukan lupa, tapi memang tidak tahu apa-apa! Karena namaku bukan Lysandra, tapi Kana--"

"KRIEEE!!"

Ucapan Kanaya terpotong oleh teriakan sosok makhluk hijau yang Alaska sebut sebagai goblin. Kali ini berjumlah dua ekor, dan telah muncul tepat di hadapan Kanaya dan Alaska.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro