Samatoki's Bunny

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Markas Mad Trigger Crew, Yokohama, tidak pernah absen dari suara-suara. Teriakan, biasanya, paling mendominasi. Sebab entah kenapa, anggotanya tidak bisa bicara dengan benar tanpa merendahkan desibel suara mereka (kecuali Riou, yang begitu kalem menangani segala sesuatu—atau otaknya sudah kelewat terbiasa dengan situasi ribut di medan perang sebelum ini).

Masalahnya, si ketua divisi—Samatoki Aohitsugi—malah jadi biang ribut nomor satu. Hobinya membantai, kalau tidak mencari gara-gara. Katanya, sih, hobi, tapi orang-orang berpikiran waras (bahkan kekasihnya sendiri; Sara Tokugawa) memilih untuk tidak percaya.

Seperti sekarang ini, misalnya.

"Sudah kubilang, kan?" omel Sara. Ia menahan lengan Samatoki dengan satu tangan, sedangkan tangannya yang bebas menggapai kapas beralkohol. "Jangan coba-coba bikin perkara kalau tahu di luar sana berbahaya."

Di depanmu, Samatoki menyeringai. Seolah mendengar omelan gadis itu adalah hiburan tersendiri baginya. Kalian duduk berhadap-hadapan, dan jelas bahwa lelaki itu bisa melihat bibir kekasihnya bergerak-gerak sembari membersihkan luka yang tertoreh di sekujur tubuhnya. Kalau diingat-ingat, pemandangan ini bisa termasuk jarang—mengingat seorang Sara Tokugawa lebih banyak mendusel ke dadanya dan bersikap begitu manis, juga manja, kepada Samatoki seorang.

(setidaknya, untuk yang satu itu ia bisa membanggakan diri)

"Mereka yang mulai, Sara-chan," punggungnya diputar sedikit hingga mencapai jangkauan Sara. "Aku cuma melindungi diri sendiri."—dan kalau saja dia tidak melindungi diri, kemungkinan Sara harus menyeretnya kembali ke markas dalam keadaan luka parah. Mengingat insiden tadi saja membuat dadanya panas lagi. Kalau saja Samatoki bisa membawa kepala orang-orang biadab itu pulang, mungkin menu makan malam mereka akan lebih 'menarik' dari biasa.

"Itu, kan, yang selalu Samatoki-kun katakan setiap kali habis berantem," gerutu gadis itu. "Masa' Samatoki-kun tidak jera-jera juga, sih? Aku khawatir sekali waktu Samatoki berdarah-darah seperti itu, tahu—"

Samatoki mendengus. "Kau mengingatkanku pada adikku."

Sesaat Sara berhenti.

"Aku tahu," jawaban gadis itu muncul dalam senyum tipis. "Samatoki-kun paling suka bicara soal itu."

Sebab hubungan mereka berdua sudah berjalan selama sekian lama (mungkin setahun, mungkin juga lebih; mereka tidak lagi menghitung-hitung kalender untuk merayakan hari jadi), Samatoki terus membanjirinya dengan kisah-kisah tentang adik perempuannya—yang rasanya sudah sangat akrab bagi Sara sekalipun kedua gadis itu tidak pernah benar-benar bertemu.

Ada kehangatan di hati Sara ketika Samatoki berceloteh panjang-lebar soal adiknya, sebab sorot mata lelaki itu akan melembut, dan untuk sesaat ia akan melupakan rokok yang terjepit di antara kedua jarinya. Suaranya menjelma kalem, seperti pendongeng ulung. Seolah-olah dunia Samatoki berhenti detik itu juga, dan Sara tidak keberatan berhenti bersamanya (karena suatu saat nanti, adik Samatoki akan menjadi iparnya, kan?).

Lebih-lebih lagi, ayo bermain logika. Samatoki sangat menyayangi adiknya, dan dia begitu sering membanding-bandingkan Sara dengan sang adik. Bukankah artinya Sara sama berharganya di mata Samatoki?

Gadis itu menggigit bibir, tanpa sadar mengusap area yang terluka lebih keras lagi sembari menyembunyikan pipinya yang perlahan-lahan membara.

"Dan kau akan terus mendengarku bicara seperti ini." Ia meringis sedikit ketika perih pada lukanya kembali berulah. "Mungkin kalau dia ada di sini—"

"—dia akan mengomelimu karena tidak hati-hati, atau menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa menjagamu," gumam Sara. "Nah, sekarang diam dulu. Luka yang ini lebih besar lagi—kubilang diam dulu, bukan meliuk seperti itu."

Kalimat itu boleh saja diucapkan dengan tegas, tapi bibir Sara yang maju dan pipinya yang mengembung membuat Samatoki sulit menanggapinya secara serius. Tangannya gatal untuk mengusap puncak kepala sang kekasih, menenggelamkan jemarinya ke dalam helai-helai rambut dan mengalirkan kehangatan ke sana.

"Kau ini benar-benar, ya."

Sara mengangkat wajah dan alisnya sekaligus. Mendapati Samatoki menatapnya lurus-lurus dengan sudut bibir mengedut, siap naik membentuk senyum kapan saja.

Sesaat, keduanya lupa akan segalanya. Soal luka-luka Samatoki, soal perkelahian yang sempat terjadi, juga soal tikus-tikus nakal yang sejak tadi menyusup di balik lemari perkakas. Sara menahan napas, menunggu kekasihnya kembali bicara.

Tapi Samatoki sama sekali tidak bicara, bahkan ketika perban yang dililitkan oleh Sara beberapa kali menyentuh titik lukanya.

**********

Sara sudah sangat terbiasa menghadapi Samatoki dan tim Mad Trigger Crew-nya bentrok. Sudah jadi makanan sehari-hari pula mencium aroma nikotin di markas, yang bercampur dengan bau kayu lapuk serta kapur pengusir tikus (yang kau curigai tidak berguna, sebab setiap harinya sajian berkonten daging tikus selalu muncul di meja makan).

Mungkin karena kebiasaan-kebiasaan aneh tapi nyata itulah, Sara tidak bersikap seperti gadis lain pada umumnya. Seperti pagar yang membatasi karakter laki-laki dan perempuan dalam dirinya bergeser begitu saja—dan, hei, Sara sama sekali tidak keberatan.

Sara juga sudah sangat terbiasa diminta menjaga markas. Pada saat-saat itu pula dia bisa mengenakan headphone, menyetel musik ke volume maksimal, dan melatih pita suaranya.

"Susah sekali menyentuh nada tinggi di sini," keluhnya. Sudah setengah jam berlalu, dan ia masih kesulitan menggunakan paru-parunya untuk menyanyikan nada tinggi di bagian refrain.

Sara mengalungkan headphone-nya ke leher, menenggak minuman di dalam botolnya, lalu menggosok-gosok kuping untuk menetralisir suara keras yang sejak tadi membentur gendangnya.

Jadi penyanyi dan rapper itu memang merepotkan (selain juga menyenangkan)—terlebih lagi pada situasi yang sedang tidak menentu seperti sekarang. Uang bisa datang dan pergi dengan mudah, dan Sara memilih untuk terbiasa dengan saat-saat ketika ia menghabiskan satu hari dengan mengudap makanan 'aneh' yang Rio buat.

Kalau tidak salah, beberapa tahun yang lalu agen pencari bakat mendatanginya. Mengulurkan kartu nama karena tertarik pada suaranya. Mereka bilang, Sara akan tumbuh menjadi penyanyi hebat— dan siapa yang tidak tergiur kalau sudah diiming-imingi gaji sebesar ratusan juta yen?

Baru saja nama Sara muncul di tangga lagu, ia sudah harus dilarikan ke MTC. Agensinya kacau balau, dan ia hanya bisa bertahan hidup di bawah naungan divisi terkuat Yokohama.

"Latihan lagi?"

Tersentak, Sara mengangkat wajah. Ada Samatoki di sana, menyeringai tepat di atas kepalanya, dan—ugh, apakah kupingnya masih berdenging sampai-sampai langkah kaki lelaki itu tidak terdengar?

Senyumnya merekah begitu saja. "Mmm! Aku sudah lama tidak latihan, jadi sesekali ingin mencoba saja—ehehe."

Jemari Samatoki menekan puncak kepala gadisnya dengan lembut, seolah sengaja menggunakannya sebagai tumpuan sebelum duduk di sisi Sara. "Aku mendengarmu nyanyi dari tadi," katanya sambil memutar bola mata. "Di pojok sana, tapi kau sedang tuli-tulinya, jadi kubiarkan saja."

"Padahal kalau Samatoki-kun memanggil dari tadi, aku mau isi energi sebentar dengan Samatoki-kun."

"Isi energi yang bagaimana—YANG BENAR SAJA, SARA."— bisa bayangkan wajah lelaki itu tidak jauh berbeda dengan kepiting rebus.

"Seperti biasa, kan?" Bibir bawah melengkung turun, kedua tangan dibentangkan. "Isi energi dulu habis capek latihan. Kenapa muka Samatoki-kun malah shock begitu?"

Kekasihnya mengerjap beberapa kali, menggeleng-gelengkan kepala seolah ingin mengibas pergi pikiran-pikiran buruknya, dan tergagap ketika menjawab, "A-aku—itu karena kau yang pakai istilah isi energi segala. Sial."

"Kenapa 'sial'?"

"Soalnya—" Samatoki menarik napas panjang. "—tidak. lebih baik kau tidak tahu."

"Curaaaang!" Sara menggembungkan pipi. "Aku paling tidak suka kalau Samatoki-kun main rahasia-rahasiaan begitu!"

Mendengar lelaki itu tertawa dan menariknya dalam dekapan sudah lebih dari cukup untuk meredakan rasa kesal Sara. Gadis itu selalu menyukai kehangatan yang menguar dari tubuh Samatoki ketika ia membungkus Sara dengan kedua lengannya, menekan kepala Sara ke dadanya, dan membiarkan gadis itu mendengarkan degup jantung sang kekasih. Sara menghirup napas dalam-dalam, membiarkan sedikit aroma khas Samatoki memenuhi paru-parunya.

"Kok bisa, ya, aku yang seperti ini suka padamu." Dengan gemas, jarinya mengusap-usap rambut Sara. "Kau sendiri juga merasa aneh, kan?"

Memang, Sara bergumam dalam hati. Sebab Samatoki dan dunia hardcore-nya tidak pernah berhenti mengejutkan Sara. Bahkan Jyuto dan Rio punya jalan pikir yang lebih masuk akal (sekalipun terkadang sama gilanya) kalau dibandingkan dengan Samatoki. Lelaki itu impulsif, kekanakan, berpikiran kotor, penuh kejutan—

Samatoki mengeratkan pelukannya, membelai punggung Sara dengan cara yang selalu membuat gadis itu mendengkur senang. "Tapi karena itu kau menyukaiku, kan?"

Benar.

Mungkin karena itulah Sara tertarik. Seperti anak kucing yang menyukai nyala senter, seperti anjing kecil yang antusias ketika melihat bola, Samatoki adalah sosok yang membuat Sara ingin selalu—dan terus—menatapnya.

Dan Samatoki adalah miliknya (dan milik adik Samatoki, tentu saja). Sara mengetahuinya sejak Samatoki harus berbaring di tempat tidur karena radang setelah mati-matian melindungi dirinya dari gerombolan preman. Samatoki adalah miliknya sejak ia duduk di sisi Sara dan mendengarnya bernyanyi sampai ketiduran. Samatoki adalah miliknya sejak ia menjauhkan asap rokok dari area penciuman Sara, tahu betul kalau gadis itu tidak menyukai aroma nikotin (yang secara harfiah adalah asupan wajib bagi Samatoki serta tim Mad Trigger Crew lainnya).

"Kalau aku bilang aku sangat, sangat, sangat sayang sama Samatoki-kun," gumamnya manja, "Apa Samatoki-kun percaya?"

Sesaat, Samatoki melonggarkan lengan. Kedua tangan menekan pundak sang kekasih dan separuh memaksa Sara untuk saling menatap.

Tapi tidak lama kemudian, Samatoki memalingkan wajah. Raut Sara kelewat polos—juga memesona—sampai-sampai ia tidak mungkin tidak tersipu jika terus-terusan memandanginya. Jawaban lelaki itu muncul beberapa detik setelahnya.

"Tidak usah bilang pun sudah sangat kelihatan, tahu."

Sara terkikik, dan kembali melingkarkan tangannya ke sekeliling punggung Samatoki.

********

"Sudah kuduga kau akan kabur ke sini dan bukannya ikut patroli."

Samatoki mematung. Sara memutar badan, hanya untuk bertemu pandang dengan Jyuto Iruma yang entah sejak kapan berdiri di baliknya.

Suara Jyuto, seperti biasa, menciptakan aura gelap dan mencekam. Adegan kedua sejoli itu terpaksa berhenti karenanya. "Beri aku alasan bagus untuk tidak menghajarmu di depan mata Sara."

Samatoki, cuek seperti biasa, merapikan (atau justru membuat berantakan?) rambutnya dan menjawab tenang, "Memang kau berani?"

"Berani saja."

Dan tiba-tiba saja Samatoki sudah berdiri—lebih tepatnya, dipaksa untuk berdiri—dengan jemari Jyuto mencengkeram kerah kemejanya dengan begitu kuat. Sara membelalak, terlalu shock sampai-sampai memekik saja tidak bisa.

Apa-apaan itu?

"Kau boleh saja melanggar aturan, tapi aku juga boleh bersenang-senang menyiksamu sebagai balasan." Punggung Samatoki membentur dinding, dan entah kenapa rasa sakit serupa ikut menjalari punggung Sara. "Bagaimana kalau aku mengajakmu bermain sebentar dan membuat otakmu kembali ke tempat yang benar?"

Tapi bukan Samatoki namanya kalau mempan digertak seperti itu. "Jyuto, kau berlebihan."

Di sisi lain ruangan, Sara mengepalkan jemarinya begitu kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Tapi dia memilih untuk menunggu. Matanya tidak juga lepas dari punggung Jyuto, dan seolah siap membolongi punggung itu kalau lelaki itu berani macam-macam.

"Aku tidak berlebihan." Genggaman Jyuto pada kerah Samatoki mengerat. "Bilang 'maaf' dulu dan aku akan membebaskanmu. Kalau tidak..."

Samatoki terkekeh. "Kalau tidak?"

"Mungkin kau bisa dapat luka yang lebih parah dari digebuki sepuluh preman sekaligus." Tangan Jyuto yang bebas sudah melesak ke saku celana, siap mengeluarkan entah apa yang ada di dalam sana. "Jadi kau punya waktu beberapa detik untuk mengaku dosa—"

Ini sudah kelewatan.

Napas Sara seolah meledak dalam satu kalimat histeris. "PERLAKUKAN SAMATOKI-KUN SEPERTI ITU SEKALI LAGI DAN AKU AKAN—"

"Kau akan apa?'

Otak Sara cepat mencari-cari ancaman paling untuk polisi preman itu. "—memasang kuping kelinci di kepalamu dan menancapnya dengan paku." senyum Sara yang tersungging setelahnya begitu manis—kelewat manis, malah, sebab bibir yang tertarik itu memberi sinyal bahaya bagi Jyuto. "Bukannya seorang rabbit seharusnya pakai kuping kelinci dan bersikap manis, ya?"

Wajah Jyuto berubah. "Jangan aneh-aneh, Tokugawa."

"Aku tidak aneh-aneh," sahut Sara santai, sesantai ketika Jyuto melontarkan kalimat 'aku tidak berlebihan'-nya. "Samatoki-kun ingin menghabiskan waktu denganku kapan saja dia mau, dan Jyuto-kun tidak boleh seenaknya mengganggu."

Jyuto menekan cuping hidungnya dengan lelah. "Patroli lebih penting dari sekadar pacaran, Tokugawa."

"Hanya karena Jyuto-kun tidak pernah pacaran, bukan berarti apa yang kami lakukan itu tidak penting." Sara meninggikan suaranya. "Bagaimana kalau Samatoki-kun tiba-tiba kena masalah waktu patroli, ketika seharusnya dia aman-aman saja di sini, bersamaku?"

"Tokugawa—"

"Heh," kekeh Samatoki. Dengan mudahnya ia menepis tangan Jyuto dari dadanya, dan langsung menarik Sara mendekat. "Lihat apa yang kelinci kecilku bisa lakukan pada kelinci bangkotan sepertimu."

Untuk sesaat Jyuto terdiam, sebelum akhirnya menghela napas pasrah. "Aku benar-benar tidak bisa menang dari kalian berdua, ya."

"Memang tidak." Sara tertawa. Samatoki ikut tertawa bersamanya, mencengkeram gadisnya dengan cara yang begitu protektif.

Kalau sudah begini, Jyuto sudah tidak bisa apa-apa lagi, kan?

__________

Note:

- Sara Tokugawa adalah anggota dari divisi Tokyo, "Off the Hook". Biografi dan detailnya ada di buku divisinya sendiri di dalam akun ini. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro