13. Dendam Masa Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 13 Dendam Masa Lalu

Selena sudah cukup dikejutkan dengan Alessio yang mengetahui hubungannya dengan Lucca. Dan keterkejutannya semakin disempurnakan dengan tujuan Lucca mengencani Pamela adalah karena pria itu ingin menghancurkan Alessio.

Masa lalu apa pun yang keduanya miliki, sepertinya itu adalah hubungan yang buruk. Amat sangat buruk melihat betapa menegangkannya aura yang menguar dari tubuh kedua pria itu.

“Kau hanya mempermainkannya?” 

Lucca hanya terkekeh. “Apakah aku harus menyangkalnya agar terdengar seperti aku punya hati?”

“Berengsek kau, Lucca,” geram Alessio menghambur ke arah Lucca. Menangkap kerah leher pria itu. Akan tetapi dengan cekatan Lucca menarik pistol di pinggang Alessio. Dan dengan kecepatan yang kilat, moncong pistol itu sudah menempel di kening Alessio.

“Kau masih saja ceroboh, Alessio,” dengu Lucca mengecek. 

Selena membekap pekik terkejutnya dengan kedua telapak tangan. Pertengkaran kedua pria itu tak hanya akan menjadi baku hantam yang serius. Kemungkinan besar akan menjadi pertumpahan darah.

“Kau ingin aku mengirim mayatmu ke apartemen adikmu? Atau … menguburnya di halaman belakang rumahku?” senyum Lucca penuh kepuasan. “Jika kau bersikap baik, aku akan memastikannya tidak kelaparan.”

Alessio menggeram. Wajahnya merah padam, senada dengan kedua matanya yang berkobar oleh amarah. Namun semua kemarahannya harus ia injak kuat-kuat oleh moncong pistol di pelipisnya. Setidaknya ia harus bernyawa untuk melindungi adiknya, kan?

Cekalan Alessio pada kerah Lucca terpaksa melonggar. Seringai Lucca semakin tinggi. Ketika Alessio bergerak mundur, dengan cekatan Lucca mengeluarkan isi peluru di dalam pistol dan mengantonginya sebelum membuang pistol tersebut ke kaki Alessio.

Alessio membungkuk untuk mengambil pistolnya. Sekilas melirik ke arah Selena yang sepucat mayat. Sempat menurunkan pandangan ke perut Selena sebelum beranjak menuju pintu.

Setelah pintu dibanting tertutup, Selena masih kesulitan untuk bernapas dengan pemandangan yang baru saja disaksikan oleh kedua mata kepalanya sendiri. Tak hanya kata-kata Lucca yang terdengar begitu keji dan tanpa hati. Sekarang satu persatu, setiap lapisan wajah Lucca yang sebenarnya telah terbuka. Dan semua itu terlalu mengerikan utnuk dicari tahu lebih dalam. Firasat Selena untuk yang satu ini tak akan meleset.

“Sepertinya kau harus kehilangan pekerjaan kesayanganmu itu,” sesal Lucca dengan penyesalan yang dibuat-buat. Pria itu berjalan ke samping ranjang. Sedikit membungkukkan tubuh untuk menyentuhkan telapak tangannya di perut Selena. “Beruntung anakku masih hidup. Jika tidak, aku pasti akan kesulitan menahan diri untuk membunuhnya dan adiknya di depanmu.”

Selena menelan ludah. Suara Lucca penuh dengan ketenangan, tetapi berhasil membuat gadis itu tercekik oleh ketakutan. Tangan pria itu kemudian bergerak naik, menyentuh wajah dan menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga.

“Istirahatlah. Kau sudah kehilangan banyak darah dan harus banyak istirahat untuk memulihkan tubuhmu dan janin dalam kandunganmu.” Kali ini suara Lucca lebih lembut, tetapi ancaman yang tersirat di balik tatapan pria itu begitu kental. Membuat Selena membaringkan tubuh kembali ke ranjang pasien dengan sikap patuh.

Selena sengaja mencari posisi nyaman dengan memunggungi Lucca. Yang masih dengan penuh perhatian menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Matanya terpejam, tak berhenti merutuki keputusannya yang mendatangi rumah pria itu pada malam itu.

Siapa sebenarnya Lucca Enrico?

Selena tak mendapatkan jawabannya hingga benar-benar terlelap dalam tidurnya pada malam itu.

*** 

Tiga hari kemudian, barulah dokter bisa memastikan keadaan Selena cukup baik untuk melakukan rawat jalan. Begitu pun dengan janin dalam kandungan gadis itu setelah melakukan pemeriksaan USG.

Dan sepanjang Selena di rumah sakit, Lucca tak berhenti melepaskan pengawasan darinya. Setiap pagi pria itu pergi untuk mengurus pekerjaan dan akan kembali pada sore hari. Bermalam di ruang perawatan Selena.

Saat pria itu tidak ada, ada dua perawat yang menjaganya. Melayani semua kebutuhannya dan memastikannya tidak turun dari ranjang. Pun alasan tubuhnya yang terasa pegal karena terlalu banyak berbaring, ditolak mentah-mentah oleh Lucca. Yang bahkan menuduhnya dengan dalih itu untuk membunuh anak dalam kandungannya.

Selena benar-benar dibuat frustrasi. Dan berpikir kefrustrasian itu akan mulai berkurang setelah dokter membolehkannya untuk pulang.

Akan tetapi, semua harapan itu tak lebih dari sebuah kesemuan. Lucca membawanya pulang, bukan ke apartemen. Tetapi ke kediaman pria itu.

“Kau masih berpikir akan melukainya di belakangku?” dengus Lucca ketika Selena mengatakan ingin kembali ke apartemen saja begitu mobil mulai memasuki area perumahan.

Selena menggeleng dengan cepat meski tahu Lucca tak akan semudah itu mempercayainya. 

Lucca mencondongkan tubuh ke arah Selena. Menyentuh ujung dagu gadis itu dan mendongakkannya. Salah satu ujung bibirnya terangkat.

“Aku sudah mengatakan padamu akan melakukan apa pun yang kau inginkan.”

“Janji?”

Selena menelan ludah. Cara Lucca mengulang kata itu sama sekali tak menunjukkan ketertarikan. Seolah itu hanyalah omong kosong.

“Tepati janji itu untuk dirimu sendiri, gadis muda.” Lucca menyentakkan wajah Selena. “Aku tak pernah memegang janji siapa pun.”

Selena meringis merasakan gigitan di bibir bagian dalamnya akan penolakan mentah-mentah Lucca. 

“Kenapa kau masih tak belajar untuk memahami dengan siapa kau tengah membuat kesepakatan, Selena?” dengus Lucca dengan tatapan gelinya. “Hanya kematianlah jawabannya jika kau memutuskan untuk mundur dari kesepakatan ini.”

“Kau bahkan tak menepati keepakatan kita.” Selena masih tak menyerah. Kepatuhannya sama sekali tak berguna, mendorongnya untuk melakukan cara yang sedikit lebih keras kepala.

“Ah, kau lupa. Kesepakatan itu hanya berlaku untukmu.” Jawaban Lucca dipenuhi kelicikan.

Kedongkolan seketika memenuhi dada Selena. Tatapannya mengeras dengan bibir yang menipis. Siap mengeluarkan makian untuk keberengsekan dan kelicikan Lucca. Akan tetapi kecepatan mobil yang semakin melambat, membuatnya kembali menelan semua itu. Mobil mulai memasuki area rumah Lucca.

Perhatian Lucca pada Selena teralihkan oleh seorang pengawal yang mendekati mobilnya. Sopir pun menghentikan mobilnya dan pengawal itu berhenti tepat di depan jendela mobil tempat Lucca duduk.

Lucca menurunkan kaca mobil. “Ada apa?”

“Nona Pamela.”

Pandangan Lucca mengarah pada mobil merah muda yang baru dilihatnya terparkir tak jauh dari teras rumahnya. Begitu pun dengan Selena, yang langsung mengedarkan pandangan ke sekitar mobil untuk mencari keberadaan Pamela. 

Tapi wanita itu muncul setelah Lucca mengangguk singkat pada sang pengawal dan mobil mendekati teras rumah.

Selena melihat Pamela yang mengenakan rok mini dari bahan denim dengan atasan tanktop berwarna putih. Mengenakan heels berwarna putih menuruni undakan untuk menghampiri mobil yang ia dan Lucca naiki. Namun tertahan oleh dua pengawal yang mencegah wanita itu bergerak lebih banyak.

“Tunggu di sini,” pintah Lucca. Membuka pintu mobil dan turun tanpa lupa menutup pintu.

Selena hanya bisa menyaksikan punggung Lucca yang mendekati Pamela. Entah apa yang dikatakan oleh wanita itu, Lucca tampak sama sekali tak peduli. Sikap pria itu pada Pamela berubah 180 derajat. Tak ada lagi kelembutan dan perhatian yang dibuat-buat. Begitu dingin dan tak punya hati, bahkan ketika Pamela memohon dan bersimpuh di kaki pria itu. Dengan mudahnya Lucca mendorong tubuh wanita itu hingga tersungkur di lantai.

Hingga akhirnya Lucca memberikan satu isyarat pada pengawal untuk menyingkirkan Pamela dari hadapan pria itu.

Pamela tampak histeris ketika kedua pengawal Lucca mencekal lengannya. Menyeret wanita itu yang meronta ke arah mobil hitam yang sudah siap. Pamela memberontak, sekuatnya hingga membuat kedua pengawal itu kewalahan dan memutuskan untuk memukul pundak wanita itu hingga jatuh pingsan.

Selena membekap mulutnya. Tak percaya dengan kekejaman seorang Lucca Enrico, yang bahkan tak pandang bulu untuk bersikap keji pada seorang wanita. Tubuh Pamela diseret dan dimasukkan ke dalam mobil hitam. Salah satu pengawal masuk ke dalam mobil berwarna merah muda dan kedua mobil itu melaju menuju gerbang tinggi. Menghilang dari pandangan Selena yang tubuhnya bergetar oleh kengerian.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro