22. Pelayan Nafsu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 22 Pelayan Nafsu

Sekitar satu jam kemudian, begitu mobil sampai di rumah Lucca. Pandangan Selena tak berhenti menatap gerbang tinggi yang tertutup rapat. Seolah mengejeknya untuk memendam apa pun itu bentuk benih harapan yang ada di dalam pikirannya.

“Turun.” Perintah Lucca bernada datar. Meski pria itu membukakan pintu untuk Selena, tangannya berada di dalam saku. Tak akan memberikan bantuan sekecil apa pun bagi Selena.

Dan walaupun tubuh Selena masih terasa lemah, sebisa mungkin gadis itu tak menunjukkan kelemahannya di hadapan Lucca. Turun dari dalam mobil dan berusaha berdiri dengan kedua kakinya sendiri.

Bibir dan tenggorokannya yang kering, sudah menjadi hal yang biasa sepanjang ia dirawat di rumah sakit. Lucca hanya memberinya air minum ketika pria itu ingin. Terakhir, satu jam sebelum dokter datang untuk memeriksa keadaannya. Untuk selanjutnya, Selena tak tahu kapan.

Keduanya langsung masuk ke dalam lift. Sesekali Selena menyembunyikan ringisannya ketika rasa sakit menusuk perutnya. Begitu sampai di kamar, Lucca melepaskan jas dan dasi, berdiri di samping ranjang untuk melepaskan jam tangan, mengelurkan dompet dan menunggu pelayan yang dipanggilnya untuk membawakan botol dan gelas anggur. Sedangkan Selena, gadis itu langsung menuju ke kamar mandi.

Lama ia hanya tercenung di depan wastafel. Menatap pantulan wajahnya yang pucat. Saat ia mencuci mukanya, telapak tangannya menampung air jernih yang keluar dari keran. Dan tak berpikir dua kali untuk meneguk air tersebut demi menghilangkan haus yang mulai kembali mencekik tenggorokannya.

Mengambil beberapa tegukan untuk memuaskan rasa hausnya hingga tersedak dengan keras dan jahitan di perutnya kembali terasa sakit. Ia duduk di pinggiran bath up. Menunggu napasnya kembali normal dan rasa sakit tersebut mereda.

Setelah merasa lebih baik, ia mulai menanggalkan pakaiannya. Menatap perutnya yang rata lagi-lagi dengan penyesalan yang kembali mencengkeram dadanya.

‘Ibu yang buruk.’

‘Ibu yang jahat.’

‘Ibu yang tak punya hati.’

‘Ibu yang kejam.’

‘Ia bahkan tak pantas disebut sebagai seorang ibu.’

Berbagai macam makian diumpatkan oleh dan pada dirinya sendiri. Air matanya kembali jatuh. Tubuhnya tersungkur di lantai yang dingin. Meringkuk dan memeluk dirinya sendiri seperti bola besar. Isak penyesalan yang sia-sia kembali menyelimuti tubuhnya.

Butuh waktu yang cukup lama bagi Selena untuk meredakan gejolak emosi di dadanya setiap kali mengingat apa yang telah ia lakukan pada janin tak bersalah tersebut dengan tangannya sendiri. Ia begitu membenci Lucca. Amat sangat dan akan melakukan segala cara untuk membalas keberengsekan pria itu. 

Akan tetapi, segala cara yang telah ia lakukan. Kini menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Janin itu tumbuh di perutnya. Menjadi bagian dari dirinya, betapa besar dirinya mencoba menyangkal dan membantah keberadaan janin tersebut di tubuhnya.

Rasa kehilangan yang menenggelamkannya, rasanya sudah cukup menjadi hukuman untuk dirinya sendiri. Ia tak bisa membohongi naluri di dalam hatinya tersebut.

Selena mengikatkan tali jubah handuk di pinggangnya. Sejenak melirik wajahnya sedikit lebih segar dengan kedua mata yang terlihat bengkak di cermin. Toh Lucca tak akan peduli dan melihat penampilannya yang seperti ini. Malah akan menambah kepuasan pria itu.

Selena membuka kunci pintu, menarik pintu mandi terbuka dan kakinya sudah akan bergerak melangkah keluar ketika tiba-tiba seluruh tubuh gadi itu membeku. Menyaksikan pemandangan mengejutkan yang ada di hadapannya. 

Lucca duduk di sofa, sementara tubuh yang dibungkus pakaian pelayan itu duduk di atas pangkuan pria itu. Pamela, Selena bisa mengenali dari rambut wanita itu yang terurai. Setengah menutup wajah Lucca yang bersandar di punggung sofa. Pun begitu, tak menutup bibir keduanya yang saling menempel satu sama lain. Kepala Pamela tertunduk dengan kedua lengan yang pada awalnya melingkari leher Lucca. Kemudian salah satu tangan wanita itu bergerak turun. Mulai melepaskan kaitan kancing kemeja Lucca.

Sementara tangan Lucca yang bertengger di pinggang Pamela, mulai bergerak menyentuh paha Pamela yang roknya sudah setengah tersingkap. Menampilkan kulit paha jenjang wanita itu yang putih dan mulus. 

Cumbuan keduanya tampak semakin memanas dengan kedua tubuh yang saling menempel. Semakin rapat dan semakin merapat.

Selena langsung menarik tubuhnya mundur dan kembali menutup pintu kamar mandi. Menyandarkan punggungnya di pintu dengan perasaan yang campur aduk. Mencoba mengaburkan ingatannya akan apa yang telah dilihatnya.

Selena tentu saja tahu apa yang akan terjadi dalam satu menit ke depan. Keduanya akan saling melucuti pakaian satu sama lain, dan berakhir bergumul di atas tempat tidur dengan panas. Saling berbagi keringat.

Kepala Selena menggeleng. Mengenyahkan pikiran tersebut dari kepala. Menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. Sepertinya ia harus mendekam di kamar mandi ini untuk waktu yang cukup lama hingga Lucca dan Pamela menyelesaikan apa pun itu yang tengah keduanya lakukan di balik pintu.

*** 

Beberapa saat kemudian …

Suara  pintu yang dipaksa terbuka membangunkan Selena dari tidurnya. Gadis itu tersentak, tengah menelaah ingatannya ketika pintu kamar mandi dibuka dan melihat Lucca yang melangkah masuk.

Kedua alis Lucca menyatu, mengamati Selena yang duduk meringkuk di atas toilet dan terlihat berusaha menepikan rasa kantuk yang masih mempengaruhi gadis itu.

Lucca mendecak dalam hati. Pantas saja Selena tak juga keluar dari kamar mandi sejak satu jam yang lalu. Rupanya gadis itu tidur di kamar mandi. Karena melihat apa yang dilakukannya pada Pamela?

“Apa yang kau lakukan di sini?” Lucca tak bisa menahan suara bentakan keluar dari mulutnya. Selena mengurai pelukan lengannya dan menurunkan kakinya. Tetapi kedua kakinya yang kesemutan membuat gadis itu kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhuyung ke samping dan ia sudah bersiap terbanting kembali di lantai.

Namun, rasa sakit tersebut tak pernah datang. Pinggangnya ditangkap oleh lengan Lucca.

Kedua ujung bibir Lucca mengeras. Reflek tubuhnya begitu bagus, tepat seperti yang ia harapkan. Menggeram kesal, ia menegakkan tubuh Selena. “Tidak bisakah kau memperhatikan langkahmu?!” Bentakannya lebih kuat dari sebelumnya.

Selena menarik tubuhnya mundur, hanya sesaat terlepas dari tubuh Lucca. Detik berikutnya, wajahnya ditangkap oleh telapak tangan pria itu. Ditarik hingga tubuhnya kembali membentur tubuh pria itu.

“Kau lupa, hanya aku yang bisa melukai tubuhmu. Tidak siapa pun. Tidak juga dirimu sendiri,” desis Lucca. 

Merapatkan mulut adalah satu-satunya pilihan yang dimiliki oleh Selena. Tak akan mendebat apa pun yang dikatakan pria itu meski harga dirinya terinjak-injak. Ia masuk cukup waras untuk tahu kapan saat yang tepat untuk melawan. Situasi dan keadaannya tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu.

Tubuhnya disentakkan ke samping. Melewati tubuh Selena dan langsung masuk ke bilik shower. Selena gegas meraih pintu kamar mandi. Sempat meragu jika Pamela masih ada di dalam kamar. Tetapi rupanya tak ada siapa pun di ruangan yang sunyi tersebut.

Pandangan Selena berhenti ke arah sofa, tempat tadi Lucca dan Pamela saling bercumbu. Hanya ada botol anggur yang tersisa setengah. Dan gelas yang tergeletak dengan posisi miring dengan tumpahan yang menggenang di meja kaca.

Selena menepis bayangan apa saja yang Pamela dan Lucca lakukan hingga membuat meja seberantakan itu. Berjalan ke ruang ganti dan keluar tepat ketika Lucca melangkah keluar dari kamar mandi.

Langkah Lucca terhenti, kedua matanya mengamati pakaian yang dikenakan oleh Selena. Dress bermotif bunga dengan warna biru cerah, tanpa lengan dan panjang yang mencapai lutut.

Matanya menyipit tak suka. “Lepaskan.”

Selena membeku. Mengulang perintah Lucca dua kali dan menyadari apa yang harus ia lepaskan. Pakaiannya.

Lucca berjalan mendekat, begitu berhenti di depan Selena. Tangannya langsung menyambar bagian depan dress Selena, menarik kain itu dalam satu sentakan hingga robek. Sebelum kemudian melempar onggokan kain itu di lantai.

“Mulai sekarang, kau akan menjadi pelayan untukku.”

“P-pelayan?” Selena baru saja membayangkan Pamela. Tetapi apa yang dilakukan oleh Lucca padanya lebih serius dari yang ia pikirkan. Karena ia bukan pelayan di rumah ini.

“Ya, pelayan. Pelayan di ranjangku.” Lucca mengangguk. Membenarkan ketakutan yang mulai merebak di kedua mata Selena. “Kau bertanya-tanya apa yang akan kulakukan pada bonekaku, kan?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro