16. Kedatangan Pamela

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 16 Kedatangan Pamela

Selena tahu Lucca selalu mengawasi setiap gerak-geriknya. Terutama ketika ia masih saja merasakan mual jika mencium aroma-aroma tertentu dan terkadang muntah meski semua itu tidak terlalu mengganggunya. Bahkan yang membuatnya semakin tertarik adalah kecemasan yang terlalu sulit pria itu sembunyikan setiap kali membantunya meredakan rasa tak nyaman di perut.

Jika Selena mengingat, awal inseminasi itu dilakukan hingga saat ini. Usia kandungannya sudah menginjak minggu ke 12. Tak ada perubahan signifikan dari tubuhnya selain tonjolan yang mulai terlihat di perutnya.

Selena menatap pantulan tubuhnya di cermin wastafel. Menggigit bibir bagian dalamnya ketika pandangannya berhenti pada tonjolan tersebut. Ada ketidak inginan yang menyelimuti perasaannya. Tetapi perubahan di dalam tubuhnya tersebut memberinya ketidak berdayaan.

“Kenapa?” Lucca bersandar di pinggiran pintu kamar mandi. Pandangannya bergerak turun pada Selena yang lekas menurunkan pakaian untuk menutupi perutnya.

Wajah Selena yang dingin berpaling. Membungkuk untuk membersihkan muka, mengabaikan Lucca yang berjalan mendekat dan berhenti tepat di belakangnya.

Ketika ia hendak menegakkan punggung, pria itu menyelipkan kedua lengan di pinggang. “Kau melihatnya?”

Selena tak menjawab. Menggeliatkan tubuh untuk lepas dari lilitan tangan Lucca. Tapi seperti biasa, keinginan pria itu selalu di atas segalanya. Tubuhnya tetap menghadap ke depan, dengan telapak tangan pria itu yang mulai menyelinap ke balik pakaiannya. Menyentuhkan telapak tangan di perutnya, tepat di tonjolan tersebut membentuk.

“Dia tumbuh dengan baik,” bisik Lucca di telinganya. Mengunci pandangan Selena lewat cermin.

Selena tetap menampilkan raut datar. Emosi yang bergelut di dadanya terasa campur aduk. Yang segera ia tepis ketika bertanya. “Kenapa kau begitu menginginkan anak ini?”

Lucca tersenyum penuh arti. “Kau hanya perlu perlu memastikan anak ini baik-baik saja dan lahir dengan selamat, Selena. Jika sesuatu terjadi dengannya, kaulah yang sepenuhnya bertanggung jawab padanya.”

“Apakah itu artinya keselamatan nyawaku tergantung dengan keselamatannya?”

Ujung bibir Lucca naik lebih tinggi. Tetapi ia merasa terusik dengan tatapan kedua mata Selena yang tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun dengan ancaman yang sengaja ia selipkan dalam kalimatnya.

“Aku bahkan tak peduli lagi dengan nyawaku.”

Senyum Lucca membeku. Tepat seperti yang ia pikirkan. Tak ada ketakutan di hati Selena. Bahkan gadis itu mencoba melawannya. Yang tentu saja tak akan ia biarkan. Bibit semacam inilah yang akan membawa masalah di depannya.

“Kau akan peduli.” Jawaban Lucca penuh arti. “Terlalu banyak kerumitan dalam hidupmu yang membuatmu bertanya-tanya, kan?”

“Apa maksudmu?”

Lucca tersenyum lebih dulu sebelum melanjutkan. “Tentang kedua orang tuamu, mungkin?”

Selena membeku.

“Apa kau sama sekali tak merasa penasaran? Siapa orang tuamu? Apakah mereka sudah meninggal atau hidup? Atau alasan kenapa mereka menitipkanmu pada paman berengsek seperti Rooney Roden?”

Selena memutar tubuhnya menghadap Lucca. Pria itu membiarkan meski tetap memegang pinggangnya di balik pakaian yang ia kenakan. “Kau tak tahu apa pun tentang hidupku, Lucca.”

“Kau pikir aku memilihmu secara kebetulan?”

Wajah Selena kembali dibuat membeku dengan pertanyaan retoris tersebut. Sejak awal Lucca mengincarnya dan ia memang bertanya-tanya alasan pria itu melakukan semua permainan ini. Begitu penasaran. Tetapi mencari jawaban tersebut pada Lucca tak akan memberinya apa pun selain kefrustrasian. Pria itu hanya tahu cara memerintah dan menindas orang.

Salah satu tangan Lucca terangkat, merangkum wajah Selena yang mengelusnya dengan lembut. Bersamaan dengan senyum angkuh yang tersungging puas di mata pria itu.

“Dan aku tahu aku tak akan mendapatkan jawaban yang kuinginkan darimu.” Kali ini Selena berusaha mendorong dada Lucca. Yang malah menangkap pinggang dan mendudukkannya di meja wastafel. Menempatkan tubuh pria itu di antara kedua kakinya. Tahu apa yang diinginkan oleh pria itu darinya. 

Selena ingin menolak keinginan tersebut. Tetapi mengusik keinginan Lucca darinya hanya akan memberinya masalah. 

“Siapa yang tahu,” bisik Lucca dengan bibir yang nyaris menempel di bibir Selena. “Jika kau bersikap baik dan menyenangkanku. Mungkin aku akan berubah pikiran.”

Selena tahu kata-kata Lucca hanyalah bualan. Tetapi … mungkin ia perlu mencobanya. Selama beberapa minggu terakhir, semua kepatuhan dan kepasrahannya pada pria itu sedikit membuat sikap Lucca padanya lebih lunak. 

Begitu bibir keduanya benar-benar menempel, Lucca memagut bibir Selena dengan penuh nafsu. Sementara kedua tangan pria itu mulai melucuti pakaian Selena dengan tak sabaran. Membakar keduanya dalam gairah yang membara.

*** 

“Bolehkah aku keluar?” Selena memberanikan diri untuk bertanya ketika mereka duduk di meja makan.

“Tidak,” jawab Lucca bahkan sebelum Selena menutup mulut.

Selena menghela napas tanpa suara. Mempertahankan kesabarannya. “Apakah kau akan mengurungku di tempat ini sampai aku melahirkan?”

Lucca menoleh ke arah Selena, mengangguk dengan penuh kemantapan. “Kau tahu dunia luar tak aman untukmu, Selena. Untuk kalian berdua. Ada pamanmu yang berkeliaran dan masih mengincarmu. Atau … kau ingin aku mengakhiri hidupnya saja?”

Selena menelan ludahnya dengan pertanyaan tersebut. kebencian di dalam hatinya untuk sang paman memang begitu mendalam. Hanya saja, tetap saja membunuh adalah tindakan yang kejam. Lebih kejam dari yang dilakukan pamannya padanya.

Lucca mendengus. “Kau masih mengasihaninya?”

Selena tak menyangkal. Kehidupannya saat ini tak lebih buruk. Toh pada akhirnya tubuhnya tetap menjadi pemuas nafsu untuk seorang pria. Dan baru saja ia memikirkan tentang hal itu, kalimat selanjutnya Lucca membuatnya terpaku.

“Percaya padaku, berakhir di tangan pamanmu jauh lebih buruk dari yang pikiranmu mampu bayangkan, Selena.” Lucca memutar tubuhnya ke arah Selena. Mencondongkan kepala pada gadis itu agar mendengarkan lanjutan kalimatnya dengan seksama.

“Kau pikir, berapa banyak uang kuhamburkan untuk membatalkan pria hidung belang yang menginginkanmu, hah? Dan berapa banyak uang yang sudah dikantongi oleh pamanmu, pemilik klub untuk menjualmu. Kau tak menyadarinya, Selena. Betapa banyaknya orang yang menginginkanmu karena umurmu yang masih muda.” Tangan Lucca terangkat. Menyibakkan helaian rambut Selena ke samping yang kemudian jatuh dengan lembut ke pundak gadis itu. “Penampilanmu jelas lebih mencolok dibandingkan wanita-wanita penghibur lainnya di klub itu. Wajah dan tubuhmu menarik perhatian semua pria yang ada di sana.”

Selena menelan ludahnya. Tentu saja ia menyadari tatapan lancang dan liar pada pengunjung klub setiap kali mengantarkan pesanan ke meja-meja. Yang meski membuatnya risih, ia lebih disibukkan untuk mencari cara kabur dari klub itu.

“Kecuali kau lebih suka berakhir di ranjang mereka dan melayani beberapa pria yang berbeda dalam satu malam. Di sini adalah tempat yang paling tepat untukmu.”

“Kau ingin aku percaya semua kata-katamu?”

Lucca mendengus dan bersandar ke kursi. “Tidak. Aku hanya menyukaimu dan menginginkanmu begitu melihatmu. Sama seperti pria lainnya. Hanya saja, aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Dan aku tak suka milikku disentuh siapa pun. Itu saja yang perlu kau percaya,” jawabnya dengan ringan. Mengambil cangkir kopi dan menandaskan isinya sebelum beranjak dari kursinya. “Hari ini aku akan kembali lebih larut. Aku tak akan mengganggumu. Hanya untuk malam ini.”

Selena cukup dilegakan dengan pemberitahuan tersebut. Setidaknya malam ini ia tak perlu melayani pria itu di atas ranjang. 

Setelah Lucca menghilang dari ruang makan dan Selena mendengar suara mobil pria itu yang semakin menjauh, gadis itu langsung naik ke kamar. Tak ada apa pun yang ingin ia lakukan selain berbaring di ranjang. memikirkan kata-kata Lucca yang tak berhenti memenuhi benaknya. 

Tentu saja ia tak bisa menelan mentah-mentah semua kata-kata Lucca. Akan tetapi, semakin ia memikirkan semua itu. Sedikit sudut di dalam hatinya mulai mempertimbangkan kejujuran Lucca. Membenarkan semua kelicikan-kelicikan Lucca terhadapnya.

Ya, pria itu memang tak ada bedanya dengan pria-pria mesum di klub, kan. Kenapa ia merasa harus mempertimbangkan kebaikan pria itu di hidupnya? Toh yang diinginkan Lucca darinya memang hanya tubuhnya. Sebagai pemuas nafsu pria itu. Seperti mereka semua.

*** 

Saat Selena terbangun pagi itu, Lucca masih berbaring di sisi ranjang dengan mata terpejam. Ya, semalam ia sudah tertidur ketika Lucca pulang. Dan tak mengganggunya. 

Selena melangkah turun dari tempat tidur dengan hati-hati. Berpikir mungkin Lucca terlalu lelah bekerja dan tidak bangun oleh gerakan tubuhnya. Tetapi rupanya insting pria itu bekerjan dengan sangat baik. Pinggangnya kembali ditangkap dan tubuhnya ditarik ke dalam lengan pria itu. “Kau lupa?”

Selena menelan ludahnya. Ia tak boleh turun dari ranjang mendahului pria itu. Peraturan konyol yang masih saja berlaku. Ya, titah Luccalah peraturan di rumah ini.

Dan baru saja Lucca kembali memejamkan mata, suara ketukan pintu terdengar. Mata Lucca terbuka, mendecakkan lidahnya dengan kesal. “Jam berapa sekarang?”

“Tujuh.” Selena melirik jam di atas nakas. Tepat ketika pintu kamar didorong terbuka. Dua pelayan melangkah masuk, masing-masing membawa nampan di tangan. 

Pada awalnya, Selena pikir tak ada yang salah dengan kedua pelayan tersebut. ketika tiba-tiba Selena mengenali salah satu wanita tinggi semampai yang mengenakan pakaian pelayan berjalan lebih ke dalam. Dan wanita itu adalah Pamela Rocco. Mantan kekasih Lucca.

Selena nyaris tersedak liurnya sendiri. Bangun terduduk saking terkejutnya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro