12. Lucca vs Alessio

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 12 Lucca Vs Alessio

Selena memutar kepalanya ke belakang, tepat ketika Pamela berhasil mencengkeram rambut di kepalanya. Menarik tubuhnya ke belakang hingga melengkung dan nyaris mematahkan tulang punggungnya.

“Dasar gadis murahan. Beraninya kau menggoda kekasihku, hah? Berapa banyak yang kau dapatkan hingga kau merendahkan diri untuknya? Berapa harga tubuh murahanmu ini, hah?!”

Satu tamparan keras mendarat di pipi Selena. Yang bahkan tak diberi kesempatan untuk menghindar. Apalagi melawan.

Jambakan Pamela semakin kuat, sebelum kemudian mendorong tubuh tak berdaya Selena ke arah dinding.

Punggung Selena menghantam dinding dengan keras. Sebelum kemudian jatuh ke lantai yang dingin. Dan Pamela masih tak berhenti sampai di sana.

“Gadis pel*cur.” Satu pukulan mendarat di kepala Selena. “Bagaimana mungkin gadis rendahan sepertimu berani bersaing denganku, hah?”

Tangan Pamela kembali menjambak rambut Selena dengan cengkeraman yang begitu kuat. Menarik tubuh Selena yang lemah kembali berdiri, hanya untuk kembali dibanting ke arah wastafel.

Selena memekik kesakitan ketika perutnya membentur meja wastafel. Tubuhnya jatuh berbaring di lantai dengan keras. Rasa sakit yang teramat menusuk di perutnya. Ditambah hantaman di kepala yang membuatnya pusing, semakin membuatnya tak berdaya oleh serangan dan makian Pamela. Hingga ia tak bisa menahan rasa sakit yang lebih banyak dan membiarkan kegelapan menyelimuti pandangannya.

Napas Pamela terengah, tenaganya sudah habis untuk menghajar gadis yang telah berani menarik perhatian kekasihnya. Tetapi ia masih belum puas untuk melampiaskan kecemburuannya pada gadis murahan dan kotor yang sudah berbaring tak bergerak di hadapannya.

Pamela bersumpah harus memberi pelajaran yang lebih banyak lagi. Membuat gadis sialan itu membayar perbuatannya dengan sangat mahal.

Perlahan, napas Pamela mulai kembali normal. Saat pandangan wanita itu melihat genangan darah yang merembes di antara kedua kaki Selena. Wajah Pamela seketika memucat. Menggunakan kakinya untuk menendang lutut Selena.

”Apa yang sudah kulakukan?” Suaranya diselimuti getaran, ketakutan mulai merambati dadanya. Bagaimana jika gadis itu mati?

Ya, ia memang berniat memberi gadis itu pelajaran, tapi tak menyangka kecemburuan dan kemarahannya akan menjadi seserius ini. Tubuh Pamela terhuyung ke belakang. Lekas berlari keluar dari toilet. Dan satu-satunya orang yang bisa membantunya keluar dari masalah ini hanya satu. Sang kakak.

*** 

“Tenanglah. Dokter sudah menanganinya. Dia hanya pingsan.” Alessio berusaha menenangkan sang adik yang ada di seberang. “Aku sudah memastikan semua CCTV berada di tanganku. Tak ada saksi. Saat dia bangun, aku akan memastikan dia tak membuka mulut.”

“…”

“Ya, anggap saja tak ada apa pun yang terjadi. Aku akan menanganinya. Seperti biasa.”

“…”

“Lucca?”

“…”

“Kembalilah bersenang-senang. Dan bersikap seperti tak ada apa pun yang terjadi.” Alessio mengakhiri panggilan tersebut. Menurunkan ponsel dari telinga dan tatapannya mengarah pada pintu putih yang ada di hadapannya. Tempat dokter sedang menangani Selena.

Kedua alisnya saling menyatu. Penuh tanya dan keheranan. Adiknya sering membuat masalah, yang selalu ia bereskan dengan rapi. Akan tetapi, masalah adiknya kali ini membuatnya bertanya-tanya. 

Kenapa Pamela tiba-tiba menyerang anak buahnya? Yang bahkan hampir tak dikenal oleh sang adik. Dan sepertinya ia tak perlu mendapatkan penjelasan dari Pamela.

Ponselnya kembali bergetar. Menampilkan satu pesan dari anak buahnya. Berisi sebuah rekaman. Ketika Selena memasuki toilet, menyusul Lucca, dan tak lama Pamela ikut muncul.

Langkah sang adik berhenti di depan pintu toilet, terkejut dengan pandangan mengarak ke dalam. Alessio tak perlu menebak pemandangan macam apa yang ditemukan sang adik. Melihat Selena yang turun dari mobil Lucca tadi pagi sudah cukup menjelaskan padanya hubungan macam apa yang ada di antara karyawannya dan pria berengsek itu. Sejak awal, ia sudah tak menyetujui hubungan Pamela dan Lucca. Tahu dengan pasti apa tujuan pria itu mendekati adiknya.

Tetapi ia selalu dilemahkan oleh Pamela yang begitu memuja pria itu hingga dibutakan. Hanya Pamela satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Saat ia menyadari Lucca yang sengaja mendekati adiknya, semua sudah terlambat untuk dicegah.

Kedua tangannya terkepal, seperti apa yang pernah dilakukannya pada Lucca. Pria itu membalas dengan cara yang sama.

Pintu ruangan di depannya terbuka. Membelah ketegangan yang menyelimuti tubuh Alessio. Seorang dokter melangkah keluar. Menanyakan hubungan kekerabatan dirinya dengan Selena.

“Saya kakaknya,” jawab Alessio berbohong. “Apa yang terjadi dengan adik saya?”

“Ada luka cukup serius di bagian kepala. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan tidak ada luka dalam yang cukup serius. Akan tetapi keadaan pasien yang sedang hamil, tidak memungkinkan untuk melakukan CT scan. Demi keselamatan bayi dalam kandungan pasien.”

Mata Alessio membeliak terkejut. “Hamil?”

Sang dokter mengangguk meski tampak terheran akan ketidak tahuan Alessio. “Ya. Pendarahan yang dialami pasien baru saja hampir membuat janin dalam kandungan beliau tidak terselamatkan. Akan tetapi kami berhasil menghentikan pendarahan.”

Alessio semakin dibuat tercengang dengan informasi tersebut. Satu-satunya kecurigaan yang muncul di benaknya adalah hubungan Lucca dan Selena yang tidak sesederhana itu. 

“Saat ini pasien masih belum sadarkan diri dan perawat sedang mempersiapkan pasien untuk dipindahkan ke ruang perawatan.”

Alessio mengerjap dengan lanjutan penjelasan sang dokter. Mengangguk singkat dan berkata, “Saya akan segera mengurus semua administrasi dibutuhkan.”

*** 

Alessio menatap wajah polos Selena yang pucat. Mata gadis muda itu masih terpejam. Masih belum sadarkan diri sejak setengah jam yang lalu dipindahkan ke ruang perawatan.

Benak Alessio dipenuhi dengan dendam Lucca terhadapnya. Hubungan yang sudah memburuk sejak lima belas tahun yang lalu.

‘Aku bersumpah, kau akan membayar dengan sangat mahal atas nyawanya,’ sumpah itu bergema di benaknya. Kemarahan dan kebencian yang begitu pekat membuat bola mata Lucca tampak memerah. Dan ia tak pernah melupakan sumpah tersebut. Yang tak berhenti menghantui hidupnya. Yang tak berhenti membuatnya cemas setiap kali memikirkan sang adik.

Erangan pelan dari arah ranjang membelah lamunan  Alessio. Mata Selena bergerak-gerak pelan dan kesadaran perlahan kembali.

Alessio memasang ekspresi seapik mungkin. Menyentuh telapak tangan Selena yang mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Kau sudah bangun?”

Selena masih berusaha menelaah ingatan terakhirnya. Pesta, Lucca, dan Pamela. Dan ia tak benar-benar ingat bagaimana kesadarannya tiba-tiba hilang. “T-tuan Alessio?”

Alessio menahan pundak Selana agar tetap berbaring di ranjang. “Berbaringlah.”

“Di mana ini?”

“Rumah sakit. Apa kau ingat apa yang terjadi? Aku menemukanmu pingsan di toilet.”

Selena tak menjawab. Apa yang harus dijelaskannya pada pria tersebut?

“Kau mengalami pendarahan dan hampir kehilangan bayimu.”

Selena membeliak. Bibirnya yang sudah pucat semakin dibuat kelu dengan kalimat tersebut.

“Kau belum menikah. Apakah aku boleh menanyakan satu hal padamu?”

Selena masih bergeming. Kesulitan menelaah keterkejutannya.

“Siapakah ayah dari anak dalam kandunganmu?”

Selena menelan ludahnya. Benar-benar dibuat tak berkutik dengan pertanyaan tersebut. Ketegangan menyelimuti seluruh tubuhnya. Untuk beberapa detik yang terasa begitu lama, keduanya diselimuti keheningan. Hingga suara pintu yang dibuka dengan kasar memecah perhatian keduanya sekaligus menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan Alessio.

Lucca Enrico berdiri di ambang pintu. Pria itu sempat terkejut dengan keberadaan Alessio di ruangan tersebut. Tetapi dengan cepat berubah menjadi seringai.

“Kau di sini?” Lucca melangkah masuk. Tanpa melepaskan pandangan dari sorot Alessio yang menajam dan berhenti tepat di depan pria itu.

“Apa hubunganmu dengan Selena?” desis Alessio. “Apa yang kauinginkan dari Pamela?”

“Apa yang kuinginkan dari Pamela?” seringai Lucca tersungging lebih tinggi. Kelicikan begitu pekat di kedua matanya. Bercampur dendam dan kebencian yang menjadi satu. “Kau tahu benar apa yang kuinginkan darinya, Alessio. Kali ini, kehancuran yang kurasakan. Tak akan menjadi kehancuranmu sendiri. Tapi akan menjadi akhir dari hidup kalian berdua.”

***
Di karyakarsa sudah mau ending, ya. Yang ga sabar bisa langsung gercep ke sana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro