Another Kind of Mr.Hc

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Seperti biasa, tempat busuk ini tercium seperti bau rokok dan minuman keras. Benar- benar tidak perubahan gaya hidup, huh, Samatoki? Aku tidak masalah kalau kau mati, tapi Mad Trigger Crew masih membutuhkanmu meski kau sebegini rusaknya."

Yang disindir, Aohitsugi Samatoki, hanya bisa mendengkus seraya meletakkan dua cangkir kopi panas buatannya di atas meja. Dia sudah memilih untuk tidak peduli; lagipula, tidak ada gunanya juga melawan perempuan.

Mereka akan selalu menang, apapun ceritanya hingga mengalah menjadi salah satu alternatif cepat menyelesaikan masalah.

Samatoki menatap mata biru rapper wanita yang juga jadi salah satu penguasa dunia atas Yokohama itu itu lekat-lekat. Namun, yang diperhatikan semakin terlihat menyebalkan, Samatoki menggeram-setengah mati menahan diri untuk tidak menendang perempuan itu keluar dari ruangannya.

"Kenapa kau melihatku dengan mata seperti itu, hah? Kau mengejekku, ya?"

Samatoki tahu betul bahkan perempuan yang kini duduk di hadapannya, perempuan yang sedang pasang muka angkuh dan melipat kaki layaknya seorang ratu dan barusan menggertaknya ini, bahkan belum ada lima menit menghuni ruangan pribadinya. Keringat di kening wanita itu bahkan belum kering disapu pendingin ruangan.

Tapi, satu yang pasti; perempuan itu sudah memancing urat kesabaran milik Samatoki untuk putus sesegera mungkin.

Samatoki menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya keras-keras; masih mencoba untuk sabar dan tidak menampar perempuan itu di detik berikutnya.

Samatoki lantas meraih kotak rokok yang ada di meja, meraih sebatang tembakau gulung berfilter itu dan menyelipkan benda itu ke antara bibir tipisnya, sebelum dia nyalakan sendiri dengan pemantik mahal yang diambil dari sakunya. Ujung rokok itu terbakar. Baranya berkelip-kelip ketika Samatoki mengisapnya. Ketika Samatoki menghembus asap dari mulutnya, meniupnya ke wajah perempuan itu, melakukan balas dendam karena tamunya itu sudah bikin kesal. Namun, perempuan itu malah melambaikan tangannya, menepis asap, sok merasa terganggu, sembari pasang wajah jijik.

Samatoki gagal membalaskan dendam. Bak api disiram minyak tanah, emosi Samatoki pun berkobar semakin keras.

"Berhenti bertingkah seperti kau tidak pernah mencium asap rokok, Juri," gerutunya pada perempuan itu, Juri, lalu menyeringai sinis. "Kau itu sebenarnya kenapa, huh? Kau selalu mengomel ketika aku merokok di dekatmu tapi kau tidak pernah mengomeli si polisi- kelinci-porno-bermata-empat itu ketika dia merokok seperti kereta uap di kantornya-oh, kantor kalian."

Wanita berambut pirang dan bermata biru itu terkesiap. Seringai di bibir Samatoki kemudian berubah jadi senyum penuh kemenangan, yang terlihat makin mengerikan karena matanya ikut berkilat-kilat, puas memojokkan Juri.

"Heh, ada apa dengan ekspresimu itu? Sindiranku tadi itu benar-benar mengenaimu?! Konyol sekali, haha!" Samatoki tergelak keras-keras. Meja yang tak bersalah kemudian dipukul untuk menahan geli, membuat beberapa tetes kopi yang ada di dalam gelas tumpah dan abu dalam asbak melompat-lompat.

Juri mendecih tak suka. Alih-alih merona karena malu, dia meninggikan dagu dan meluruskan blazer biru tuanya yang melekat di tubuhnya.

"Berisik, Kuda-sialan!" sungut Juri, dengan nada pedas yang membuat Samatoki berhenti tertawa. Sepasang bola mata merahnya kemudian menatap Juri sinis. Kakinya tak lagi terlipat. Alisnya kemudian terangkat tinggi-tinggi.

"Tadi kau bilang apa?"

"Apa?"

"Jangan membalik pertanyaan dengan pertanyaan!" Samatoki yang berang memukul meja lagi, kini sampai membuat kopi di gelas Juri tumpah, mengenai sepatunya mengkilap. "Beraninya kau memanggil ore-sama dengan sebutan Kuda! Aku ini Samatoki, tahu!"'

"Ha, kau masih mempermasalahkan itu setelah membuat sepatuku basah dengan kopimu, hah?! Kau ini sudah gila, ya?!"

"Daripada aku, kau sendiri yang gila!" Tidak mau kalah, Samatoki membalas sama galaknya. "Beraninya kau menyebutku kuda sementara kau sendiri tahu banyak tentangku gara-gara si kacamata itu! Aku ini seorang kumicho yakuza. Sekali lagi kutekankuan- KUMICHO!"

"Hei, kenapa kau terus-terus membawa Juuto-san ke dalam keributan ini? Kau ini tidak punya malu membawa orang-orang yang tak bersalah ke dalam keributan yang kaubuat, ya?!"

"Ha? Siapa juga yang menyeret Juuto ke dalam masalah ini? Aku hanya menyebutnya, bukan berarti aku menyeretnya!"

"Kau tetap saja membawa-bawa dia!" Juri melompati meja kemudian merengut kerah kemeja putihnya Samatoki karena kesal. "Berhentilah membawa-bawa orang lain ke dalam masalahmu, Samatoki!"

"Kau ini sebenarnya kenapa, hah? Kenapa kau sangat sensitif kalau aku menyebut- nyebut Juuto?!" Samatoki menepis tangan Juri dari kerahnya dan mendorong wanita itu hingga kembali duduk di sofa yang ada di seberangnya. Kali ini giliran kerah kemeja Juri yang direngutnya. Bibirnya kembali menyeringai, ketika ia mendapati ada sedikit rona tipis di pipi Juri dan sepasang mata biru wanita itu yang menghindarinya.

Ah, aku tahu ini.

"Hoo, jangan bilang kalau kau menyukai-"

"APA KAU BILANG?!"

"Cukup, stop, stop, stop!"

Pintu tiba-tiba menjeblak terbuka, orang yang sedari tadi jadi topik pun muncul- siapalagi kalau bukan sang polisi kotor yang sangat akrab dengan dunia bawah kota Yokohama, Juuto Iruma-menghentikan pertengkaran Juri dan Samatoki dalam sekejap, seperti seorang pahlawan kesiangan, setelah teriak-teriak heboh seperti ibu-ibu berebut barang diskon di supermarket.

"Lepaskan dia, Samatoki." Juuto memerintah dengan nada dingin dan-untuk satu detik membuat Juri terkejut-Samatoki melepas cengkramannya pada kerah wanita itu. Dia kembali duduk di sofanya, menyelipkan rokok di bibir dan menyalakannya, kembali bersikap sok angkuh seperti tidak ada terjadi apapun barusan. Tangannya dibentangkan lebar-lebar di sepanjang sandaran sofa, membagi isyarat supaya Juuto tidak usah duduk dekat-dekat dengannya sekarang.

Pria berkacamata itu mendengkus lelah. Sepasang bola mata sehijau rumput itu berputar frustrasi. Pun pelipisnya dipijat pelan.

"Kali ini kalian meributkan apa, huh? Masalah asap rokok lagi?" tanyanya sambil berkacak pinggang dengan wajah yang dibuat-buat sok tegas; gerak-gerik yang sama seperti yang ia biasa lakukan ketika sedang menginterograsi para kriminal. Tidak ada yang menjawab, baik Samatoki dan Juri saling membuang muka, tidak menatap satu sama lain. Bibir mereka sedikit mengerucut; merajuk bak anak kecil.

Juuto memukul keningnya kuat-kuat, menjejak bekas merah di atas alisnya.

"Astaga. Bisakah kalian bersikap seperti orang dewasa, sekali sajaaaaa, saat kalian bersama seperti ini? Berhentilah bertengkar," Juuto berucap dengan nada lelah yang dibuat- buat. Dia kemudian menunjuk Samatoki dan Juri bergantian dengan matanya, "Ayo minta maaf."

Juri dan Samatoki kompak terpekik. Keduanya memandang Juuto tidak percaya.

"Aku memaafkan orang seperti dia?" Juri menunjuk Samatoki sambil mengerutkan hidungnya jijik. "Lebih baik aku melakukan rap battle dengan Riou-san dan disuruh makan laba-laba gorengnya daripada aku harus memaafkan dia!"

"Ha?! Apa kau bilang?!" Samatoki memekik, tak setuju. Meja dekat kakinya lagi-lagi jadi sasaran pemukulan telapak tangannya yang lebar. Kali ini asbak rokoknya sampai jatuh ke lantai."Kau pikir kau itu siapa kau harus memaafkanmu?! Aku bahkan tidak sudi minta maaf padamu! Jangan bermimpi, Cinderella! Ini bukan negeri dongeng di mana ibu peri sialan itu bisa mengabulkan semua permintaanmu!"

"Lancang sekali mulutmu, yakuza!"

Tidak sampai hitungan detik, Samatoki dan Juri sudah merengut kerah kemeja satu sama lain lagi. Keduanya kompak menggeram, tidak peduli kalau kening dan ujung hidung masing-masing sudah begitu dekat hingga tidak lagi berjarak di sepersekian detik kemudian.

"Beraninya kau..."

"Dimana sopan santunmu sebagai perempuan, hoi!"

"Seharusnya aku yang bertanya di mana harga dirimu sebagai laki-laki sampai kau berani merengut bajuku begini, ha?!"

"Jangan bicara soal harga diriku denganku, Nona-"

Tepat di belakang keduanya, lagi-lagi Juuto hanya bisa menepuk keningnya frustasi. Di saat-saat begini dia butuh salah satu pentolan divisi yang menaungi rap Juri di Tokyo, personil Dancing Diva yang paling dingin orangnya, Sara Tokugawa untuk melerai pertengkaran konyol dua orang ini.

Juuto menyesal karena lagi-lagi datang kemari tanpa tanya-tanya siapa tamunya lelaki berambut putih itu pada anak buahnya yang tercecer di sepanjang lorong, yang berdiri tegak macam patung zaman abad pertengahan, yang sedang menunggu perintah dari bos mereka yang sedikit dungu walau, sialnya, sangat berkharisma. Kalau saja tadi Juuto bertanya, kepalanya tidak akan mendapat migrain mendadak seperti ini.

"Sudah kubilang, hentikan!" Habis sudah kesabaran Juuto. Lelaki berkacamata itu kemudian memisahkan keduanya dengan cara melepaskan tangan Samatoki dari kerah Juri dan menariknya untuk menjauh.

"Heh, Juuto-"

"Daripada kau bertengkar dan buang-buang tenaga untuk debat kusir dengan perempuan semacam ini, lebih baik kau ikut aku untuk menemui Riou karena sepertinya orang yang satu itu ingin menunjukkan sesuatu pada kita."

"Tikus bakarnya lagi, hah? Kali ini dengan apa? Bumbu baru?! Kalau dia hanya akan membicarakan hal itu denganku, lebih baik aku memberi pelajaran pada perempuan itu!"

"Berdoa saja bukan hal seperti itu." Juuto menarik napas panjang-panjang, mengusir bayang-bayang buruk binatang hutan yang dijadikan panganan dengan modal setumpuk ranting dan daun kering oleh sang mantan tentara, yang membuat bulu kuduk lelaki itu meremang seketika. "Tadi dia mengatakan sesuatu soal Hypnosis Canceller."

"Apa aku boleh ikut?!" sembur Juri, tertarik karena mendengar satu-satunya barang yang bisa mengalahkan serangan hypnosis mic tiba-tiba saja disebut-sebut oleh sang letnan. Namun, sayang, Juuto justru menyeringai sambil melambai-lambaikan tangannya. "Maaf, Nona. Tapi sepertinya aku ragu kau bisa ikut."

"Kenapa?! Riou-san juga mengenaliku, 'kan?"

Sepasang bola mata hijau milik Juuto kemudian berputar sinis. "Ini bukan pembahasan yang bisa didengar oleh orang luar sepertimu, Nona." Sang polisi berkacamata itu pun lantas balik kanan, menyusul Samatoki yang beberapa saat lalu sudah mendahuluinya keluar dari ruangan kecil berbau apak itu. "Ah, sial. Si Samatoki itu memang-hei, tunggu! Kalau begitu, Shibuki-san, aku pamit dulu. Sampai jumpa nanti."

Juri hanya bisa menghentakkan kakinya geram begitu pintu ruangan ditutup Juuto seiring langkahnya keluar.

"Laki-laki Yokohama sangat menyebalkan!"

***

Kesal yang membakar dada membuat Juri sulit berkonsentrasi saat mengendarai mobilnya untuk pulang. Entah sudah berapa kali Juri harus kena semprot klakson galak yang menyalak di belakang mobilnya karena dia tiba-tiba keluar jalur berkendara atau mengerem mendadak ketika mobil di belakangnya menyalip dengan binal.

Sungguh, Juri masih menyesal kenapa dia harus berkunjung ke kandang pemimpin Mad Trigger Crew untuk mengisi waktu luang sehabis bekerja beberapa jam yang lalu, bukannya pulang ke apartemen, dan leha-leha untuk pertama kalinya di sepanjang musim dingin yang tinggal menghitung minggu ini. Niat mengajak Samatoki untuk minum kopi bareng di salah satu kedai kopi yang baru buka di Minato Mirai, benar-benar ide terburuk yang pernah mampir ke kepala Juri hari ini.

Padahal tempat itu sedang diskon untuk yang datang berpasangan.

Juri menepuk kepalanya keras-keras.

Dia mengajak Samatoki minum di tempat itu bukan untuk mendapatkan diskonnya! Ayolah, Juri bahkan biasa makan malam mewah di salah satu restoran Perancis di Tokyo ketika senggang dan tidak pernah mempermasalahkan sepiring makanan dan segelas anggur yang harganya senilai ribuan yen.

Juri mengajak Samatoki minum untuk membicarakan soal munculnya beberapa grup rap di seputaran Yokohama, yang bertingkah makin liar setelah menangnya Materou, divisi rap yang bermarkas di Shinjuku dan menang atas pertarungan yang berlangsung di Chuuoku, yang mulai mengganggu dan berlagak sok jago dengan mengirimkan surat-surat tantangan pada Dancing Diva, tidak peduli kalau markas Dancing Diva ada di Tokyo.

Grup-grup itu menganggap Juri dan kawan-kawannya sebagai musuh. Hanya karena Juri adalah perempuan dan penguasa Jepang hingga detik ini adalah perempuan, kelompok- kelompok itu masih tidak menyukai keberadaan Dancing Diva yang sudah terang-terangan, sampai-sampai mewakili Tokyo untuk memperjuangkan hak para lelaki untuk kembali berkuasa.

Ayolah, Dancing Diva bukan kelompok yang bisa berdiri dan manut begitu saja dengan kepemimpinan Party of Words, penguasa Jepang setelah perang beberapa tahun silam.

Juri mengutuk kepemimpinan Jepang saat ini yang dikuasai penuh oleh Otome Tohoten dan kawan-kawannya, juga ide gila mereka yang mempermainkan lelaki seperti gladiator di abad pertengahan, dengan mengadu mereka untuk bertarung dengan kata-kata- dengan rap dan alat canggih bernama Hypnosis Microphone. Dia mengiming-imingi para pria dengan pengembalian wilayah dan kekuasaan atas teritori yang kalah dalam pertarungan Hypnosis Mic mereka, membuat para lelaki haus akan dominasi dan tanpa sadar menginjak- injak hak asasi mereka sendiri.

Dunia sehabis perang memang gila. Bahkan orang tua Juri tewas karena kekonyolan ini. Namun, setelah beberapa tahun kepemimpinan Otome, segalanya terasa semakin gila.

Juri ingin mengakhirinya.

Juri tidak tahan dan memutuskan untuk ikut melawan; apalagi setelah ia melihat ada empat divisi yang menjadi perwakilan tiap daerah yang berdekatan dengan Tokyo untuk bertarung dan memperebutkan kekuasaan.

Kegilaan ini harus segera disudahi. Juri tidak mau ada lagi korban karena kekonyolan bodoh seperti ini.

Ponsel di dasbor mobil wanita itu kemudian berdering. Juri melirik; ada nama Ichijiku Kadenokuji muncul di layar. Juri merogoh saku blazernya, mencari pin earphone nirkabelnya. Setelah terhubung dengan ponselnya, ia kemudian menempelkan earphone itu ke telinganya dan menekan satu tombolnya, untuk kemudian mendengar sang tangan kanan langsung perdana menteri, memerintah dengan suara tegas tanpa basa-basi, "Hentikan kejadian huru- hara di Pecinan Yokohama. Bawa serta Hypnosis Canceller bersamamu."

Tidak satu detik, setelah dia menyahut panggilan itu dengan nada yang sama tegasnya, wanita itu segera memutar mobilnya, tidak peduli kalau dia lagi-lagi membuat jalanan ramai dengan pekik klakson mobil-mobil yang ada di belakangnya.

Ah, ada apa dengan Juri dan kota Yokohama sekarang?

***

Samatoki bersandar di jok penumpang mobilnya Juuto setelah mendengus lega- akhirnya keluar dari hutan tempat tinggalnya Riou. Sang polisi berkacamata itu pun tidak ada bedanya. Begitu mobil dinyalakan dan mesin dipanaskan setelah tiga jam dibiarkan begitu saja di bagian terluar hutan yang dekat dengan jalan raya, Juuto juga segera membakar satu batang rokoknya dan menawarkan pada Samatoki yang sudah seperti orang baru bangkit dari alam kubur.

"Yang tadi itu benar-benar nyaris," ucap Samatoki setelah menghembuskan asap dari rokok yang baru dihisapnya. "Aku sudah bersumpah pada diriku sendiri untuk tidak akan pernah makan masakan Riou lagi seumur hidupku dan yang tadi itu benar-benar nyaris saja."

"Haa, kau benar." Juuto mengangguk setuju sambil melajukan mobilnya pelan-pelan kembali ke jalan raya. "Kali ini kita selamat dari pencuci perutnya Riou. Aku heran kenapa anak buahnya Ramuda Amemura-siapa itu namanya... Dice, huh-bisa tahan dengan masakannya Riou."

"Riou benar-benar ahli membuat orang terjebak di situasi hidup dan mati."

"Dia benar-benar mengerikan." Samatoki menimpali lagi sambil menggosok-gosok tengkuknya. "Ah, hatiku jadi buruk begini! Juuto, bagaimana kalau kita minum di tempat biasa hari ini?"

"Kau ini paling tahu caranya bersenang-senang, ya?" Samatoki menyeringai puas.

***

Di Pecinan Yokohama ada satu tempat minum favorit Juuto yang kini jadi salah satu tempat persinggahan kesukaan Samatoki juga. Terselip di antara bangunan-bangunan toko, dengan nuansa remang dan sepi, juga daftar minuman beralkohol yang tidak kalah dengan dengan minuman yang ada di hotel berkelas, membuat orang semacam Juuto dan Samatoki merasa cocok dengan tempat itu.

Setelah memarkirkan mobil di parkiran yang ada di bagian luar Pecinan, Juuto dan Samatoki berjalan, menyatu dengan arus manusia yang berada di bagian tengah jalan di Pecinan, untuk kemudian menyadari ada satu kerumunan asing yang begitu mencolok mata, mengalihkan atensi sang yakuza dan polisi untuk mendekat.

Samatoki mengira kalau ada pertarungan rap kelompok jalanan berstandar rendah dibalik keributan itu. Dengan mood yang sedang buruk begini, Samatoki ingin juga melancarkan rapnya dan menunjukkan pada cecunguk-cecunguk itu siapa yang berkuasa di Yokohama sekarang.

Namun, sepenggal rap berbahasa Perancis yang dilontarkan oleh suara perempuan yang cukup dikenalinya dari tengah-tengah kerumunan, menyulut emosi Samatoki seketika,hingga sejurus kemudian lelaki itu sudah mengeluarkan Hypnosis Microphone-nya. Samatoki melancarkan rap penuh amarah, Hypnosis Speakernya melancarkan gelombang-gelombang yang memukul telak para rapper jelanan itu hingga tak satu pun orang yang bisa berdiri kecuali perempuan itu.

"Berhenti pasang muka sok kuat dan kemarilah, Juri!" Samatoki berteriak setelah ia menyimpan lagi Hypnosis Microphone-nya. Juri pun mendekat dengan langkah tertatih sambil berusaha menutupi perutnya yang terbuka dan pakaiannya terkoyak-koyak. Melihat Juri begitu nelangsa, Samatoki luluh dan melepas jaketnya, menyerahkannya pada Juri sambil membuang muka.

"Samatoki-"

"Juuto, kuserahkan bajingan-bajingan ini padamu." Belum sempat Juri menandaskan kalimatnya, Samatoki menyela untuk menyuruh Juuto. Sepasang bola mata merah Samatoki kemudian beralih lagi pada Juri dan dengan nada yang dibuat-buat sok tegas, "Ikut aku dan jangan banyak tanya."

Detik itu, untuk pertama kalinya, Juri mengikuti Samatoki tanpa meluncurkan satu protes pun.

***

Juri tidak pernah tahu kalau sepasang tangan milik Aohitsugi Samatoki, sang yakuza, ternyata begitu lembut-terlepas dari aroma rokoknya yang tercium begitu kuat dan sela-sela jarinya yang menguning dibuat nikotin yang terkandung dalam gulungan tembakau yang biasa dihisapnya.

Samatoki juga menatap Juri sama lembutnya. Tangannya telaten membersihkan noda darah di wajah Juri yang terluka, terkena serangan brute force yang kekuatan merusak mentalnya tak seberapa namun memberi dampak kerusakan yang cukup besar, dibuat oleh kelompok rapper sok jago yang bikin kekacauan di Pecinan barusan.

"Berhentilah menunduk dan lihat aku!"

Juri menggeram kecil dan mengangkat dagunya, di saat yang sama dia memejamkan matanya agar ia tidak bisa melihat wajah Samatoki dekat sekali dengan wajahnya.

"Hei, apa apa denganmu?"

Tangan Samatoki berhenti mengoles pipi Juri dengan obat merah. Ketika Juri membuka matanya, ia juga menjumpai Samatoki bermuka masam dengan alis menukik dan bibir tertekuk tak senang.

"A-apa?" Juri bertanya, alih-alih terdengar gugup karena jantungnya yang masih berdebar-debar gila di balik rongga dadanya, dia memasang wajah polos andalannya.

"Jangan membalik pertanyaan dengan pertanyaan." Samatoki mendengkus sebal. "Kau dari tadi menghindariku. Kau takut aku mengoles yang tidak-tidak ke wajahmu, hah?"

"Bu-bukan begitu." Juri menyangkal, lagi-lagi tanpa sadar menunduk. "T-tapi rasanya aneh saja."

"Aneh?"

"Iya, aneh." Wanita itu menggaruk-garuk pipinya malu. "Kau tahu, kau tidak bersikap sebaik ini padaku. Jadi, aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Rasanya terlalu ganjil jika aku berterima kasih padamu setelah sekian tahun kita kenal satu sama lain, kita selalu bertengkar seperti anak kecil."

"Oh, kau menyadarinya?"

Juri lantas mendongak dengan mata membulat tak percaya. Detik berikutnya ia mendapati Samatoki menggaruk rambut putihnya sebelum bersidekap dengan wajah malu- malu.

"Kau hanya perlu bersikap seperti biasanya. Lagipula, aku tidak pernah benar-benar marah padamu-seperti kau bilang, hanya bertengkar seperti anak kecil."

"Kenapa begitu?"

"Hmm, karena kau juga perempuan?" Tiba-tiba saja pipi Samatoki berubah merah. "Aku tidak mau mengingkari diriku sendiri dan membuatmu sebagai pengeculian. Kau tetap seorang perempuan dan aku tetap harus respek terhadapmu, terlepas kau-mungkin-sama busuknya seperti Juuto. Yah, aku minta maaf karena aku selalu bersikap kurang ajar-tapi, hei, KAU YANG SELALU CARI GARA-GARA DENGANKU! JADI, KAU JUGA MINTA MAAF!"

Sikap malu-malu Samatoki membuat Juri kegelian sendiri. Wanita itu tertawa, tidak peduli lagi dengan pipi yang perih.

"Apa yang lucu?"

"Bu-bukan apa-apa." Tawa Juri berhenti, dia kembali memasang wajah dinginnya. "Hei, kalau kau ingin membersihkan lukaku, jangan setengah-setengah! Ayo, lanjutkan!"

"Ah, kau ini menyebalkan! Sini kemarikan pipimu!"

Mungkin Juri perlu berhenti bersikap menyebalkan pada Samatoki-

... siapa tahu dia bisa melihat wajah malu-malunya sang yakuza penguasa dunia bawah kota Yokohama itu.

- THE END -

----
Sudah lama aku tidak update Samatoki x OC... sejak kapan ya terakhir kali aku update? Gaya tulisanku juga jauh bedanya. Mungkin sebagai latihan untuk JyuDop Anthology-ku nanti?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro