2. Lysandra

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo, semua! Kalau suka sama ceritanya, klik bintang untuk vote dan masukkan ke perpustakaan, ya! Terima kasih banyak!

***

"Aghh! Kenapa mereka jadi makin banyak!!" Alaska berdecak, begitu ia melihat ada dua goblin lagi muncul di kejauhan.

Berbeda dengan yang sebelumnya, dua goblin ini sigap berlari mendekat ke arah Alaska dan Kanaya, begitu Alaska membidik busur panahnya sekali lagi ke arah mereka.

Sadar kalau musuhnya yang sekarang ini tidak lamban, Alaska pun beradaptasi. Ia meletakkan kembali busur di punggung, lalu melesat ke arah salah satu goblin sembari mengeluarkan dua belati dari balik vest hitam yang ia kenakan.

Ketika goblin di hadapannya mulai mengacungkan gada bergeriginya ke atas, Alaska langsung menancapkan salah satu belati ke dada si makhluk hijau itu, dan yang lainnya ke bagian perut.

"KRIEEE!!" Jeritan yang sama kembali menggema. Alaska merobek dada makhluk itu, hingga darah merah bermuncratan mengotori pakaian putih yang dikenakannya. Mayatnya pun ambruk di kaki pemuda elf tersebut.

Kanaya refleks menutup kedua telinga dan memejamkan mata. Namun, hal itu membuatnya tak menyadari, bahwa goblin kedua telah berlari dengan tangan mengacungkan gada, siap untuk memukul.

"Nona Lysandra! Awas!!" teriak Alaska, yang langsung menyadarkan Kanaya untuk membuka mata. Gerakan goblin kedua jauh lebih gesit ketimbang yang pertama, dengan tubuh yang lebih jangkung dan kaki yang panjang pula.

Kanaya terbelalak, goblin itu sudah terlanjur berjarak tiga langkah saja darinya. dalam hitungan detik, insting Kanaya merespons situasi yang terjadi. Ia memantapkan pijakan kaki.

"HAA!!"

"KRIEEE!!"

Seketika, goblin di hadapannya terpental dan menabrak batang pohon terdekat. Alaska pun terkejut, sampai melongo. Ia tak pernah melihat nona mudanya melakukan hal tersebut; melakukan tendangan memutar, dan tepat mendarat di kepala musuh.

"Ah, ternyata tidak sekuat yang kukira," ucap Kanaya ringan, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ia menumpu jemari kaki kanannya ke tanah, lalu memutar betis. "Tidak sakit juga."

Kanaya mengecek rok gaun yang ia kenakan, barangkali ada yang kotor. Gadis itu merasa janggal sendiri. Sudah sejak lama, ia tak mengenakan pakaian yang feminin seperti ini.

Kanaya menepuk-nepuk debu yang menempel di rok tersebut agar terbang berjatuhan, sembari melihat bentuk tubuhnya yang baru. Kanaya mengernyit. Tubuh barunya itu memiliki lekuk yang bagus, dari dada hingga pinggul. Yah, dibandingkan tubuhnya yang dulu cenderung datar dan berdada rata.

"Badannya lumayan juga," komentar Kanaya. "tapi kulitnya hijau. Menggelikan."

"Nona ...?"

Lysandra menoleh pada Alaska yang memanggilnya. Pemuda elf itu melihat ke arahnya dengan tatapan terheran-heran. Kanaya jadi bingung sendiri. "Apa?"

"Sejak kapan bisa tendangan seperti itu?" tanya si pemuda elf.

Kanaya mengernyit. "Sejak dulu."

Alaska berusaha mengingat-ingat. Ia tak pernah melihat adik dari atasannya itu bisa beladiri. Jangankan beladiri, Alaska tadi sempat yakin sang nona akan terkena pukulan gada yang kedua kalinya karena sibuk menangis, cengeng seperti biasa.

"Jadi," Kanaya mengalihkan pandangan pada Alaska. "tadi kau memanggilku siapa?"

Dahi Alaska berkerut. "Lysandra. Itu adalah nama Anda, Nona."

"Hmm ...." Kanaya berpikir dalam-dalam. Ia seperti pernah mendengar nama itu sebelumnya. Tapi, ia tak yakin. Dengan kulit hijau yang dimilikinya sekarang, dan juga makhluk-makhluk non-manusia di sekitarnya yang bermunculan, Kanaya akan percaya kalau ada yang mengatakan dia sudah berada di dunia lain.

"Nona Lysandra, sebaiknya kita pulang segera. Akan makin banyak monster berdatangan saat malam hari," saran Alaska.

Kanaya melihat ke arah langit. Semburat jingga telah tampak di sana, yang perlahan berubah menjadi keunguan.

Kanaya tahu, bahwa andai benar begitu, maka keluar dari hutan dan pulang ke tempat di mana ia bisa berpikir dengan tenang mengenai nasibnya ke depan akan jauh lebih baik, ketimbang terjebak di hutan bersama makhluk-makhluk yang tak segan untuk memakannya hidup-hidup.

"Pulang ke kedai yang kamu bilang tadi?" tanya Kanaya, memastikan.

Alaska mengiyakan. "Tenanglah, yang Anda takuti sudah tidak ada."

Dahi Kanaya mengernyit. "Takut? Pada apa? Siapa?"

"Ayo, Nona. Anda bisa berjalan?" Alaska tak menjawab apa pun. Kanaya pun mengangguk, lalu mengikuti pemuda itu dari belakang.

Melalui tanah hutan yang cokelat pekat selama sepuluh menit cukup membuat Kanaya kehabisan napas. Aneh, padahal ia sering berolahraga di pagi hari, sewaktu masih berada di tubuhnya yang dulu. Sekarang, staminanya begitu payah hingga ia hampir kehilangan jejak Alaska berkali-kali.

"T-tunggu!" panggil Kanaya, setengah berteriak, pada Alaska yang sudah berjarak tiga meter di depannya. Tangannya bertumpu pada batang pohon terdekat agar tak kehilangan keseimbangan saat membungkuk sambil ngos-ngosan.

"Bertahanlah, Nona. Sebentar lagi kita akan tiba di kota," sahut Alaska. Ia tak menyangka kalau nona mudanya itu akan selemah ini.

"Baiklah ...," sahut Kanaya. Lalu, ia memutuskan berjalan kembali.

Alaska sempat tertegun sesaat. Tak biasanya gadis itu menurut tanpa mengomel sedikit pun. Alaska pun memutuskan untuk kembali mundur, dan melambatkan langkah agar bisa berjalan sejajar. Pemuda itu mengulurkan tangan.

"Maaf bila saya lancang. Mohon pegang tangan saya agar saya tahu apakah sudah berjalan terlalu cepat."

Tanpa menjawab apa pun, Kanaya menyambut tangan Alaska. Ia menggenggam erat seraya mengucapkan, "Terima kasih. Ayo."

"... o-oh, iya. Ayo." Lagi-lagi, Alaska tertegun. Kali ini, ekspresinya tertangkap mata oleh Kanaya.

"Ada apa?"

"Ha? Oh, tidak. Ayo, kita harus sedikit mempercepat langkah."

Kata 'sebentar' dari Alaska rupanya memakan waktu tambahan 20 menit kemudian. Kanaya telah melangkah keluar dari Hutan Treas, dan kini pandangannya langsung tertuju pada tembok benteng yang menjulang di depan. Batu-batunya besar dan penuh retakan, ditumbuhi lumut seolah mencoba menutupi usia tua mereka. Menara-menara penjaga tampak seperti bayangan kokoh, siap menghadang siapa pun yang mendekat.

Pepohonan menjulang sudah tertinggal di belakang. Kini, di hadapan Kanaya yang ada hanyalah padang rumput luas nan hijau. Di kejauhan, ia melihat kumpulan domba dan sapi sedang digiring peternak masuk kandang. Di sisi lain, tampak lahan pertanian yang tanamannya mulai menguning sebagian.

Alaska menunjuk ke lokasi di mana beberapa kereta kuda diparkir, tak jauh dari tempat mereka berada. "Kita akan naik itu."

"Delman?" tanya Kanaya.

Alaska tampak bingung, "Anda menyebut apa tadi? 'Delman'? Apa itu?"

Kanaya heran ketika Alaska malah balik bertanya seperti itu. Gadis itu segera menggeleng, karena malas menjelaskan. "Bukan apa-apa."

Alaska dan Kanaya mendekati pangkalan kereta kuda tersebut. Para kusir tampak saling mengobrol satu sama lain, sembari minum kopi atau beristirahat santai, duduk di atas potongan kayu gelondongan.

Kanaya memperhatikan, bahwa bentuk mereka bermacam-macam. Ada yang bertelinga panjang seperti Alaska, ada yang tingginya hanya setengah manusia dewasa, ada pula yang memiliki kuping dan ekor di tubuhnya.

"Kucing?" Kanaya cukup takjub. Baru kali ini ia melihat kalau kucing bisa berdiri dengan dua kaki dan berbicara seperti manusia.

"Itu ras tabaxi," jawab Alaska.

"Kalau yang tingginya setengah itu?"

"Itu halfling," sahut Alaska, lalu mendekat pada Kanaya untuk berbisik, "Tapi, jangan pernah mengatakan kalau mereka pendek. Halfling itu menakutkan kalau sudah marah."

"Oh ...."

"Anda belum pernah lihat sebelumnya?" tanya Alaska lagi. Kanaya menggeleng pelan. "Sama sekali."

Namun, dari semua yang lewat dalam pandangan Kanaya, tak ada yang berkulit hijau seperti dirinya.

Para kusir itu tampak baik-baik saja, sampai akhirnya pandangan mereka tertuju pada Kanaya.

"Ada apa?" bisik Kanaya pada Alaska. Ia tak mengerti mengapa semua menatapnya berbeda.

Wajah mereka meringis seketika, seolah bau busuk menyeruak tiba-tiba. Tatapan-tatapan tersebut menyapu wajah Kanaya dengan cerminan ketidaksukaan yang tak tertahankan. Tangan salah satu kusir tanpa sadar mengepal, dan dia mengambil satu langkah mundur, seakan ingin menjauhkan diri.

"Tidak usah dipikirkan." Alaska menepis pertanyaan gadis itu. Namun, ia tak bertindak apa pun. Seperti sudah tahu penyebabnya. "Tunggu di sini."

Alaska memilih satu kereta kuda, lalu berbicara dengan sang kusir, sementara Kanaya menunggu beberapa langkah di belakang.

Tadinya, kusir itu melayani percakapan Alaska dengan ramah. Namun, ketika Alaska menunjuk ke arah Kanaya, ekspresi wajah pria tua itu langsung berubah.

"Anda mau membawa gadis itu?? Biayanya jadi lima kali lipat untuknya!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro