3. Gasthaus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hei, ayolah! Jangan seperti itu! Nona adalah orang baik, ia tak pernah berbuat macam-macam!" pungkas Alaska.

Akan tetapi, kusir itu bersikeras, "Ya sudah, kalau begitu naik yang lain saja. Saya tidak mau menanggung resiko hanya karena satu penumpang."

Alaska berdecak. Ia tampak berpikir, sembari sesekali menoleh pada Kanaya yang berdiri di belakangnya dengan tatapan bingung. Tiba-tiba, wajahnya berbinar.

"Begini saja," ucap Alaska, sembari tangannya menepuk pundak si pak kusir dengan ras tabaxi itu. "jangan naikkan harga untuknya, tetapi kau akan mendapat kompensasi tiga menu berbeda dalam satu kali makan secara gratis di Kedai Gasthaus."

"Gasthaus? Kedai yang ada di pusat kota itu? Kau yang akan mentraktir?" tanya si kusir. Tiga menu akan cukup membuat kenyang ia dan anak istrinya seharian.

"Bukan aku, tapi Tuan Benedict sendiri. Karena Nona ini adalah--"

"Ah, jadi dialah adik Tuan Ben yang dirumorkan itu?" potong si kusir, lalu mengangguk-angguk. "Kalau begitu, harga khusus untuk gadis itu hanya dua kali lipat. Karena kalau ada dia, aku jadi tidak bisa mengangkut penumpang yang lain."

"Hei, tadi kan kau sudah mendapat penawaran tiga menu gratis tadi!" protes Alaska.

Akan tetapi, si kusir tabaxi menepis, "Bukankah yang penting sampai tujuan? Jangan banyak protes, sebentar lagi malam."

Alaska mendengkus. Ia terpaksa merogoh kocek lebih dalam, dan menemukan beberapa kepingan perak sisa gajiannya bulan ini. Tanggal tua mengharuskannya mengirit, tetapi tidak bila bepergian bersama si nona muda. Ia harus selalu siap dengan perlakuan yang akan diterima Lysandra oleh orang-orang seperti kusir ini.

"Ini, ambillah," ucap Alaska, lalu memberikan biaya tumpangan kereta kuda pada si kusir. Elf tersebut menggeleng-geleng sembari melihat sisa uang yang ada di kantong kain.

"Masuklah, kita berangkat sebentar lagi." seru si kusir sembari naik ke dudukan pengemudi.

Alaska pun mengangguk, lalu memanggil, "Nona Lysandra, ayo masuk kabin."

Kanaya langsung mendekat dan memasuki kabin kereta, melewati si kusir yang sempat memperhatikan lekat-lekat dari kepala hingga kaki. Sampai gadis itu risih dibuatnya.

"Ada apa dengan semua orang?" tanyanya pada Alaska, yang tengah menaiki tangga pijakan untuk masuk.

Alaska menatap Kanaya sejenak, lalu menghela napas panjang. "Anda benar-benar lupa ingatan, rupanya. Apa yang harus kujelaskan pada Tuan Ben kalau begini jadinya. Haahhh ...."

"Kau mengulang kalimat yang sama dari tadi tanpa memberi penjelasan apa pun!" Kanaya mendekat ke tempat Alaska duduk, yakni dekat pintu, lalu merenggut kerah dan memelototi pemuda itu. "Katakan yang sebenarnya! Muak aku lama-lama!"

"Ya, saya juga bingung harus mulai dari mana!" Alaska refleks mengangkat kedua tangan ke atas. "Apa saya harus jadi orang yang mengatakan, kalau semuanya memandang jijik karena Anda berkulit hijau?! Mereka hanya tidak mengenal Anda. Jadi, jangan terlalu dipikirkan!"

Perlahan, renggutan Kanaya pada kerah Alaska melemah. "Karena warna kulitku hijau?"

Roda-roda kereta mulai berputar, ditarik oleh empat kuda. Kendaraan tersebut berjalan melintasi peternakan dan ladang, dan melalui gerbang kota yang dijaga oleh para prajurit berbaju zirah. Meski kapasitasnya untuk enam orang, tetapi hanya Alaska dan Kanaya yang duduk di kabin saat ini.

Alaska hanya mengangguk, lalu memperbaiki letak kerahnya. "Maaf, aku tidak bisa menjelaskan secara rinci mengapa demikian. Tapi percayalah, nanti di kedai semua akan berbeda."

"Hmm ...." Kanaya menunduk, memperhatikan sekali lagi kulitnya. Sangat kontras dengan putihnya rambut yang menjuntai di pundak. Kanaya heran, mengapa hanya warna kulitnya yang jadi masalah, sementara orang lain juga punya ciri tubuh yang aneh-aneh.

Suara-suara ramainya para warga mulai terdengar secara samar. Kanaya menyingkap sedikit tirai jendela kereta, pandangannya terfokus pada lanskap yang berubah saat mereka meninggalkan hutan di belakang.

Cahaya sore yang redup membelai puncak menara dan atap-atap bangunan yang mulai tampak di kejauhan. Dinding batu abu-abu yang tinggi mengelilingi kota, memancarkan aura kekuatan yang meredup oleh bayangan senja. Di balik tembok itu, bangunan-bangunan kayu dengan jendela kecil yang mulai menyalakan lentera menyembul, memberikan kehangatan samar yang kontras dengan kegelapan yang merayap.

Suara roda kereta berderak di jalan berbatu bercampur dengan bunyi lonceng kuil dari kejauhan, mengiringi langkah-langkah penduduk yang bergegas pulang.

Kanaya menahan napas. Ia takjub dengan pemandangan yang saat ini dilihatnya. Pikirannya carut-marut. Ini jelas bukan di lingkungan perkotaan modern seperti terakhir kali tempatnya berada.

Kanaya menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Sudah lama sekali ia tak merasakan udara sebersih ini. Selagi ia menikmati semua yang ada di sekitar, roda-roda kereta pun berhenti berputar.

Alaska menyingkap tirai kabin yang ada di dekatnya dan melihat keluar. Kemudian, ia turun dan mengulurkan tangan pada Kanaya. "Nona, kita sudah sampai."

Kanaya menyambut uluran tangan pemuda itu, dan melangkah turun dari kereta. Matanya menyapu bangunan di depannya. Kedai itu berdiri megah di antara bangunan-bangunan lain, dindingnya terbuat dari batu kokoh dengan jendela-jendela besar yang memancarkan cahaya hangat ke jalan yang mulai gelap.

"Inikah kedai yang kau bicarakan tadi? Tempat tinggalku?" tanya Kanaya. Tatapannya tak lepas dari kemegahan bangunan di depannya.

Di atas pintu masuk, papan kayu berukir dengan nama "Gasthaus" berkilau keemasan, tertimpa cahaya lentera yang menggantung rendah. Aroma daging panggang dan roti segar menyeruak dari dalam, menggoda siapa pun yang lewat.

"Benar, Nona. Anda sudah tinggal di sini sejak lama. Dirawat oleh Tuan Benedict, kakak Anda," sahut Alaska.

Suara riuh tawa dan percakapan terdengar dari balik pintu yang sesekali terbuka, memperlihatkan sekilas interior yang dipenuhi meja-meja kayu beratap rendah dan lantai yang terbuat dari batu kasar.

Para pelayan dengan cepat bergerak, membawa nampan berisi gelas-gelas penuh bir yang berbusa, sementara api di perapian besar menghangatkan seluruh ruangan.

"Dan kau, bekerja di sini?" tanya gadis itu lagi, seraya menunjuk pada para pelayan dengan seragam sama seperti yang dikenakan Alaska. Pemuda elf itu mengangguk. "Sudah hampir satu tahun."

Di sekitar, jalanan kota semakin hidup meski senja mulai berganti malam. Pedagang-pedagang menutup kios mereka, sementara pengunjung kedai berkerumun di pintu, menyisakan celah sempit bagi Kanaya untuk melangkah masuk. Kedai ini tidak hanya menjanjikan tempat untuk tidur, tapi juga pusat kehidupan malam di kota ini.

"Ayo masuk," ajak Alaska. Namun, ketika pemuda itu menarik tangannya yang menggandeng Kanaya, gadis itu menolak.

"Nanti semuanya akan memandangku jijik lagi. Bukankah reaksi semua orang akan sama seperti para kusir tadi?"

Kali ini, Alaska tersenyum. "Memang benar, tapi jauh lebih baik. Orang kota beda dengan orang desa."

Kanaya menuruti Alaska, dan melangkah masuk. Suara riuh obrolan sejenak mereda. Beberapa kepala menoleh, mata-mata penuh rasa ingin tahu tertuju padanya. Namun, tidak seperti tatapan tajam dan penuh kecurigaan yang ia terima di desa, di sini pandangan mereka lebih lembut, meski masih ada kilatan waspada di baliknya.

Seorang pria elf tua di sudut ruangan mengangkat alis, tapi kemudian kembali menyesap birnya tanpa komentar. Beberapa pemuda halfling yang duduk dekat perapian tampak bisik-bisik, namun tak ada ejekan atau sikap kasar. Mereka menilai, mengukur, tapi tidak dengan penolakan yang nyata.

Cahaya hangat dari lentera di dinding memantulkan warna kulit hijaunya, menciptakan kontras dengan lingkungannya, namun di sini, Kanaya tidak merasa sepenuhnya terasing.

"Oh, Nona Lysandra! Anda sudah kembali!" seru seorang pelayan wanita, yang kemudian berlari menghampiri Kanaya sambil mendekap nampan di dada. Para pelayan lain pun terkejut dan bergerak sigap. Ada yang mengambilkan mantel, ada juga yang segera membuatkan minuman.

Kanaya refleks menoleh ke belakang, mencari Alaska. Namun, pemuda itu sudah pergi berjalan ke depan salah satu pintu ruangan yang ada di sana dan mengetuk. Saat pelayan lain menyelimuti tubuh Kanaya dengan mantel, gadis itu memperhatikan siapa yang muncul dari balik pintu tersebut.

Pria itu berdiri di sana, napasnya berat, matanya yang tajam menyapu ruangan hingga pandangannya jatuh pada Kanaya. Ekspresinya berubah dalam sekejap, dari ketidakpercayaan menjadi keterkejutan yang dalam. Kemudian, suaranya yang menggema kuat dan penuh emosi memanggil, membuat keheningan menyelimuti kedai.

"Lysandra!"

Kanaya pun yakin, kalau dialah yang disebut sebagai "Tuan Ben" oleh Alaska, si pemilik kedai, yang katanya juga adalah kakak Lysandra. Namun, pria itu tidak berkulit hijau seperti dirinya.

Justru semakin diperhatikan, Kanaya yakin kalau ras pria ini adalah manusia.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro