15. Mulai Mencari Titik Terang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 15 Mulai Mencari Titik Terang

Suara jatuh dari samping ranjang membuat Lucca membalik tubuhnya. Kepalanya sedikit pusing ketika menatap langit-langit kamar dan terkekeh. Sungguh tolol jika berpikir benda semacam itu akan membuatnya mati. Tangannya bergerak menahan darah mengalir lebih banyak dari luka di perutnya. Bangun terduduk dan melihat tubuh Selena yang tak bergerak dan tergeletak di lantai. Sembari meraih ponselnya yang ada di nakas, memberikan perintah singkat pada orang di seberang hanya dengan satu kata. “Masuk.”

Lucca nyaris tak bisa menahan tawa setiap kali mengingat kejadian pada malam itu. Menertawakan kebodohan Selena, dan kepucatan di wajah gadi itu seketika berubah menjadi kemarahan.

“Berengsek kau!” Selena tak menunggu setengah detik pun untuk melampiaskan kemarahan dengan meraih barang ada di meja wastafel lalu melemparkan ke arah Lucca. Tapi gerakan sigap Lucca berhasil menangkis lemparan tersebut dan melangkah ke arah gadis itu dalam satu langkah besar. Menangkap pinggang dan menyeret tubuh Selena keluar dari kamar mandi.

“Apakah kita harus melanjutkan apa yang tertunda malam itu?” Lucca melempar tubuh Selena ke ranjang. Mencekal kedua tangan Selena di atas kepala. Sepenuhnya melumpuhkan rontaan gadis itu.

“Aku membencimu, Lucca,” desis Selena di bawah wajah Lucca yang melayang di atasnya dengan jarak yang begitu dekat. Saat itulah ia menyadari seringai menjijikkan pria yang pada malam itu nyaris memperkosanya sama persis dengan seringai Lucca.

Saat itu Selena masih dalam pengarug alkohol yang membuat kepalanya pusing dan pandangannya kabur. Jadi tak benar-benar mengingat wajah pria tersebut.

Lucca mencengkeram kedua tangan Selena dan memakunya di atas kepala. “Sekarang aku ingin mendengarmu mengerang untukku,” bisiknya tepat di depan telinga Selena. Menggigit daun telinga Selena dengan sentuhan yang cukup kuat sekaligus lembut.

Selena benar-benar dibuat tak berdaya. Bahkan hanya untuk menggerakkan wajahnya. Ciuman Lucca meninggalkan jejak di sepanjang garis rahang, berhenti di leher.

Tubuhnya masih tak berhenti meronta. Tak berhenti berusaha untuk lolos dari tindihan pria itu meski tak membuahkan hasil. Ditambah dorongan emosi yang begitu kuat dari dalam dirinya membuat perutnya mendadak terasa kaku.

“Perutku,” rintih Selena. Terpaksa menghentikan rontaannya.

Ciuman Lucca berhenti. Rintihan Selena begitu lirih, tetapi bibir gadis itu berada tepat di telinga sehingga ia bisa mendengarkan dengan sangat jelas. Ia mengangkat wajahnya, menatap seluruh permukaan wajah Selena yang memucat.

“Jangan main-main denganku, gadis muda,” desis Lucca mengancam. Matanya memicing tajam, tak sepenuhnya percaya dengan ringisan Selena yang terlihat seperti menahan rasa sakit. Ia menambah tekanan pada cekalannya di pergelangan tangan gadis itu. 

Mata Selena terpejam, air mata meleleh di ujung mata. Saat ia berusaha memiringkan tubuh, Lucca sedikit melonggarkan tekanan pada tindihan pria itu. Sekaligus melepaskan kedua tangannya.

Bibir Lucca menipis keras menyadari rasa sakit Selena ternyata tak main-main. Dan ia dibuat terpaksa peduli pada gadis itu dan cemas terhadap janin dalam kandungan Selena.

Ya, ia memiliki tujuan dengan menghamili gadis itu. Bukan wanita-wanita lain yang bersedia naik ke ranjangnya dengan suka rela.

“Bangun.” Lucca menarik tubuhnya sekaligus tubuh Selena untuk duduk. Gerakannya kuat meski tak cukup menyakiti gadis itu. Kemudian pria itu beranjak turun dari tempat tidur dan menggendong tubuh mungil tersebut keluar dari kamar.

Tubuh Selena terasa lemas, membuatnya tak kuat untuk memberontak dari keinginan Lucca meski kemarahan di dadanya masih begitu membara terhadap pria itu. Kepalanya terjatuh di dada Lucca. Berusaha mengatur napasnya dengan baik dan perlahan rasa kaku di perutnya mulai berkurang.

“Langsung ke rumah sakit,” perintah Lucca pada si sopir yang memang sudah bersiap sejak tadi. Seorang pengawal menutup pintu mobil, yang langsung melaju meninggalkan halaman.

Rintihan Selena tak terdengar lagi. Perutnya juga mulai terasa lebih baik ketika menyadari tubuhnya yang masih bersandar pada Lucca. Selena lekas menarik diri, menepis rangkulan dan pegangan Lucca dari tubuhnya dan menjauh hingga punggungnya menyentuh pintu mobil.

Lucca yang menyadari gerakan defensif tersebut hanya mendengus tipis. Wajah Selena tampak sudah baik-baik saja. Ringisan gadis itu sudah berubah menjadi tatapan amarah. “Sudah membaik?”

Selena tak menjawab. Pandangannya bergerak turun ke arah kemeja Lucca yang masih belum dikancingkan, menampilkan bekas luka tusukan yang ia tinggalkan di sana. “Seharusnya aku memastikanmu mati di sana sebelum jatuh pingsan.”

Lucca terkekeh. “Ya. Seharusnya kau memang tak selemah itu.”

Kedua ujung bibir Selena mengeras. 

“Rupanya hidupmu yang keras dengan penderitaan dan kesialan yang diberikan pamanmu masih tak cukup membuatmu kuat untuk hidup di dunia yang keras ini, ya?” dengus Lucca mengejek. “Lain kali, jika kau ingin membunuhku, pastikan kau memeriksa napasku sudah tidak ada.”

Kedua mata Selena menajam. “Ya, aku akan melakukannya,” sumpahnya dengan kedua tangan yang mengepal kuat di pangkuannya.

Lucca kembali tertawa dengan sumpah tersebut. Menatap penuh arti pada kedua mata jernih Selena yang kemudian melengos ke arah kaca jendela.

*** 

“Ya, hal tersebut wajar jika kram yang dialami tidak bertahan lama. Selama tidak ada pendarahan, semuanya baik-baik saja,” jelas dokter. 

Selena sendiri tak butuh mendengarkan semua penjelasan tersebut. Kini perhatiannya berhenti pada Lucca yang berdiri di samping ranjang. Pandangan pria itu begitu fokus pada layar monitor di dinding dan sang dokter. Fokus mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama. Dan untuk sesaat, ia menangkap kecemasan yang berusaha disembunyikan di balik raut datar dan dingin pria itu.

Pandangan Selena bergerak turun, melihat tangan Lucca yang mengepal. Dan semua itu cukup menjelaskan betapa pedulinya Lucca pada janin dalam kandungannya. Terbukti Lucca yang langsung menghentikan sikap kasarnya begitu ia merintih karena perutnya yang tiba-tiba sakit.

Tak pernah terbersit di benaknya untuk memikirkan ide tersebut. Menggunakan anak dalam kandungannya untuk melawan Lucca. Tapi sekarang Selena tahu kelemahan pria itu.

“Detak jantung dan pertumbuhan janinnya normal. Ibu dan janin dalam keadaan sehat dan tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Lamunan Selena terpecah dengan penjelasan tersebut. Sempat melihat satu helaan napas lolos dari bibir Lucca sebelum ia berpaling karena kepala pria itu yang kemudian bergerak ke arahnya.

Selena menepis tangan Lucca yang hendak membantunya duduk dan turun dari ranjang. Vitamin dan obat pencegah mualnya masih ada sehingga dokter tak perlu meresepkan apa pun.

Keduanya keluar dari ruangan dokter dengan tanpa mengatakan apa pun. Begitu pun sepanjang perjalanan kembali ke rumah.

“Perhatikan langkahmu, Selena.” Lucca menangkap lengan Selena yang hendak terpeleset ketika menaiki undakan teras rumah.

Selena tersentak pelan, kemudian menepis tangan Lucca dan menyeimbangkan tubuhnya kembali dan masuk ke dalam rumah lebih dulu.

Setelah memastikan dirinya masuk ke dalam kamar dan memerintah pelayan serta penjaga untuk bersiaga di depan pintu kamar, barulah Lucca pergi ke ruang kerja.

Selena duduk bersandar di kepala ranjang dan tercenung. Benaknya mulai memutar tentang Lucca yang tiba-tiba muncul di hidupnya. Pertemuan pertama mereka di klub malam, pria itu yang diam-diam melakukan inseminasi buatan padanya, membelinya dari sang paman dan menyeretnya menemui pria itu hingga terjebak dalam pernikahan mereka. Juga … hubungan pria itu dengan Alessio dan Pamela.

Ah, Alessio?

Kerutan di kening Selena semakin menukik tajam. Mencoba menghubungkan benang merah di antara semuanya. Tetapi ia masih tak menemukan kenapa pria itu menargetkan dirinya sejak awal selain menggunakan dirinya untuk memprovokasi Pamela.

Namun Selena menyangsikan alasan tersebut karena dirinya bukan siapa-siapa dibandingkan Pamela. Juga kepedulian pria itu yang begitu besar pada anak dalam kandungannya. Kenapa pria itu begitu terobsesi pada seorang anak?

Alessio.

Lagi-lagi nama itu muncul di benaknya?

Mungkinkah pria itu memiliki sesuatu yang akan menjawab semua tanya di benaknya?

Selena mengangguk. Ya, ia harus menemui pria itu. Jika tidak semuanya, setidaknya ia mungkin akan mendapatkan sedikit titik terang di antara semua kerumitan ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro