4. Half Orc

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lysandra, akhirnya kau pulang juga!"

Pria itu melangkah maju dengan cepat, seolah tak ada yang bisa menghalangi. Kanaya belum sempat menarik napas, ketika tangannya ditarik dalam dekapan erat. Tubuh pria itu sedikit bergetar, meski mulutnya tak berkata apapun lagi saat memeluk gadis hijau di hadapannya itu.

Dada Kanaya terasa sesak, bukan karena pelukan tersebut, tetapi karena perasaan bersalah yang menyerangnya. Bibirnya terbuka, ingin mengatakan kebenaran bahwa dirinya bukan Lysandra. Namun, ia tak tega mengecewakan semua tatapan yang tertuju padanya saat ini. Pria besar itu, dan juga para pelayan yang tampak menunggu kepulangannya.

Kanaya tak dapat berkata apa-apa. Ia sendiri juga tidak tahu kemana jiwa Lysandra yang asli telah pergi dan malah digantikan dirinya.

"Lysandra, apa kau baik-baik saja? Mengapa kau sampai kabur seperti itu?" tanya pria itu.

"Ah, aku kabur?" Kanaya memicingkan mata.

"Iya, Sayang. Apa kau sudah lupa? Aku mengutus sebagian besar pelayan untuk mencari kemana-mana."

"Ah, mengenai hal itu, Tuan Ben, biar saya yang menjelaskan," sela Alaska. "Sebaiknya, Nona beristirahat dulu."

"Kau benar. Hey, kalian!" Ben memanggil seorang pelayan wanita untuk mendekat. "Antarkan Lysa ke kamarnya, dan jangan lupa siapkan makan malam."

"Baik, Tuan."

"Untuk yang lain," Ben beralih pada pelayan lainnya. "informasikan pada para prajurit dan staf lain yang masih mencari kalau Lysa sudah ditemukan. lalu, kembali bekerja seperti biasa."

Semua pelayan yang ada langsung mengangguk dan menjalankan perintah. Sementara Kanaya diantar ke kamarnya ke lantai dua, ia melihat Alaska mengikuti Ben pergi ke ruangannya untuk membicarakan apa yang terjadi pada gadis itu.

***

"Nona Lysandra, silakan."

Seorang pelayan mengantarkan Kanaya ke sebuah kamar berdinding kayu yang terletak di lantai tiga Kedai Gasthaus. Bila lantai pertama dan kedua adalah untuk para pengunjung makan dan beristirahat, maka lantai ketiga adalah tempat tinggal khusus karyawan dan pemilik.

Yang dipanggil segera mengangguk. Ia tak terbiasa dengan nama barunya itu. Lagipula, bagian depan nama tersebut mengingatkan akan panggilan terhadap adiknya di kehidupan sebelumnya.

Apakah Alisa baik-baik saja?

Terbersit dalam benak Kanaya, kekhawatiran terhadap adiknya. Ia melangkah masuk ke kamar, dan melihat-lihat sekitar. Tak ada listrik, yang ada hanyalah alat-alat berkekuatan sihir sebagai pengganti daya.

Kanaya menutup pintu di belakangnya, dan keheningan langsung menyelimuti kamar itu. Ruangan sederhana dengan dinding kayu kasar, lantai berlapis karpet, dan jendela kecil yang membiarkan cahaya bulan menyusup masuk.

Lilin-lilin ajaib yang menyala sendiri di sisi dinding memberikan cahaya lembut, menciptakan bayangan panjang yang bergerak-gerak di dinding. Di sudut kamar, sebuah cermin berdiri dengan bingkai kayu yang diukir rumit, menampakkan refleksi yang tidak dikenalnya.

"Kulit hijau, telinga panjang ... mirip seperti yang diceritakan Alisa dulu. Apakah ... aku sekarang adalah half orc?"

Wajahnya yang dulu sebagai Kanaya kini berganti menjadi sosok half orc milik Lysandra, dengan kulit kehijauan dan mata berwarna hijau teal. Ia meraba wajahnya dengan perlahan. Tak terlalu berbeda dari manusia. Gadis itu heran, karena tadinya ia berpikir kalau half orc memiliki tekstur kulit yang lebih kasar, tetapi kenyataannya tidak.

"Apakah si Lysandra ini memang berbeda dari half orc kebanyakan? Yang kuingat, dulu Alisa pernah cerita kalau half orc itu perawakannya lebih tinggi dan lebih berotot dibanding manusia. Tapi, Lysandra ini ...."

Kanaya terus bergumam. Rasanya seperti mimpi yang tak nyata—menyadari sepenuhnya bahwa tubuh yang ia tinggali bukan lagi miliknya.

"Padahal, Alisa yang menyukai hal-hal semacam ini, tapi kenapa aku yang malah masuk ke dunia ini?"

Pandangan Kanaya berubah kosong meski tatapannya mengarah pada cermin. Pikirannya melayang pada Alisa. Kemudian, gadis itu duduk dan memeluk kedua lututnya.

"Alisa ... apa aku bisa kembali ke dunia asalku dan menemuinya? Alisa masih kecil ... dia belum tahu apa-apa ...."

Kanaya menenggelamkan wajah di antara kedua lutut, yang tak lama kemudian menjadi basah karena tetesan air mata. Ia belum siap pergi dan meninggalkan adiknya itu sendirian. Akan tetapi, ia juga tidak tahu harus ke mana untuk bisa kembali.

"Nona, ini aku, membawakan makanan untukmu."

Suara Alaska terdengar dari balik pintu, diiringi ketukan. Pemuda itu mencoba memutar kenop, dan menyadari bahwa pintunya tidak terkunci. Ia melihat Lysandra yang tengah duduk di depan cermin.

"Nona, Anda baik-baik saja?" tanya Alaska, sembari meletakkan nampan berisi makanan dan minuman di atas nakas. Pemuda elf itu menghampiri sang nona muda, dan berlutut di sebelahnya.

"Nona, ada apa? Apa luka yang tadi masih terasa sakit?" Alaska menyentuh lembut pundak Kanaya. Gadis itu langsung tersentak, dan refleks mendongak, memperlihatkan kedua mata yang sembap dan air mata yang belum sempat mengering.

"Nona ... menangis?" Kedua mata Alaska membulat. "A-apa yang sakit? Luka yang tadi, ya? Mau aku sembuhkan lagi? Kebetulan aku baru belajar sihir penyembuh yang lebih efektif dan---"

Alaska meracau panik. Bila sampai Benedict melihat Lysandra menangis di hadapannya seperti ini, ia pasti akan disangka sebagai penyebabnya. Lalu, pemotongan gaji akan diberikan sebagai solusi oleh sang pemilik kedai. Terlebih lagi, Lysandra yang Alaska kenal memang akan melebih-lebihkan cerita supaya dibela kakaknya.

Kanaya segera mengusap pipinya, menyembunyikan air mata yang tak sengaja ia tunjukkan. Gadis itu berdeham sejenak.

"Tidak ada apa-apa. Aku baik-baik saja," jawab gadis itu, seolah tidak terjadi apa-apa.

Alaska terkejut dua kali. Bukan hanya karena tidak melebih-lebihkan cerita, tetapi sang nona muda juga tampak tidak ingin diungkit soal tangisannya itu.

"Apa hilang ingatan membuat kepribadian seseorang berubah sejauh ini, ya?" gumam Alaska, dan hal itu terdengar oleh Kanaya.

"Kalau 'hilang ingatan' membuatmu mudah menyimpulkan mengapa aku berubah, anggap saja begitu," sahut Kanaya tenang.

Kanaya menghela napas dalam-dalam. Ia tahu, bila ingin dapat bertahan hidup di dunia yang asing ini. Kalau sejak awal saja ia sudah bertemu monster bernama goblin, siapa yang tahu kalau dirinya tidak akan bertemu dengan yang lebih buruk lagi.

Lalu, dari lubuk hati, Kanaya masih berharap untuk dapat mencari informasi apakah bisa kembali ke dunia asalnya.

Dan untuk langkah pertama, ia tidak boleh membuat orang-orang di sekitar membenci dirinya.

Kanaya menatap Alaska dalam-dalam. Pemuda itu sampai salah tingkah dibuatnya. "A-ada apa, Nona?"

"Lysa. Panggil aku Lysa saja, jangan Lysandra."

Langkah kedua, ia harus membaur dengan sekitar. Kanaya memutuskan untuk membuang nama aslinya dan berganti menjadi Lisa. Setidaknya, bunyinya sama seperti panggilan kecil adiknya.

"Oh, baiklah. Nona Lysa." Alaska mengonfirmasi. "Tapi, kenapa Nona?"

"Terlalu panjang, dan aku tidak familiar dengan nama itu," jawab Kanaya, yang kini dan seterusnya akan dipanggil sebagai Lysa.

Alaska mengernyit. Ia tidak mengerti apa perbedaannya. Akan tetapi, ia menurut saja.

"Kedua, jangan katakan pada siapapun kalau aku tidak ingat apa pun. Aku tidak mau ada yang berusaha memanfaatkanku."

Lagi-lagi, permintaan yang aneh. Alaska pun mengangguk cepat. Ia tidak mau berdebat dengan gadis di hadapannya, yang memang telah berubah sifatnya seratus persen.

Tak lama, terdengar derap langkah kaki di koridor. "Ah, pasti Tuan Ben," celetuk Alaska. Ia memang mengenal tanda-tanda kedatangan bosnya tersebut hanya dari suara sepatunya.

Benar yang Alaska duga, Benedict masuk ke kamar Lysa dan memeluk adiknya itu.

"Rupanya kau mengalami hal yang tidak enak di luar sana. Kau sudah aman sekarang." Benedict mengelus lembut kepala Lysa. Dilihat dari ukuran badan, tekstur kulit, dan bisepnya, Lysa yakin bahwa yang lebih cocok menjadi half orc adalah Benedict, bukan dirinya.

"Ya, aku baik-baik saja," sahut Lysa pendek.

Seketika itu juga, Benedict melepaskan pelukannya dan menatap Lysa dalam-dalam.

"Kau benar-benar berbeda dari biasanya. Apa benar kau hilang ingatan, seperti yang dikatakan Alaska?"

"A-ah, maaf Tuan. Sepertinya aku salah. Nona mungkin hanya mengalami syok sesaat, jadi ia sempat tak mengenaliku tadi. Tapi, semua sudah normal kembali."

Alaska meralat ceritanya tadi di ruangan Benedict, sementara Lysa diam saja. Lelaki besar itu pun mengangguk-angguk pelan. Kemudian, ia beralih lagi pada adiknya.

"Andaikan kau tidak kabur, kau tidak akan terluka seperti ini!" seru Benedict sembari menyibak poni Lysa supaya dapat melihat bekas lukanya lebih jelas. "Memangnya, apa yang kau pikirkan? Tuan Ront adalah calon terbaik yang telah kupilih untukmu!"

Lysa mengernyit. Ia tak mengerti ucapan Benedict barusan. "Ront? Siapa itu?"

Alaska menyelinap ke belakang Lysa, lalu membisikkan sesuatu.

"Tuan Ront adalah calon suami Anda, Nona. Tadi siang, Anda kabur karena tidak mau dijodohkan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro