5. Preferensi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa?!!" Lysa sontak berteriak mendengar jawaban Alaska. Serta-merta, pemuda itu memberi isyarat dengan tatapan mata dan mulut yang meringis, memperingatkan agar Lysa tidak terlalu terkejut karena akan menimbulkan kecurigaan. Gadis itu pun menenangkan diri.

"Tuan Ront? Tapi, aku tidak mengenalnya." Lysa berusaha kalem sembari membaca situasi.

"Dia orang yang baik. Dulu ia pernah membantuku di jalan saat dihadang oleh bandit dari Kota Evershade."

Benedict merogoh saku rompi yang ia kenakan, lalu mengeluarkan lipatan kertas. Ada gambar yang terlukis di atasnya dengan cukup detail. Sosok pria berkulit abu-abu kehijauan, dengan rahang besar dan ekspresi wajah garang. Matanya menatap ke depan dengan amat tajam. Ada dua gigi taring bawah yang mencuat ke atas, terlihat dari balik mulutnya yang tak dapat ditutup rapat.

Sosoknya menyeramkan. Lebih parah dari monster goblin yang Lysa temui di hutan tadi.

"Tadi siang, setelah melihat foto ini, kau malah lari, kabur entah ke mana! Aku jadi harus membatalkan pertemuan pertamamu dengan Tuan Ront---"

"Urghh ...."

Lysa merasa mual, ia refleks menutup mulut dengan sebelah tangan. Gadis itu segera menjauhkan gambar tersebut dari hadapan. Bila dipaksa untuk melihat terus, ia bisa saja muntah di depan Bendict.

Benedict sendiri langsung menyimpan kembali gambarnya itu, lalu mengelus-elus punggung Lysa. "Apa? Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?"

"Monster macam apa itu tadi? Kau ingin menjodohkannya denganku? Pantas saja Lysandra memilih untuk kabur ke hutan dan mati diserang goblin, calonnya saja bermuka seram seperti itu! Siapa juga yang mau kalau---"

"Err, Nona!!" Alaska buru-buru menyela racauan Lysa. Ia tersentak dan langsung membungkam mulutnya.

Sejak dari kehidupannya yang dulu, gadis itu sangat menyukai cerita bergenre romansa. Dengan tokoh utama pria yang tampan, tentunya. Tidak masalah berpenampilan cupu, gembel, atau berandalan sekalipun. Asalkan, akan ada bab di mana si tokoh ini akan dipermak penampilannya menjadi cowok yang bisa mencuri perhatian kaum hawa.

"Ront ini, sih ... mau dipermak pakai ketok magic sekalipun juga gak bakalan jadi ganteng," celetuk Lysa lirih.

"Lysandra! Ucapanmu itu tidak sopan!" teriak Benedict gusar.

Diteriaki begitu, Lysa malah jadi jengkel. Ia mendelik pada Benedict. "Aku berani bertaruh, kalau jauh di lubuk hati, kau juga menganggapnya sebagai makhluk menyeramkan."

Lysa menantang Benedict seraya berkacak pinggang. Sorot matanya yang tajam membuat Benedict mengernyit sesaat. Pria itu pun mengalah dan memberi alasan. "Karena hanya dia yang mau menerimamu sebagai pasangan."

"Hmm? Maksudnya?" Lysa tak mengerti, apa yang kurang dari dirinya. Namun, mengingat perlakuan dari ras lain terhadap dirinya sangat diskriminatif seperti tadi sore. Ia jadi penasaran, apa tidak ada half orc lain yang wajah dan perawakannya lebih bisa diterima akal sehat.

Alaska mengangkat tangan, seolah ingin menginterupsi. "Begini, Nona. Tiap ras memiliki preferensi ketampanan dan kecantikan yang berbeda-beda. Nona Lysandra, yang tidak memiliki pundak lebar dan tidak berotot seperti kebanyakan half orc wanita lainnya, maaf, tidak cukup menarik di mata para half orc pria."

"Heeh?" Lysa membulatkan mata begitu mendengar penjelasan Alaska, lalu melihat ke arah cermin yang ada di sebelah. Tubuhnya memang lebih mirip manusia ketimbang half orc. Manusia yang cantik pula. Yang membedakan hanyalah telinga lancip dan kulit hijau saja.

"Dan, di mata para half orc wanita," sambung Alaska. "Tuan Ront memiliki standar ketampanan yang cukup. Tapi, aku tak mengerti kenapa Anda---"

"Ya, karena dia memang seram! Apa lagi?!" sentak Lysa. "Jangan harap aku mau dengan makhluk semacam ini!"

"Kau pikir, kau punya pilihan, hah?!" Kali ini, Benedict yang menyentak Lysa. "Kalau bukan dengan Tuan Ront, siapa lagi yang akan menjadi pasanganmu kelak!"

"Memangnya, kenapa aku harus menikah?! Aku tidak ingin dijodohkan dengan orang asing!"

"Karena usiamu sudah matang untuk itu! Dan sudah tidak ada waktu lagi!"

Lysa mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang aneh dalam nada bicara Benedict.

"Tidak ada waktu lagi? Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara yang lebih pelan, mencoba menahan rasa heran dan cemas yang mulai menjalar.

Benedict tidak langsung menjawab, melainkan menunduk sejenak, seperti menimbang-nimbang kata-kata. Lysa melihat keraguan di wajah pria itu.

Ketika ia hendak menekan lebih jauh, Benedict tiba-tiba mengangkat tangannya dan berkata dengan nada yang lebih tegas, "Sudahlah. Tak perlu kau khawatirkan itu sekarang."

Lysa menatap pria itu penuh tanya, namun Benedict memalingkan wajah.

"Pokoknya, aku mau kau bersiap. Lusa, Tuan Ront akan datang kembali. Kita tak boleh mempermalukan diri kita lagi." Suaranya dingin, dan tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik menuju pintu.

Alaska, yang dari tadi diam memperhatikan percakapan itu, hanya memberi anggukan kecil pada Lysa sebelum menyusul Benedict keluar dari kamar. Pintu tertutup dengan lembut di belakang mereka, meninggalkan Lysa sendirian dalam keheningan, masih dengan segudang pertanyaan yang tak terjawab.

"Dijodohkan? Apakah Lysandra ini adalah tokoh half orc yang pernah diceritakan Alisa dulu itu? Itu berarti ... aku masuk ke dalam dunia novel favoritnya Alisa??" tanyanya pada diri sendiri, selagi semua orang sudah pergi.

Lysa tidak dapat mengingat secara jelas. Ia hanya tahu, tiap kali adiknya bercerita, ia tak pernah sungguh-sungguh mendengarkan. Biasanya, ia mendengar semua kisah novel yang Alisa ceritakan padanya sembari mengerjakan pekerjaan rumah lain, memasak atau mengepel misalnya.

Lysa terjatuh berjongkok dengan cepat, kedua tangannya mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi.

"Kenapa aku tak pernah mendengarkan?!" gumamnya penuh penyesalan.

Gadis itu mengingat kembali momen-momen ketika Alisa dengan penuh semangat menceritakan isi novel favoritnya, sementara ia sendiri hanya setengah hati mendengar, terlalu sibuk dengan pekerjaan rumah.

Sekarang, ketika ia terjebak dalam dunia itu, tidak ada yang bisa diingat dengan jelas. Ia menggeram pelan, mengusap rambutnya lebih keras seakan berharap memori yang hilang bisa kembali.

"Aku bahkan tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!"

Seruan putus asa keluar dari bibirnya, matanya menatap lantai kayu tanpa tujuan, merasa bingung dan terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Kepalanya dipenuhi oleh pikiran berantakan—bagaimana bisa ia menghadapi semua ini tanpa petunjuk? Bagaimana cara keluar dari pernikahan yang tak diinginkan ini? Ia benar-benar tak tahu harus melangkah ke mana.

***

Sementara itu, di sisi lain, Alaska berjalan beberapa langkah di belakang Benedict yang tampak gusar. Wajah Benedict berkerut, bibirnya terkatup rapat, namun gumaman penuh keluhan tetap keluar dari mulutnya. "Lysandra benar-benar berubah. Dulu dia tak pernah menantang seperti ini, sekarang dia jadi lebih berani!"

Alaska hanya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dengan cara yang tidak terlalu mencolok.

"Mungkin, Nona Lysandra hanya butuh waktu untuk beradaptasi, Tuan," jawab Alaska dengan lembut, berharap bisa meredakan amarah Benedict.

Namun, tampaknya hal itu tidak begitu membantu. Benedict tetap menggerutu sepanjang jalan, terus mengungkapkan rasa frustrasinya.

Mendadak, langkah kaki Benedict melambat. Ia merasakan kakinya semakin berat, seakan ada beban yang tiba-tiba menimpa tubuhnya. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, tubuhnya oleng dan ia hampir terjatuh. Dengan cepat, tangannya meraih railing tangga, namun keseimbangan tetap tidak cukup terjaga.

Alaska sigap bergerak maju, dengan kedua tangannya menopang tubuh majikannya yang hampir terjatuh.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro